Amara menutup buku yang tengah dibacanya dengan cepat. Matanya melebar, berusaha memahami sosok yang tiba-tiba saja merasuki pikiran. Detik selanjutnya, ia memandangi sampul buku paket matematika yang barusan ia tutup, lantas mengerutkan kening. Otaknya kembali memikirkan sosok tadi. Bagaimanapun, rumus Aljabar tidak akan bertransformasi menjadi pemuda setengah wajah yang tersenyum ke arahnya, 'kan?
Gadis itu berdecak kesal. Ia bangkit dari bangku dan bergegas ke luar kelas. Namun, siapa sangka jika detik ini dirinya akan menabrak seseorang.
Seorang murid laki-laki yang baru saja masuk kelas itu tercengang saat Amara tidak sengaja menabraknya. Ia melotot, sedangkan Amara, ia malah tertunduk sambil mengusap jidatnya yang barusan menyentuh kasar dada bidang murid tersebut.
"Kalo jalan pake mata, jangan pake jidat," ucap pemuda itu sambil berlalu menuju bangkunya.
Amara memandangi pemuda itu sejenak, lalu mendengkus kesal.
Juan Adrian. Siapa yang tidak mengenal pemuda sombong itu. Meskipun ganteng, tetap saja lagaknya yang macam pangeran kesasar itu membuat seorang Amara bisa membencinya, padahal di sekolah para murid benar-benar mengidolakannya.
Semua penghuni sekolah sangat mengenal Juan. Putra sekaligus calon pewaris Adrian Group, salah satu perusahaan besar yang menaungi sekolah tempat dirinya dan Amara menempuh pendidikan saat ini. Pemuda tujuh belas tahun itu dikenal pintar, tapi berhati dingin. Namun, tidak untuk Amara.
Juan Adrian baginya adalah petaka, sekaligus berkah.
Bagaimana bisa?
***
"Buka buku paket halaman 45. Di sana ada sepuluh soal, ya, kalian bisa kerjakan di rumah dan dikumpul di pertemuan berikutnya." Guru perempuan yang telah selesai menulis beberapa rumus di papan tulis itu segera merapikan peralatan gono-gini di mejanya.
Beberapa saat kemudian, bel tanda pulang berdering.
Amara segera merapikan alat tulis dan bukunya ke tas. Namun, sebuah tangan menahan dirinya saat hendak memasukkan pena. Gadis itu paham benar dengan sosok yang mencekal tangannya saat ini.
"Cepet," bisik pemuda yang kini berdiri di dekat gadis itu.
"Iya-iya, sabar napa." Amara mendengkus sejenak, sebelum akhirnya benar-benar memastikan tidak ada satu pun alat tulis atau buku yang tertinggal di bangkunya.
Amara bersumpah tidak akan melakukan apa yang dilakukannya saat ini jika bukan karena perjanjian satu tahun lalu. Berkali-kali dirinya menghela napas kasar jika mengingat hal tersebut, sementara seorang pemuda yang duduk di sampingnya masih sibuk dengan ponselnya ketika mobil yang mereka naiki melaju perlahan.
"Tulisin ini dong," pinta pemuda itu.
Gadis itu segera mengeluarkan memo kecil di tasnya.
"Jangan pake memo, enggak bakal cukup!" sela pemuda di samping Amara itu.
"Emang nulis apaan sih?!" Amara mulai bersuara dengan intonasi tinggi.
"Kok lo nyolot sih?" Pemuda itu menaikkan kedua alisnya cepat. "Kewajiban lo ini, malah pake nyolot segala."
Amara terdiam dengan mulutnya yang menganga. "Ah, sorry," lirihnya. Ia memasukkan memo kecil itu ke tas, digantikan dengan sebuah buku tulis dan pena.
"Apa ini yang harus gue tulis?" tanyanya kemudian.
Pemuda di sampingnya tidak merespons.
"Juan?"
