Di sebuah rumah besar di pinggir kota.
"Bagaimana, Salsa, apa kamu mau menerima lamaran dari Pak Andi?" tanya seorang wanita separuh baya bernama Dewi pada seorang wanita berhijab yang merupakan anaknya, yaitu Salsa.
Salsa tampak bimbang. Dia hanya menundukkan kepalanya saja dan meremas ujung baju kurungnya.
"Maaf, Bu, Salsa nggak bisa menerima lamaran Mas Andi," ucap Salsa sambil mengangkat wajahnya yang terlihat seperti tak enak hati.
"Tapi kenapa, Sa? Bukankah Pak Andi ini orang yang sangat cocok untuk kamu? Dia adalah seorang yang Soleh. Salatnya tepat waktu, rajin berpuasa dan bersedekah. Di samping itu, dia juga sudah mapan dan umurnya masih muda," ujar Dewi yang tak habis pikir dengan jalan pikiran anaknya.
Ini adalah ke-empat kalinya dia menolak lamaran pria yang datang padanya. Padahal, jika dilihat, profil semua pria yang melamarnya sangat bagus. Yang pertama ada Ricki, seorang pengusaha tambang yang sangat kaya. Lalu ada Gilang, pengusaha restoran yang hanya terpaut lebih tua dua tahun darinya. Kemudian ada Aris, dokter muda yang sangat berprestasi. Dan yang terakhir adalah Andi, seorang pengusaha jam tangan yang memiliki sifat soleh sesuai keinginan Salsa.
"Maafkan Salsa, Bu. Tapi pilihan Salsa tetap nggak menerima lamaran Mas Andi. Maafkan saya, ya, Mas," ujar Salsa sambil mengalihkan pandangannya pada Andi yang terlihat kesal.
"Halah! Udah janda aja belagu! Udah bagus saya mau melamar kamu! Menyesal saya datang ke sini, buang-buang waktu aja!" Andi pun segera pulang setelah melampiaskan amarahnya pada mereka.
"Lihat, kan, Buk, dia sama aja kayak yang lain. Begitu ditolak, maka mereka akan menunjukkan sifat aslinya," ucap Salsa sambil menghela nafas pelan.
Sedangkan Ramli, ayahnya yang bisu hanya diam dan mengusap kepala Salsa dengan lembut. Sabar, ya, Nak, mungkin itulah kalimat yang ingin disampaikan Ramli padanya.
"Wajar kalau pria yang ditolak lamarannya akan marah. Memangnya standar seperti apa yang kamu inginkan dari seorang pria? Apa kamu nggak mau kayak kakak kamu yang sekarang hidup bahagia sama suaminya." Dengan sedikit kesal, Dewi pun mengeluarkan uneg-unegnya selama ini pada Salsa.
"Maafkan Salsa, Buk, Yah. Sebenarnya Salsa trauma dengan pria kaya. Salsa takut jika akan bernasib seperti dulu." Akhirnya Salsa mengutarakan isi hati yang selama ini dipendam olehnya.
"Tapi nggak semua pria kaya itu jahat. Contohnya Abang iparmu, Mas Adit. Dia sangat baik dan mencintai kakakmu, Anisa." Dewi kembali mengingatkan Salsa perihal Anisa yang beruntung mendapatkan suami kaya dan mencintainya dengan sepenuh hati.
"Tapi orang seperti Mas Adit itu susah ditemukan, Buk. Ibarat satu juta banding satu. Maafin Salsa, Buk." Salsa pun pergi menuju ke kamarnya dan menangis sendirian.
Menurutnya, ibunya sama sekali tidak mengerti bagaimana perasaannya saat ini. Dia sungguh tak ingin menikahi pria kaya karena takut akan bernasib sama seperti saat menjadi istrinya Bagas, mantan suami yang pernah membuatnya menderita selama berbulan-bulan. Disuruh kerja dan selalu disiksa. Dan semua itu hanya karena Salsa menghabiskan banyak uang untuk biaya pernikahan mereka.
"Kenapa sih, di dunia ini nggak ada yang ngertiin aku. Aku nggak mau nikah sama pria kaya. Aku trauma. Lebih baik aku menikah dengan pria sederhana asalkan hidupku bahagia." Salsa menangis tersedu-sedu hingga rasa lelah pun membuat dirinya ketiduran di atas ranjang empuk miliknya.
Pagi menjelang. Salsa bangun terlebih dahulu sebelum suara adzan membangunkannya. Dia langsung menyegarkan dirinya ke kamar mandi sekalian mengambil wudhu.
