NovelToon NovelToon

LILY

CHAPTER - 01

Malam itu Lily nampak sangat cantik dengan balutan flowly dress ala Korea, yang terbuat dari kain berbahan tule yang kemudian diberi sentuhan berupa brokat dan ruffle di atasnya. Tambahan penggunaan hijab dengan warna senada membuatnya tampil anggun, di acara ulang tahun Gavin yang ke 17 yang di rayakan di sebuah restoran mewah di kawasan Jakarta selatan.

"Anak gadis Mommy cantik sekali," Luna mengulurkan tangannya, memeluk dan mengecup kedua pipi Lily, ia menoleh sekitar mencari keberadaan Fay. "Mommymu di mana Sayang?" tanyanya. Sedari tadi Luna hanya melihat Lily datang bersama Kendra dan Erlangga Pradipta Bumantara, atau yang biasa di sapa Tara.

Ya, Tara merupakan anak kandung Kendra dan Fay, yang kini usianya masih 15 tahun, namun karena prestasinya yang sangat mengagumkan, ia berhasil naik tingkat sebanyak dua kali, sehingga kini Tara bisa satu kelas dengan Lily dan Gavin.

"Mommy masih di jalan, mungkin sebentar lagi sampai," jawab Lily.

"Pasti Mommymu baru pulang dari rumah sakit," Luna mencoba menebaknya.

Lily tersenyum sembari mengangguk. "Iya, hari ini Mommy ada jadwal jaga di ICU," ucap Lily dengan bangga, ia begitu mengagumi dan bangga terhadap ibu sambungnya itu.

Setelah lulus dan mengambil sertifikasi profesi dokter, Fay melanjutkan pendidikan spesialis saraf. Kini ia bertugas di rumah sakit swasta di Jakarta, di tengah kesibukannya yang padat, ia berusaha untuk tetap meluangkan waktunya bersama keluarga kecilnya, meski terkadang ia sering datang terlambat.

"Oh ya sudah kalau begitu." Luna mempersilahkan Kendra dan kedua anak-anaknya untuk duduk dan menikmati makanan yang sudah di pesan. "Makan yang banyak ya Sayang," bisik Luna kepada Lily, ia mengelus bahu Lily dengan lembut.

Selama acara makan malam, Gavin tak hentinya tersenyum memandangi wajah cantik Lily yang duduk di hadapannya. Ia kemudian menoleh ke arah ke kedua orang tuanya. "Dad, hadiah ulang tahunku mana?" tanyanya dengan tidak sabar, layaknya anak kecil usia 5 tahun yang menagih janji hadiah dari orangtuanya.

Luna mengeluarkan kotak hadiah yang sudah ia siapkan untuk putra tunggalnya. "Untung Mommy bawa, tadinya Mommy mau kasih di rumah saja," goda Luna sembari tertawa. Ia mengulurkan kotak tersebut kepada putranya.

Dengan rasa bahagia Gavin langsung membuka kotak hadiah yang berisi KTP, SIM dan juga kunci mobil yang sudah satu minggu yang lalu ia tunggu.

Sebenarnya ulang tahun Gavin jatuh pada minggu lalu, namun ia baru merayakan hari pertambahan usianya itu ketika daddynya pulang. Maklum, sebagai seorang yang bekerja di laut, Brandon tidak bisa pulang setiap hari, namun setiap hari ia rutin menghubungi istri dan anaknya untuk mengetahui kondisi mereka.

"Selamat ya, Vin. Sekarang kamu sudah punya KTP dan sudah boleh mengemudi," ucap Kendra.

Gavin tersenyum sumringah. "Thank you, uncle. Mulai besok aku ke sekolah bawa mobil sendiri," ia melirik ke arah Lily. "Berangkat sama aku ya, Ly."

Lily hanya terdiam, ia tahu jika daddynya tidak akan mengizinkan dirinya jalan dengan pria tanpa di dampingi oleh Tara.

"Ya sama loe juga, Tar. Kita seperti biasa berangkat bertiga, hanya saja kita sudah tidak pakai supir," lanjut Gavin.

Tara hanya mengangguk sembari mengacungkan jari jempolnya, kemudian ia kembali menikmati hidangan makan malamnya.

Fay baru tiba di restoran saat mereka selesai makan. "Selamat ulang tahun ya Gavin," ia mengulurkan paper bag berisi hadiah untuk Gavin.

