NovelToon NovelToon

INCEPTION

INCEPTION

"KENZO!! TURUN NAK, MAKAN SIANG DULU!!". Fina, ibu dua anak itu baru saja membuat makanan untuk keluarganya makan siang.

Tangannya sibuk menata piring, namun lirikannya tertuju pada putranya yang tau-tau sudah duduk di kursi.

Kenzo mengulas senyum lebar. "Sesuai janji, hari ini mama masak rendang kesukaan aku".

Fina terkekeh, namun dia tetap mengangguk mengiyakan ucapan putranya. "Ayo makan".

Dengan semangat Kenzo meraih piringnya lalu menodongkannya pada Fina.

"Nasinya dikit aja, rendangnya yang banyakan". ujar Kenzo, Fina hanya terkekeh namun juga menuruti keinginan putranya.

"Jadi kalian mau makan berdua tanpa papa?".

Di ambang pintu keluar, Reyhan berdiri dengan seragam kantor dan menenteng tas kerjanya. Fina terkekeh geli, lain dengan Kenzo yang berteriak senang.

"Loh papa pulang? Kirain mau nginep di kantor". Kata Kenzo meledek.

Reyhan duduk di kursi bergabung dengan yang lain. "Enggak dong. Kata mama kamu hari ini mau masak rendang, jadi papa juga nggak boleh ketinggalan".

Mereka makan siang tanpa terganggu, menikmati dan sesekali diselingi dengan canda. Kenzo tampak antusias menceritakan tentang sekolahnya hari ini, kegiatannya, juga teman-temannya.

Hari ini menjadi hari bahagia. Keluarga yang asyik menikmati makanan itu tidak menyadari seseorang berdiri di ambang pintu garasi, menatap nanar pada mereka yang tertawa tanpa kehadirannya.

Kenneth membuang muka, merasakan nyeri yang lagi-lagi mencubit hatinya. Ketakutan yang luar biasa itu selalu berhasil membawanya pada luka yang menganga. Tanpa pernah diobati oleh rindu yang kian membesar, dan waktu yang tidak lagi berpihak padanya.

"KENNETH!!".

Kenneth mencoba sadar, dia menatap Kenzo yang melambai-lambai padanya. Sementara Fina menatapnya datar, dan Reyhan yang tidak tampak peduli.

Ia tersenyum tipis. Penolakan itu kembali hadir untuk dirinya, ia selalu menyadari itu. Tentang semuanya.

"Ken, ayo makan. Mama hari ini masak rendang loh, kesukaan kita!!". Kenzo melebarkan senyumnya, ada rasa ingin mendekap saudaranya saat melihat tatapan sendu itu.

"Kenzo, habiskan makanan kamu!". Perintah Fina terlihat tidak suka.

Raut wajah Kenzo mengeruh, menatap tidak suka pada mamanya. "Tapi ma, Kenneth juga belum makan. Nanti dia sakit_".

"Makan Kenzo!!".

"Ma!! Kenneth itu juga anak kalian, dia pantes ada disini makan sama kita!!".

"Kita itu keluarga!!".

"Kenneth jaga ucapan kamu, habiskan makanan kamu sekarang!!".

"Mama!!". Kenzo lagi-lagi kecewa dengan ucapan Fina, dia melihat adiknya yang sepertinya menghindar, kini Kenzo tau apa yang Kenneth rasakan.

Kenneth berjalan menuju kamarnya. Ada setitik harapan saat Reyhan menatapnya. Namun lengosan panjang itu kembali membuatnya sadar dengan posisinya di rumah ini.

Ia meletakkan tasnya di meja belajar.

Lagi-lagi hal itu terjadi. Ia mendengar teriakan Kenzo yang menggema di dalam rumah ini. Membelanya, memintakan haknya sebagai seorang anak. Yang harusnya patut ia dapatkan sejak dulu, tanpa dihantui dengan kesalahan.

Fina lagi lagi mengelaknya, mengesampingkan dirinya sebagai salah satu anak yang seharusnya mereka sayangi. Bukan di benci apalagi di jauhi seperti ini.

