NovelToon NovelToon

Atas Dasar Cinta

Nurul Aini

Pagi ini begitu cerah dengan sorotan sang mentari yang masuk dari jendela kamar, cahayanya yang hangat membangunkan setiap orang untuk segera beraktivitas seperti hari biasa namun karena hari libur sekolah telah tiba, pagi ini menjadi pagi yang begitu tenang dan tidak ada suara anak-anak kecil.

Biasanya pukul 06.30 sudah ada anak yang berangkat ke sekolah ada yang diantar oleh orang tua dan ada juga yang jalan kaki.

Rumah Nurul berada di dekat Sekolah Dasar Negeri 25 Muaro Takung hanya butuh 1 menit berjalan sudah sampai ke sekolah hal ini membuat Nurul begitu santai agar tidak buru buru berangkat, ia bahkan sering menunggu bel berbunyi untuk masuk ke kelas. Tak jarang Nurul minta izin pulang ke rumah mengambil buku PR yang tertinggal.

"aduhai senangnya aku, punya rumah deket sekolah memang paling Joss"

ucap Nurul setiap terlupa dengan buku PR nya.

kreek kreeeek kreek, suara pintu kamar Nurul berbunyi. Pintu kamar yang telah rapuh itu memang sudah waktunya digantikan dengan yang baru, rumah yang di huninya itu sudah berusia sekitar 50 tahun dengan dekorasi rumah tua pada masa itu. masih terlihat ukiran bunga di dinding yang usang, meski sudah sering ganti warna, cat rumah itu tetap nampak lawas dan estetik.

"loooh udah jam berapa ini kok belum bangun ndok" suara nya menggelegar ke telingan Nurul, lebih keras dari bel sekolah dan menakutkan seperti petir. Nurul langsung duduk dengan mata terbelalak, matanya merah, kantung matanya hitam bekas celak yang luntur dan rambutnya setengah terikat. "aku Lo udah bangun tadi bu" jawab Nurul dengan menggaruk kepalanya. "bangun di dalam mimpimu, subuh di bangunin shalat, habis sholat tidur lagi iyakan!" bibir tipis ibu terus berbicara dengan seluruh omelan pagi hari.

Setiap pagi memang sudah seperti rutinitas mendengar omelan ibu. Dapur yang kotor, sampah yang bertebaran di halaman rumah, cucian baju yang menumpuk bisa memicu omelannya di pagi hari, meski begitu Nurul tidak pernah kesal dengan ocehan itu, Nurul juga tidak pernah melihat ibunya berbicara keburukan orang lain dihadapannya.

Nurul segera mencuci muka, menyisir rambutnya yang begitu halus,tebal, mengkilat dan selalu wangi. Wajar saja karena Nurul bisa menghabiskan satu botol shampo dalam seminggu. Nurul sangat pandai merawat dirinya, meski masih berusia 12 tahun, Nurul sangat pandai dalam hal apapun. Sering ibu meminta bantuannya untuk berbelanja di pasar dan bahkan memasak untuk bekel ayahnya yang akan berangkat kerja.

Di sekolah Nurul menjadi andalan teman sekelasnya karena ia mendapat juara kelas. Nurul juga sering di ikutkan lomba baik di tingkat kabupaten dan juga provinsi seperti lomba menari, menyanyikan lagu wajib, menggambar, olimpiade matematika dan masih banyak lagi. Nurul begitu antusias ketika mendengar sekolah akan mengikuti perlombaan.

pernah suatu ketika sekolah akan mengikuti lomba Asmaul Husna. kala itu Nurul masih kelas 3 SD, ia juga belum hafal Asmaul Husna yang berjumlah 99 itu. Bu Hana yang merupakan guru agama tentu bingung karena dari sekian banyak muridnya dari kelas 1 sampai kelas 6 belum ada yang hafal sepenuhnya. Bu Hana memilih Fina dari kelas 5 untuk menghafalkan Asmaul Husna dalam waktu 1 Minggu. Fina kelas 5 SD dari kelas A memang sangat cepat dalam menghafal apalagi jika dengan di iringi musik. Fina juga merupakan teman dekat Nurul, rumahnya tak jauh dengan Nurul.

Nurul yang selalu ingin ikut lomba tidak mau kalah dengan temannya itu meski tidak di pilih menjadi peserta, Nurul tak mau kalah dalam menghafal. Setiap kali Fina menghafal Asmaul Husna, Nurul duduk disampingnya menyimak dan juga menghafalkan namun sayangnya semua tak berjalan sesuai keinginan Nurul, ia kesulitan dalam menghafal. Nurul baru dapat 20 asma' saat Fina sudah mencapai 58 asma', ini membuat Nurul patah semangat kemudian ia berpamitan pulang dengan alasan ingin tidur.