Juan, pemuda yang katanya congkak itu tersentak. Satu tangannya tampak menggaruk bagian belakang lehernya sejenak, lalu menyisir rambut hitamnya ke berbagai arah.
"Wait, lagi gue scroll," katanya tanpa menatap Amara. Salivanya tertelan sejenak. Matanya masih menatap ponsel.
Amara mengernyit lalu menggeleng sejenak. Tentu dirinya sudah terbiasa dengan kebiasaan Juan seperti detik ini. Pemuda itu sedang gelisah. Sesuatu mungkin merunyam pikirannya.
"Butuh bantuan enggak?" tawar Amara.
"159.225.000."
"Hah?" Amara tercengang.
"Tulis itu, buruan!"
"Eh, iya-iya."
Amara bergegas mengingat lalu menulis angka yang disebutkan Juan barusan.
"2.239.000."
Gadis itu menuliskannya lagi hingga satu halaman penuh angka yang semuanya disebutkan oleh Juan. Dia bahkan tidak mengerti arti angka-angka tersebut.
"Kasih judul 'List Akhir Bulan'."
***
Beberapa saat kemudian, mobil yang mereka naiki sudah sampai di depan rumah Juan.
"Tas gue jangan lupa," ucap pemuda itu seraya keluar mobil.
Amara tidak merespons. Ia membawa serta tas sekolah Juan dan bergegas turun dari mobil. Kemudian, matanya memandang ke segala arah.
Kediaman Juan amat besar layaknya rich people pada umumnya. Halaman depannya saja bisa dibangun satu atau dua rumah mewah. Parkiran mobil terletak di halaman belakang yang jalur masuk dan keluarnya berada di sebelah kanan rumah. Beberapa tanaman perdu dan berbunga menambah elok rupa kediaman calon pewaris Adrian Group
tersebut.
Kedua tungkai Amara mulai melangkah memasuki rumah. Barisan lemari serta barang pecah-belah yang kelewat mewah pun menguasai penglihatannya. Meski sudah satu tahun tinggal di rumah itu, tetap saja ia masih dibuat tertegun dengan suasana rumahnya. Amara juga masih terus bertanya kenapa orang tua Juan tidak pernah
terlihat mengunjungi putranya yang hanya tinggal bersama seorang gadis perawan dan dengan beberapa orang pekerja itu.
Matanya mengedarkan pandangan ke dinding. Tidak ada satu pun foto keluarga di sana. Sebagai bagian dari keluarga terpandang, harusnya Juan memajang setidaknya potret dirinya bersama orang tuanya, tapi Amara sama sekali tidak menemukan hal tersebut.
"Dari tadi ngapain aja?" Seseorang mengurai lamunan gadis itu.
Amara tersentak. "Eh, anu ...."
"Anu apa?" tanya Juan yang sudah berganti pakaian. "Cepet ganti baju, kerjaan lo banyak!"
Pemuda itu berlalu menaiki anak tangga menuju lantai dua yang Amara tahu di sana adalah ruang pribadi Juan. Amara tidak diizinkan masuk ke sana meski sudah setahun dirinya tinggal di tempat ini.
"Neng," panggil seorang perempuan paruh baya.
"Eh, Bibi."
"Sini Bibi bawain tasnya Tuan," pinta perempuan itu.
"Enggak usah, Bi. Biar Amara aja yang taruh di kamarnya," elak gadis itu.
Amara bergegas masuk ke kamar Juan untuk meletakkan tas sekolah pemuda itu. Wangi aroma lavender dari ruangan itu bahkan tidak sesuai dengan diri Juan yang banyak dikenal orang sebagai pribadi yang dingin. Lavender seharusnya melambangkan kedamaian dan cinta kasih, 'kan? Apakah karena kedamaian itulah si pemilik kamar seolah berdamai dengan dirinya sendiri sampai lupa bagaimana caranya berdamai dengan orang lain?
Enggak cocok sama sekali! pikir Amara.