Selamanya tidak akan pernah terjadi. Semuanya tidak akan pernah sama seperti dulu. Tatapan hangat dan kasih sayang yang dulu selalu ada untuknya telah sirna. Terganti dengan sorot kebencian yang menyadarkan dirinya sarat akan luka.

Bahkan untuk dirinya pun tidak terlalu mengharapkan itu kembali, dia sadar jika takdir yang ia mau tidak berpihak padanya.

Kendati pun akan ada waktunya. Ia hanya berdoa semoga semesta tidak menjauhkan dirinya dengan harapan itu. Kebahagiaan itu.

***

Chapter 1

Kenneth menendang punggung Arka hingga laki laki itu terpental ke tembok. Tangannya mengepal melihat Cameron yang terkapar tidak berdaya di atas lantai. Ia menatap nyalang pada Arka yang sudah berdiri dan menarik sudut bibirnya.

"Akhirnya dateng juga lo pecundang!! Harus di pancing dulu biar dateng ya?!!". Kata Arka terkekeh kecil.

Kenneth tidak suka basa-basi. Dia mulai membogem Arka bertubi-tubi, tidak memberi jeda untuk musuhnya bergerak.

Raut wajahnya masih tenang. Ingatan Kenzo yang membela dirinya di depan Fina terlintas begitu saja. Siang tadi, setelah Kenzo marah, laki laki itu menghampirinya dengan membawa makanan kesukaan mereka. Kenneth tidak makan, membuat saudaranya itu marah dan mengomelinya habis-habisan.

Juga, Fina yang semakin benci padanya karena Kenzo yang marah pada wanita itu.

Jika saja Kenzo berhenti membelanya, meskipun itu tidak mengubah apapun. Dia masih bisa melihat wajah bahagia Fina dan Reyhan, walaupun itu bukan karenanya.

Itu sudah lebih dari sekedar cukup.

Namun tindakan Kenzo sangat ceroboh.

Terakhir. Kenneth membanting tubuh Arka ke lantai, wajah Arka penuh luka lebam yang membiru dengan darah diujung bibir yang semakin menggelap.

Arka terkekeh sinis. "Kenapa nggak bunuh gue aja?".

Sialan!. Kenneth mengumpat samar, tanpa ampun dia menendang tubuh lemas Arka dengan keras membuat tubuh itu terpental dan terkulai lemah di atas lantai.

Dylan yang baru datang bersama Bastian membelalak saat Kenneth berjalan mendekati Arka, dia berlari menuju laki laki itu dan menahan tubuhnya.

Sementara Bastian berlari menyelamatkan Cameron, memapah tubuh lemas itu untuk duduk di kursi usang tak jauh dari jangkauan. Kemudian menyadarkan temannya dengan sabar.

"LO GILA HA?!!! DIA BISA MATI GOBLOK!!". Dylan mendorong tubuh Kenneth hingga terbentur ke tembok.

Dylan dengan nafas memburu kembali berucap. "Sadar Ken sadar!!".

Kenneth tidak merespon, ia terduduk di lantai dengan pandangan kosong.

Kembali teringat dengan ucapan Kenzo yang bertengkar dengan Fina tadi siang.

'Ma!! Kenneth itu juga anak mama, dia saudara kembar aku!! Kita kembar ma, aku punya saudara!!'.

'Cukup Kenzo, kamu itu satu-satunya anak mama!!'.

Jika pada akhirnya hidupnya hanya ada penolakan, untuk apa dia di biarkan berlama-lama di sini. Tempat ini terlalu berharga untuknya, orang-orang seperti dirinya yang hanya bisa menciptakan luka dan tidak seharusnya ada.

"Lo harusnya cerita kalo ada masalah, lo punya kita Ken".

Kenneth mendongak, memandang wajah khawatir Dylan yang dilayangkan padanya. Sesaat melihat tatapan sendu itu. Ia berfikir kapan terakhir kali Fina menunjukan hal itu padanya.

