Ayyana putri fajar
[Image: Gadis berusia 26 tahun yang sukses dalam karirinya, ia menjadi salah satu manager disebuah perusahaan percetakan majalah dikotanya dan ia juga memiliki studio foto yang ia bangun sendiri]
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Gadis berusia 26 tahun yang sukses dalam karirinya, ia menjadi salah satu manager disebuah perusahaan percetakan majalah dikotanya dan ia juga memiliki studio foto yang ia bangun sendiri.
Anak bungsu dari dua bersaudara ini lebih suka menghabiskan waktunya diluar rumah.
Ayyana yang pecinta olah raga anggar pun tak pernah absen untuk datang ketempat sanggar milik seniornya di SMA dulu.
Namun kisah cintanya justru berbanding terbalik dengan karirinya, ia tak pernah sekalipun terlihat bersama seorang pria mana pun.
Pernikahan kakak laki lakinya yang hanya bertahan beberapa bulan membuatnya berfikir ulang tentang sebuah hubungan.
Ia tak ingin terlalu cepat membuat keputusan yang akhirnya akan mengecewakan.
Hingga ia menutup telinga dan matanya untuk semua perkataan orang orang tentangnya. Ia tak pernah memperdulikan siapapun dan apapun.
Fandy rama hidayat
[Image: Pemuda berusia 24 tahun yang baru lulus kuliah, ia dikenal mudah bergaul dengan siapapun]
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Pemuda berusia 24 tahun yang baru lulus kuliah, ia dikenal mudah bergaul dengan siapapun. Membuatnya memiliki banyak teman dengan berbagai usia dan latar belakang.
Sikap fandy yang sopan dan baik pun sering membuat beberapa wanita salah paham padanya, ditambah paras fandy yang tampan membuat hampir semua wanita yang mengenalnya mengantri ingin menjadi pacar fandy.
Namun entah apa yang difikiran pria tinggi dengan kulit sawo matang itu. Ia tak bergeming dengan banyaknya wanita yang datang mendekat, ia memang tetap sopan dan baik pada semuanya, karna itulah yang kedua orang tuanya ajarkan padanya. Tak ada niatan untuk menyakiti siapapun.
Dika samuel
[Image: Pria blasteran inggris namun justru membenci bahasa inggris, bukan tanpa alasan ia membenci bahasa ayahnya itu]
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Pria blasteran inggris namun justru membenci bahasa inggris, bukan tanpa alasan ia membenci bahasa ayahnya itu. Sejak ia bisa melihat dunia, ia tak pernah melihat wajah sang ayah. Ayahnya pergi setelah dua bulan kelahiran dika. Entah apa yang terjadi saat itu. Karna ibunya tak pernah membahasnya sedikitpun. Hingga ia pun memilih menutup rapat rapat semua berita tentang ayahnya.
Kejadian itu membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, bahkan pilihannya pada olahraga anggar tak luput dari kepribadiannya yang tertutup, tak banyak orang yang ia kenal, selain ibu, ayyana dan riki, orang kepercayaannya disanggar.
Bahkan pertemannya dengan ayyana pun tak ada seorang pun yang tau. Mereka bertemu saat malam, saat semua orang memilih untuk istirahat, dika dan ayyana justru memilih untuk berlatih anggar.
Bagaimana kisah ketiga orang tersebut yang memiliki perbedaan latar belakang yang sangat mencolok??
Bagaimana mereka saling menyesuaikan diri satu sama lain??
Lanjutt yukk..
Sebelumnya jangan lupa vote yaaa.....
jangan lupa bab selanjutnyaaa
Suasana riuh biasa terjadi saat jam jam kerja, tak terkecuali kantor majalah mandela. Kantor majalah satu satunya di kota tersebut itu sudah berdiri selama empat dekade lamanya. Dan pemimpin yang sekarang menjabat adalah keturunan ke lima dari pendiri kantor majalah tersebut.
"Ay hari ini ada rapat jam 11 an, jangan lupa" suara cepmreng seorang wanita dari balik pintu ruangan ayyana.