Dia pun segera melaksanakan salat subuh setelah adzan berkumandang. Selesai salat, dia segera ke dapur untuk memasak karena hari ini ibunya akan berangkat pagi-pagi sekali dikarenakan akan pergi berbelanja barang-barang baru.
Selesai memasak, ibunya pun pergi ke dapur untuk sarapan karena sebentar lagi dirinya akan pergi. Setelah sang ibu pergi, Salsa pun mulai membersihkan rumah dan mencuci piring serta pakaian.
Hingga pukul tujuh tepat, ayahnya pun baru keluar kamar dengan seragam PNSnya.
"Ayah, ayo sarapan dulu," ucap Salsa sambil meletakkan piring di atas meja dan menuangkan menu sarapan ke dalam piring tersebut.
Ramli mengangguk sembari tersenyum sambil menundukkan dirinya di depan meja makan. Dia terlihat sangat lahap memakan sarapan pagi itu karena masakan Salsa memang enak. Meski tak seenak Anisa, kakaknya, namun masih bisa membuat seseorang lahap memakannya.
Ramli pun menuliskan sesuatu di note digital miliknya. Dia menunjukkan tulisan itu kepada Salsa.
"Kamu nggak papa, kan, Nak?"
Rupanya Ramli masih sangat khawatir pada Salsa sejak kejadian tadi malam. Dia tak bisa memungkiri bahwa dirinya turut andil dalam kehidupan Salsa yang sekarang. Dulu, dia memperlakukan sahabat Putri raja hingga membuat gadis itu menjadi gadis yang egois dan pemalas. Keegoisannya pun membuat jam masuk ke dalam perangkap seorang pria kaya yang menyiksanya dan membuatnya menjadi pembantu gratis di rumahnya. Berita ini sempat viral beberapa tahun yang lalu. Salsa sendiri kini sudah berusia dua puluh enam tahun, namun dia masih belum mau menikah. Dan tadi malam, akhirnya Ramli tahu bahwa alasannya karena trauma terhadap pernikahannya bersama Bagas dulu.
"Ayah tenang aja, Salsa nggak papa, kok." Salsa pun tersenyum, berusaha untuk menenangkan ayahnya agar tidak terlalu khawatir padanya.
"Maafkan Ayah, ya, Nak."
Salsa kembali melihat tulisan sang ayah. Dia pun tersenyum dan mengangguk mengiyakan. "Mari untuk nggak membahas masa lalu lagi, Yah. Sekarang Ayah habisin sarapannya terus berangkat kerja. Oh ya, Salsa izin, ya, Yah. Salsa mau ke pasar buat belanja stok di kulkas."
Ramli mengangguk sambil tersenyum. Tak lupa dia memberikan sejumlah uang untuk Salsa. Bukan uang untuk belanja, melainkan uang untuk jajan Salsa. Karena uang belanja sudah diberikannya setiap gajian.
"Nggak usah, Yah, Salsa ada uang, kok."
"Jangan bohong. Ayah lihat kemarin kamu memandangi tas cantik di sosial media. Belilah dengan uang ini. Ayah tahu kamu nggak pernah mau minta sama Ayah atau Ibu. Terima, Nak, dan belilah," tulis Ramli.
Salsa tersenyum sambil menerima uang itu dari sang ayah. "Maaf, ya, Yah, Salsa jadi ngerepotin. Nanti kalau Salsa udah kerja, Salsa bakalan balikin uang Ayah."
Ramli hanya mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya dia tak menginginkan sang anak mengembalikan uang itu. Namun, jika ditolak, tentu Salsa akan sedih.
Selesai sarapan, Ramli pun segera berangkat bekerja dengan menggunakan mobilnya. Sedangkan Salsa mengeluarkan sepeda motor miliknya dan pergi ke pasar. Sebenarnya dia hendak dibelikan mobil oleh kakaknya. Namun, dia jelas menolak mobil itu dan memberikannya pada ibunya untuk keperluan berdagang. Karena sekarang, Dewi sudah tidak berdagang di pasar lagi. Dia sudah membuka toko yang cukup besar dan pastinya laris manis karena menantunya seorang CEO. Dia selalu merekomendasikan pada rekan kerjanya untuk berbelanja baju di toko Dewi.
Salsa mengendari sepeda motornya menuju ke warung untuk mengisi bensin karena, bensin di sepeda motornya tidak akan cukup sampai ke pom bensin.
