Hidup Ryan Alfarizi seperti remaja pada umumnya, dia bersekolah untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Nilai tidak buruk, wajah pun terbilang tampan. Dia tidak sombong, besar kepala, apa lagi sok hebat. Keseharian Ryan yang rajin membantu orang tua, rajin belajar, rajin bersih-bersih, rajin menabung, rajin memberi, rajin tersenyum, rajin mandi pula sungguh menjadi pribadi anak baik-baik.
Tidak ada yang salah dalam hidup untuk Ryan jalani, dia harus bekerja lebih keras dari murid lain di masa belajar sebagai seorang murid SMA kelas 2 semester genap.
Keluarganya terbilang miskin, kurang mampu, masalah klise perihal ekonomi atau apalah itu. Dimana pendapatan lebih sedikit dari pengeluaran. Sedangkan sang ibu menjadi single parents dengan biaya kehidupan serba mahal di kota Jakarta. bekerja sebagai buruh pabrik plastik bergaji di bawah standar UMR penetapan pemerintah.
Tapi masalah yang berputar di tengah-tengah kehidupan keluarga Ryan, tidak lebih sekedar hutang di warung, melunasinya ketika hari gajian datang. Tagihan listrik nunggak hampir diputus barulah dia bayar, atau minta korting iuran Agustusan padahal masih bulan Maret.
Tidak berharap apa pun untuk menjamin kehidupan yang Ryan miliki, bahkan jika itu adalah bantuan sosial dari pemerintah, masalah di dalam hidup keluarganya tidak akan berubah.
Bagi Ryan, seorang anak lelaki SMA yang sehat jasmani dan rohani, Ryan bekerja demi membantu perekonomian keluarga, meski itu tidak banyak, niat Ryan hanya ingin meringankan beban ibunya setelah menghabiskan usia untuk hidup yang tidak baik-baik saja.
Namun hidup ini sudah menjadi busuk... miskin memang bukanlah sebuah takdir, tapi mereka yang kaya memiliki kekuasaan selalu saja merendahkan orang miskin. Dan begitu pula yang miskin, masih menikmati kemiskinan mereka dengan berfoya-foya meski sirine listrik sudah bersuara nyaring.
Itulah sebabnya, kemiskinan sulit di berantas karena mereka senang menjadi miskin, tanpa mau berusaha mengubah nasib. Sedangkan ketika harga mulai naik karena inflasi ekonomi, para orang miskin berkoar-koar menyalahkan ketidakbecusan pemerintah. Sungguh sebuah ironi.
Hingga di siang itu....
Lagu 'Indonesia Pusaka' mulai terdengar ketika waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Suara wanita timbul tenggelam berkumandang melalui speaker kelas dan begitu merdu di telinga siswa, karena itu adalah tanda jika jam pelajaran telah selesai.
Namun setiap siswa di sekolah saling berbisik untuk membicarakan berita panas yang baru saja terjadi....
"Hei... Apa Lo tahu Ryan anak kelas IPS, dia itu memukuli Sano dan kawan-kawannya sampai masuk rumah sakit."
"Ya gua denger tuh, tapi bukannya Sano yang cari masalah, dia mau berbuat yang tidak-tidak sama ceweknya Ryan."
"Cewek sok kalem, padahal dia sendiri yang mau ikut sama Sano. Dasar latcur."
"Gua cuma kasihan sama Ryan, padahal gua kenal kalo Ryan itu orang baik."
"Tapi mau gimana lagi, keluarga Sano benar-benar berkuasa."
Seperti yang dikatakan dalam obrolan para siswa di dalam kelas mereka, karena di dalam ruang kepala sekolah....
Ryan berdiri tegak mematung dalam diam, suasana hari itu membuatnya marah, dia tidak bisa melawan, atau mencoba membela diri. Ketika semua wajah menatap dengan mata kebencian, semua kesalahan pula ditunjukan kepadanya.
Kemiskinan menjadi biang keladi untuk sebuah kesalahan yang tidak Ryan lakukan. Para orang kaya selalu berkuasa dan melemparkan semua kemarahan mereka.
Nasib buruk ada di hadapannya sekarang, cobaan apa yang belum dia cobain saat ini, pahit hidup dia jalani dan Ryan telan tanpa air minum. Masalah yang nyangkut di tenggorokan, kini keluar bersama sisa makan malam dan sarapan pagi hanya lewat begitu saja.
