Malam ini Jakarta diguyur hujan, Tapi tetap saja tak bisa membubarkan kemacetan. Kulihat kesibukan kota ini dari balik jendela bus. Malam dan siang sama saja dikota ini.
Kusandarkan kepalaku pada kaca jendela, sedikit melepaskan lelah seadanya. Huhh..... Hari yang melelahkan
hmm dapat berapa ya hari ini?
Kurogoh saku celanaku, mengambil uang-uang hasil mengamen hari ini. Uang recehnya cukup lumayan banyak hingga tak bisa aku genggam, dan harus aku taruh dikursi kosong sebelahku. Beberapa uang kertas lusuh juga agak lumayan.
Satu.. Dua... Tiga... Empat...
ada 43.500 jumlah semuanya. Lumayanlah untuk ngisi perut malam ini.
Akhirnya sampai sudah aku dipemberhentianku. Hujan masih lumayan besar. aku jadi harus menjadikan jaketku payung saat menurunin bis. Dengan sedikit berlari aku mencari tempat berteduh.
Kebetulan dijalan menuju kostanku ada sebuah warung. pas sekali, aku juga berencana membeli sebungkus mie instan untuk makan malam.
Setelah membeli sebungkus mie dan setengah bungkus rokok. Aku memilih berteduh sebentar di warung ini. Sebenarnya jarak kostan ku tidak terlalu jauh dari sini,tapi karena hujan cukup deras, beberapa langkah saja aku berlari sudah dipastikan basah kuyup. sabar aja dulu lah, lagian ini belum terlalu larut malam juga.
"pak ikut neduh bentar ya" kataku pada pemilik warung
Diapun mengiyakan. Kebetulan disana ada sebuah kursi kayu, jadi aku bisa duduk santai sambil menunggu hujan sedikit mereda.
sembari membakar sebatang rokok yang telah kubeli, Kupandangi setiap tetes hujan yang jatuh. Suara hujan terdengar ramai, tapi entah mengapa justru mengantarkan sedikit damai. otakku lantas menjelajah menyusuri ingatan tentang kenangan-kenangan yang terlalui selama hidupku. Terbayang cukup banyak. Banyak tawa, canda, duka, dan sedikit bahagia. Namun dari semua itu, yang tidak pernah aku temukan adalah kebanggaan akan diriku sendiri. Dari semua kenangan itu, tak ada satupun keberhasilan yang kuraih. Yang kutemukan hanyalah kegagalan.
Semua hal itu membuatku termenung sesaat dalam damainya rintihan hujan. hingga tiba-tiba ponselku berdering menghancurkan seluruh lamunan. Tertulis nama "Ibu" dilayarnya.
"Halo Bu, ada apa?" kuangkat telponnya
"Mir, gimana kabarmu disana? Kamu sehat-sehat aja kan?" tanya ibu.
"yah.... ba-ba-baik bu. Damir masih sehat-sehat aja kok bu. Ibu gimana disana?"
"Alhamdulillah baik mir. Cuma hmm.. Kamu ada pegang uang lebih dulu gak mir? Adekmu sakit sudah 2 hari. Ibu belum ada uang buat bawa ke dokter."
Mendengar itu seketika pikiranku kacau. Sebisa mungkin aku berlagak hal itu tidak mengganggu pikiranku.
"ohh boleh lah bu, nanti Damir kirimin secepatnya ya."
"makasih ya nak. Kamu sehat-sehat terus ya disana. Jaga diri baik-baik. Kalo ada apa kabari Ibu."
"iya bu...."
"yasudah. Assalamuallaikum"
"waalaikumsallam" kututup telpon nya.
aku sedikit kesal, tapi bukan kepada Ibu. Aku kesal pada diriku sendiri sebab merasa gagal. hal yang paling aku takutkan didunia ini adalah membuat Ibu kecewa. Jujur saja aku sedang kesulitan keuangan saat ini. Hanya bisa untuk menyambung hidup sehari hari. Uang yang bisa kusisihkan ke tabungankupun bulan ini hanya sedikit sekali. Tabungan yang aku akan pergunakan untuk kuliah sesuai kemauan Ibu. Tapi mau bagaimana lagi. Lagi-lagi aku harus mengambil beberapa uang tabungan untuk adikku.
hujan kemudian benar benar berhenti. Meninggalkan sisa tetesnya yang terkumpul menjadi genangan dijalan-jalan berlubang. Malam kembali sunyi, sesunyi lamunanku.