Gadis itu menghela napas sejenak sebelum akhirnya keluar dari sana.
Bukan Amara namanya jika sepulang sekolah dirinya langsung masuk ke kamar dan rebahan di kasur ataupun nge-vlog, bahkan bermain game. Dirinya bekerja di rumah Juan, seperti memberi makan Mochi—kucing peliharaan Juan—kadang pula membantu Bi Darmi, asisten rumah tangga, atau merapikan tanaman bersama Pak Ujang. Semua hal itu sudah biasa dilakukannya.
Bunyi pintu tertutup mengejutkan Amara yang tengah mengelap guci mewah di bawah tangga. Gadis itu mendongak, menatap seorang pemuda yang keluar dari ruangan pribadinya.
"Lo mau pergi pake gitu doang?" tanya Juan yang sudah mengenakan pakaian yang lebih rapi dari biasanya.
"Emang mau ke mana?" Gadis itu memasang tampang polosnya.
Juan menatap arlojinya sejenak. "Meeting," katanya.
Amara sontak mengernyit. Masalahnya, ia menduga kalau baru kali ini Juan datang ke acara pertemuan yang sering dilakukan oleh banyak pengusaha besar dan pemilik yayasan ternama. Biasanya, pemuda itu menolak karena tidak ingin mendengar bacot orang-orang yang sudah berumur tersebut.
"Eh, seriusan?"
***
Juan justru mengerutkan kening melihat tatapan aneh gadis itu. "Bukan meeting itu kok," katanya, membuat Amara mendengkus panjang membalasnya. "Gue enggak akan pernah dateng ke meeting itu. Gue masih muda, ngapa pula dateng ke kumpulan tetua adat kayak mereka."
Wajah merengut Juan membuat Amara mencibirkan bibir. Dugaannya salah. Nyatanya, pertemuan yang dimaksud pemuda itu kali ini bukanlah dengan pengusaha besar, tapi dengan seseorang yang tentu saja Amara kenal. Namun, penampilan Juan sekarang tidak seperti biasanya dan membuat gadis itu semakin penasaran.
"Udah, cepet ganti baju! Keburu telat ini!" seru pemuda itu.
"Iya-iya."
***
Amara duduk di kursi sebelah Juan. Matanya sama sekali tidak berkedip sejak beberapa menit yang lalu bertemu dengan beberapa orang di salah satu meja di restoran mewah. Di sana, ia dan Juan biasa bertemu dengan seorang gadis yang duduk di hadapan pemuda itu sekarang. Gadis bersurai gelombang itu sama sekali tidak melenyapkan senyumannya sedari tadi. Amara hanya menduga jika dia membawa serta kedua orang tuanya untuk sesuatu yang tidak baik.
"Om kaget loh, kamu seganteng ini sekarang," ucap seorang pria paruh baya di salah satu sisi meja yang berdekatan dengan Juan. "Udah ... lima tahun, kan, ya sejak Gita sekolah di Amerika?"
Gadis bernama Gita yang duduk di seberang Juan tampak tersipu, sementara Amara hanya memanyunkan bibir meresponsnya.
Ketemu cuma mau sombong doang to? pikir Amara kesal.
"Terus, gimana hubungan kamu sama anak Tante?" sahut seorang wanita paruh baya yang duduk di samping Gita. "Udah jadian, 'kan?"
Amara sontak melirik Juan yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu tersenyum tipis, lalu menundukkan pandangan.
Dia enggak lupa sama skenarionya sendiri, 'kan? tanya Amara dalam hati. Wajahnya menatap cemas pemuda tersebut.
Juan yang tadi hendak mengangkat gelas minumannya, kini urung. Ia terdiam sejenak, lalu menatap ke arah Gita serta kedua orang tua gadis itu dengan sebuah senyuman terukir di bibirnya, sementara satu tangannya justru terarah menggenggam tangan Amara.
