"Yok Pak, mau arah ke mana ini?" tanya Alea dengan semangat yang membara, saat seseorang itu tengah mengambil motornya, yang diparkirkan.
"Arah kanan, Neng." Bapak-bapak itu lantas menjawab Alea yang yang sedang memegang motor miliknya.
"Ini, Neng." Bapak yang barusan memarkirkan sepeda motornya, lantas memberikan uang tiga ribu, pada Alea.
"Makasih, Pak." Sembari mencium uangnya Alea mengucapkan kata terimakasih, dan langsung memasukkan uangnya di dalam tas yang selalu di bawa ke mana-mana.
"Semoga hari ini banyak yang parkir," gumam Alea sambil menghitung berapa banyak motor yang terparkir.
"Hmmm ... Sepertinya gue perlu ngopi dulu nih," ucapnya lirih sembari berjalan ke arah warung kopi yang tidak jauh dari tempatnya parkir.
"Buk, kopi item satu ya." Sesampainya di warung. Alea langsung memesan kopi pada pemilik warung tersebut.
"Eh elu, Al."
"Udah kelar parkirnya?" tanya bu sopia selaku pemilik warung, saat mengetahui pelanggan tetapnya itu.
"Belum lah Buk, ini masih jam berapa? Karena ini mata maunya merem terus makanya butuh obat mata." Alea lalu mengambil satu roti goreng untuk dimakannya. Belum sempat roti itu masuk ke dalam mulutnya namun suara bariton dari belakang membuatnya cukup mengagetkannya.
"Woe ... Al," sapa Alby. Dengan berjalan bak preman ia pun langsung duduk di kursi panjang. Tidak lupa dengan senyuman yang khas, membuat kaum hawa akan terpesona.
"Apaan sih elu. Main ngagetin gue ya! Seneng kalau badan gue kena serangan hati," ucap Alea dan itu membuat Alby langsung membulatkan mata.
"Setahuku serangan jantung, Al. Kenapa tiba-tiba jadi hati?" Alby meralat ulang kata-kata Alea yang salah sebut dengan kosa kata yang meleset, tidak habis pikir. Ada saja ulah perempuan yang bernama Alea itu, pikirnya.
"Nah iya itu maksud gue. Ini tadi lidahku habis kram makanya salah ngomong," ucap Alea sembari melahap roti yang sudah diambilnya namun belum sempat dimakan.
"Memangnya sejak kapan lidah elo gak kram? Perasaan setiap hari kram mulu," ujar Alby dengan nada mengejek. Pasalnya tiada hari tanpa hal-hal konyol yang dilakukan oleh Alea.
"Gak papa, yang penting otak gue gak kram." Jawab Alea dengan mulut yang penuh dengan makanan.
Hahahahaha.
Dengan suara tawa yang nyaring, membuat bu Sopia geli, karena suara tawa Alea mirip kuntilanak menurutnya.
"Alea, stop! Udah jangan ketawa lagi." Bu Sopia menutup hidungnya dan menyuruh Alea untuk berhenti tertawa.
"Lha kenapa, Bu?" Alea langsung diam dengan tawanya, tapi justru bertanya mengapa malah disuruh berhenti. Dengan kening yang mengkerut, bu Sopia bertanya.
"Telinga saya sakit denger elu tertawa tau kagak," kata bu Sopia, dan suara Alea bener-bener melengking hingga membuat bu Sopia mengeluh.
"Lha, kok aneh? Bukannya yang sakit telinganya. Ini kok malah hidungnya yang ditutup," ujar Alea dengan tangan menggaruk jidatnya meski tidak gatal.
Sedangkan Alby juga menatap bingung ke arah bu Sopia. Apa jangan-jangan hidungnya sakit juga? Maka dari itu bu Sopia menutup hidungnya.
"Mulut elu bau pete," kata bu Sonia dengan mengangkat satu alisnya.
"Masa sih, Bu."
Hah ... Hah.
"Gak bau."
"By, bau kagak."
Hah.