Saat tiba di rumah Nurul bukannya tidur, ia justru ke dapur mengambil makanan dan menyantapnya dengan kesal "kesel banget sih, kok si Fina bisa cepet hafal tapi aku enggak". Nurul terus menggerutu dengan mulutnya yang penuh makanan, Nurul bahkan tidak sadar makanan yang ia santap itu sudah basi karena ibu lupa memanaskannya tadi pagi. "ndok, apa yang kamu makan itu? loh itu udah basi kok masih di makan! makan sambil ngomel juga itu kenapa?" ibu menghujani Nurul dengan pertanyaan bertubi-tubi sambil mengambil makanan di hadapan Nurul, Nurul melotot bingung dan terdiam "basi?" tanya Nurul singkat. Langsung ibu pergi ke belakang rumah membuang sisa makanan Nurul.

"ciiiiiiit" suara pintu belakang berdecit lambat dengan langkah kaki ayah yang terdengar mulai mendekati Nurul dan ibu "ada apa ini ribut-ribut" sambil meletakkan cangkul di pojok pintu. Ayah baru pulang dari ladang, tak begitu jauh dari rumah jika dengan jalan kaki bisa di tempuh dengan waktu 10 menit. "ini yah, Nurul habis pulang main bukannya salam yang bagus gitu, malah gerutu sambil makan, padahal udah basi makanannya" sambil menahan tawa ibu menceritakan Nurul ke ayah.

Ayah diam dan tersenyum, biasanya ayah memang selalu tersenyum dan tenang, ia bisa mengambil keputusan dengan bijak. Nurul dan ibu terdiam untuk menunggu jawaban ayah "Bu, tolong buatkan kopi dulu ya" pinta ayah singkat dan dengan senyum khas nya yang memiliki 2 lesung pipi. Ibu segera ke dapur membuatkan kopi. "ndok, kalo marah itu wudhu, istighfar, tinggal tidur" ayah memandang Nurul dengan penuh kasih sayang dan tak lupa mengelus rambut Nurul. Nurul diam dan tersenyum, ia paham dengan apa yang dikatakan ayah seraya mengangguk kan kepala "iya ayah". Meskipun Nurul tidak menceritakan apa yang membuatnya marah tapi ayah bisa memberikan jawaban yang membuatnya tenang dan bisa berpikir jernih lagi.

Lima hari setelah itu di sekolah ketika jam pelajaran pertama akan di mulai, Bu Hana memanggil Nurul untuk datang ke kantor. Nurul berpikir bahwa akan dimintai tolong membersihkan kantor tapi ternyata Bu Hana meminta Nurul menggantikan Fina untuk jadi peserta lomba Asmaul Husna. Nurul bingung, ia begitu senang tapi juga ragu karena ia belum hafal. "Nurul tolong gantikan Fina ya nak, Fina tiba-tiba ga mau hafalan lagi, padahal lombanya tinggal seminggu lagi. Nurul tolong ya nak, bisa ya gantikan Fina" Bu Hana memegangi pundak Nurul. Nurul hanya diam beberapa saat dan mengatakan "in syaa Allah ya Bu"

Tibalah hari perlombaan di mulai. Pagi sekali Nurul sudah tergesa-gesa mencari kertas asma'ul husna yang ia letakkan di tas tiba-tiba menghilang, Nurul mencari dari kamar ke dapur, di balik pintu dan bahkan di tong sampah. Ini membuatnya panik karena ia belum terlalu lancar hafalannya dan masih sering melihat teks saat membaca. "ada apa ndok?" tanya ayah yang terus melihat putrinya yang sedang kebingungan "ayah lihat kertas asma'ul husna ? tadi Nurul letakkan di dalam tas tapi kok gak kelihatan ya?", ayah tersenyum tenang dengan menunjukkan kertas di tangannya "ini yang Nurul cari?". Betapa senangnya Nurul ketika tahu kertas yang ia cari ada di tangan ayahnya, matanya berbinar-binar dan membuatnya terus mengucap hamdalah.

Di masjid An-Nur tempat di adakan lomba telah ramai, para peserta telah mengambil undian, masing-masing sekolah mengirimkan 2 peserta lomba tapi hanya sekolah SD 25 Muaro Takung saja yang mengirimkan 1 peserta. Undian yang belum di ambil tinggal nomor 1 dan satu-satunya yang belum mengambil undian adalah Nurul. Waktu lomba akan segera di mulai jika peserta nomor 1 tidak ada maka akan dianggap gugur. Bu Hana yang sudah sampai di tempat lomba meminta kepada juri agar memberi waktu sebentar untuk menunggu muridnya tapi para juri menolak karena waktu yang singkat.