"Maaf, Tante, Om," ucapnya di sela senyuman palsunya itu. "Juan udah punya pacar."
Amara terdiam. Bukannya tersipu, gadis itu malah berusaha menahan tawa.
Bentar lagi ada ayam berkokok tuh, batinnya.
Tiga orang di depan mereka berdua tercengang, terlebih Gita yang kemudian menggebrak meja seraya bangkit dari kursi.
"Dia lagi, dia lagi! Siapa sih cewek ini?!" hardik gadis berambut gelombang itu sambil menunjuk Amara, lalu Juan. "Lo enggak mungkin, kan, jadian sama dia? Lo udah berkali-kali bilang kayak gini ke gue, Juan. Gue enggak akan
pernah percaya sama omongan lo ...."
Orang tua Gita lantas berdiri berusaha menenangkan gadis berpakaian merah yang terlihat mulai sesak napas itu, sementara Juan masih duduk santai di kursinya.
"Kamu ini ya ..., selama ini kami sudah berbaik hati mengurusmu, tapi kamu malah bales kayak gini! Kamu anggap Gita apa, hah?!" gertak perempuan paruh baya itu sambil menunjuk-nunjuk Juan dengan kasarnya.
"Inget, Juan! Sebagian harta orang tua kamu, saya yang ngurus selama ini!" sambung si pria yang sudah berambut sedikit putih itu. "Kalau sampai kamu buat anak saya kenapa-kenapa, kamu harus tanggung jawab!"
Beberapa menit setelahnya, tiga orang aneh itu angkat kaki dari sana. Orang-orang sekitar yang tadinya menatap ke meja Juan, kini mulai kembali ke aktivitasnya masing-masing meski ada yang saling berbisik membicarakan mereka.
Juan meneguk cairan merah di gelasnya sejenak. Matanya menatap kosong.
"Dia akting, 'kan?" tanya Amara memecah lamunan pemuda itu.
Juan berdeham membalas.
"Tapi apa maksud harta orang tua lo yang—"
"Ayo pulang," potong pemuda itu lalu bangkit dari kursinya.
Amara hanya terdiam. Ia lantas mengekori langkah Juan ke luar restoran. Matanya masih menatap wajah pemuda tersebut dan memikirkan sesuatu. Pribadi Juan jadi lebih dingin, tidak seperti biasanya saat pemuda itu mengajak dirinya bertemu dengan Gita saja. Kali ini, Juan terlihat lebih serius dengan suatu hal yang terpendam dalam dirinya.
Gadis yang berjalan di samping Juan itu menghela napas. "Ada PR matematika tadi," katanya berusaha mencairkan suasana. "Ayo kerjain bareng."
Juan menghentikan langkah. Matanya menatap sejenak wajah Amara, lalu mengembuskan napas panjang. Ia mengangguk dan tersenyum setelahnya dan menuruti permintaan gadis itu. Kebiasaan inilah yang membuat Amara menolak predikat 'berhati dingin' pemuda tersebut karena Juan seolah hanya memberikan senyuman itu untuk
dirinya. Namun, tetap saja Amara membenci Juan karena tingkahnya.
Satu hal yang amat berat bagi Amara adalah ketika Juan mengajaknya bertemu dengan Gita dan membuat dirinya harus berpura-pura menjadi pacar pemuda tersebut. Meski kesal, mau tidak mau, Amara harus melakoninya demi memenuhi perjanjian setahun lalu.
Perjanjian di mana dirinya harus hidup bersama pemuda yang dianggap berhati dingin itu.
***
Pagi-pagi sekali, Amara keluar dari kamarnya karena suara ribut. Meski kediaman Juan sangat luas, bukan berarti sumber berisik dari luar tidak terdengar sampai ke dalam rumah. Ia mengucek matanya lalu berjalan ke ruang tamu. Langkahnya terhenti tatkala melihat Juan tengah menelepon seseorang di sana.