Saat itu. Kenneth kecil yang malang di bully tetangga karena takut dengan kucing. Waktu itu Fina datang membawanya pergi, namun sebelum itu ia mengomeli tetangga mereka.

Fina menggendongnya sembari bertanya tentang luka yang ia terima dari tetangga mereka.

'Sakit ya nak?'.

'Ayo kita obatin luka kamu, tenang ya sayang'.

Waktu itu Fina memeluknya, menyalurkan kekhawatiran luar biasa sebab melihat luka garis tiga merah yang mengeluarkan darah di lengannya. Wanita itu bahkan mengelusnya dengan sayang. Mengobati lukanya dengan telaten, dan tatapan hangat itu masih ada.

Sekarang ia merindukan itu semua.

Fina tidak lagi memeluknya, menunjukan kekhawatiran seperti saat ini Dylan menatapnya. Sampai ia membuat luka dan mengeluarkan darah sebanyak apapun Fina tidak akan mengobatinya, atau Fina yang bahkan mengecupnya. Fina tidak seperti dulu lagi. Wanita itu menjauh sejauh-jauhnya dari dirinya.

"Ken, lo okey?". Tanya Bastian yang melihat Kenneth tidak bergeming.

Kenneth menyorot pada Bastian, temannya itu juga menanyakan keadaannya. Apakah jika nanti ia pulang ke rumah, Fina akan bersikap seperti ini.

Ia jelas tidak apa-apa. Jika seribu tusukan jarum ada ditubuhnya pun ia akan tetap baik-baik saja. Ia terlanjur mati rasa karena terlalu sering menerima setiap luka.

Kenneth berdiri, menepuk-nepuk badannya yang kotor karena debu. "Gue nggak papa. Bawa Cameron ke rumah sakit, gue pulang".

"Hati hati lo". Kata Dylan yang di balas anggukan oleh Kenneth.

Sebelum melangkah. Ia lebih dulu melihat kondisi Arka. Laki laki bertato itu terkapar penuh luka dan darah ditubuhnya.

Jika saja Arka tidak melibatkan temannya, Cameron. Ia pasti akan menerima setiap pukulan Arka, ia pasti tidak akan melawan. Demi untuk menetralkan ucapan Fina dan sorot kebencian Reyhan yang seperti racun untuknya.

Menyakitinya kemudian membunuhnya dengan perlahan.

Kenneth mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus dinginnya angin yang menusuk sampai tulang. Menikmati suara deru kendaraan yang saling bersahutan, sesekali memandang kelap-kelip lampu jalanan yang memanjakan mata.

Sebagai salah satu penenang saat dia tidak baik-baik saja. Walaupun sementara, ia selalu menghargai isi semesta yang setidaknya membiarkan dirinya bebas untuk menikmati keindahannya.

Mobil Kenneth berhenti di salah satu kedai kopi dan martabak.

Ia memasuki kedai itu dengan santai. Pemilik kedai menyambut dengan hangat, ia adalah pelanggan yang sering datang mengunjungi kedai. Bersama teman-temannya ketika senggang, atau yang sesekali bolos sekolah.

"Kopi dua sama martabak manis dua, bungkus ya". Kata Kenneth yang menyebutkan pesanannya.

"Nggak makan disini?". Tanya Aska, pemilik cafe sekaligus kasir itu memperhatikan Kenneth yang duduk di kursi depan meja bar.

Kenneth menggeleng dengan senyum tipis. "Lagi enggak dulu bang. Ditungguin sama yang punya, kapan kapan saya kesini sama adik saya". Jawabnya sopan.

Aska tersenyum tipis sambil membuat kopi. "Nggak sama temen-temen kamu? Kemaren juga mereka kesini sih, tapi saya nggak liat kamu".

"Kalian berantem?". Lanjutnya bercanda.

Kenneth meringis. "Mungkin saya yang lagi libur, dan kita nggak pernah berantem".