"Lihatlah ini, apa yang sudah kau ajarkan kepada anakmu itu wanita latcur, dia menghajar anakku sampai pingsan di rumah sakit, harusnya dia kami laporkan saja ke polisi." Ancam satu orang dengan keras.
Ryan menatapnya dengan mata tajam, kepada lelaki buntal berkacamata, jas dan dasi, memperlihatkan bahwa dia adalah orang punya kuasa dan jabatan. Bahkan mungkin perut itu hanya terisi uang-uang hasil korupsi, atau lemak jenuh pembawa kolesterol dan penyakit jantung.
Satu tamparan di terima Ryan dengan keras, tubuhnya jatuh dan kepala membentur di lantai. Dari semua orang yang menunjukan kemarahan kepada Ryan, hanya satu orang itu, dia bisa melihat tangisan menetes di wajah.
Suara sang ibu menjawab dengan isak tangis tertahan..."Aku mohon jangan lakukan itu tuan, Ryan anakku satu-satunya, aku mohon maafkan kesalahan anakku."
Ryan melihat bagimana sang ibu berlutut meminta maaf untuk semua penghinaan yang harusnya tidak dia terima. Berdiri tegak Ryan mencoba membela harga diri yang dipandang rendah oleh mereka semua di dalam ruangan ini.
"Ibu jangan merendahkan dirimu di depan orang-orang ini, aku tidak salah, Sano dan anak-anak yang lain mencoba memper*kosa Isna, aku hanya membela..." Tegas ucapan Ryan yang tidak mau menganggap dirinya salah.
"Jangan banyak bicara bocah si*alan, apa kau pikir perkataan mu itu bisa menjadi bukti." Lelaki buntal tidak memberi kesempatan Ryan bicara.
Ryan masih ingat, alasan kenapa dia harus menghajar Sano saat itu, bahkan lima anak lain yang berusaha ikut berkontribusi hingga masuk rumah sakit.
"Ya... Isna, dia bisa mengatakan kebenarannya." Jawab Ryan untuk meluruskan kesalahannya.
Tidak lama untuk menunggu harapan Ryan hancur, ketika seorang gadis cantik yang datang dari balik pintu itu menunjukan wajah rumit.
Kata demi kata dia ucapkan, Ryan mendengar kebohongan yang keluar dari mulut Isna.... "Ryan dia hanya melampiaskan emosi dan menghajar Sano."
Ryan tidak mau percaya, tapi kenyataanya, Isna memutar balikkan fakta, Ryan di khianati bahkan oleh kekasih yang dia cintai.
"Hahaha... Ini bohong kan ?, Kau kenapa mengatakan itu." Berteriak keras Ryan dengan semua emosi yang sudah tidak bisa dia tahan lagi.
Wajah semua orang tersenyum, Ryan merasa hatinya hancur dan terinjak-injak oleh penghinaan yang begitu menyakitkan.
Inilah nyata untuk Ryan, ketika dia melihat ada tetes air mata yang mengalir di wajah Isna...."Aku mengerti, sekarang... Ya aku sangat mengerti !!!, Kalian memaksanya mengatakan bahwa akulah yang salah."
"Kau bicara apa bocah, inilah kenyataannya, kau salah, dan kau harus membayarnya."
Ryan tidak tahan lagi, semua wajah menjijikkan itu di tunjukan, tertawa terbahak-bahak seperti sedang melihat acara lawak, karena dia dan ibunya hanya orang miskin, tanpa bisa melawan mereka.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaa." Tanpa perlu menahan diri, satu pukulan dia hantamkan ke wajah lelaki buntal yang tertawa terbahak-bahak.
Perasaan Ryan sekarang jauh lebih menyakitkan dari pada melihat Isna dipaksa oleh Sano. Harga dirinya di injak-injak, ibunya harus menangis untuk kesalahan yang tidak dia lakukan.
Ryan pun segera ditahan oleh orang-orang yang menuruti perintah pak tua itu, mencoba melepaskan diri tapi Ryan jelas kalah.
"Kau berani melakukan ini kepadaku, harusnya anak berandalan sepertimu di penjara, tapi aku masih memiliki hati... Aku ingin kau di keluarkan dari sekolah dan pergi tanpa pernah menunjukan diri."
Itu terbilang ringan, ya karena Ryan tahu, jika dia mencoba membawa polisi, anaknya pun akan kena masalah, karena kejadian yang sebenarnya adalah kesalahan anak mereka.