"Aleaaa!! ... Bau, sepertinya mulut elo perlu disikat sama sikat WC, tau gak. Ini sangat bau," kata Alby yang ikut menutup hidungnya dan mengeluh jika itu benar-benar bau.
"Perasaan gak bau deh," gumam Alea yang terus menerus mengeluarkan nafasnya, lalu menciumnya sendiri.
"Apanya yang tidak bau, ini sangat bau sekali. Memangnya elo habis berapa pete?" tanya Alby sesekali menarik nafas, karena tidak tahan dengan baunya yang sangat menyengat.
"Alah tidak banyak kok," kata Alea menjawab dengan santai, namun ujung-ujungnya akan membuat orang terkejut.
"Berapa papan?" bu Sopia ikut menimbrung karena menurutnya sangat bau dan juga penasaran, berapa jumlah pete yang dimakan Alea.
"Tidak banyak," jawab Alea dengan wajah yang tidak memiliki rasa bersalah sama sekali.
"Berapa?" Alby bertanya dengan keadaan hidung yang ditutup, serta sedikit menjauh. Agar aroma pete bak bunga bangkai tak lagi tercium.
"Gak banyak cuma habis tiga lonjor...."
"Apa!" ucap bu Sopia dan Alby secara berbarengan.
Terkejut? Tentu.
Pasalnya seorang gadis, bisa kuat menghabiskan tiga lonjor, atau bisa dikatakan tiga papan. Sungguh luar biasa dan sedikit menggelikan.
"Elu doyan apa emang mulut elu kaga beres, Al?" tanya bu Sopia dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan, beliau bertanya mengapa bisa memakan sebanyak itu, padahal satu lonjor itu berkisar isi sepuluh biji petai. Berarti kalau di kalikan tiga, total tiga puluh. Sungguh luar biasa pikir bu Sopia.
"Itu makanan enak Bu, apalagi di makan mentah, beuh nikmat." Dengan jempol yang terangkat, Alea memuji lalapan yang berwarna hijau kecil sebesar isi rambutan.
"Udah ah, aku mau pulang dulu Bu, ini udah siang yang parkir mulai gak ada." Setelah membayar kopi serta cemilan, Alea pun langsung berdiri dan berlalu pergi.
"Jangan lupa sampai rumah, mandi gosok gigi. Biar cepet dapat lakinya," tukas bu Sopia sedikit berteriak.
"Alea, tunggu!" teriak dari Alby menghentikan langkah Alea.
"Ada apa?" ujar Alea.
"Dasar payah, setelah ditemani sekarang malah meninggalkan gue! Kebangetan elo emang ya."
"Gue kaga peduli, sekarang yang gue bayangin cuma kasur sama bantal. Selain itu tidak ada lagi," timpal Alea.
...----------------...
Sesampainya di rumah.
"Maaak!"
Pletak.
"Haish, kenapa dijitak? Kan sakit." Alea mendengus, saat pulang bukannya disambut justru keningnya mendapat jitakan dari emak nya.
"Itu mulut gak bisa apa kalau tidak teriak!" seru mak Ijah pada Alea yang baru saja pulang. Alih-alih bukannya disambut malah menganggap Alea berisik.
"Ini ya, anak pulang bukannya disambut, terus disediain makanan. Ataupun air hangat kek, ela dala. Ini malah kebalikannya.
"Mimpi saja yang banyak."
"Sesekali kan gak papa, Mak." Alea memonyongkan bibirnya karena kesal pada emak nya. Selalu saja judes padanya, dan jarang berkata lembut, padahal Alea pengennya di tanya. Sudah makan apa belum, tadi bagaimana ada banyak gak yang parkir? Sepertinya itu hanya angan-angan Alea saja.
"Udah sana, daripada kamu ngelamunin jadi cinderella lebih baik mandi! Bau kamu benar-benar membuat Emak mau muntah karena bau cuka, alias kecut." Mak Ijah menutup hidungnya dan mengibaskan tangannya. Tanda bahwa Alea di suruh untuk meninggalkannya dengan segera.