"Thanks, Aunty."

Fay kemudian menghampiri Luna. "Maaf ya aku terlambat," ia memeluk dan mencium pipi Luna.

Luna membalas pelukan hangat Fay. "Tidak apa-apa, Fay. Aku pesankan makanan kesukaanmu ya," ia mempersilahkan Fay untuk duduk kemudian memanggil pelayan.

Baru saja Fay duduk di samping suaminya, Gavin beranjak dari tempat duduknya, ia berjalan menghampiri Lily, dan kemudian berlutut sembari mengulurkan sebuah kotak beludru di hadapannya. "Ly, dihadapan kedua orang tua kita. Aku ingin mengungkapkan perasaan yang sudah lama sekali aku pendam, selama ini aku menahannya karena mommy dan daddyku melarangku berpacaran sebelum usiaku genap 17 tahun," ia melirik ke arah orangtuanya.

Luna melotot seolah, ia protes mengapa mengatakan larangan itu kepada Lily.

"Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lagi memendamnya, aku ingin kau tahu bahwa aku begitu menyayangi dan mencintaimu. Kamu mau kan jadi pacarku?" Gavin menatap Lily dengan tatapan penuh harap.

Lily memalingkan wajah menghadap daddynya, untuk meminta persetujuan darinya. Mata berbinar penuh harap seperti Gavin menatapnya, sehingga Kendra tak mampu menolak permintaan putri sulungnya, ia pun mengangguk, memperbolehkan Lily berpacaran dengan Gavin.

Mendapat persetujuan dari daddynya, Lily pun mengangguk menerima Gavin sebagai ke kasih hatinya.

Gavin tersenyum bahagia, baginya Lily adalah kado terindah di hari ulang tahunnya. Ia bergegas menyematkan gelang manis yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari, di pergelangan tangan Lily. "Thank you baby, kamu adalah hadiah terbaik yang pernah aku miliki," ia mengecup tangan Lily.

Melihat tangan putrinya di cium oleh Gavin sontak saja Kendra langsung berdeham. "Jadikan hubungan ini, sebagai semangat kalian untuk berprestasi lebih baik lagi," ucap Kendra. "Kalau nilai kalian sampai turun atau hubungan kalian menggagu sekolah, kalian harus putus."

"Siap, uncle." Gavin kembali ke tempat duduknya, sambil terus memandangi Lily.

"Dan satu hal lagi," Kendra menatap Gavin dengan tatapan tajamnya. "Kalian harus tahu batasannya!!"

"Baik, uncle. Aku akan menjaga Lily dengan baik."

Berbeda halnya dengan Kendra yang menyetujui hubungan Gavin dan Lily, Fay justru menentang hubungan mereka, hal itu ia ungkapkan saat mereka tiba di kediaman mereka dan saat Lily dan Tara sudah masuk ke kamarnya masing-masing.

"Kamu ini apa - apan sih Ken. Lily itu masih kecil, belum saatnya ia mengenal cinta-cintaan, kalau nanti nilainya semakin merosot bagaimana? Kamukan tahu kan, kalau nilai-nilai Lily tak cukup bagus untuk ujian nasionalnya tahun depan," protes Fay, ia mengambil segelas air putih untuk meredakan emosinya.

Kendra menghela nafas beratnya. "Aku tahu, nilai-nilai Lily tidak sebaik Tara. Tapi aku harap dengan adanya hubungannya bersama Gavin, membuatnya semakin semangat belajar. Toh dulu kita juga tetap bisa berprestasi, meski kita pacaran."

Fay menaruh gelasnya di atas meja makan, ia menatap Kendra dengan tatapan tajam. "Pergaulan zaman sekarang dengan zaman kita dulu sangat jauh berbeda, Ken!!" bantahnya. "Lagi pula, sebelum kita berpacaran, nilai-nilai kita sudah bagus, sementara Lily??? Aku capek Ken, tiap kali bagi rapot wali kelasnya menegurku karena nilai-nila Lily yang..."

Di tengah perdebatannya bersama istrinya, Kendra merotasikan matanya ke arah pintu dapur, ia melihat sosok Lily berlari menjauh dari dapur. Kendra menduga jika Lily mendengar semua pembicaraanya dengan Fay. "Lily... Lily tunggu, nak!!" Kendra beranjak dari tempat duduknya. "Mulai semester depan, aku yang akan mengambil rapot Lily," ucap Kendra kepada istrinya, ia kemudian berlari mengejar putrinya.