Lagi lagi satu hari berakhir dengan satu kebohongn pada Ibu. Aku ingin suatu hari nanti bisa menghadirkan sebuah kebahagian tanpa terbalut kebohongan untuk keluargaku. Kenyataan yang menyakitkan haram untuk keluargaku, biar cukup aku saja yang memakan itu.
Malam ini malam minggu. Malam paling sibuk dari malam biasanya di Jakarta. Sebagian orang sibuk membuang uang, dan sebagian lagi sibuk mencari uang. Aku? Ya sudah pasti termasuk yang sibuk mencari uang.
Malam ini aku tidak berperan sebagai pengamen jalanan yang berharapan menghasilkan uang receh dari setiap petikan gitarnya. Malam ini aku menjadi pelayan disebuah restoran jepang sebagai pekerja lepas yang hanya dipanggil jika butuh tenaga lebih. Aku bisa disini berkat temanku Dimas, dia sudah bekerja sebagai karyawan tetap selama 6 bulan disini. Aku mengenalnya dari tempat kostku yang dulu, kamar kami dulu bersebelahan.
Dimas satu satunya teman dekatku. kita sudah berteman sejak pertama kali aku tiba di Jakarta. Mungkin karena memiliki latar belakanh dan tujuan yang sama, kami jadi mudah akrab. Dia juga sedang berjuang untuk kuliahnya. berbeda denganku, dia saat ini sedang berkuliah di salah satu universitas ekonomi. Sekarang dia sudah masuk semester 6, perjuangannya sebentar lagi mungkin akan membuahkan hasil. Di hari sabtu&minggu dia bisa bekerja full karena kuliahnya memang libur hari itu, sedangkan di hari biasa dia akan bertukar shift dengan rekannya supaya bisa masuk kerja selepas pulang kuliah.
Sesekali sempat terlintas dalam kepalaku, kenapa hidupnya begitu tertata. Seperti setiap langkah yang diambilnya tak menyandung satupun batu kesalahan. Setiap langkah yang diambilnya seperti semakin mendekatkanknya dengan tujuan. sementara setiap langkah yang kuambil selalu tersandung batu kendala. Tapi apa gunanya membandingkan hidup dengan orang lain. Tak akan merubah hidupku juga, lagi pula setiap orang mungkin punya jalannya masing-masing.
Sekitar mulai jam 8 malam restoran mulai sibuk. Semua meja sudah terisi penuh. hampir tak ada waktu untuk duduk, aku terus bolak balik mengantarkan pesanan.
"Mir ini ke meja 33 ya." ucap Dimas
"oke oke"
aku lekas bergegas mengantarkan pesanan itu. Di meja 33, tiga orang wanita sedang asyik berbincang, hingga aku datang menghentikan sejenak perbincangan mereka.
"permisi, ini pesanannya kak" kutaruh satu persatu makanan dan minuman yang ada diatas nampanku
"maaf mas tadi saya pesannya steak medium well. Ini kok malah yang well done" tegas salah satu wanita dengan dress hitam.
"ohh maaf kak. biar saya tukar saja sama yang baru. Mohon tunggu sebentar ya kak. Kataku
"ahh lama lagi dong. yang ini aja nunggunya udah lama. Masa saya harus nunggu lagi sih" wanita itu mengomel
mendengar itu ingin sekali aku berkata padanya,"terus saya harus gimana mbak? Harus saya sulap gitu makanannya?". Tapi tak mungkin aku berkata demikian, bagaimanapun pembeli adalah raja, sementara aku hanyalah budak sang raja.
"udah udah jangan ribet deh. Nih gini aja" ucap salah satu wanita lain dengan kacamata. ia tersenyum lalu menukarkan makanan itu dengan miliknya. Kebetulan mereka memesan menu yang sama.