"Yaelah, Mak. Namanya juga kerja dipanasan ya mesti bau cuka," ujar Alea pada mak Ijah, menjawab dengan nada ketus. Bisa-bisa mak nya berkata seperti itu. Memangnya selama ini uang darimana kalau tidak hasil berpeluh keringat, di bawah teriknya matahari.
"Jawab mulu kamu, heran deh Mak sama kamu." Mak Ijah mengeluh karena selalu seperti itulah jika Alea diberi tahu, mulutnya tidak bisa diam. Ada saja yang ia jawab dan itu membuat mak Ijah merasa ingin sekali memakannya, secara langsung.
"Kan emang bener," tukas Alea dengan sudut bibir yang sedikit terangkat.
"Mana Alen, Mak?" tanya Alea yang tidak melihat sang adi dari sepulang dari parkiran.
"Bentar lagi juga pulang," ujar mak Ijah.
"Nah lho, panjang umur kan itu dia datang." Mak Ijah melirik ke arah luar dan memang terlihat Alen yang sudah bersiap untuk masuk.
Sedangkan Alena yang dari luar buru-buru masuk saat matanya melihat sang kakak sudah pulang, karena bagi Alena inilah waktunya untuk memalak sang kakak.
"Mbak, bagi uang dong." Alena langsung menodongkan kedua tangannya, lalu meminta uang pada Alea.
Pletak.
"Auh, sakit, kenapa malah dipukul sih." Alen mengeluh sakit karena keningnya disentil oleh Alea.
"Enak bener datang-datang minta uang! Memangnya gue itu pabrik duit apa!" seru Alea lalu meninggalkan mereka berdua, yaitu mak Ijah dan Alena, kesal bercampur lelah. Namun, sudah di todong oleh Alena hanya untuk dimintai uang.
"Dasar masih bocah udah mata duitan bagaimana kalau gede? Jadi cewek matre kali ya," gumam Alea sembari berjalan ke arah kamar mandi, dan ini lah saatnya untuk menyegarkan kepalanya, yang rasanya ingin sekali meledak.
Sedangkan Alena merajuk pada emak nya, karena tidak dapat uang jajan lagi.
"Ayolah Mak, kasih sepuluh ribu saja. Jangan pelit-pelit kenapa," kata Alena yang terus memaksa untuk meminta uang.
"Hye bocah! Memangnya aku ini gudang duit apa? Yang ada di otak kamu itu duit, duit, dan duit mulu. Heran deh sama kamu," geram mak Ijah karena sedari tadi Alena meminta uang terus. Padahal pagi tadi Alen sudah dapat sepuluh ribu dan dibuat beli apa coba? Dibuat beli kelereng, dan itu membuat mak Ijah geram.
Mak Ijah heran, kenapa bisa punya anak perempuan tapi sifat seperti laki-laki semua. Alea sudah mirip preman dan suka bikin rusuh, sedangkan Alena mirip laki-laki karena selalu bermain dengan anak laki-laki, dan cara pakaiannya juga sama. Suka membeli permainan yang tak biasa, jika seorang wanita akan membeli boneka dan masak-masakan Alena justru lebih sering membeli permainan laki-laki, seperti yoyo, dan gangsing. Terkadang juga mobil remot.
"Nasib, nasib. Punya anak kok gini amat ya," keluh mak Ijah yang merutuki sifat dan perilaku anak-anaknya, sambil memegangi kepalanya. Beliau pun duduk di meja makan.
Sedangkan Alea yang berada di kamar mandi, tidak menemukan batang sabun sama sekali, Padahal semua baju sudah dilepas olehnya, hingga membuatnya berteriak.
"Makkkk .... Lontong, eh maksudnya toloooong!"
Mendengar Alea yang berteriak, membuat mak Ijah langsung datang.
"Apa Al, terjatuh makanya teriak-teriak?" mak Ijah bergumam seraya langkahnya melangkah ke arah kamar mandi.
"Emaaak!" Alea berteriak lagi, karena emak nya belum ada datang.