Mungkin pagi ini dia sedikit tak beruntung karena kebetulan di warung itu, ada beberapa ibu-ibu yang sedang ngerumpi. Mereka adalah Bu Lena, orang yang dulu pernah Salsa caci maki. Lalu ada Bu Sumi si pemilik warung. Dan ada Bu Mega yang terkenal sebagai mertua yang suka menindas menantunya.
"Eh, Salsa, mau kemana, nih?" tanya Bu Lena dengan tatapan sinisnya.
"Ngisi bensin, Bu," sahut Salsa dengan tatapan biasa saja. Senyuman pun terukir di wajahnya kala itu.
"Mau kemana?" sambung Bu Mega yang tak kalah menatap sinis padanya.
"Ke pasar, Bu, mau stok bahan makanan di kulkas."
"Berapa liter, Sa?" tanya Bu Sumi yang saat ini sudah berada di dekatnya.
"Dua liter, Bu," ujarnya pelan. Bu Sumi pun langsung mengisi bensin ke sepeda motornya sebanyak 2 liter. Salsa hanya memerhatikan dan berusaha untuk tidak menatap kedua ibu-ibu yang sedang menatapnya dengan sini.
"Syukurlah anak saya mendapatkan jodoh yang baik. Istrinya seorang PNS di kecamatan dan penurut. Kalau aja dulu saya dapat menantu yang pemalas dan manja, pasti saat ini hidup anak saya akan sengsara," ucap Bu Lena yang masih terus menatap Salsa.
"Iya, untung aja menantu saya itu pekerja kantoran. Kalau dapatnya perempuan pengangguran padahal berijazah, pasti saat ini hidupnya akan sengsara," sambung Bu Mega.
Salsa tahu bahwa sindiran yang diberikan ibu-ibu itu memang ditujukan untuk dirinya. Dialah gadis pemalas, manja, dan pengangguran itu. Tapi itu dulu karena sekarang dia sudah menjadi gadis yang rajin dan mandiri. Hanya saja, dia belum menemukan pekerjaan karena agak sulit mencari kerja tanpa embel-embel Abang ipar. Sering sekali kakaknya, Anisa menawarinya untuk bekerja di perusahaan suaminya.
Namun, Salsa sudah tidak mau bergantung pada siapapun dan ingin membuktikan bahwa dirinya bisa sendiri. Sekarang ini dia sudah memasukkan beberapa lamaran ke sekolah-sekolah. Hanya saja, lamaran itu belum juga mendapatkan panggilan.
"Totalnya dua puluh dua ribu, Sa," ujar Bu Sumi.
Salsa pun memberikan uang sebesar tiga puluh ribu rupiah.
"Sebentar, ya, saya mau ambil kembalian dulu." Bu Sumi pun segera pergi ke dalam warungnya untuk mengambil kembalian. Sedangkan Salsa masih betah berada di samping sepeda motornya untuk menunggu kedatangan Bu Sumi.
"Sa, dulu waktu kami disiksa sama mantan suami kamu gimana sih ceritanya? Kita kangen banget denger secara langsung!" Tiba-tiba saja Bu Lena berseru hingga membuat Salsa terkejut. Bagaimana bisa mereka kembali mengungkit luka lama yang membuatnya trauma hingga saat ini?
"Iya, Sa, gimana sih ceritanya. Terus, mantan suami kamu udah bebas belum?" sambung Bu Mega.
Salsa hanya diam saja. Dia sama sekali tak berani menjawab karena momen-momen menyakitkan itu kembali mengisi pikirannya.
"Jawab dong, masa diem aja!"
"Maaf, Bu Sumi, kembaliannya buat Ibu aja, saya permisi dulu."
Gegas Salsa mengendarai sepeda motornya dan menjauh dari warung tersebut. Dia tak kuasa menahan tangis sepanjang jalan karena kembali mengingat momen menyedihkan ketika menjadi istri Bagas, mantan suaminya yang saat ini masih ada di balik jeruji besi.
"Gimana sih, ditanya kok malah pergi. Pasti kena mental. Makanya, jadi orang itu punya mulut harus dijaga biar nggak membuat orang sakit hati. Meski kejadian waktu dia menghina saya udah bertahun-tahun, tapi saya masih ingat sampai kapanpun." Bu Lena menatap sinis ke Salsa yang sudah sangat jauh, namun masih bisa dilihat warna bajunya yang hampir hilang dari pandangan.
"Biarin aja, dia menuai apa yang ditaburnya dulu." Bu Mega menambahkan. Meskipun dirinya tidak pernah terlibat masalah apapun dengan Salsa, namun sebagai ibu-ibu yang suka julid, dia memang harus ikut menghakimi Salsa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!