"Iya" jawab ayyana lirih namun masih bisa didengar, ia kembali memfokuskan matanya pada layar laptop didepannya.
"Dan jam 3 harus briefing buat terbitan minggu depan" lanjut wanita bertubuh mungil, ia bahkan bisa masuk ruangan ayyana hanya dengan membuka sedikit pintunya.
"Loe nggak punya kerjaan lain selain nyuruh nyuruh gue. Bela belain dari lantai satu kelantai tiga cuma buat nyuruh gue" ayyana menatap wanita yang sudah berhasil duduk didepannya itu.
Ayyana dan ririn memang beda divisi, namun masih saling berkaitan, ririn adalah kepala redaksi, semua majalah yang terbit di mandela adalah hasil kerja ririn dan teamnya, yang tentunya sesuai dengan arahan dari ayyana sebagai penanggung jawab redaksi.
"Kalo loe bukan orang pelupa mungkin gue lebih suka duduk manis dimeja gue" bela ririn santai.
Ririn adalah teman sekolah sekaligus tetangga satu kompleks rumahnya. Mereka selalu satu sekolah walaupun tak pernah satu kelas. Hanya ririn yang sanggup bertahan lama dengan sikap cuek, dan urakannya ayyana.
"Sekarang jaman canggih woy, loe nggak perlu capek capek datang kesini" sekarang fokus ayyana benar benar teralihkan pada wanita mungil didepannya tersebut.
"Aahh.. udah gue wa 10 kali ada kali, gue telfon juga nggak bakalan diangkat, bulsit loh" elak ririn. Ia seakan hafal dengan kebiasaan temannya itu. "Pantesan loe jomblo terus"
"Apa hubungannya?" Tanya ayyana tak terima.
"Loe terlalu asyik dengan dunia loe, sampe loe lupa kehidupan duna luar" jelas ririn dengan wajah serius. "Jangan jangan loe juga nggak nyadar kalo kita ini udah temenan sejak kecil?" Tuduh ririn yang langsung dibalas senyum kecut dari ayyana.
"Nggak usah ngomongin gue jomblo, laah loe aja belum nikah sama kaya gue"
Ririn menunjukan jari telunjuknya kearah ayyana, wajahnya menatap ayyana lekat lekat.
"Bedanya adalah, gue pacaran dan loe nggak" ririn mulai membetulkan letak duduknya agar nyaman bicara dengan ayyana. "Yang jadi masalah bagi semua orang, mereka menganggap loe nggak normal"
"Alaah, apa tingkat kenormalan seseorang hanya diukur dari sana?"
"Bagi kebanyakan orang iya, mereka nggak tau kehidupan loe yang sebenarnya, mereka hanya menilai dari apa yang mereka lihat"
"And than?" Tanya ayyana yang sudah mulai jengah, ia tak habis pikir dengan semua orang yang terus menceramahinya tentang kehidupannya. Ia memang tak pernah tertarik dengan apapun yang berhubungan dengan pacaran, tapi bukan berarti ia tak tertarik dengan makhluk lawan jenisnya. Ia pernah menyukai salah satu guru saat sekolah namun ia pendam dalam dalam karna dia yang sudah beristri. Ayyana mengerti benar posisi dan statusnya saat itu. Hingga ia memilih untuk mundur perlahan dan tak membicarakannya pada siapapun.
"Kurangi sedikit pekerjaan loe, dan liat dunia luar. Ada banyak pria tampan yang bisa loe ajak ngedate" saran ririn.
"Nggak butuh dan nggak perlu, gue nggak perduli mereka mau ngomong apapun tentang gue, itu hak mereka. Yang jelas gue nggak merasa seperti apa yang mereka tuduhkan ke gue" jelas ayyana santai.
"Gokil si loe, nggak pernah berubah dari dulu" ririn seperti tak habis pikir dengan pemikiran temannya itu. "Oke, gue cuma mau ngingetin loe sebagai sahabat tercinta" lanjut ririn dengan senyuman tanpa dosa.
"Brisik loe" serga ayyana. Ririn sudah meninggalkan ruangan ayyana tanpa menghilangkan wajah cerianya.