"ihh udah gak usah, biar diganti aja kali"
"biarin santai aja. Gue suka yang well done kok."
kemudian wanita berkacamata itu berterima kasih padaku, dan akupun permisi pergi.
mungkin seharusnya aku yang berterima kasih, karena berkat dia aku tidak mendapatkan masalah. Tadi kemungkinan memang salahku. Aku mungkin melakuka kesalahan saat menulis pesanan mereka.
Hingga pukul 11 malam aku masih belum bisa beristirahat. melelahkan memang, tapi mau bagaimana lagi, aku butuh uang lebih untuk mengirimi Ibuku.
Tapi dengan kesibukan,waktu jadi tak terasa berlalu cepat,hingga akhirnya restoran tutup. Setelah semua pekerjaan selesai ,dipintu belakang restoran, aku dan Dimas bersantai sejenak. Duduk melemaskan tubuh dengan meminum kopi yang Dimas beli dari penjual keliling.
Kunyalakan sebatang rokok dari dalam saku, dan tentu Dimas juga kutawari. Kami seperti melepaskan penat dalam setiap hembusannya.
"gimana kuliah lu Dim?" tanyaku
" yaaa gitulah. Agak ribet mau skripsi. Elu gimana? Masih make permen begituan?"
"hmm ya gitulah Dim, gue masih butuh tenang"
"Gapapa kalo lo belum mau lepas Mir, nanti juga kalo lo udah dapet penggantinya, lo pasti bisa lepas" ucap Dimas dengan santainya
"maksud lo gimana?"
"heh, lu pikir kita baru kenal sehari dua hari apa? Lu kan tau dulu juga gue make. Alasan lu make sama kayak alasan gue make. Kita ini pemake yang sebenernya terdorong sama keadaan, yang kita ambil dari barang gituan cuma ketenangan bukan kebahagiaan. Beda sama orang berduit yang tolol pengen bahagia lewat sabu, putaw atau suntikan. Gue berhenti karena udah nemuin ketenangan, gue yakin lu juga nanti pasti bisa nemuin itu Mir."
Itulah Dimas, selalu selangkah lebih dulu dariku. Mendengar itu, aku lagi lagi menaruh hormat padanya, dan disaat bersamaan aku juga menghina diriku sendiri.
"yaa kita liat nanti lah Dim kedepannya gimana. Yang pasti untuk sekarang gue masih nyaman begini."
"iya gapapa men jalani aja dulu, oh iya ini payment lu yang dititipin ke gue tadi."
aku kemudian mengambil uang itu.
"thanks ya Dim. Lain kali kalo ada lagi kerjaan, kabarin gue ya. Gue lagi butuh nih"
"iya iya santai pasti gua kabarin."
Setelah itu kami memutuskan untuk pulang. Dimas mengajakku pulang dengan motornya, tapi kutolak. Aku tidak ingin terlalu merepotkannya. Sudah cukup kebaikan yang ia beri hari ini.
"heh lu mau pulang pake apa jam segini? Pake taksi? Abislah tuh payment lo hari ini. Tegas Dimas
Dimas benar juga. Jam segini mana ada angkot. bus juga susah kalo jam segini. pilihannya cuma dua, taksi atau ojek online yang ongkosnya agak lumayan untuk sampai ke kostan ku.
"oke deh, sorry ya ngerepotin mulu." kuterima ajakannya
"santai kayak sama siapa aja"
Akhrinya kuterima tawaran Dimas.
Sesampainya dikostan aku langsung menghitung tabunganku dalam kaleng dengan uang yang berhasil kudapat hari ini. Jumlahnya sekitar 2 setengah juta. Mungkin akan kusimpan beberapa ratus untuk kebutuhanku bulan ini, dan sisanya akan kukirim pada Ibuku dikampung.
semua nanti akan membaik
semua nanti akan membaik
semua nanti akan membaik
gumamku dalam hati untuk meredam kekhawatiran dalam kepalaku. Dengan berbaring diranjang aku kelelahan, tapi tetap tak bisa tidur.
aku sendiri sekarang sudah lupa kapan terakhir kali aku bisa tidur tanpa gemuruh dalam kepala yang mengganggu. Aku merasa jiwaku sudah mati. Aku sedih tapi tak menangis, aku senang tapi tak tersenyum, aku lelah tapi tak tertidur.
