“Tuan Enver, saya sungguh memohon perpanjangan waktu lagi,” ujar seorang lelaki yang kini sedang bersimpuh di lantai dengan menundukkan kepala.
Lelaki paruh baya itu bernama Emir dan ia pemilik dari perusahaan Morgan Group yang baru saja di dikabarkan bangkrut dalam sekejap mata. Emir di tipu oleh rekan bisnisnya dan membuat semua asetnya di sita oleh pihak bank sebab tidak bisa membayar padahal sudah lewat jatuh tempo. Emir sempat berhutang pada Tuan Enver untuk investasi sialan itu dan tidak disangka ternyata ia di tipu dan kini ia harus berurusan dengan Tuan Enver-pembisnis sukses di negara ini dan merupakan salah satu lelaki terkejam yang tak memiliki belas kasih.
“Masukkan kedalam penjara! Berikan hukuman mati!” perintah Tuan Enver pada Fan asistennya.
Tuan Enver tidak pernah suka jika ada orang yang melanggar janji dengannya dan hukuman yang pantas ialah hukuman mati! Sorot mata tajam Tuan Enver seakan bisa membekukan semua benda yang ada didalam ruangan ini. Mata elang itu mampu membuat lawan bicaranya bergetar karena ketakutan. Berbicara dengan Tuan Enver secara langsung sama dengan berbicara dengan malaikat pencabut nyawa jika bisa diibaratkan.
“Baik, Tuan Enver,” jawab Fan.
Emir yang mendengarkan titah Tuan Enver langsung mengangkat pandangannya dengan tubuh yang bergetar semakin hebat. Emir sudah menduga jika lelaki kejam dihadapannya tak akan pernah memberikannya tambahan waktu dan akan langsung mengambil tindakan tegas.
Emir harus bisa membujuk Tuan Enver, tak masalah jika gagal yang penting berusaha saja dulu. Kira-kira seperti itulah yang ada didalam pikiran Emir sekarang.
Tuan Enver langsung beranjak berdiri dari posisi duduknya. Emir yang melihat akan hal itu langsung menyodorkan ponselnya.
"Apa yang kau lakukan!” teriak Fan.
Fan hendak menjauhkan Emir dari Tuannya itu namun, Tuan Enver langsung mengangkat tangannya sebagai isyarat jika ia ingin mendengarkan penjelasan dari Emir. Fan segera menganggukkan kepalanya kemudian kembali melangkah mundur.
Emir menghela nafas lega ketika mengetahui jika Asisten Fan tidak jadi menghalanginya untuk berbicara dengan Tuan Enver. Sekujur tubuh Emir sudah dipenuhi dengan keringat sebesar biji jagung bahkan keringat itu sampai menetes di lantai. Atmosfir didalam ruangan ini seakan membuat ac yang bekerja sebagai pendingin tak bisa melakukan tugasnya dengan benar sampai membuat Emir merasa gerah dan hampir dehidrasi.
“Bicara!” titah Tuan Enver dengan rahang yang terangkat penuh kesombongan.
“Tuan Enver, saya memang sudah tidak memiliki apapun lagi untuk saya tawarkan pada Anda. Tapi saya masih memiliki seorang putri yang begitu cantik dan dia masih duduk di bangku kuliah,” kata Emir sembari menyodorkan kembali ponselnya.
Tuan Enver melihat kearah ponsel yang kini di pegang oleh Emir. Kedua matanya langsung membulat penuh ketika melihat gambar seorang gadis cantik yang terpampang nyata dilayar tersebut. Fan yang melihat perubahan wajah Tuan Enver pun segera maju satu langkah kemudian ikut melihat kearah ponsel Emir.
“Bukankah dia gadis tangguh yang berani menghina kamu tadi,” kata Fan.
Kalian jangan heran jika tiba-tiba Fan bisa bersikap santai dan tidak formal pada Tuan Enver karena Fan adalah sahabat Tuan Enver sekaligus asisten yang selalu bisa ia andalkan.
Flashback.
Waktu itu Tuan Enver sedang berkunjung kesalah satu kampus dan ia adalah salah satu donatur terbesar di kampus tersebut. Tuan Enver dan juga Fan ingin berkeliling kampus yang sedang dalam proses pembangunan karena wilayah kampus ini akan di perluas menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Pemimpin kampus tersebut menunjuk seorang siswi-nya untuk mengajak Tuan Enver berkeliling kampus ini dan siswi itu adalah Dilara.