Ayyana menatap jam diujung mejanya, entah kenapa ia mulai teringat kalimat ayahnya sebelum meninggal. Ia memang tak pernah terfikirkan untuk membina hubungan dengan siapapun apalagi setelah bang arga memutuskan berpisah dari kak santi istrinya. Hubungan yang mereka bangun sejak duduk dibangku SMA nyatanya tak menjanjikan rumah tangga mereka berjalan lancar. Bahkan hanya selang beberapa bulan setelah mereka merayakan peresmian hubungan mereka.
Terdengar helaan pelan dari ayyana. Ia tak bisa menampik perasaanya saat ayahnya meminta ia untuk segera menikah sebelum beliau meninggal. Saat itu ayyana hanya menanggapinya dengan dingin. Ia sudah terbiasa dengan kalimat kalimat perintah yang selalu tertuju pada wanita yang hampir menginjak kepala tiga. Namun setelah kepergian ayahnya beberapa bulan lalu, perasaanya berubah, pola pikirnya mulai kacau tak sesuai dengan prinsip dirinya yang bebas.
"Mba ayy, ditunggu diruang rapat" ucap salah satu bawahan ayyana. Sesaat lamunan ayyana buyar, ia beranjak dari duduknya dan mengikuti lala ketempat rapat.
Lala memang bawahan ayyana dan ia pun lebih muda dari ayyana namun ia sudah melangsungkan lamaran setahun yang lalu. Membuat semua karyawan membandingkan ayyana dengan lala.
Ayyana memang tak perduli, ia lebih suka menyibukan dirinya dalam pekerjaan dan hobi hobinya. Ia sempat memikirkan sebuah pernikahan namun terasa sulit saat ia kembali mengingat kacaunya perasaan dan kondisi abangnya saat perceraian terjadi.
Hingga ayyana lebih memilih untuk jarang pulang dan menyewa sebuah rumah kos tanpa sepengetahuan keluarganya.
"Baiklah, untuk majalah bulan depan tidak ada masalah, semua tinggal tahap pencetakan. Sekarang, bagaimana untuk bulan berikutnya apa sudah ada ide?" Suara ayyana menggema dalam ruang rapat.
"Kalo itu masih dalam proses pencarian mba, kami cuma baru dapat beberapa berita, dan itu pun belum terlalu matang untuk dikabarkan" ujar lala.
"Kenapa? Ada masalah?" Tanya ayyana.
"Masalahnya narasumber belum mau mengklarifikasi beritanya, dan berita lainnya masih pada proses pematangan naskah" jelas ririn.
"Lalu apa yang kalian kerjakan sekarang? Ya cari, bujuk narasumber itu untuk mau bicara, dan kenapa kalian nggak ke kantor polisi untuk mencari berita tentang masyarakat, atau pergi ke sekolah sekolah yang berhasil mendapatkan penghargaan apapun" suara ayyana mulai meninggi membuat semuanya tertunduk. Itulah alasan pak randy mengangkat ayyana menjadi kepala penanggung jawab redaksi. Ia bisa tegas dan bisa mencari jalan keluar untuk setiap masalah dikantor. " Saya tidak mau tau, besok semuanya sudah rapi diatas meja saya" lanjut ayyana tegas.
"Hmm.. ayy" ririn seakan berusaha mencar suaranya. "Besok minggu ayy" ralat ririn kemudian.
"Ya brarti malam ini harus dapat" jawab ayyana enteng. Membuat semuanya memasang wajah tegang.
"Tidak bisa gitu dong, kita semua punya kehidupan diluar kantor, kami punya keluarga" tolak ririn.
"Dan keluarga kalian juga harus makan" balas ayyana cepat.
"Kami masih punya beras untuk dimakan besok tanpa kami harus lembur"
Ayyana tersenyum tak percaya pada ririn, dia satu satunya yang paling berani menentang aturan ayyana jika sudah berlebihan.
"Anda jangan samakan kami dengan anda, kami bukan orang yang gila kerja seperti anda. Jadi tolong, sesuaikan jam kerja yang sewajarnya". Lanjut ririn serius.