" Assalamuallaikum bu, Damir sudah ada uang untuk ade berobat. kiranya mudah mudahan cukup. mungkin malam ini baru bisa Damir kirim sepulang kerja."
kukirimi pesan text singkat untuk Ibu. lega rasanya hari ini, akhirnya aku bisa mengirimi mereka uang. yaa walaupun sebagiannya adalah uang tabunganku untuk kuliah. tapi tak apa, setidaknya satu kecemasan dalam kepalaku gugur.
seperti biasa, aku akan pergi mengamen lagi hari ini. sebelum pergi, kubawa semua uang yang akan aku kirimkan ke kampung. akan aku setorkan lewat atm sepulang mengamen nanti. kubungkus uang itu dengan kertas, dan kumasukan dalam tas pinggangku dengan aman.
Didepan cermin aku berdiri. Menatap diri sendiri yang menurutku berantakan. Menatap seorang pemuda yang sorot matanya begitu lelah, bahunya begitu lemah dan tak ada kebanggaan dari mimik wajahnya. Lalu kutelan beberapa pil penenang. Entah kenapa tapi hanya pil ini yang mampu membuat moodku baik setiap harinya, hingga aku bisa melewati hari demi hari. Mungkin itu adalah kebiasaan terburuk yang aku miliki, tapi aku sendiri bingung. Apakah itu kecanduan atau memang kebutuhan.
" ayo nona swant, kita berdansa" kataku pada gitar cantik kesayanganku
Pagi-pagi begini waktunya orang memulai aktivitas. Ada yang pergi bekerja, sekolah atau pengangguran yang pergi interview. jalanan akan dipenuhi kendaraan pribadi dan angkutan umum akan dipenuhi penumpang. itu hal bagus buatku.
dari satu bis ke bis aku bernyanyi. Berusaha menghibur orang agar sudi kiranya memberi beberapa uang kecil, atau membuat kesal orang agar terpaksa memberi uang kecil supaya aku lekas pergi. apapun itu aku tidak peduli, yang penting sakuku terisi.
Bis berikutnya datang. Aku sedikit berlari pelan mengejarnya hingga akupun naik. kursinya sudah terisi penuh, bahkan beberapa orang harus berdiri. Dengan santai penuh kenikmatan aku menyanyikan lagu Can't Help Falling In love With you dari Elvis Presley.
Semua orang nampak tak peduli, kecuali seorang wanita yang duduk dikursi tepat disebelahku. Dia menyerongkan badannya dan memusatkan perhatian pandangannya ke arahku. Kupikir dia cukup terhibur dengan nyanyianku, jadi aku berusaha bersikap ramah dengan sesekali tersenyum padanya.
Dia terus saja begitu, hingga membuatku sedikit gugup. apa ada yang salah denganku? Tanyaku pada diri sendiri.
seusai lagu, kulepas topiku dan kusodorkan pada orang orang. Beberapa ada yang memberi uang receh, dan aku sangat berterima kasih akan itu. Bukan soal jumlahnya tapi ini lebih apresiasi bagiku. Aku senang bila memang aku bisa menghibur.
Tapi ada sesuatu yang mengejutkan. Wanita yang sedari tadi memperhatikanku memberi uang 20 ribu. Itu harga yang menurutku cukup besar untuk sekedar sebuah lagu.
"ini serius mbak?" aku terheran heran
Dia hanya mengangguk dengan tersenyum ringan.
"terima kasih banyak mbak"
"sama-sama" jawabnya
Saat itu kuperhatikan wajahnya, rasanya nampak familiar. Seperti aku pernah melihat wajah itu sebelumnya, tapi entah kapan dan dimana. ah sudahlah aku tidak ingin terlalu memikirkannya. terima kasih orang baik, siapapun kamu, semoga harimu sebaik kebaikanmu.
setelah itu bis melambat, menurunkan seorang penumpang, demikian juga denganku.