"Ada apa sih teriak-teriak, macam kucing mau kawin saja." Mak Ijah mendengus, ia kira kalau Alea terjatuh, tapi malah sedang berteriak meminta tolong untuk mengambilkan sesuatu.
"Masa ia, manusia di samain sama kucing, durhaka nih, Emak...."
"Apa kamu bilang!"
"Gak Mak, gak berani bilang apa-apa." Wajah ketakutan mulai menghiasi, Alea buru-buru menutup pintu kamar mandi dan.
Brakh.
Suara pintu ditutup dengan sangat keras. Hingga menimbulkan suara.
Sedangkan mak Ijah yang ada di luar, menatap bingung sekaligus kesal. Bukannya tadi Alea meminta tolong? Tapi malah sekarang menutup pintunya.
"Apa sih mau itu anak, heran deh. Punya anak gini amat ya," ucap mak ijah mengelus dada.
Alea yang berada di dalam kamar mandi, terpaksa mandi tidak menggunakan sabun. Tadi sebetulnya mau meminta tolong untuk diambilkan stok sabun. Belum sempat bilang mak Ijah sudah berubah menjadi garang macam kak Rose.
Byur.
Byur.
Byur.
Mak ita yang duduk di meja makan pun bertanya-tanya dengan suara Alea.
"Itu anak mandi apa mau nguras bak mandi? Apa dia kaga butuh pakai sabun. Cepat amat," gumamnya seraya meminum teh yang masih dengan keadaan mengepul.
Tidak berapa lama, Alea keluar dengan wajah bak kanebo kering, dan mak Ijah pun bertanya padanya, merasa jika sang anak sedang kesal.
"Kenapa muka kamu? udah jelek kalau di tekuk berasa jadi serbet kusut tambah jelek," ejek mak Ijah pada Alea dan itu semakin membuatnya kesal.
"Ini emak-emak yang gak peka ya, udah gue mandinya mandi bebek tanpa sabun wangi. Eh sekarang tambah di ledek, gini amat ya punya emak." Dalam hati Alea terus saja menggerutu perihal ledekan dari emak Ijah.
"Mak, apa Emak sengaja gak naruh sabun di kamar mandi?" Alea bertanya dengan nada merajuk.
"Hehehe ... Lupa," ucap mak Ijah dengan enteng.
"Gara-gara Emak, tadi aku mandi kaga pakai sabun wangi." Alea berdecak kesal karena emak nya hanya tertawa tipis.
"Oh, kirain tadi mau nguras bak mandi, ternyata mandi bebek to."
Alea membulatkan mata, tidak menyangka jika mak nya berkata seperti itu, sungguh menyebalkan bukan, pikir Alea. Lalu dengan hati yang dongkol serta langkah yang di hentakkan membuat mak Ijah meringis, karena.
Dukh.
"Auh, pasti sakit."
"Emakkkkk!"
Mungkin karena Alea berjalan dengan mata yang tak melihat, hingga tanpa ia tahu dirinya kepentok oleh pintu. Yang semula dibuka kini tertutup, dan entah itu semuanya ulah siapa.
Mak Ijah yang mendengar teriakan Alea langsung datang untuk melihat jidat anaknya.
"Mak, kenapa pintunya ditutup, sih!" dengus Alea dengan wajah cemberut, udah sakit tertimpa tangga pula, mungkin seperti itulah pepatah yang cocok diberikan untuk Alea.
"Lupa tadi Mak ngasih taunya. Kalau pintu ditutup sama Alen," ucap Mak Ijah dengan sesekali meringis, karena sepertinya itu sangat menyakitkan.
"Mak, aku yang kepentok. Kenapa Mak yang meringis sih," dengus Alea yang menurutnya jika mak nya sengaja meledeknya. Dengan cara seperti itu.
"Oh iya, ya. Lupa," ujar Mak Ijah tersenyum tipis, sambil menepuk jidatnya.
Ck … Ck.