Saat juri memanggil undian 1 untuk maju ke depan ternyata Nurul baru saja datang, dengan nafas yang terengah-engah ia maju.

Nurul berdiri tegap dengan senyumannya, ia mulai mengatur nafas dan membaca basmallah. Dari tempat duduk peserta terlihat Bu Hana memberi kode jika tidak hafal semua asma' boleh melihat tetapi Nurul tidak mau melihat teks ia menyembunyikan kertas asma'ul husna di belakang.

Lantunan asma'ul husna mulai terdengar, suara Nurul begitu indah dan jelas, semua peserta diam menghayati. Di tengah-tengah bacaan Asmaul Husna Nurul lupa dan membuatnya berhenti, ia panik dan hampir membuka teks beruntung Nurul melihat ayahnya yang hadir ada di bangku, ini membuatnya tenang dan secara tiba-tiba ia bisa melanjutkan sampai selesai.

Perlombaan terus berlanjut, ada perasaan resah dalam hati Nurul. Banyak peserta dengan penampilan yang sangat memukau. "Ndok ada apa? kita persiapan shalat Dzuhur dulu yuk, habis itu makan" ajak ayah untuk menenangkan hati anak perempuannya "nanti pengumuman pemenangnya di umumkan setelah istirahat katanya" sambung ayah.

Setelah selesai shalat dan makan siang keduanya langsung datang ke masjid An-Nur untuk mendengar siapa saja yang menjadi pemenang perlombaan ini. Nurul terus berdoa dan meminta kepada Allah agar ia menjadi pemenangnya meskipun Nurul tahu penampilannya tak sebagus peserta yang lain.

"Juara pertama di raih oleh Fikria dari SDIT Al-Fath, juara ke 2 di raih oleh Ihsanuddin dari SDIT Al-Fath" mendengar pengumuman juara yang di dapat oleh sekolah lain membuat Nurul putus asa, peserta yang ia lawan adalah sekolah Islam terpadu sedangkan Nurul tidak. Nurul langsung menggandeng tangan ayahnya dan meminta pulang, tapi ayah dengan senyumnya meminta Nurul untuk menunggu. "juara ke 3 di raih oleh Nurul dari SD 25 Muaro Takung" Nurul kaget dan senang sekaligus, "haaa aku menang ayah" ayah tersenyum dan berbisik kepada Nurul "semua itu karena Allah, Alhamdulillah"

Semenjak itu Nurul selalu menjadi bintang kelas yang di puji, membuat Nurul berbangga hati atas kemenangan itu namun saat di rumah ayah justru terus mengingatkan bahwa apa yang di raihnya itu bukan hanya karena usaha tapi juga karena Allah, Nurul tidak terlalu paham dengan maksud ayah namun ia diam saja. Seperti biasa ayah mengusap rambut Nurul sambil tersenyum menyisipkan doa di setiap ucapannya "semoga ilmumu barokah manfaat ya ndok, anakku Nurul Aini"

Ayah Laki-laki Mandul

Sinar Surya yang panas kini mulai meredup. Sang penyinar bumi itu telah beranjak dari atas kepala, condong ke arah barat. Desa Dusun 1, Sijunjung Sumatera Barat di kenal sebagai daerah yang dingin, kalaupun hari sedang panas, sinar matahari tidak sampai membuat udara di sekitar desa menjadi pengab.

Waktu menunjukkan pukul 15.45 WIB, seseorang telah mengumandangkan adzan tanda masuknya waktu shalat ashar.

Mbah Hasan namanya. Beliau yang mengumandangkan adzan ashar, suaranya teramat merdu sehingga siapapun yang mendengar pasti berhenti dari semua pekerjaan dan hanyut dengan lantunan adzan itu, beliau merupakan sesepuh yang ada di Dusun 1 yang begitu di hormati masyarakat.

Mbah Hasan bukan berasal dari Desa Dusun 1, beliau terlahir di Jawa timur, Mojokerto dan merupakan kelulusan dari Pondok Pesantren Tebuireng.

Awal mula Mbah Hasan datang ke desa Dusun karena beliau ingin tahu daerah yang mana kata orang makanan khas daerahnya merupakan paling enak, ya nasi Padang namanya. Di Daerah Jawa juga sudah banyak di temui rumah masakan Padang, tapi bukan hanya alasan itu saja, Mbah Hasan merantau juga dengan alasan yang sama dengan orang-orang pada umumnya.

Mbah Hasan di segani masyarakat Dusun 1 karena akhlak nya yang baik, beliau juga mengajak muda mudi Dusun 1 bahkan juga muda mudi dari Dusun 2 untuk bergabung mengkaji kitab ta'limul muta'allim.