CHAPTER - 02

Tok... Tok... Tok...

"Boleh daddy masuk?" tanya Kendra dari balik pintu kamar putrinya.

Tak ada yang berubah dari kamar Lily sejak Amanda mempersiapkannya, Lily tak ingin merubah apa pun yang sudah ibunya buatkan untuknya, ia hanya mengganti tempat tidur dan menaruh foto ibunya di kamarnya.

Lily buru-buru menyeka air matanya dengan jemarinya. "Iya, dad." ia mempersilhkan daddynya masuk.

Kendra melangkah, lalu di tempat tidur Lily, "Mommy tidak bermaksud melarangmu berpacaran dengan Gavin, dia hanya khawatir nilai-nilaimu merosot." Ia membelai kepala Lily dengan lembut, setiap kali melihat Lily bersedih, Kendra seperti melihat Amanda ketika bersedih. Dan itu membuat Kendra teringat akan janjinya pada Amanda akan selalu menjaga dan membuat Lily bahagia.

"Harusnya kamu jadikan ini sebagai motivasi untuk membuktikan, bahwa hubunganmu dengan Gavin membawa kalian ke arah yang lebih baik," ucap Kendra. "Jangan sedih lagi ya, nak. Nanti daddy akan bicara pada mommy, daddy yakin jika kamu mampu meningkatkan prestasimu di sekolah, mommy akan membolehkanmu berpacaran dengan Gavin."

Lily memangaguk. "Terima kasih ya, dad," ia memeluk daddynya dengan hangat.

Kendra mengelus tangan Lily yang melingkar di pinggangnya, "Boleh daddy minta sesuatu padamu?"

Lily mengangguk.

"Jangan ciuman dulu ya, sama Gavin," pintanya. "Dulu, waktu daddy dan mommy berpacaran, kami tidak pernah berciuman dan tidak melakukan hal yang lebih dari sekedar berpegangan tangan. Jaga marwahmu ya, nak."

Lily kembali mengangguk. "Baik, daddy," ucapnya dengan penuh keyakinan, rasanya tidak akan sulit karena dari kecil ia sudah bermain bersama Gavin, Gavin tak pernah macam-macam kepadanya. "Apa dulu daddy juga berpacaran dengan mommy Amanda?" tanya Lily penasaran, ia jarang sekali mendengar daddynya menceritakan tentang mommy kandungnya.

Kendra terdiam sesaat, kemudian menggeleng. "Daddy dan mommy Manda tidak pernah berpacaran. Kami menikah kurang dari satu bulan setelah kami berkenalan," ia menepuk bantal meminta putrinya untuk beristirahat. "Sudah malam, ayo tidur. Nanti besok kesiangan loh!!"

Lily menghembuskan napasnya, sebenarnya ingin sekali ia mendengar kelanjutan cerita kisah asmara daddy dan mommy kandungnya, tapi seperti biasa daddynya selalu langsung mengakhirinya dan terlihat enggan untuk membahas ibu kandungnya.

"Nice dream sweety," Kendra mengecup kening putrinya kemudian menarik selimut hingga ke dadanya.

"Nice dream, dad," ucap Lily ketika Kendra sudah mematikan lampu kamarnya, kemudian Kendra keluar dari kamar Lily.

Kendra terkejut saat melihat Fay berdiri di depan kamar Lily, Fay hanya menghebuskan napas beratnya, lalu ia melangkah menuju kamarnya di ikuti oleh Kendra di belakangnya.

Begitu masuk ke kamar, Fay melipat tangannya dan menatap Kendra dengan tatapan tajam. "Ken, kamu itu sadar enggak sih kalau Lily itu sekarang sudah remaja?"

Rasanya Kendra sudah terlalu lelah terus menerus berdebat mengenai Lily. "Apa lagi sih Fay?"

"Sudah saatnya kamu menjaga jarang dengan Lily. Dia bukan balita lagi, dia sudah akil baligh. Kamu dan dia tidak pantas berpelukan, dan bahkan menciumnya."

Kendra menunduk, sebenarnya ia sudah menyadari hal itu sejak Lily duduk di bangku sekolah menengah pertamanya, namun rasa sayang yang ia memiliki kepada Lily benar-benar tulus layaknya seorang ayah kandung kepada anaknya, seperti dirinya sayang kepada Tara, ia tak sanggup jika harus menjaga jarak dengan Lily terlebih ketika Lily tengah bersedih seperti tadi.