...****************...
malam harinya sekitar jam sebelas, aku berjalan menuju ATM setor tunai yang diberitahukan penjaga warung yang kutanya sebelumnya. katanya hanya berjarak beberapa meter dari sebuah jembatan penyebrangan orang. malam itu aku akan mengirimkan uang yang kubawa pagi ini untuk Ibu dikampung. Tak lama berjalan, kulihat jembatan penyebrangan yang dimaksud. kemudian ada beberapa pria yang turun dari sana, jumlahnya tujuh orang. Beberapa dari mereka berjalan sempoyongan seperti bayi yang baru belajar berjalan, sementara yang lainnya tampak tertawa terbahak-bahak. kuduga mereka pasti sudah mabuk.
Aku berjalan santai saja, berusaha bersikap senormal mungkin agar tidak mengganggu atau menarik perhatian mereka. Biasanya orang dengan akal yang tenggelam oleh alkohol suka berbuat sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba salah satu dari mereka menyenggol bahuku.
"oops, sorry mas" ucapku walau aku tahu dia yang menyenggolku
"santai dong men" tegur pria mabuk itu
Aku hanya diam dan berusaha meneruskan langkahku. Namun tiba-tiba tas gitarku ditarik dari belakang, langkahku terhenti. Aku menoleh.
"sini dulu!" ucap pria yang menarik tas gitarku. Kemudian mereka memintaiku sejumlah uang, untuk tambahan membeli minum lagi katanya. Jalanan malam itu sangat gelap dan sepi. Situasi itu seperti mendukung mereka agar bebas berbuat sesukanya.
aku dengan tenang menolak keingininan mereka. Kubilang aku tidak punya uang. Namun dengan arogannya salah satu dari mereka merogoh ke semua saku celanaku.
"eh eh apa apaan ni!" tegasku
Tentu saja mereka tidak akan menemukan apapun disana, karena semua uangku ada dalam tas pinggangku. Saat mereka berusaha mengecek tasku, aku mulai melawan. Kupukul saja orang dengan kemeja yang berusaha mengambil tasku. mungkin karena mabuk, hanya dengan sekali pukul diwajah orang itu langsung jatuh terkapar. Setelah itu aku tau persis apa yang akan terjadi. Ini akan menjadi malam yang lebih melelahkan pastinya. Tapi bagaimanapun aku harus menjaga uangku, mencarinya lagi akan lebih melelahkan dari apa yang akan aku hadapi saat ini.
3...2...1 dan benar saja. Setelah kupukul salah seorang dari mereka. Mereka kemudian menyerangku bersamaan.
"anjing lo!!"
"mampus lo tai!" teriak mereka
walapun mereka setengah mabuk, tapi dengan jumlah mereka aku cukup kewalahan. walaupun sempat melawan tapi sepertinya itu sia sia.
Selang beberapa saat aku terkapar jatuh, pandanganku buram, seperti seketika dunia melambat. Bisa kulihat potongan adegan tendangan ke arahku. Pandanganku meredup hingga aku mulai kehilangan kesadaran.
Beberapa saat berlalu, aku mulai sadar. Aku masih terbaring di tempat yang sama rupanya. Dengan sedikit kepayahan aku berusaha bangkit untuk duduk. Bajuku terlihat begitu lusuh dah kotor. Kupandangi sekitar masih gelap rupanya, entah jam berapa sekarang. Tiba-tiba sesuatu seperti menetes daei bibir dan keningku, aku mengelapnya dengan tangan, ternya itu adalah darah. Entah berapa banya luka yang aku terima tadi, ah sudah lah aku tidak peduli, mungkin ini aka berasa sakit esoknya.
Lantas aku teringat akan kejadian tadi, aku lalu mengecek isi tas pinggangku. Aku sungguh terkejut ternyata isinya sudah tidak ada. Bajingan-bajingan itu berhasil membawanya.
"Aaahhhhhhhh!!" aku teriak histeris penuh dengan amarah
Dadaku sesak dipenuhi rasa kesal hingga tiba-tiba air mataku menetes. Rasa amarah yang melampaui batas rupanya berubah menjadi kesedihan yang luar biasa.
lucu sekali dunia ini, dia menawarikun kesempatan untuk setiap masalah lalu dia menawariku ujian akan setiap keberhasilan. dan sialnya aku selalu gagal saat menghadapi ujian. Aku memang manusia lemah!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!