Kitab yang menjelaskan tentang adab seseorang yang sedang belajar dan adab sehari-hari, beliau menggunakan metode musyawarah bersama agar muda mudi bisa bertanya dan menjawab dengan pendapatnya masing-masing, mana kala ada yang salah, mbah Hasan akan membenahi kesalahan itu.

Setelah mengumandangkan adzan ashar, biasanya akan dilantunkan juga puji-pujian dan shalawat sembari menunggu jama'ah datang ke masjid.

"Mana Udin? biasanya paling cepet datang?" tanya Mbah Hasan dengan jama'ah yang lain. "mboten ngertos Mbah" ( tidak tahu Mbah ) jawab salah satu jama'ah laki-laki.

Udin adalah nama ayahnya Nurul, namanya Qomaruddin, orang-orang kampung biasa memanggilnya Udin, sedangkan ibunya Nurul bernama Nurul Hasanah dan lebih sering di panggil Uul.

"Ya udah, ayo belajar iqomah le" kata Mbah Hasan sembari menata sajadah di tempat imam, le adalah panggilan untuk anak laki-laki. Mbah Hasan menjadi imam shalat ashar hari ini.

Setelah selesai shalat ashar berjamaah, Mbah Hasan tidak langsung pulang dari masjid, ia biasa berdzikir sebelum pulang. Terkadang Mbah Hasan juga membawa Al-Qur'an miliknya dari rumah untuk di baca di masjid. Padahal banyak sekali Al-Qur'an yang di waqofkan dari masyarakat sekitar untuk diletakkan di masjid tapi ia tidak biasa membaca Al-Qur'an selain miliknya sendiri.

...****************...

Nurul yang dari tadi siang masih main dengan teman-temannya tidak dengar suara adzan ashar berkumandang. Dia masih asik dengan cerita film horor yang di tonton semalam.

"Wiihhh iya looh, semalam aku nonton acara dunia lain, hiii nampak kan dipojok rumah itu ada bayangan terekam kamera" mata Nurul melotot, caranya berbicara mensugesti teman-teman yang mendengar.

Percakapan tentang film horor terus beradu dari satu mulut ke mulut yang lain, mereka saling menunjukkan pengalaman nonton mereka masing-masing. Sampai akhirnya salah satu temannya di panggil orang tua untuk segera melaksanakan shalat.

"Ndok.... ayo shalat! itu yang masih ngerumpi berhenti dulu ya, udah waktunya shalat ashar loo. Nanti mau masuk ngaji MDA kan jam setengah 5, jam segini kok masih belum pada mandi, masih kucel-kucel semua. Ayo semuanya pulang mandi, ceritanya di lanjut habis ngaji"

Pada hari libur MDA Al-Hijrah tidak libur seperti MDA di desa sebelah, liburan ini pengurus MDA mengadakan perlombaan Tahfiz jadi semua santri termasuk Nurul di haruskan hadir untuk hafalan.

Nurul dan teman-temannya langsung bubar dari tempat main. Semuanya bergegas pulang ke rumah masing-masing, mereka yang rumahnya berdekatan masih melanjutkan cerita yang belum selesai sambil jalan kaki.

Nurul baru ingat bahwa tadi sebelum pergi main, ibu sempat mau menitipkan sesuatu untuk diberikan kepada Bu Dewi yang rumahnya ada di ujung desa. Nurul berlari sekuat tenaga agar cepat sampai ke rumah.

"Waduh, bakalan kena marah nih sama ibu" Nurul bergumam sambil menepuk jidatnya.

Sesampainya di rumah, Nurul langsung bergegas mandi setelah itu shalat ashar. Ia menggunakan baju muslim syar'i dengan kerudung yang panjang menutupi dada. Nurul nampak sangat anggun dan cantik, ia sering mendapat pujian dari tetangganya, terkadang ia juga di sebut-sebut sebagai kembang desa karena memiliki kulit putih bersih, mata yang berwarna coklat terang dan postur tubuhnya yang ideal.

"Dari mana saja ndok? kok baru pulang, ingat tadi ibu pesen apa?" ibu mengintip dari kelambu pintu kamar Nurul. Dengan senyumnya Nurul menjawab dengan jujur "tadi ga denger suara adzan Bu, tapi Nurul inget kok ibu pesen apa. Ibu mau nitip barang buat Bu Dewi kan hehe" Nurul meringis menampakkan gigi gingsulnya.