Tapi pada akhirnya Ryan dan ibunya lah harus menerima akibat untuk kesalahan yang tidak dia perbuat. Membela diri hanya menjadi omong kosong, harga diri tidak menjamin apa pun, Ryan marah, dia berakhir sebagai pecundang, bahkan di dalam hidup ini.
Beberapa bulan kemudian....
Langkah kaki beranjak turun dari atas bus antar provinsi ke sebuah terminal pemberhentian di tempat tujuan mereka. Ryan mengangkat tas besar dan koper berisi semua pakaian.
Bukan hal sulit, bahkan terbilang ringan karena tidak banyak yang mereka bawa, sedangkan seluruh perabotan rumah di kontrakan, sudah terjual habis dan menyisakan beberapa barang sebagai kenang-kenangan dari peninggalan almarhum sang ayah.
Ryan menatap wajah sang ibu begitu serius, dia paham, seberapa kuat keputusan ibunya hanya dengan membaca raut wajah itu. Semua hal buruk atas kejadian yang di alami, membuat mereka memilih pulang dan hidup di tempat dimana sang ayah tinggal dulu.
Keduanya tidaklah melarikan diri dari kesalahan yang tidak mereka perbuat. Tapi hanya dengan pergi, itu bisa menjadi kehidupan baru untuk mereka jalani, tanpa perlu melihat lagi wajah orang-orang yang sudah memberi penghinaan.
Berjalan menyusuri jalanan kecil yang melewati rumah-rumah tetangga, ada banyak hal berubah, jalanan dulu hanya sebuah tanah terlapisi kerikil, kini sudah menjadi jalanan beraspal halus.
Tanah-tanah kosong yang dulu menjadi tempat Ryan bermain sepak bola bersama kawan-kawan lama, sudah berganti dengan rumah-rumah penduduk.
Di dalam perjalanan mereka menuju tempat tinggal ayahnya dulu, Ryan memperhatikan ketika ibu akan bicara.
"Ryan, ingatlah permintaan ibu, jangan pernah melakukan kesalahan yang sama, kita masih beruntung karena orang-orang itu tidak memasukan mu kedalam penjara." Ucap sang ibu dengan suasana hati murung.
Namun Ryan jelas membuang wajah dengan kesal...."Aku tidak terima dengan perbuatan mereka, apa yang kita dapatkan ini adalah penghinaan. Ibu."
"Kau mau terima atau tidak, kita bisa apa ?, Mereka bisa membeli kebenaran, dan kita hanya mendapatkan sisa untuk mereka tertawakan." Jawab ibunya.
Ryan sadar, jawaban dari sang ibu adalah apa yang mereka alami sekarang, tanpa bisa melawan untuk ketidakadilan dari para orang kaya itu, kini mereka harus bisa menerima kenyataan.
"Tapi ibu..."
"Sudah lupakan itu, ibu tidak ingin mengingat lagi semua yang telah terjadi, ibu hanya ingin, satu kesempatan ini, kau belajar untuk bersabar, hanya itu, dan buatlah mereka membayar penghinaan kepada kita di masa depan nanti." Ucap sang ibu.
Ryan tidak bisa menolak permintaan itu.
Ibunya tidak peduli soal harga diri, dia berlutut untuk keselamatan anaknya, meski pun itu sama saja dengan menerima kesalahan yang tidak pernah terjadi. Namun jika Ryan tidak bisa menyanggupi apa yang ibu katakan, maka dia akan merasa bersalah karena sudah menyia-nyiakan permohonan darinya.
Ryan melihat sendiri, kehidupan yang dia jalani adalah dari perjuangan sang ibu, dia tidak ingin harapan itu hancur untuk kedua kali.
"Aku mengerti ibu." Jawab Ryan patuh.
"Baiklah kalau kau mengerti, sebaiknya kita bicarakan di rumah nanti."
Rumah yang ibunya katakan, adalah rumah dari keluarga sang Ayah, itu tidak besar, bahkan terbilang kecil, berdiri di ujung jalan, lama tidak berpenghuni, sehingga bisa dipastikan ada banyak laba-laba menginvasi dengan semua sarang di setiap sudut.
Tidak ada pilihan lain, hanya ini yang bisa mereka tempati sebagai tempat tinggal untuk melanjutkan hidup baru.
Ketika berada di depan pintu rumah yang sudah usang. Ryan masih bisa mengingat kehidupan yang pernah dia miliki di tempat ini, meskipun wilayah tempat tinggal Ryan, hanya dipenuhi oleh orang-orang miskin.