"Nginep di sini? Yang bener aja!" Juan berdiri di dekat sofa dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. "Pa, aku, kan, udah bilang, aku bisa hidup sendiri di sini. Ada Amara, ada Bi Darmi, Pak Ujang ...."
Pa? batin Amara yang tidak sengaja menguping.
"Astaga, Papa. Udah, deh, suruh Hilmi nyewa apartemen kek, apa kasih itu rumah Papa yang masih disewain orang. Susah amat!" omel Juan.
Pemuda itu terdiam sejenak mendengarkan lawan bicaranya berceloteh.
"Ya enggak bisa gitu dong, Pa. Pilih kasih am—"
Seketika sambungan telepon terputus. Juan hampir saja membanting ponselnya, tapi urung saat melihat Amara yang mengintip dari balik tembok yang membatasi ruang tamu dengan ruang tengah.
"Ngapain lo di situ?!" hardiknya.
Amara tersentak. Ia keluar dari persembunyiannya. "Jangan galak-galak dong, copot jantung gue ntar," lirihnya.
Pemuda itu terdiam sambil mengatur ritme napasnya sejenak.
"Tadi itu—"
"Enggak usah banyak tanya," potong Juan saat Amara hendak berbicara. "Buruan mandi. Jam enam kita berangkat, macet soalnya."
Amara tersentak. Ia sadar jika sekarang adalah hari Senin. Sudah pasti jalanan akan macet, sedangkan sekolah mereka hanya bisa ditempuh melewati pusat kota. Ia bergegas kembali ke kamar dan melupakan hal yang barusan terjadi.
***
"Bawain tas gue ke kelas. Gue mau ada urusan dulu," titah Juan pada Amara usai keduanya turun dari mobil.
Amara hanya mengangguk dan bergegas menuju kelas. Matanya memandang Juan sejenak. Pikirannya kembali terngiang keributan tadi pagi.
Jadi tadi papanya Juan, ya, yang nelpon? Terus, Hilmi itu siapa? batinnya.
Gadis itu sibuk menatap kepergian pemuda itu sampai tidak sadar menabrak seseorang dan menjatuhkan tas Juan yang dibawanya.
"Eh, sorry," lirih Amara.
Seorang pemuda membungkuk, mengambil tas Juan yang terjatuh. Ia berdiri dan memberikannya pada Amara.
Gadis itu tersentak. "Lah, Ju-Ju ...." Amara menunjuk pemuda di hadapannya kini, lalu ke arah Juan pergi tadi.
Netra pemuda itu melebar sejenak. Sekian detik kemudian, ia tersenyum. "Kalo jalan hati-hati," katanya.
Amara masih melongo dengan kejadian barusan. Otaknya mendadak blank. Pemuda di depannya mengulurkan tangan hendak bersalaman.
"Hil—" Belum sempat ucapan pemuda itu selesai, sebuah tangan menepis lengannya.
Amara lantas mendongak, menatap sosok penepis itu. Keterkejutannya semakin bertambah. Ia berkali-kali mengucek mata, memastikan jika dirinya benar-benar berhalusinasi sekarang.
Kok Juan ada dua? batinnya bingung.
"Siapa yang nyuruh lo ke sini, hah?" tanya Juan seolah menantang pemuda yang berwajah sama persis dengan dirinya.
"Ju." Amara menepuk lengan Juan, tapi sayangnya pemuda itu tidak merespons dan terus memelotot ke lawannya kini.
Pemuda yang mirip Juan itu tersenyum kecut. "Gue ke sini karena mau sekolah—"
"Siapa yang nyuruh lo sekolah di sini?!" potong Juan tidak sabaran.
"Papa." Kedua alis pemuda itu terangkat sejenak. "Buat ngawasin lo."
Juan sontak mengangkat kedua tangannya, mencekal kerah seragam pemuda yang mirip dengannya itu.
"Eh, eh, Ju!" seru Amara berusaha melerai mereka.