"Ayah masih di masjid ya Bu?" tanya Nurul untuk membuat ibu lupa akan kesalahan Nurul yang pulang telat. "Ayahmu ketiduran jadi gak jama'ah shalat ashar tadi, itu masih di belakang buat kopi"

Ibu memasukkan satu piring bermotif sangat cantik dan buah apel dalam satu plastik lalu menitipkannya pada Nurul "ndok nanti ini kasihkan Bu Dewi ya"

Sambil tersenyum Nurul bertanya lagi "emang buat apa buah apelnya dikasih ke Bu Dewi Bu? buat kita aja loh ya" rayunya. "Itu kemarin Bu Dewi ngasih kita rendang pake piring, jadi kita balikkan piringnya, sama buat oleh-oleh Bu Dewi tadi ibu dari pasar sekalian ibu belikan apel, punya Nurul itu masih ada dalam kulkas" ibu memonyongkan bibirnya ke arah kulkas, ini sudah kebiasaan kebanyakan orang-orang di Indonesia menunjukkan barang menggunakan isyarat mulut.

"Ya udah cepet berangkat ndok, jangan lupa titipan ibu ya" kata ibu sambil berjalan ke depan.

Dari luar terdengar suara seseorang memanggil ayah, "Udin..! Udin...!". Ternyata yang memanggil adalah Mbah Hasan, ibu segera membuatkan teh hangat untuknya.

Mbah Hasan menganggap ayah seperti cucunya sendiri, setiap subuh Mbah Hasan akan memanggil ayah untuk di ajak jama'ah shalat subuh, ngaji bareng dan sering ayah menggantikan Mbah Hasan sebagai imam masjid jika beliau berhalangan hadir.

"Le, kenapa tadi gak jama'ah?" tanya Mbah Hasan. Ayah menundukkan kepala tanda menghormati, lalu menjawab dengan suara yang jelas namun tetap sopan "ketiduran Mbah", ayah menjawabnya sambil mencium tangan Mbah Hasan.

Sesepuh Desa Dusun itu tersenyum dan menganggukkan kepala lalu bertanya lagi "gimana kabar keluarga mu le?", ayah belum sempat menjawabnya tiba-tiba ibu datang dari dapur dengan membawa segelas teh hangat, gorengan dan buah apel yang sudah dipotong.

"Mari Mbah sambil di makan, kebetulan tadi habis dari pasar" ibu menyuguhkan teh kepada Mbah.

Mbah Hasan langsung menyeruput teh hangat yang ada di hadapannya "Alhamdulillah ya Allah, enak pool. Saya itu seneng banget bertamu ke rumahmu Din" kata Mbah Hasan lalu meletakkan gelas.

"Keluargamu itu terlihat bahagia terus Din, saya jadi ikut seneng" Mbah Hasan menepuk-nepuk pundak ayah. Ayah hanya diam dan menunduk begitu pula ibu, kemudian Mbah Hasan melanjutkan "kalian jangan sedih gitu to, meskipun Udin gak bisa punya anak tapi kalian masih bisa mendidik Nurul, didik dia dengan ilmu agama ya Din, Uul...!

Ayah tersenyum karena perkataan Mbah Hasan seolah-olah sudah tahu apa yang ada di hati ayah tanpa harus mengatakan. Tapi ibu justru cemas, ketika di tanya mengapa ibu tak mau menjawab, ibu hanya geleng-geleng kepala dan senyum risau.

Nurul mendengar apa yang di bicarakan Mbah Hasan, ayah dan ibu dengan kebingungan. Nurul tidak faham betul apa yang mereka bahas, ia sedih tapi tidak mengerti bagaimana mau bertanya pada ayah dan ibunya.

"Ndok udah cepetan berangkat sana ya, biar gak terlambat ke tempat ngaji, masih ingat Nurul kan pesan ibu tadi" ibu berusaha mengalihkan perhatian Nurul dari apa yang mereka bahas tadi.

Nurul segera mencium tangan Ibu, Ayah dan Mbah kemudian berpamitan "Nurul berangkat, assalamualaikum". "Wa'alaikumsalam" jawaban yang serentak.

Di MDA Nurul tidak bisa konsentrasi, dia terus kepikiran dengan apa yang ia dengar tadi sore, ia belum paham apa yang di katakan Mbah Hasan, sampai salah satu temannya mengingatkan tentang hafalan juz amma.

"Nurul, kamu udah lancar surah al-bayyinah kan..! tolong simak aku sebentar ya" pinta temannya. Nurul langsung menolak permintaan temannya itu, karena ia sendiri lupa dengan hafalannya.

"Rul, dari tadi kamu kok bengong terus kenapa sih" Fina yang merupakan teman dekatnya bertanya. Semua teman-teman Nurul memang sangat perhatian terhadap Nurul jadi mereka tahu ketika ia bersedih hati.