Alea mendengus, sambil tangannya masih memegang dan mengelus keningnya yang sakit. Lantas ia pun berjalan menuju kamar, karena seperti sebentar lagi, darahnya akan mendidih jika terlalu lama bersama mak nya itu.
Di kamar.
"Kenapa dari tadi apes mulu sih," umpat Alea pada diri sendiri sembari menatap tubuhnya di pantulan kaca, dan sesekali memegang pipi serta bentuk tubuhnya. Yang akhir-akhir ini sedikit berbeda.
Setelah menyisir rambut dan kini sudah rapi, Alea ingin sebentar saja tidur. Tubuh yang lelah karena sedari pagi sudah parkir, ditambah nanti malam ia harus jaga parkiran lagi. Membuatnya harus mengumpulkan tenaga ekstra agar tubuhnya tetap fit, dan terjaga. Kalau sampai tubuhnya tumbang maka itu berarti, dirinya tidak punya pemasukan.
Belum juga mata terpejam, namun suara Alen membuatnya tidak dapat tidur lagi, dan mendesis karena menahan kesal. Waktu yang seharusnya digunakan untuk istirahat, justru dibuat untuk meladeni hal-hal yang tidak penting.
"Apaan sih itu anak, berisik banget!" sungut Alea, lalu melirik ke atas dengan mimik muka yang malas.
"Mbak, buka pintunya."
Tok.
Tok.
Tok.
"Bener-bener ini anak ya, bikin orang darah tinggi saja." Alea menggerutu karena ada saja menganggu waktu istirahatnya.
Alea tidak menjawab melainkan malah menutupi tubuhnya dengan selimut. Agar tidak mendengar suara cempreng milik Alen.
Alena yang berada di luar pintu kamar milik Alea. Terus saja berteriak dan menggedor pintu karena tidak kunjung dibuka oleh sang empunya.
Mungkin karena lelah, akhirnya Alea tidak lagi mendengarkan suara dari Alena, dan sepertinya sekarang Alea juga merasakan kantuk yang luar biasa. Hingga matanya mulai terpejam dan pergi ke alam mimpi.
🍁🍁🍁🍁
Tidak terasa siang telah berganti dengan malam. Sekarang di meja makan Alea dan ibu serta adiknya sudah bersiap untuk makan.
Melihat menu favoritnya yang ada di atas meja, membuat mata Alea berbinar-binar. Layaknya seseorang yang sudah menemukan bongkahan emas.
“Sambel pete My favorit, yummy.” Dengan rasa tidak sabar Alea segera menyambar lauk dan nasi tersebut, lalu dengan lahapnya ia memakan masakan dari emak nya dengan sangat nikmat.
Ketiga perempuan itu, dengan berbeda generasi sama-sama menikmati apa yang sudah disajikan di atas meja. Sederhana namun sangat nikmat.
Sedari tadi keadaan hening tanpa ditemani sebuah obrolan. Mak Ijah, pada akhirnya memecah keheningan agar tidak terlihat seperti kuburan.
“Al, apa kamu akan berangkat markir lagi?” tanya Mak Ijah, dan pandangannya terus tertuju pada sang anak, yang selama ini menjadi tulang punggung bagi keluarganya.
“Kalau tidak berangkat lantas kita mau makan pakai Mak, sedangkan penghasilan di pasar cuma cukup buat makan.” Jawab Alea dengan tatapan sendunya.
“Apa lebih Mak kerja, supaya keuangan kita ada perubahan sedikit.” Mak Ijah berkata dengan tatapan yang tak tega, pasalnya hanya Alea saja yang bekerja. Sedangkan Alen harus tetap sekolah dan sekarang sudah masuk di SMP, Alea tidak mau jika nasib sang adik akan sama dengannya. Yah, Alea hanya tamatan SD, maka dari itu di jaman yang semakin maju. Sungguh sulit mencari pekerjaan walau hanya seorang pelayan di rumah makan.