Semarah-marahnya mereka ketika bertengkar. Kenneth tidak pernah pergi menjauh. Dylan yang walau emosian tidak pernah menghindari masalah sebelum tuntas. Atau Bastian yang orangnya tenang selalu menjadi penengah. Dan Cameron, laki laki polos itu tidak pernah mengambil hati ucapan atau tindakan kasar seseorang.

Sejauh ini mereka selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

"Ini. Kopinya gratis, kamu bayar martabaknya aja". Aska menyodorkan totebag berisi pesanan Kenneth.

Kenneth menerima dengan berat hati. "Loh kok gitu bang?, saya bayar dua duanya aja ya".

"Bayar martabaknya aja. Kemarin Cameron minta jatah kopi gratis, karena kamu nggak dateng jadi jatah kamu sekalian sekarang". Sahut Aska menerangkan.

"Yaudah ini bang, maafin temen-temen saya yang suka gratisan ya bang". Ucap Kenneth yang menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan dan merasa bersalah. Lihat saja nanti jika Cameron sadar, dia akan menyuruh temannya itu untuk bayar kopi dua kali lipat jika mereka mampir kesini.

Aska tertawa. "Santai aja Ken. Sana pulang, nanti ditungguin sama yang punya martabak".

Kenneth meringis. "Saya pulang dulu bang".

"Iya hati hati".

Setelah pamit, Kenneth kembali mengendarai mobilnya. Menuju sebuah apartemen yang tak jauh dari kedai tadi. Dia turun dari mobil, menaiki lift menuju salah satu kamar.

Kenneth menekan tombol password apartemen, sesaat setelah terbuka, ia melihat sepasang sepatu di rak.

Orang itu sudah pulang.

Karena apartemen yang memiliki dua pintu utama, ia mengetuk pintu kedua.

Tok tok tok!!.

"Iya bentar". Suara berat itu menyahuti.

Kenneth menunggu.

Tidak lama pintu terbuka.

"Kak Kenneth!!"

***

Chapter 2

Kenneth memandangi hiasan dinding kayu yang ada di tembok apartemen. Apartemen ini terawat meski hanya ditinggali satu orang, juga menjadi lebih baik karena terdapat banyak barang daripada sebelumnya yang terlihat kosong.

Ia melirik laki laki yang lebih muda darinya sedang melahap martabak. Ia tersenyum tipis. "Kalo kurang punya kakak buat kamu aja".

Kelvin, nama laki laki itu, meringis kecil. "Kakak nggak mau emang? Nanti aku kekenyangan kalo ngabisin semua".

Kenneth tertegun. Terenyuh saat Kelvin mengerjapkan matanya.

Tatapan itu. Tatapan polos dan hangat yang selama ini hadir menghantui hidupnya, antara merasakan rasa bersalah dan rindu yang tak memiliki ujung.

Membawanya teringat dengan satu-satunya adiknya yang masih hidup dan masih meminta perlindungan darinya.

Adiknya telah tiada.

"Kalo besar nanti kamu mau jadi apa?". Tanya Kenneth kecil pada adiknya yang berumur 4 tahun.

Kevin mengerjap polos, tidak lama dia meringis memperlihatkan susunan gigi yang rapi, menatap Kenneth dengan senang. "Aku mau jadi adik kakak selamanya".

Kenneth mengerutkan keningnya merasa tidak puas dengan jawaban itu, ia mencubit pipi adiknya dengan gemas. "Tapi kamu kan emang adik kakak, selamanya jadi adik kakak".

"Aku mau tinggal sama kakak selamanya, biar kakak terus jagain aku kalo kak Kenzo nakal". Sahut Kevin tak mau kalah.

Kenneth tersenyum senang, ia memeluk adiknya dengan erat. Seakan tidak mau terpisah, dan tidak akan pernah terpisah.

"Kak". Suara itu menyadarkan dirinya dari kenyataan yang menyakitkan. Kelvin terus memperhatikan Kenneth yang sedang melamun.

Kenneth mengangkat sebelah alisnya.

"Kakak beneran nggak mau? Aku juga nggak abis sih, buat besok aja kali yah?".