Sedangkan para orang kaya tinggal di seberang jalan, di dalam perumahan elit untuk kehidupan glamor yang mereka miliki.
"Aku ingin tahu, apa semua akan berubah di tempat ini." Gumam Ryan sendirian.
Tentu ingatan tentang masa lalu, hanya pengulangan kejadian yang tergambar dalam otaknya, bahkan beberapa hal tidak bisa dia ingat dengan jelas. Ada banyak kebahagiaan untuk Ryan dapatkan, kawan-kawan yang dia miliki sejak kecil, dan seorang gadis pemalu dimana selalu menempel di dekatnya.
"Waktu memang kejam, meninggalkan kenangan yang membuatku rindu tentang kehidupan bahagia."
Dimana masa-masa itu, Ryan hanya menjadi anak kecil untuk meributkan siapa yang akan menjadi rangers merah, siapa yang bisa memanjat pohon, dan segala hal tanpa perlu tahu kepahitan hidup.
Tapi dari situ pula Ryan harus meyakinkan diri, bahwa dunia tidak akan baik kepada orang miskin seperti dirinya, dia dipaksa dewasa oleh keadaan, meninggalkan kenangan manis dan harus berjuang keras demi kebahagiaan.
Bertahun-tahun lalu, ayah dan ibunya pun tinggal di kota ini, begitu juga menjadi tempat kelahiran Ryan. Sebuah keluarga bahagia meski dengan keadaan yang sederhana.
Di dalam kesederhanaan itulah mereka merangkai kisah hidup sebagai keluarga harmonis penuh canda tawa dan kebahagiaan di setiap hari. Ryan pun hidup dengan sehat, pintar dan juga berjiwa sosial tinggi.
Bagi Ryan sosok ayah adalah pahlawan nomor satu di dunia, beliau tidak pernah marah, tersenyum tulus dan ikhlas. Meski ada kalanya Ryan merengek minta mainan sama seperti teman-temannya.
Tapi sang ayah akan tersenyum dan berkata ... "Sabar yah, ayah pasti belikan."
Menunggu berminggu-minggu hingga uang terkumpul hanya untuk sebuah mobil-mobilan remote control, tapi itulah bentuk kasih sayang dari sang ayah yang tidak pernah Ryan lupakan.
Beranjak lulus dari sekolah dasar dimana ayahnya mendapat kenaikan jabatan dan mengharuskan Ryan pindah ke Jakarta.
Untuk waktu lama itulah, banyak hal terjadi, kecelakaan kerja yang mengambil nyawa sang ayah, kemudian ibu yang harus berusaha keras mencukupi kebutuhan hidupnya di kota besar.
Segala macam tentang uang sewa kontrakan, tagihan listrik, tagihan sampah, tagihan air PAM, tagihan hutang dari warung, dan semua iuran yang hampir tidak masuk akal.
Ya karena tidak ada iuran agustusan yang mereka minta di bulan Maret, para manusia itu menggunakan segala cara untuk mendapat uang.
Melangkah masuk ke dalam halaman rumah usang yang termakan usia, rumput-rumput liar tumbuh subur di halaman setelah ditinggalkan untuk sekian tahun.
Membuka pintu, Tembok lusuh dengan cat yang pudar, aroma kayu yang sudah lapuk dan sarang laba-laba berkembang biak dengan pesat. Ada pun segerombolan semut mereka membuat koloni menguasai tembok hingga berlubang.
Segera saja, Ryan dan ibunya membenahi rumah dan menata kembali perabotan yang sudah lama mereka tinggalkan.
"Kenapa kita kembali kota ini, ibu ?." Tanya Ryan.
"Ibu sudah muak dengan semua hal yang terjadi dalam keluarga kita, ibu ingin menyelesaikan masalah yang selama ini ibu pendam."
Ryan penasaran, karena dia sejak awal hanya mengikuti keinginan ibunya untuk kembali ke tempat ini..."Memang masalah apa yang ibu ingin selesaikan."
"Kau tidak perlu tahu, karena ini adalah tentang janji ayahmu dengan seseorang." Jawab ibunya tegas.
Ryan tidak bisa menanyakan lebih untuk apa yang terjadi di dalam keluarganya saat sang ibu menolak bicara. Namun Ryan bisa merasakan ada kerumitan di wajah ibunya.
Langkah kaki wanita muda yang datang dari arah dapur, membawa secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
Berhenti di sebuah pintu kamar, kemudian melihat ke arah jam tangan mahal yang tetap sama memiliki 12 angka, dan itu sudah menunjukan pukul 06.30.