"Baik, senin sore saya minta kabarnya" ucap ayyana akhirnya, ia pun meninggalkan tempat itu begitu saja setelah menutup rapat hari itu
Langit malam sudah menghitam beberapa saat yang lalu, namun tak membuat jalanan sepi, justru pedagang kaki lima yang berjejer ditepi jalan membuat suasana semakin meriah.
Sebuah mobil terparkir didepan bangunan dua lantai yang berada di tepian kota, namun tak terlalu jauh dari keramaian kota. Bangunan yang berdiri dilahan 6 x 5 meter itu terlihat lebih mencolok dibandingkan dengan bangunan lainnya.
Berbagai macam lampu terpasang di setiap sudut bangunan, seakan ingin menjelaskan tentang keberadaan tempat tersebut.
"Ayy..." Teriak seorang wanita yang berdiri diambang pintu, senyumnya terukir jelas dibibir kecilnya seraya mengayunkan tangan kanan kearah seseorang yang ia sapa. "Nita bilang dia nggak bisa masuk hari ini" lanjut wanita itu saat orang yang diajaknya bicara sudah semakin mendekat.
"Trus?" Tanya ayyana santai, ia mulai melangkah menaiki tangga.
"Aku perlu kamu" ucap wanita itu dengan wajah memelas, seakan berusaha menyakinkan ayyana tentang ucapannya.
"Mau foto buat baju baju kamu?" Tebak ayyana pasti. Ia sudah khatam dengan kebiasaan diana. Wanita itu pun tersenyum lebar saat ayyana bisa menebaknya. "Iya boleh" lanjut ayyana.
Ayyana dan diana tak sengaja saling kenal, diana yang memang pandai bergaul membuatnya mudah membaur dengan siapapun termasuk ayyana.
Saat itu, pertama kalinya ayyana mengikuti sebuah pesta yang diadakan kantornya. Sebagai karyawan baru tentunya ayyana diwajibkan ikut serta, sedangkan ayyana tak pandai merias diri. Dan salah satu seniornya mengenalkannya pada diana.
Beberapa tahun berikutnya mereka kembali dipertemukan saat ayyana sudah membuka studio foto sendiri. Ririn mengenalkan diana yang tengah membutuhkan jasa fotografer untuk mempromosikan baju bajunya, dan sejak saat itu keduanya semakin akrab.
Diana sering membuatkan baju baju khusus untuk ayyana, bahkan hampir semua isi lemari ayyana adalah baju baju buatan diana. Dia seakan mengerti benar seperti apa selera fashion ayyana.
Namun tak semuanya diana berikan secara percuma, ada beberapa baju yang ayyana beli, selebihnya diana enggan menerima uang dari ayyana untuk baju yang ia buat.
Itulah sebabnya ayyana biasa dengan mudah mengizinkan diana untuk melakukan pemotretan untuk semua baju bajunya.
"Hmm.. ayy, kalo aku bikin baju pengantin gimana?" Tanya diana disela sela kegiatan ayyana yang tengah mempersiapkan kameranya.
"Bagus" jawab ayyana tanpa pikir panjang.
"Tapi..." Diana menggantungkan kalimatnya, ia menatap ayyana dengan ekspresi yang sulit dijelaskan oleh ayyana.
Ayyana masih menunggu kelanjutan kalimat diana, ia merasakan sesuatu yang tak beres dari diri diana. Ia hafal benar sifat wanita periang didepannya tersebut.
"Tapi.. modelnya.. kamu.. yah" kalimat diana yang terbata, senyum malu malu pun ia perlihatkan pada ayyana. Diana tau, ayyana tak menyukai jika dirinya yang menjadi objek, dia lebih suka beraksi dibelakang kameranya.
"Nggak" balas ayyana pasti.
"Pliss.. ayy.. aku bikinya sesuai ukuran kamu" rengek diana.