Pemuda itu tidak merespon, memperhatikan Kelvin yang memunguti remahan makanan dan mengumpulkan sisa martabak menjadi satu.

Kenneth menghela napas panjang. Kenyataan kembali menamparnya hingga ia sadar.

Yang didepannya ini bukanlah Kevin yang nyata, bukanlah Kevin adiknya. Tetapi Kelvin yang memiliki tatapan dan sifat yang serupa dengan adiknya.

Dia menemukan Kelvin saat laki laki itu terkapar di gang sempit. Dengan seragam SMP yang kotor dan kening yang tergores luka. Kelvin lemas tidak berdaya karena di bully oleh teman sekolahnya.

Singkat cerita anak SMP itu bercerita padanya bahwa teman-temannya mengoloknya karena ia adalah anak haram.

Itu memang benar. Kelvin lahir tanpa di harapkan oleh orangtua, MBA. Di rumah, Kelvin selalu di kasari dan di marahi oleh orangtuanya. Tak heran jika pertama kali ia melihat Kelvin yang kacau, tatapan mata Kelvin seperti meminta perlindungan darinya. Rupanya anak itu mengalami trauma yang besar, dan butuh waktu lama untuk sembuh.

Di tengah keterpurukan itu, Kenneth datang menawarkan perlindungan. Laki laki itu dengan tulus merawat dan memberikan kasih sayang, serupa seperti ia memperlakukan Kevin, adiknya yang telah tiada.

Nama mereka hampir sama. Itu yang membuat dirinya begitu menyayangi Kelvin, seperti ia menyayangi adik kandungnya.

"Nih minum, kayaknya kakak kekurangan cairan". Kelvin menyodorkan air mineral dan tertawa.

Kenneth mendengus, tetap menerima air mineral tersebut dan menenggak hingga tandas.

Melihat itu Kelvin melebarkan matanya. "Ternyata bener kakak kekurangan cairan?". Cercanya pada Kenneth.

Satu hal yang sedikit merepotkan dirinya. Hal yang serupa antara Kelvin dan Kevin adalah, mereka sama-sama cerewet.

Kelvin sering memperlihatkan kekhawatiran yang berlebihan padanya. Laki laki itu terlampau perhatian.

Saat Kelvin kembali duduk disampingnya, ia memperhatikan wajah polos itu dengan lekat. "Sekolah kamu gimana?".

Kelvin menoleh, kemudian mengerjap pelan. "Nggak gimana-gimana, lancar terus sih".

Sejak ia membawa Kelvin jauh dari pertama kali mereka bertemu. Ia memindahkan Kelvin ke sekolah yang baru, yang tak jauh dari apartemen. Laki laki itu juga bercerita bahwa ia memiliki banyak teman yang baik dan tidak membullynya walau ia dengan tegas mengutarakan siapa dirinya yang sebenarnya.

Kenneth senang mengetahui itu. Namun ada rasa khawatir sendiri saat Kelvin jauh dari jangkauannya, lebih tepatnya saat ia tidak mengontrol anak itu.

Jarak antara apartemen dengan rumah juga cukup jauh. Sehari sekali ia harus melihat Kelvin. Karena saat pertama kali menginjakkan kaki di apartemen ini, Kelvin tinggal sendiri hingga sekarang.

Sampai sekarang, ia tidak pernah mendengar anak itu mengeluh. Berbeda dengan saat ia menemukan anak itu di jalanan sempit. Kelvin yang sekarang jauh lebih baik.

"Kakak nggak pulang? Ini udah malem loh". Kata Kelvin yang melihat Kenneth kembali melamun.

Kenneth mengangguk, ia beranjak meninggalkan tempat itu. Kelvin menyalaminya ketika ia sampai di depan pintu.

"Hati hati ya kak". Ujar Kelvin melambaikan tangannya.

Kenneth mengangguk, laki laki itu pergi meninggalkan apartemen dengan santai. Di lobby apartemen ia bertemu dengan Darel, tetangga sekaligus teman Kelvin. Darel masih mengenakan seragam sekolah, anak itu habis berkelahi. Ia hafal betul dengan kelakuan Darel.