"Udah gak papa cerita aja ke kita, kita kan sahabat" ucap Fina sambil mengangkat kedua alisnya yang berantakan. Nurul ragu, ia ingin menyembunyikan semua masalahnya sendiri.

Akhirnya Nurul hanya diam sampai waktu pulang ngaji, ia tak mau bicara dengan siapapun ia juga menghindari kontak mata dengan sahabat dekatnya, Fina.

"Fina, kalian bertengkar ya?" tanya teman yang lain. "Looh kok aku yang bertengkar..! Nurul loh dari tadi gak mau ngomong, jangan dulu di ganggu deh kalo lagi ngambek si Nurul, biar besok aku aja yang nanya kenapa" pungkas Fina tegas.

Pulang dari MDA, Nurul langsung pergi ke rumah Bu Dewi. Biasanya ia tak pernah berani jalan sendirian pada malam hari, tapi hari ini pikirannya kacau dan membuatnya tidak menghiraukan rasa takut.

Sesampainya di rumah Bu Dewi, Nurul mengetuk pintu rumahnya dan memanggil namanya. Terdengar suara yang lumayan ramai dari dalam, ternyata ada sekumpulan ibu-ibu yang sedang arisan.

Salah satu dari mereka ada yang akan mengadakan acara syukuran anaknya yang mau di khitan, dengan mengundang anak yatim piatu untuk di ajak makan bersama.

"Ndok Nurul ngapain?" tanya Bu Dewi saat membuka pintu. "Ini Bu Dew, dari ibu katanya piring Bu Dewi, sama ada buah apel dibawakan ibu" Nurul menyerahkan Katong plastik.

Bu Asih tetangga sebelah rumah Bu Dewi berbisik-bisik dengan ibu-ibu yang lain lalu mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan dan Nurul tidak pernah ingin mendengar kalimat seperti ini "Nurul di undang juga besok ya buk, dia kan anak yatim piatu".

Kalimat itu membuat Nurul terdiam kaku, Nurul serasa seperti habis di sambar petir, ia menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Nurul jangan di dengar kata ibu Asih tadi ya, bercanda itu" Bu Dewi berusaha menutupi.

Nurul buru-buru meninggalkan rumah Bu Dewi, tapi masih terdengar suara ibu-ibu dalam rumah itu yang masih membicarakannya.

"Bu Asih kalo ngomong di jaga toh, kasian si Nurulnya" kata Bu Dewi berusaha membuat mereka tenang dan bisa menjaga perasaan Nurul.

"ya biarin toh, lah memang dia yatim piatu kok, si Udin itu kan mandul orangnya" kata Bu Asih dengan ketus.

Mendengar itu Nurul langsung berlari pulang, sambil mengusap-usap air matanya yang terus mengalir.

Hari ini menjadi hari terburuk bagi Nurul, ia berharap tidak pernah mendengar semua ucapan orang-orang agar hatinya bisa tenang seperti sebelumnya.

Tanpa mengucap salam Nurul masuk rumah, menutupi wajahnya, matanya yang merah dan berlinang air mata. "Ndok udah di kembalikan piringnya Bu Dewi?", ibu belum menyadari bahwa Nurul sedang menangis.

"Braaakkk" Nurul membanting pintu kamar. Ia menangis terisak-isak, mengambil buku diary dan menulis semua isi hatinya.

Mendengar suara Nurul yang sedang menangis membuat ibu gelisah, ibu sedih dan ikut menangis "ndok kamu kenapa?" tanya ibu pelan-pelan sambil mengetuk pintu kamarnya.

Nurul tak menjawab, ia membiarkan ibu terus mengetuk pintu kamarnya sampai ia tertidur. Dari luar kamar ibu masih terus bertanya tentang keadaan Nurul.

Setelah beberapa saat Nurul tidak terdengar suara tangisannya, ibu langsung menyadari apa yang ada di dalam pikiran Nurul.

"Ya Allah, apa yang aku takutkan selama ini sudah di dengar oleh Nurul. Apakah waktunya sudah tiba ya Allah? allahu robbi tolong hambamu ini" ibu mengangkat tangan dan meminta pertolongan dari Allah.

Berita Kepergiannya

Angin malam mendayu-dayu teramat dingin. Rembulan penghias malam tertutup oleh awan hitam, menutupi keindahan malam. Kelam dan hitam seperti suasana hati ibu.

Ibu sedih dan bingung harus melakukan apa agar Nurul mau keluar dari kamar dan berbicara padanya.

Ibu mencoba membujuk Nurul dengan menawarkan buah apel yang sudah di kupas, berbicara dengan nada yang lembut dan segala macam hal ibu lakukan, tapi Nurul tetap tidak mau keluar.