Lagi pula Kendra tak punya alasan yang akan ia katakan kepada Lily, mengapa dirinya menjaga jarak dengannya, ia tak ingin mengatakan jika Lily bukanlah anak kandungnya.

"Dia putriku!!" Kendra berlalu meninggalkan Fay, ia memilih untuk beristirahat di kamar putra bungsunya.

Pagi harinya, Gavin datang menjemput Lily di unit apartemenynya. Kedatangan Gavin seperti biasanya di sambut hangat oleh Kendra. "Hai, Vin. Sudah sarapan?" tanya Kendra dari dapur, ia tengah membuat french toast untuk anak-anaknya.

Kebetulan Fay sudah berangkat ke rumah sakit sejak jam 05.30 pagi tadi, sehingga dirinya-lah yang membuat sarapan untuk kedua buah hatinya.

"Sudah, uncle," jawab Gavin. "Lilynya belum turun, uncle?" ia memandang ke arah tangga lantai dua tempat dimana kamar Lily berada.

Belum sempat Kendra menjawab pertanyaan Gavin, ia sudah mendengar suara putrinya. "Morning dad," ia berlari menghampiri Kendra di dapur. "Aku sarapan di jalan ya dad, takut telat." ia memasukan french toast buatan daddynya ke tempat makan.

"Loh masih jam 06.15 sayang," ucap Kendra heran.

"Aku buru-buru, takut kejebak macet, mau ada ulangan harian matematika juga." Lily menaruh kotak bekalnya di dalam tasnya. "Pergi dulu ya, dad. Assalamualaikum." Lily mengecup pipi daddynya kemudian ia bergegas pergi dari dapur. Saat melewati meja makan, ia menarik Tara. "Ayo, berangkat.."

"Aku belum selesai, kak..."

Tak menghiraukan ucapan Tara, Lily tetap menarik Tara keluar dari apartement. Gavin hanya tertawa melihat kegalakan kekasihnya, ia mengikuti Lily dari belakang.

Di perjalanan menuju sekolah, Gavin bertanya kepada Lily mengapa dia meminta dirinya menjemput lebih awal dari biasanya.

"Aku mau ke makam mommy sebentar, boleh ya Vin."

Gavin mengelus tangan Lily dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya tetap memegang kemudi. "Boleh dong sayang, lagi pula masih satu arah menuju sekolah kita."

"Loh, kok cuma Gavin yang di kasih tahu. Kenapa kakak tidak memberi tahuku juga kalau kita akan berangkat lebih awal, aku kan jadi tidak sempat menghabiskan sarapanku!!" protesnya.

Lily membuka tasnya dan mengambil kotak bekal, kemudian ia memberikannya kepada Tara. "Maaf aku lupa!!"

Awalnya Lily ingin ke kamar Tara setelah ia mengambil minum di dapur, namun karena ia mendengar perdebatan orangtuanya mengenai hubungannya dengan Gavin, ia lupa jika ingin ke kamar Tara.

"Kau habiskan saja, aku tidak lapar!!" ucap Lily, kemudian ia meminta Gavin menepikan kendaraannya di depan toko bunga.

"Biar aku saja yang beli," ucap Gavin, ia membuka sabuk pengaman kemudian turun dari mobilnya.

Tak enak karena merepotkan Gavin, Lily pun ikut turun menyusul Gavin masuk ke toko bunga. "Banyak sekali bunga yang kamu beli?" ia melihat Gavin bukan hanya membeli bunga tabur namun juga, buket bunga mawar putih.

"Ini buatmu sayang," ia memberikan kepada Lily.

Lily tersenyum. "Terima kasih ya sayang," ucapnya malu-malu sembari mencium aroma bunga yang di berikan Gavin untuknya.

"Tadi kamu ngomong apa?" Gavin meminta Lily untuk mengulang ucapan sayangnya.

Wajah Lily merah padam. "Udah yuk, nanti kita telat loh!!" ia mengalihkan pembicaraan.

Gavin tertawa melihat kekasihnya nampak salah tingkah. "Ayo, katakan sekali lagi, aku ingin mendengarnya," desak Gavin. "Ayo katakan lagi."

Lily kesal karena Gavin terus mendesaknya. "Gaviiiinn..."