Bagi Alea pekerjaan menjadi juru parkir itu tidaklah buruk, maka dari itu selama pekerjaan halal maka Alea tidak masalah. Walau harus berpanas-panasan di teriknya matahari, dan malamnya akan ditemani oleh semilirnya angin.
“Tidak Mak, Aku masih sanggup menghidupi kalian. Jadi, jangan pikir kalau aku adalah Alea yang lemah. Dalam buku sejarah tidak ada sosok lemah, dan aku harap Mak mengerti apa yang aku bicarakan.
Keadaan kembali hening, semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Alena sesungguhnya malu juga dengan sang kakak, karena menurutnya dirinya sudah sering membuat repot Alea, dulu Alena pernah menolak untuk melanjutkan sekolah. Meski hanya berbekal lulusan SD, itu tidak membuatnya berkecil hati. Daripada harus melihat sang kakak bersusah payah bekerja terus menerus hanya untuk membayar sekolahnya.
“Mbak, gue minta maaf ya.” Alena menatap wajah Alea dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Berhenti berbicara seperti itu, karena gue sama sekali gak suka kalau elu terus bacot.”
“Mak. Al, berangkat dulu ya.” Setelah menggertak sang adik, kini Alea beralih menatap sang ibu.
Suasana sedikit kacau karena mereka semua dalam keadaan sedih. Alea tidak suka jika keluarganya merasa merepotkan, jadi makan yang belum selesai Alea tinggalkan begitu saja dengan perasaan yang tak bisa dikatakan.
Mak Ijah tidak bisa mencegah karena jika sang anak seperti itu, maka yang ada makin membuat keadaan tak nyaman
Di depan Alea sedang mengotak atik motornya, namun tak bisa nyala.
“Apa gue kehabisan bensin?” ucapnya lirih lalu keningnya mengkerut untuk mengingat-ingat kapan terakhir ia mengisi bensin.
“Astaga, gue beli bensin dari seminggu lalu. Benar saja kalau ini motor kagak nyala,” gumam Alea merutuki kebodohannya.
Mendengar suara motor milik Alea belum juga terdengar. Mak Ijah pun lekas keluar untuk melihat Alea di luar.
Sedangkan Alea yang melihat mak nya datang menghampirinya akhirnya berkata.
"Bensinnya abis, Mak. Lupa kalau sudah seminggu gak isi bensin," kata Alea pada emak nya dengan sesekali menghela nafas.
"Kamu emang kebiasaan, Al. Sifat pelupa mu kapan sembuh. Makanya buruan cari laki," seru mak Ijah, dengan posisi tangan yang berada di pinggang.
Alea mengerutkan keningnya. Ini kan soal motor kenapa pembahasannya jauh sekali pikirnya.
"Mak, ini kan aku lagi bahas motor lho. Bukan laki, terus ngapain topiknya jauh amat ya?" Alea menggaruknya pahanya lalu bertanya pada emak nya, karena semuanya terlalu jauh untuk dibahas.
"Fungsinya kamu cari laki, supaya sifat pelupa kamu sembuh. Ngerti kaga," ucap mak Ijah pada Alea, karena sampai di usianya sudah menginjak 21 tahun, Alea belum juga memperkenalkan teman laki-lakinya selain Alby.
"Ya Allah Mak, sekarang lagi mikir kerja dan belum mikir ke sono. Jodoh sudah diatur kan sama yang maha kuasa, entar juga dikasih."
Hmmmm.
"Sungguh sulit," batin mak Ijah.
Akhirnya mak Ijah masuk karena tidak ingin berdebat dengan Alea, karena bisa-bisa tidak akan menang melawannya ditambah Alea pintar menjawab.
Sedangkan Alea mau tak mau harus naik bus supaya bisa sampai di tempat dirinya bekerja.
Huff.
"Naik bus lagi ah, ah naik bus lagi." Dengan berjalan keluar gang, dan sambil berdendang ria. Akhirnya Alea sampai juga di jalan lalu menunggu kedatangan bus untuk di naikinya.
Benar saja, tidak memakan banyak waktu yang sudah ditunggunya sudah datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!