Pikirannya buntu, ibu menangis menumpahkan air matanya yang sudah tak bisa di bendung lagi sedari tadi.

Ibu berjalan menuju kamar dan merebahkan tubuhnya, matanya tetap menangis tapi ibu berusaha menahan suaranya agar ayah yang tertidur pulas tidak terbangun.

"Ya Allah, ya Allah tolong hambamu ini" kata ibu lirih sambil mengusap air matanya yang tak berhenti.

Ibu terus terisak-isak dan menyebut nama Allah, membuat ayah terbangun dari tidurnya.

Melihat ibu yang bertingkah seperti menyembunyikan sesuatu dengan membelakangi ayah, ayah jadi teringat akan kejadian tadi sore.

Ayah segera meraih tangan ibu, melihat wajah ibu yang di sembunyikan, mengusap air matanya lalu mengusap rambut dan mencium keningnya.

"Gak usah di sembunyikan wajahnya, mas tahu kalau adek sedang sedih" ucap ayah sambil mengelus-elus kepala ibu.

Seketika tangis ibu pecah, semua sedih yang ibu tutupi langsung keluar seiring berderainya air mata.

"Apa yang adek pikirkan?" tanya ayah dengan penuh kasih.

"Nurul gak mau bicara mas, Nurul nangis dari pulang ngaji. Apa Nurul udah tahu ya mas…?" wajah ibu yang sedih berubah menjadi sangat cemas.

Ayah mengerti akan keluh kesah ibu kemudian memeluknya sambil memberikan senyum dan jawaban dengan tenang.

"Kalau memang ini waktunya Nurul tahu, kita bicara baik-baik dengan Nurul besok. Dek nanti bangun untuk tahajjud ya" pinta ayah pada ibu.

"Sekarang kamu ambil wudhu dan baca istighfar terus tidur" lanjut ayah.

Ibu menuruti perkataan ayah, tapi sayangnya ibu tidak bisa tidur sampai tengah malam. Setiap mengingat Nurul, ibu langsung menangis lagi. Matanya lelah menangis dan perlahan-lahan ibu tertidur.

"Dek bangun, ayo tahajjud berjama'ah" ayah membangunkan ibu dengan suara yang lembut.

Jam menunjukkan pukul setengah 3 dini hari. Suasananya tenang sekali, beberapa ayam jago berkokok. Menandakan bahwa ayam sedang melihat malaikat Allah turun ke bumi untuk melihat siapa siapa saja hamba Allah yang sedang bermunajat.

Di saat orang-orang banyak yang terlelap, di saat itu pula waktu yang mustajab untuk berdoa dan doa yang di panjatkan setelah shalat tahajjud seperti anak panah yang tepat mengenai sasarannya.

Ibu terperanjat, kepalanya pusing dan matanya bengkak. Ibu bergegas melaksanakan shalat tahajjud.

Mereka melaksanakan shalat tahajjud dengan khusyuk, kedua tangan mereka menengadah dan mengungkapkan semua masalahnya pada sang Kholiq.

Ayah selalu membimbing ibu agar dekat dengan Allah, setiap masalah datang mereka pasti menyerahkan semuanya pada sang maha pencipta.

Mereka percaya bahwa Allah tidak mebebani masalah untuk hambanya di luar batas kemampuan hambanya, maka dari itu serahkan semua masalah pada Allah dan berdoa agar bisa di berikan jalan terbaik.

...****************...

Nurul menangis tanpa suara, hatinya di hujani rasa sakit, banyak pertanyaan yang muncul dalam pikirannya tapi mulutnya tak bisa bergerak.

Saat saat sedih seperti ini biasanya Nurul menuliskan semua kesedihannya dalam buku harian, tapi kali ini sedih yang ia alami lebih hebat dari yang sebelumnya hingga tubuhnya lemah dan pingsan di dalam kamar.

Pada pukul setengah 2 dini hari Nurul tersadar dan tak bisa tidur, kemudian memutuskan untuk shalat tahajjud sendiri.

"Ya Allah, Nurul tidak tahu maksud ayah, ibu dan Mbah Hasan kemarin. Apalagi Bu Asih mengatakan hal yang tidak ingin Nurul dengar juga ya Allah, Nurul dilanda kebingungan ya Allah, sebenarnya apa yang di sembunyikan ayah dan ibu ya Allah. Nurul sedih tapi Nurul gak tau harus ngapain. Ya Allah ya Tuhanku, tunjukkan kebenaran pada Nurul agar lepas dari kebingungan ini aamiin"

Setelah selesai berdoa, hati Nurul menjadi tenang dan bisa tidur dengan pulas.

Keesokan harinya, ibu mengetuk pintu kamar Nurul untuk kesekian kalinya namun Nurul masih enggan untuk membukakan pintu.