Dilara menolak, tapi dia mendapatkan hukuman karena tidak mengerjakan tugas dari Dosen dan ketahuan bertengkar dengan siswa lainnya. Akhirnya Dilara di hukum untuk mengantarkan Tuan Enver berkeliling kampus ini. Dilara memiliki wajah yang sangat cantik sekali dan ia juga di sebut sebagai bidadari kampus. Dan karena alasan itulah Pemimpin kampus memilihnya dengan embel-embel jika Dilara tidak perlu membayar biaya lagi selama melanjutkan pendidikkannya di kampus ini karena ia akan diberikan beasiswa.
Dilara menghentikan langkahnya tepat di depan rumah megah yang memiliki pagar berwarna hitam menjulang tinggi. Kini Dilara berdiri dihadapan beberapa lelaki dengan jas hitam yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya itu. Terdapat garis polisi yang bertuliskan jika rumah ini terlah di sita.
Dilara yang tidak percaya pun mencoba bertanya kebenaran tulisan tersebut dan salah satu pengawal itu mengatakan jika rumah miliknya telah di sita oleh pihak Bank. Dilara berusaha untuk masuk kedalam rumahnya tapi para pengawal tidak mengijinkan dan malah mendorong Dilara hingga jatuh ke aspal. Seseorang membantu Dilara berdiri dan Dilara baru sadar jika seseorang yang kini sedang membantunya adalah Emir-papanya. Emir segera mengajak Dilara menjauhi rumah mereka dan dengan berat hati Dilara mengikuti Emir kemudian mereka duduk di halte yang tidak jauh dari kediaman mereka tersebut.
“Papa, kenapa rumah kita juga ikut di sita?” tanya Dilara pada Emir.
“Papa mengadaikan sertifikatnya pada pihak Bank,” jawab Emir jujur.
“Kalau begitu sekarang kita akan tinggal dimana?” tanya Dilara.
“Papa sudah menemukan tempat tinggal yang layak untuk kamu, tapi kita tidak akan tinggal bersama,”
“Dilara ingin tinggal bersama dengan Papa,”
“Dilara, Papa ingin kamu tetap melanjutkan kuliah sedangkan Papa sekarang tak memiliki sepeserpun uang ….” Dilara memotong ucapan Emir.
“Papa tidak perlu merasa cemas karena Dilara sekarang sudah mendapatkan beasiswa karena telah mengantarkan salah satu donatur di kampus kami untuk berkeliling,” Cerita Dilara pada Emir.
“Apakah hanya karena masalah itu kamu mendapatkan beasiswa?” tanya Emir memastikan dan Dilara langsung menganggukkan kepalanya. “Memangnya siapa nama donatur itu?” tanya Emir lagi.
Dilara mengangkat kedua bahunya secara bersamaan lalu berkata, “Entahlah, tidak penting siapa dia, karena yang terpenting Dilara tidak perlu mencari uang untuk membayar biaya kampus,” jawab Dilara tidak acuh.
“Selama ini Papa tidak pernah perduli padaku dan yang ia pikirkan hanya tentang uang dan juga bisnis. Mungkin ada sisi positifnya juga kenapa perusahaan Papa bisa bangkrut, untuk kali pertama aku melihat Papa memikirkan tentang nasibku,” batin Dilara yang merasa senang bisa mendapatkan perhatian dari Emir.
Mama Dilara sudah meninggal karena melahirkannya dan sejak saat itu dia hanya hidup dengan Emir saja-papa kandungnya. Emir begitu mencintai istrinya dan ketika tahu jika istrinya meninggal karena melahirkan putrinya, Emir pun membenci Dilara karena kelahirannya, nyawa istri tercinta tak bisa diselamatkan. Sejak dari kecil Emir selalu sibuk bekerja dan membiarkan Dilara bersama para pelayan, tapi Dilara tetap menyayangi Emir dengan sangat tulus karena lelaki itu adalah keluarga yang ia miliki, meskipun tidak dapat dipungkiri jika Dilara kerap merasakan sakit hati ketika sikap Papanya yang semene-mena dan tak pernah menggangap keberadaanya penting di dalam hidupnya.