Wajah cantik penuh polesan, gincu merah merona dan pipi tertutupi bedak merasa kesal sendiri, seakan pagi hari ini sangatlah buruk, karena harus mengurusi anak tirinya yang suka memberontak.
Ketukan keras menghantam pintu... "Reina mau sampai kapan kau tidur, jika kau tidak pergi sekolah, itu hanya akan membuat kami di sini repot, kau tahu."
Tidak ada tanggapan dari penghuni kamar, bahkan setelah dua puluh lima ketukan, itu jumlah yang terhitung, Reina masih diam di dalam kamar.
"Kau bangunlah, kau sudah banyak membolos, aku tidak ingin ayahmu marah kepadaku, karena tidak bisa mengatur mu."
Cukup lama, namun tetap saja tidak ada jawaban.
"Anak ini tidur atau mati, tanganku sampai sakit memukul pintu." Gumamnya dengan kesal.
Tapi berlama-lama mengurus anak tiri yang dimiliki oleh suaminya itu, hanya membuat sakit kepala, jika bukan karena ayah Reina, tentu tidak akan dia merepotkan diri untuk mengurus gadis muda ini.
"Jika kau tidak bangun sekarang, maka aku akan mengadu bahwa kau tidak ingin bersekolah lagi."
Sebuah ancaman yang pasti akan membuat ayahnya marah, dan ketika itu terjadi maka siapa pun itu tidak berani membantah.
Dari sisi lain pintu....
Semua tampak kacau, setiap pakaian bertumpuk tidak beraturan, aroma asap rokok yang mengelilingi ruangan dan alarm ponsel terus berbunyi tapi dia abaikan.
Reina Ardilla Ardianto barulah terbangun dari tidurnya, wajah yang masih mengantuk dan rambut berantakan tidak membuatnya terlihat buruk. Kecantikan itu sangatlah natural bahkan tanpa make up dan wajah kusut setelah bagun tidur.
Tapi suasana hati berubah menjadi buruk di pagi hari yang cerah dan hangatnya matahari, suara ibu tiri seperti klakson kendaraan di lampu lalulintas ketika lampu sudah menyala hijau.
"Si*al wanita tua itu berisik sekali, apa dia tidak tahu malu dengan sikapnya sebagai orang yang numpang di sini."
Hari-hari Reina sebenarnya tidak buruk, karena segala kebutuhan sudah tercukupi, hanya dia tidak menyukai ibu tirinya yang bersikap mengatur.
"Aku sudah bangun jadi pergilah." Teriak Reina keras menjawab panggilan dari ibu tirinya.
Reina turun dari ranjang, melangkah perlahan ke kamar mandi, sembari menanggalkan setiap pakaian yang dia kenakan setelah tidur.
Gadis itu cantik luar dalam, di usia remaja nya, pertumbuhan yang baik dengan segala nutrisi terpenuhi, makanan sehat dan bergizi, Reina pun rajin berolah raga di gym pribadi, termasuk perawatan kecantikan dengan biaya cukup untuk membeli 10 karung beras.
Tidak ada yang menutup mata untuk sosok Reina Ardilla, di sekolahnya pun dia menjadi primadona, namanya di kenal hingga seluruh kota.
Tapi sayang, sikap Reina berubah drastis ketika sang ayah menikah lagi, bagi dia yang mulai hidup bersama wanita asing dan suka mengatur, tentu membuat Reina ingin memberontak.
Melampiaskan rasa kesal tentang ibu tirinya bersama teman wanita yang tidak bisa dianggap baik, membawa kehidupan Reina dalam lingkaran hidup bebas, asap rokok dan alkohol.
Berbicara masa depan, Reina tidak kekurangan apa pun, kehidupannya sudah terjamin, tidak perlulah sibuk mengurus nilai ijazah atau membuat Surat berkelakuan baik untuk mendapat pekerjaan.
Sang ayah hanya meminta untuk dia lulus dari sekolah dan melanjutkan kuliah, setelah itu mengambil salah satu aset perusahaan yang keluarganya miliki.
Lepas mandi, Reina melihat ke arah ponsel, satu kontak bernama 'Wina' memanggil, nyatanya itu membuat pagi hari yang buruk terasa lebih baik.
"Halo win... Wat sap ?."
"Apa Lo ada rencana."
"Gak ada yang khusus, hanya pergi sekolah saja, buat ngisi absen, Lo tahu kan, Gua banyak bolosnya."