"Ya sudah yuk, kita jalan lagi," ia meraih tangan Lily, kemudian menggandengnya masuk ke mobilnya.

CHAPTER - 03

Di depan pusara ibundanya, Lily berdoa dengan khusyuk. Setelah berdoa tak lupa ia bercerita jika dirinya dan Gavin sekarang sudah resmi berpacaran. Hampir setiap kali berziarah ke makam ibundanya, Lily selalu bercerita mengenai apa yang terjadi dalam harinya.

Gavin yang berdiri di belakang tubuh Lily tersenyum saat mendengar Lily menceritakan tentang dirinya. 'Aku akan menjaga dan menyayangi Lily dengan sepenuh hatiku,' batin Gavin.

Sementara Tara memilih untuk menunggu di mobil sembari membaca buku, baginya lebih baik menunggu di mobil agar kakaknya bisa fokus berdoa dan lebih leluasa untuk bercerita kepada ibundanya.

"Mom hari ini aku ada ulangan harian matematika, doakan aku ya agar aku bisa menjawab semua soalnya," Lily mengelus dan mengecup nisan ibundanya. "Aku ke sekolah dulu ya mom, setelah pulang dari Jogja, aku akan datang lagi, bye mom."

Lily menaruh bunga lily di samping foto ibundanya kemudian ia beranjak dari makam ibundanya dan mengajak Gavin untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah.

"Byy, besok kamu mau ke Jogja?" tanya Gavin sembari mengemudikan kendaraannya.

Lily mengangguk, "Ada acara anniversary eyang di Jogja, kami sekeluarga pulang kampung," ia menangkap raut kesedihan pada wajah kekasihnya. "Kamu enggak usah sedih gitu dong, aku cuma dua hari saja kok. Bukankah kita sering berpisah saat liburan?"

"Aku enggak sedih, byy. Aku cuma... Entahlah..." Gavin sendiri tak tahu mengapa kali ini rasanya begitu berat. 'Mungkin karena baru jadian, jadinya aku merasa rindu dengan Lily,' batinnya.

Lily memegang tangan Gavin. "Kamu tidak perlu khawatir, kita kan bisa telepon atau video call."

Gavin tersenyum sembari menganggukan kepalanya, ia menepikan kendaraannya di parkiran sekolah tepat saat bel masuk berbunyi. Mereka bertiga bergegas ke ruang kelas karena ulangan harian matematika, berada di jam pertama.

Saat ulangan harian berlangsung, Gavin dan Tara nampak terlihat enjoy, mereka berdua bisa dengan mudahnya menjawab semua soalan. Sementara Lily, meski ia sudah belajar sebelumnya, ia masih merasakan kesulitan dalam mengerjakan soal.

Di dua puluh menit terakhir sebelum ulangan berakhir, Gavin nampak memperatikan guru matematika yang tengah mewasi mereka, begitu guru itu lengah, dengan cepat Gavin menoleh ke arah Lily yang duduk tepat di belakangnya, dan menyelipkan sebuah kertas kecil, di antara lembar soal Lily. "Ayo cepat kerjakan!!" bisik Gavin.

Tara yang tak sengaja melihat kejadian itu pun langsung melaporkan kakaknya ke guru matematikanya. Lily hanya bisa pasrah saat lembar jawabannya di ambil oleh gurunya, dan tanpa berkata apa pun Lily langsung keluar kelas ketika gurunya menyuruhnya keluar.

Sementara Gavin nampak terlihat marah dan tidak terima melihat guru matematikanya menyuruh Lily keluar, ia pun merobek lembar jawaban miliknya dan langsung bergegas menyusul Lily, sembari berjalan keluar kelas, ia menatap Tara dengan tatapan membunuh.

Gavin berlari menyusuri koridor kelas untuk mengejar Lily. "Lily tunggu!!"

Lily menoleh kebelakang, ia terkejut melihat Gavin menyusulnya. "Gavin, kamu ngapain keluar kelas?" tanya Lily saat Gavin sudah berdiri di hadapannya.

"A-aku tidak mau ikut ulangan jika kau tidak ikut," ucapnya ragu-ragu.

"Gavin, nanti kamu bisa di marahin mommy kamu." Lily membalik tubuh Gavin ke arah kelasnya. "Pokoknya kamu harus balik lagi ke kelas, kamu selesaikan ulanganmu."