"Aku nggak bisa jadi model di, aku fotografer" elak ayyana. Ini adalah kali pertama bagi ayyana menolak permintaan diana. Ayyana akan melalukan apapun permintaan diana kecuali sesuatu yang mengharuskan Ia keluar dari prinsipnya.
Ayyana memang menyukai dunia fotografer namun tak pernah menjadikan dirinya sebagai objek dari jepretannya.
"Kan bisa belajar, nanti yang ambil fotonya nita" bujuk diana, ia seakan tak ingin permintaanya ditolak begitu saja, ia tau ayyana akan menolaknya, namun entah kenapa justru ia menginginkan ayyana lah yang menjadi modelnya.
"Kenapa nggak sekalian nita aja" usul ayyana.
"Ayy, kamu kan tau baju bajuku nggak ada yang muat dibadannya nita" jelas diana mencoba mengingatkan.
Tubuh nita memang tidak bisa dibilang langsing, namun tak juga terlalu gemuk, namun ada bebwrapa bagian tubuh nita yang membuatnya tak bisa sembarangan menggunakan pakaian, hanya pakaian dengan ukuran tertentu yang muat saat ia kenakan.
"Kalo gitu minta tolong sama ririn" saran ayyana.
"Dia bisa tenggelam tak terlihat" tolak diana. " Ayolah, sekali iniiiii aja" bujuk diana penuh penekanan. "Ayy.. ayolah, nanti kamu boleh minta apa aja dari aku" tambah diana untuk menyakinkan ayyana. Ia sudah menangkupkan kedua tangannya didepan wajahnya, tak lupa ia pun memasang wajah memelas untuk lebih menyakinkan ayyana.
"Ya.. iya.. terserah kamu" ujar ayyana pasrah. Entah kenapa bibirnya dengan mudah mengucapkan kalimat itu, bahkan otaknya pun seakan terkejut saat mendengar jawaban tersebut.
"Makasihh ayyana" seru diana sambil memeluk ayyana erat, senyumnya semakin lebar menggambarkan betapa bahagianya ia sekarang.
"Udah yuk, ini mau dimulai apa nggak?" Ujar ayyana mengalihkan pembicaraan.
"Owh ya bentar, dia lagi ditoilet tadi" diana mengedarkan pandangannya keluar pintu studio.
"Belum di make up?"
"Nggak perlu" balas diana santai.
"Kok nggak perlu? Emang temanya apa?" Ayyana mulai kebingungan dengan tingkah diana yang hanya menebar senyum lebar kearahnya.
"Kali ini aku coba bikin baju cowok" bisik diana saat seorang pria tinggi berdiri diambang pintu. Pria itu tersenyum ramah kerah ayyana dan diana saat menyadari kedua wanita itu memperhatikannya. "Dia masih sodara denganku, tenang" imbuh diana masih dengan berbisik.
Ayyana menatap aneh pada diana saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Maaf, agak lama, tadi terima telfon dulu" ujar pria itu sopan. Senyumnya tak terlihat namun serasa dia masih tersenyum dengan bibir indahnya.
"Nggak apa apa, owh ya kenalin ini fotografernya, namanya ayyana" diana beralih pada ayyana dan menariknya untuk lebih mendekat padanya. "Dan ayy, ini sepupuku namanya fandy" ujar diana memperkenalkan mereka.
Mereka saling berjabat tangan sambil menyebutkan nama mereka masing masing. Ayyana bisa melihat kesamaan sikap dan sifat diana dan fandy, keduanya sama sama mudah membaur dan beradaptasi. Terbukti ia bisa dengan mudah mengimbangi sikap ayyana yang cenderung irit ngomong dan cuek, beberapa kali fandy meminta pendapat ayyana tentang pose yang cocok di setiap sesinya. Dan ayyana pun perlahan bisa menyesuaikan diri dengan kedua orang tersebut.
"Ayy, nanti pas foto baju pengantin sama fandy yah?" Bisik diana disela sela pemotretan. Sontak mata ayyana membulat mendengar kalimat diana. Sedangkan orang yang ditatapnya justru tersenyum santai kearah ayyana. "Nggak ada model lagi" imbuh diana seakan mengerti fikiran temannya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!