"Ndok, udah seharian Nurul gak keluar kamar. Ayo keluar, Nurul belum makan kan..!" suara ayah dari luar kamar.

"Kalau Nurul belum mau bicara gak papa, ayah tunggu sampai Nurul mau bicara ya ndok, ayah sama ibu mau jama'ah di masjid dulu" ayah berpamitan.

Ayah dan ibu saling bertatapan, lalu meninggalkan Nurul sendirian di rumah. Barangkali Nurul mau keluar dari kamar saat ayah dan ibu tidak ada.

Langkah kaki ayah sangat cepat menuju ke masjid. Sudah banyak orang yang datang tapi masih belum mulai shalat.

Tiba-tiba datanglah suami Bu Dewi dengan nafas yang terengah-engah dan berkata sambil terbata-bata.

"Mas Udin, Mbah.... mba.... Mbah Hasan mas" sambil memegangi dadanya yang sesak.

"Tenang dulu mas" jawab ayah.

"Mbah Hasan, masuk rumah sakit. katanya terluka parah" sahut suami Bu Dewi. "Buruan mas, pergi ke sana" lanjutnya.

Ayah segera mengimami shalat, berdzikir dan berdoa. Ayah dan warga yang berjamaah juga berdoa untuk keselamatan Mbah Hasan.

Setelah selesai, ayah meminta ibu untuk pulang ke rumah saja agar Nurul ada teman di rumah.

Ibu mengucap salam, membuka pintu dengan pelan sambil mengintip apakah Nurul sudah mau keluar dari kamar.

Setelah di perhatikan ternyata pintu kamar Nurul sudah terbuka, ini berarti Nurul sudah mau keluar dari kamar.

Hal ini membuat ibu senang, kemudian mencari Nurul ke dapur. Tapi ibu di landa kebingungan lagi karena ia tak menemukan Nurul di sana.

Ibu mencari ke dapur, halaman dan kamar mandi, masih tak menjumpai Nurul.

Lalu pikiran negatif muncul "Jangan jangan Nurul pergi dari rumah" ibu menutup mulutnya.

"Astaghfirullah" ucap ibu kemudian. Dalam kebingungan itu ibu berusaha tenang.

"kring kring kring"

suara HP ibu berbunyi ada yang memanggil, ternyata panggilan dari ayah.

"Assalamualaikum" salam dari ibu lebih dahulu terucap, "wa'alaikumsalam " jawab ayah.

Ibu mendengar ayah yang berbicara lewat telfon. Semakin lama ayah berbicara, raut wajah ibu terus berubah menjadi sedih hingga ibu mengucapkan

"Innalilahi Wa Inna Ilaihi Raji'un ".

Tangan ibu bergetar, ibu tak bisa lagi mengucapkan kata-kata selain kalimat Tarji'.

Ayah berpesan pada ibu agar tetap tenang dan minta sampaikan kepada pengurus masjid agar di umumkan lewat masjid tentang berita duka.

Betapa hancur hati ibu pada hari itu, ujian yang ia hadapi di rumah belum selesai sudah di datangkan kesedihan lagi.

Masyarakat Dusun 1 sudah berkumpul di depan rumah almarhum Mbah Hasan, semua ikut berduka bahkan angin sore juga seperti ikut bersedih atas kepergian sesepuh yang di hormati itu.

Mobil ambulan datang, suara Isak tangis masyarakat bersautan, memanggil nama Mbah Hasan.

Persiapan untuk memandikan jenazah sudah di siapkan. Kain kafan dan semua untuk pemakaman sudah lengkap.

Jenazah segera di bawa ke tempat pemandian. Banyak orang yang terkejut dengan darah yang mengucur dari tubuh jenazah.

Semua orang bingung, sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan jenazah, luka apa yang membuatnya berlumur darah.

Tapi tubuh jenazah tidak terlihat sama sekali karena di tutup rapat dengan kain hingga tak seorang pun dapat melihat.

Proses merawat jenazah sangat cepat, dan selesai pemakaman saat matahari sudah di gantikan posisinya oleh sang rembulan.

Ayah dan ibu segera membersihkan diri dan istirahat di rumah.

Ayah menemui ibu yang berwajah suram. Melihat sekeliling rumah lalu bertanya bagaimana keadaan Nurul.

Ibu terdiam, menggelengkan kepala dan menutup wajahnya.

"Nurul gak di rumah mas" ibu menangis lagi.

"Nurul gak ada dari tadi, pas pulang shalat jama'ah tadi udah gak di rumah mas"

Ibu memeluk ayah dengan erat, dadanya sesak kemudian ibu tak sadarkan diri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!