Emir mengarahkan kedua tangannya untuk menyentuh pundak Dilara dan manik lelaki itu memancarkan bujukan supaya sang putri luluh dan dengan mudah menyetujui keinginannya. Dilara mencoba untuk mengamati kedua manik mata sang Papa yang untuk kali pertama terlihat teduh padanya, didalam hati Dilara mulai merasa curiga dengan perubahan sikap Emir saat ini, tapi Dilara mencoba untuk percaya dengan sorot mata teduh yang seakan ingin melindunginya dari kekejaman dunia.
“Dilara, Putriku. Papa akan di penjara jika sampai tidak membawa kamu pada Tuan Enver sekarang.” Ucapan Emir terdengar bagaikan petir yang menyambar di telinga Dilara di siang bolong.
Runtuh semua kebahagiaan dan juga semua pemikiran positif Dilara tentang lelaki yang ada dihadapannya saat ini. Keraguan yang tadi sempat Dilara kikis mulai menyelimuti tubuhnya dan juga menghancurkan kepercayaannya jika orangtua akan selalu melindungi anak-anak mereka. Emir bahkan bertingkah seperti orangtua angkat sungguh membuat Dilara merasa kecewa.
Dilara langsung menjauhkan tangan Emir dari pundaknya. Dadanya terasa sangat sesak sekali setelah mengetahui maksud dari Papanya itu. Rasa panas dari hidung dengan cepat mulai merambat ke kedua bola mata Dilara sekarang.
“Papa sedang mencoba menyelamatkan diri Papa dari jerat jeruji besi dengan mengorbankan aku,” kata Dilara dengan suara yang bergetar penuh kebencian. “Biarkan saja Papa masuk kedalam penjara, Dilara tidak perduli,” teriak Dilara disela-sela isak tangisnya.
“Dilara, Papa memang bersalah. Tapi Papa tidak ingin masuk dalam penjara,” kata Emir mencoba membujuk Dilara dengan kesedihannya. Ya, Emir memang sedih-sedih memikirkan nasibnya sendiri.
“Dilara tidak mau, Dilara memiliki seorang kekasih dan akan menjalin hubungan dengannya ketika lelaki itu kembali ke negara ini,” kata Dilara dengan memejamkan matanya.
“Persetan dengan kekasih kamu itu, dia tidak pernah membantu keluarga kita dan dimana dia sekarang ketika perusahaan Papa hancur,” teriak Emir mulai di kuasai emosi. “Papa sudah kehilangan istri Papa, dan wanita itu meninggal karena melahirkan kamu, karena alasan itu aku begitu membenci kamu, kau anak tidak tahu di untung dan kau anak pembawa sial.”
Dilara jatuh ke aspal ketika mendengarkan ucapan kasar keluar dari mulut Emir. Dilara menangis terisak dan tiba-tiba ia merasakan pusing kepala hingga pandangannya kabur kemudian tidak sadarkan diri.
***
Dengan perlahan tapi pasti Dilara mulai membuka mata. Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dilara melihat Emir kini sedang berdiri menatapnya, kemudian Dilara sadar jika ia sedang tertidur di sofa. Dengan perlahan tapi pasti Dilara mulai mendudukkan tubuhnya dengan mata yang masih terpejam karena menahan nyeri di kepala.
“Sayang, kamu sudah bangun,” kata Emir sok perhatian.
“Jangan sok perhatian padaku, sebanyak apapun Papa merayu aku tak akan pernah mau mengikuti perintah Papa. Biarkan saja Papa masuk kedalam penjara.” Teriak Dilara yang masih memejamkan matanya. “Andaikan saja waktu itu aku tahu jika kelahiranku membuat Mama meninggal, maka aku lebih memilih tidak terlahir kedunia ini atau aku akan memilih pergi bersama Mama saja, untuk apa aku terlahir kedunia ini jika hanya mendapatkan kesedihan karena Papa kandungku mengganggapku sebagai musuh dan bukan putrinya,” sambung Dilara dengan air mata yang berderai.
“Jaga ucapan kamu Dilara,” kata Emir dengan sentengah suara yang tertahan di tenggorokannya.
Jika saja tidak ada Tuan Enver didalam ruangan ini pasti Emir akan menampar Dilara sekarang juga.
Dilara membuka mata kemudian menatap kearah Emir yang sekarang sedang mengeraskan rahangnya seakan lelaki itu ingin memangsanya hidup-hidup. Pandangan Dilara langsung teralihkan oleh sosok lelaki yang sedang duduk di sofa lain sembari menyilangkan satu kakinya bertumpu pada lutut dan menatap Dilara dengan wajah datar.
“Kenapa dia ada di sini?” tanya Dilara pada Emir.