"Haaah, sekolah ?... Lo masih tidur atau lagi mabok, ini hari Minggu, Lo ke sekolah mau apa, nemenin satpam ?."
Cepat mata diarahkan ke kalender yang ada di atas meja, dan nyatanya warna merah di angka 21 tertulis nama hari Sunday. Rasa kesal karena sudah menyibukkan diri untuk mandi di hari Minggu, Reina melempar kalender itu keluar jendela.
"Si*al, wanita tua itu, dia berteriak-teriak mengatakan kalau aku harus berangkat sekolah, jadi aku nggak lihat tanggal dulu."
"Sudahlah lupain Rein, kita pergi aja... Lama nih kita gak piknik bareng temen."
"Cih... Padahal Lo sama teman-teman ketemu setiap hari buat bolos, apa itu bukan piknik."
"Ya bukanlah, di sekolah, bolos, cuma buat nongkrong, tapi ini kita mau nyari angin seger gitu..."
"Pergi ke toko AC aja banyak angin, terus Lo pada kumpulin, biar gak usah nyari lagi."
"Jangan bercanda, serius ah... Ini gua bareng ama si Juna nih."
"Oke oke, jemput gua, mumpung gua baru selesai mandi."
Senyum Reina semakin lebar ketika dia tahu lelaki itu, Junaidi, atau di panggil Juna biar kedengarannya keren, ikut buat hangout bareng.
Di lantai satu, ruang makan...
Brahman Ardantio, lelaki 60 tahun yang tinggal di rumah besar dan segala hal untuk dia bisa banggakan, lebih tepatnya, dia adalah ayah Reina.
Seorang bos dari perusahan besar sedang duduk memanjakan perut buncit itu, dengan segelas kopi, roti panggang, selai nanas dan kertas koran.
Melihat raut wajah istrinya turun dari lantai dua untuk membangunkan Reina, Brahman bingung, dia cukup mengerti bagimana hubungan anak perempuannya itu dengan ibu tirinya.
"Sela, ada apa ?."
"Papa, Reina sepertinya benar-benar membenciku, aku panggil dia untuk pergi sekolah, tapi aku dibentaknya."
"Bersekolah, kenapa harus sekolah ?."
"Lah bukankah tadi papa minta untuk dibangunkan karena dia harus sekolah."
"Ini hari Minggu, aku cuma ingin dia bangun, aku tidak ingin anakku jadi wanita malas."
"Ah begitu..."
Tapi selagi Brahman menikmati suasana pagi yang cukup menyenangkan, termasuk dimanjakan oleh wanita muda berusia 23 tahun dia nikahi beberapa tahun lalu.
Hanya saja ketukan pintu terdengar membuat telinga tidak nyaman, ini adalah hari penting bagi Brahman, satu hari untuk beristirahat, menikmati hidup dengan hasil kerja keras yang dia miliki.
"Sela, buka pintunya, siapa yang pagi-pagi seperti ini menganggu waktu istirahat ku."
"Iya papa."
Di depan pintu yang terbuka itu, wanita cantik namun terlihat murung dan seorang anak remaja dengan tatapan mata tajam, tenang dan terbilang tampan, membuat Sela diam di tempat.
"Ada perlu apa ya ?."
"Aku ingin bertemu dengan pak Brahman, aku Istianti."
"Baiklah tunggu sebentar."
Beranjak masuk karena memang dua tamu yang datang pagi ini, menanyakan suaminya.
"Papa, dia bernama Istianti, ingin bertemu dengan papa." Ucapnya.
Nyatanya saat Sela mengatakan nama Istianti kepada suaminya itu, mata yang fokus membaca koran dan menikmati kopi di atas sofa, kini terbuka lebar dan ada senyum lain terlintas di wajah tuanya.
"Biarkan Istianti masuk, dan bawa beberapa makanan untuk menjamu tamu ini." Ketenangan Brahman benar-benar berubah.
Entah apa hubungan mereka, tapi hampir tidak pernah sela lihat suaminya begitu semangat untuk tamu yang menganggu waktu istirahat di hari Minggu.
Bahkan sekali pun mereka adalah penagih iuran sampah, dilempar satu amplop penuh uang ratusan ribu di depan wajah sambil berkata ...'Ini iuran sampah untuk sepuluh tahun, jika sampai ku lihat kau datang kemari hari Minggu, aku bawa kau ke pegadaian.'
Entah untuk apa ke pegadaian, tapi itu memang terjadi dan ada beritanya pula.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!