"Percuma Ly, sudah tidak bisa." Gavin kembali menoleh ke arah Lily. "Kertas soal dan jawabannya sudah aku robek."

Seketika tubuh Lily menjadi lemas, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kita dalam masalah besar, Vin."

Gavin menarik tangan Lily, menuju kantin sekolah. "Sudahlah tidak usah dipikirin, aku punya solusi yang bagus. Lebih baik kita makan, dari pagi tadi kamu belum sarapan."

"Tapi,Vin..."

"Percaya sama aku, semuanya akan baik-baik saja," Gavin terus menggandeng tangan Lily menuju kantin.

Di kantin Gavin memesan roti bakar coklat dan dua jus alpukat kesukaan Lily, baru kemudian Gavin menghampiri Lily yang sudah terlebih dahulu duduk. "Maafin aku ya sayang, gara-gara aku, kamu jadi terkena masalah. Harusnya tadi aku lebih hati-hati agar tidak ketahuan."

Lily tersenyum masam. "Ini bukan salahmu, Vin. Ini salahku yang terlahir bodoh," ia sudah pasrah jika nilainya semakin merosot dan bahkan orangtuanya akan menyuruhnya putus dengan Gavin.

"Enggak, Ly. Kamu sama sekali tidak bodoh, kamu sungguh mengagumkan di bidang seni, aku sangat bangga padamu sayang."

Beberapa kali saat masih duduk di sekolah menengah pertama, lukisan karya Lily memenangkan perlombaan, namun sayangnya hobby itu kurang di apresiasi oleh Fay dan Kendra mengingat nilai-nilai akademis Lily sangat memprihatinkan, Lily nyaris tidak naik kelas karena sibuk dengan lukisannya. Fay juga memberikan pandangan jika prospek di bidang seni kurang menguntungkan untuk kedepannya, sehingga Fay meminta Lily untuk mencoba bidang lainnya.

"Kamu tidak perlu cemas, Ly." Gavin merogoh sakunya, ia mengambil handphone untuk menghubungi daddynya. "Aku akan jelasin semuanya ke daddy sebelum Bu Rini mengadu ke wali kelas kita dan kemudian menghubungi orangtua kita. Aku akan meminta daddyku untuk menghubungi kepala sekolah, agar wali kelas kita tak menghubungi orangtuamu."Gavin yakin sekali jika daddynya akan membantunya.

"Jangan, Vin!!" cegah Lily.

Gavin menahan jarinya untuk memencet nomor daddynya. "Kenapa?"

"Sudahlah aku tidak ingin menambah masalah," Lily tak ingin Gavin menggunakan kekuasaannya untuk membantunya, terlebih ia merasa jika kejadian ini memang salahnya. "Bertanggung jawablah dengan apa yang sudah kita lakukan!!"

"Tapi, Ly..."

"Please, Vin. Kali ini saja..."

Gavin mengangguk dan menyimpan kembali handphonenya di saku, keduanya menikmati sarapan mereka. Hingga tak terasa bel istirahat pun berbunyi. Dari kejauhan Gavin melihat Tara bersama teman-temannya berjalan mendekat ke arah mejanya.

Dengan tidak sabar, Gavin langsung menghampiri Tara dan menarik kerah bajunya. "Maksud loe apa, ngaduin kakak loe sendiri? Tega ya loe sama kakak loe sendiri."

Melihat Gavin menyerang adiknya, dengan reflek Lily melerainnya. "Vin, udah Vin..." Ia menarik tangan Gavin lepas dari kerah pakaian adiknya, Lily semakin panik karena mereka bertiga menjadi pusat perhatian, ia takut ada guru yang lewat dan masalah akan semakin rumit.

Gvin semakin kencang menarik kerah pakaian Tara. "Enggak bisa Ly, dia udah jahat sama kamu.."

"Vin please, lepasin Tara!!" teriak Lily, "Dia adikku, Vin." Buliran-buliran bening mulai jatuh di pipinya.

Melihat Lily menangis, Gavin pun melepaskan cengkramannya dari pakaian Tara. Tara terbatuk dan segera merapihkan kembali pakaiannya. "Makanya kalau mau bisa jawab soal itu belajar. Jangan nyontek terus!" ucap Tara, sembari berlalu melewati Lily dan Gavin.

Ingin sekali rasanya Gavin menarik Tara kembali, namun Lily melarangnya, Lily terus memegangi tangan Gavin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!