Darel menyapa. "Eh kak, lo disini?".

Kenneth mengangguk dengan senyum tipis. "Iya, nengok bentar tadi".

"Kalo gitu gue duluan ya".

Darel mengangguk, membiarkan Kenneth pergi. Wajah manis dan imut itu masih memperhatikan punggung Kenneth yang semakin menghilang. Juga ia sedikit menarik sudut bibirnya.

"Terbaik".

**

Kenneth membuka gerbang rumah, meneruskan mobilnya menuju garasi belakang, jauh dari garasi utama yang biasa ditempati oleh keluarganya.

Hari ini satpam rumahnya cuti, ia juga tidak ingin merepotkan orang rumah untuk membukakan gerbang untuknya. Pun memang tidak ada yang mau, kecuali Kenzo. Maybe...

Setelah memastikan mobilnya aman di garasi, ia membuka pintu belakang rumah. Terhubung langsung pada teras belakang dan dapur serta ruang makan.

Kenneth mematung saat melihat Fina berdiri di depan kulkas mengambil sebotol air mineral. Wanita itu belum menyadari kehadirannya, ia melangkah pelan keluar area dapur untuk pergi kekamarnya.

"Darimana aja kamu?". Ujar Fina, tanpa melihat Kenneth yang ada di undakan tangga pertama.

Tubuh Kenneth membeku, ia menundukkan wajahnya.

"Sebaiknya kamu jauh-jauh dari Kenzo, saya nggak mau anak saya ikut-ikutan liar kaya kamu".

Kenneth tersenyum culas, ia masih belum berani membalikkan tubuhnya dan melihat Fina. Melihat kebencian Fina yang setiap saat mendera untuknya.

Fina meletakan botol air mineral itu ke dalam kulkas, ia berjalan ke arah berlawanan dengan Kenneth. Tanpa melihat wajah sendu putranya, ia kembali berucap.

"Dengan liat kamu baru pulang jam segini, saya yakin kamu bukan anak baik-baik. Mungkin kamu udah sering mabok, atau sering balapan liar di luaran sana".

Kenneth menegang, kalimat yang Fina lontarkan begitu menusuk pada pusat hatinya. Bahkan saat Fina pergi dari sini, rasanya suara dingin itu masih membekas di benaknya.

Laki laki itu memilih berjalan kekamarnya. Di dalam kamar ia kembali merenung.

Di saat-saat seperti ini sepi selalu menghujamnya, ia terdiam dengan berbagai tanda tanya.

Tidak taukah Fina bahwa setiap harinya, penolakan wanita itu selalu menyakiti mentalnya.

Tidak taukah Fina bahwa saat ia keluar malam, ia benar-benar sendiri karena ia diasingkan bersama sepi.

Tidak taukah Fina bahwa ucapannya selalu menjadi pilihan baginya, antara harus tetap bertahan dan menunggu harapannya terwujudkan, atau pergi dengan luka yang takkan pernah terobati.

Kenneth membuka kemeja hingga memperlihatkan setengah punggungnya. Ada ruam kulit yang mungkin susah disembuhkan, dulu bertahun-tahun lamanya saat ia ada di posisi yang sulit.

Apa orang tuanya juga tau jika setiap perkelahian yang ia lakukan, untuk meredam ucapan dan tatapan kebecian mereka yang selalu terngiang di otaknya. Bahkan sampai ia gila, sampai ia mati, ucapan itu bukan hanya sekedar kalimat belaka namun akan menjadi cerita saat dirinya dihadapkan pada sebuah fakta.

Ia tidak pernah menangis, sakit secara fisik. Laki laki cacat dan selalu asing seperti dirinya sangat pantas mendapat banyak luka. Karena sampai akhir pun ia tidak akan pernah bisa menitikan air mata, tidak akan pernah merasakan apa yang namanya sakit.

Dan selalu terombang-ambing dalam sebuah kenyataan yang pahit.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!