“Jaga ucapan kamu Dilara.” Tangan Emir hendak menyentuh pipi Dilara tapi seseorang langsung mengenggam tangan Emir.
Dilara memejamkan matanya takut dan juga pasrah. “Kenapa tidak ada yang terjadi?” batin Dilara. “Ke-kenapa dia membantuku?” tanya Dilara pada dirinya sendiri.
Dilara melihat jika kini tangan Papanya yang sudah terangkat tinggi ke atas di genggam oleh lelaki yang begitu ingin ia hindari di kampus tadi.
Memangnya siapa lelaki itu sebenarnya? Kenapa Emir nampak begitu ketakutan sekali hingga wajah lelaki itu pucat pasih bagaikan ada ribuan lintah yang menghisap semua darah di wajahnya itu. Kenapa juga lelaki itu ada di tempat ini? Dan apa hubungan Emir dengan lelaki mesum itu?
“Tu-tuan Enver maafkan atas ucapan putri saya, sungguh semua yang ia katakan itu tidak benar, saya begitu menyayanginya,” dusta Emir.
Tuan Enver menghempaskan tangan Emir dengan sangat kasar sampai lelaki itu meringis kesakitan.
“Aku bisa mengetahui semuanya dari cara kamu melunasi semua hutan-hutan kamu dengan mengorbankannya.” Tegas Tuan Enver.
“Sa-saya terpaksa,” sahut Emir dengan nada suara terdengar gugup.
Emir sangat bodoh sekali karena ia mencoba untuk membohongi Tuan Enver yang memiliki kekuasaan tidak main-main di negro A ini.
Dilara langsung beranjak berdiri dari posisi duduknya ketika mengetahui kalau ternyata Emir mencoba menjualnya pada Tuan Enver, orangtua macam apa yang membiarkan putrinya sebagai bahan pelunasan hutang. Dilara sungguh marah sekali dan ia pun mulai beranjak berdiri dari posisi duduknya kemudian melangkah menghampiri Emir.
“Aku tidak mau menurut keinginan Papa, biarkan saja Papa masuk kedalam penjara!” Dilara masih bersikeras dengan keputusannya.
Sesungguhnya di dalam hati Dilara tidak tega melakukan semua ini namun Dilara juga harus memikirkan nasibnya sendiri, lebih lagi ada seseorang lelaki yang ia cintai.
“Tuan Enver. Aku serahkan gadis nakal itu padamu dan terserah mau Anda apakan karena mulai dari sekarang dia sudah tidak menjadi tanggung jawabku lagi,” ujar Emir tanpa belas kasih.
“Aku tidak setuju dan tak akan ada orang yang bisa memaksaku.” Usai bicara Dilara langsung melangkah melewati Tuan Enver. Tangan Tuan Enver menggenggam pergelangan tangan Dilara hingga membuat langka gadis itu terhenti seketika.
"Dilara! Selama ini Papa membayar semua biaya kebutuhan kamu hingga kau bisa hidup dengan layak! Anggap saja kaki ini kamu sedang menebus semua uang yang Papa keluarga untuk menghidupi kamu sampai sebesar ini." Emir sengaja mengungkit tentang kebaikannya pada Dilara karena ia tahu hanya dengan begini saja Emir akan terbebas dari jerat Tuan Enver.
"Baiklah aku akan menuruti permintaan Anda," kata Dilara yang enggan menyebutkan Emir sebagai Papa. “Lepaskan tanganku! Beraninya kau menyentuhku,” bentak Dilara.
“Fan!” panggilan itu sudah membuat Fan mengerti dan langsung menganggukkan kepalanya.
“Tuan, tanda tangan di sini dan setelah ini Anda dan juga putri Anda tidak akan pernah memiliki hubungan lagi,” ujar Fan sembari memberikan berkas dihadapan Emir.
“Dimana aku harus tanda tangan?” tanya Emir tanpa berpikir panjang.
“Apakah tidak sebaiknya jika Anda membacanya terlebih dahulu?” tanya Fan.
“Tidak. Sejak lahir anak itu tak pernah penting bagiku karena kehadirannya hanya akan membawa sial bagiku saja,” ujar Emir menatap kearah Dilara seperti musuh.
“Cih! Aku bahkan bernasib buruk karena memiliki Papa sepertimu,” sahut Dilara dengan tawa menghina.
“Anda tanda tangan di sini Nona,” pinta Fan.
“Lihatlah Emir! Setelah aku menggoreskan tanda tanganku di sini maka detik itu juga aku bukan putri kamu lagi dan hubungan kita juga telah usai, aku akan menganggap kamu tiada,” ujar Dilara.
Dilara langsung menggoreskan tanda tangannya di sana dan setelah itu Fan mengantarkan Emir keluar dari rumah ini.
Dilara melihat Emir dari jauh kemudian perempuan itu pun menjatuhkan tubuhnya yang lemas di atas lantai. Dilara mengigit bibir bagian bawahnya sendiri mencoba untuk menahan rasa nyeri di hatinya. Mungkin ini yang terbaik, tak masalah tidak memiliki keluarga karena sejak Mamanya meninggal Dilara memang sendirian, takdir sungguh mempermainkan hidupnya. Lalu apa yang akan ia lakukan setelah ini?
“Apakah kau sudah selesai mengeluarkan air mata tak berguna itu?”
Suara arogan dan juga angkuh itu terdengar menyelinap di gendang telinga Dilara membuat gadis itu mengangkat pandangannya. Dia melihat lelaki arogan itu duduk di sofa seraya menaruh satu kakinya bertumpu pada lutut dengan rahang yang terangkat angkuh.
“Memangnya apa urusan kamu?” tantang Dilara yang sedang emosi.
Fan sekuat tenaga mengigit bibir bagian bawahnya ketika mengetahui untuk kali pertama ada seorang wanita yang berani menantang Enver dan ini adalah seorang gadis remaja.
“Sepertinya Enver akan kena mental menghadapi Dilara,” batin Fan,
“Fan. Bacakan surat yang telah ia tanda tangani tadi!” titah Tuan Enver.
“Tidak perlu karena itu tidak penting. Aku sudah tahu jika aku di jadikan alat pertukaran hutang. Dan itu juga otomatis memutus hubunganku dengannya,” kata Dilara.
“Anda salah Nona,” ujar Fan.
Dilara mulai beranjak berdiri dari posisi duduknya kemudian menatap kearah Fan yang kini sudah siap membacakan surat perjanjian yang ada di hadapan lelaki itu. Fan mengatakan jika surat yang di tanda tangani oleh Dilara tadi adalah surat pernikahan dan setelah tanda tangannya tergores di sana maka ia resmi menjadi istri Tuan Enver.
Dilara tertawa terbahak-bahak disela-sela tangisannya itu. Dilara menolak untuk percaya apa yang Fan katakan, mana mungkin ada pernikahan yang terlaksana hanya dengan satu kali tanda tangan saja, sungguh lucu sekali. Begitulah kira-kira pemikiran Dilara sekarang.
Fan memberikan kertas itu pada Dilara dan Dilara pun membacanya dengan seksama. Kedua mata Dilara hampir saja lepas dari kodratnya saat ia memastikan jika apa yang Fan katakan adalah benar dan buka dusta seperti apa yang ada didalam pikirannya.
“Aku tidak setuju dengan pernikahan ini, memangnya siapa yang mau menikah dengan kanebo kering seperti kamu! Aku akan merobek kertas ini dan dengan begitu semua akan kembali seperti semula, aku rela menjadi pelayan kamu untuk membayar hutang-hutangnya tapi tidak menjadi istri kamu,” kata Dilara dengan membuang kertas yang sudah ia sobek hingga tak berbentuk lagi itu.
“Ya Tuhan, seharusnya aku merekam semuanya, sungguh ini kejadian yang sangat langkah sekali. Enver di hina habis-habisan oleh gadis remaja ini,” batin Fan dengan perut yang sudah terasa kaku karena mencoba untuk menahan tawa yang hendak keluar dari bibirnya itu.
“Semua wanita ingin menjadi milikku tapi dia justru memilih menjadi pelayan,” batin Tuan Enver dengan rahang yang sudah mengeras.
“Enver, jangan lukai gadis itu. Dia masih remaja dan tidak tahu apa yang ia katakan sekarang,” ujar Fan yang merasa kasihan jika sampai melihat Dilara dilukai oleh sahabat sekaligus bosnya itu.
“Fan diam lah!” bentak Tuan Enver dengan mata iblisnya.
“Kertas yang kau sobek itu bukan yang asli!” tegas Tuan Enver sembari beranjak berdiri dari posisi duduknya.
“Bukan yang asli,” batin Dilara yang seakan sudah terjebak didalam kubang penderitaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!