"Gue enggak pernah pengen diawasi sama lo," ucap Juan menekankan setiap kalimatnya sebelum melepas cekalannya itu.
Juan lantas menggenggam tangan Amara dan menarik gadis yang masih kebingungan itu pergi dari sana.
"Ju ... Juan lepasin!" Amara melepas paksa tangannya yang diremas habis oleh Juan usai mereka meninggalkan pemuda tadi dan sampai di depan kelas. "Sakit, Bego!"
Pemuda itu hanya menatap lurus kepada gadis di hadapannya. "Makanya, kalo disuruh jalan lurus itu, ya, lurus, enggak usah belok sampe ke mana-mana," katanya.
"Gue enggak belok. Tadi gue nabrak dia!" elak Amara.
"Emang mata lo taruh di mana sampe nabrak orang, hah?!"
"Ya gue, kan, enggak tahu kalo dia—"
"Berisik ah."
Juan mengakhiri perdebatan itu dan bergegas masuk ke kelas usai merebut tasnya yang dibawa gadis itu. Amara lantas memasang wajah cemberut karena menahan gunung api dalam dirinya yang ingin meledak detik ini.
***
Seorang pemuda berdiri di dekat meja guru sambil memasang senyum ke arah para murid yang saling berbisik. Amara yang matanya melotot karena terkejut dengan hadirnya pemuda itu lantas berbalik menatap sosok yang duduk di bangku belakangnya.
"Hari ini kelas kalian kedatangan murid baru," ucap Bu Risna, guru mata pelajaran biologi.
Amara yang menoleh ke belakang mengernyit menatap Juan yang tengah mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Pemuda itu sepertinya punya dendam kesumat pada murid baru tersebut. Matanya saja tidak mau lepas memandang lurus ke depan kelas.
"Silakan perkenalkan diri kamu," pinta Bu Risna beberapa saat kemudian.
Murid baru itu mengangguk, lalu kembali menatap para murid. "Perkenalkan, nama saya Hilmi Adrian," katanya, "saya saudara kembar Juan Adrian."
Mulut Amara sontak menganga, hampir berbentuk seperti sumur galian. Ia kembali berbalik dan mendapati tatapan tajam Juan kepada Hilmi.
Jadi dia punya kembaran to, pikir gadis itu.
"Hilmi ini adalah murid pertukaran pelajar. Dia akan belajar di sekolah kita selama satu tahun. Jadi, Ibu harap kalian berteman baik dengannya, ya," ucap Bu Risna. "Silakan duduk, Hilmi."
Hilmi tersenyum dan mengangguk sejenak kepada guru biologi itu. Beberapa saat kemudian, materi pelajaran di mulai usai Hilmi duduk di bangkunya yang berada tidak jauh di belakang bangku Amara dan Juan.
Amara yang memandangi Hilmi lantas mendapat kedipan mata dari pemuda tersebut. Juan yang menyadarinya justru menabok wajah gadis itu agar berbalik ke depan dan mengabaikan saudara kembarnya.
Enggak usah ngeliatin dia. Sakit mata lo ntar! batin Juan kesal.
***
Bel istirahat berbunyi beberapa jam kemudian. Murid-murid bergegas keluar kelas menuju kantin, menyisakan Amara, Juan, dan Hilmi. Gadis itu berbalik hendak mengajak Juan ke kantin, tapi perhatiannya justru tertarik kepada Hilmi yang bangkit dari kursinya.
"Ke kantin, yuk," ajak Hilmi setelah dirinya berdiri di dekat bangku Amara.
Juan yang sejak tadi sibuk menulis catatan langsung mendongak menatap Hilmi, lalu Amara.
"Eh, tadi kita belum kenalan loh," ucap Hilmi tidak memedulikan Juan. "Nama lo siapa?"
Belum sempat Amara menjawab, Juan buru-buru menarik tangan gadis itu dan membawanya ke luar kelas.
"Amara!" seru gadis itu sebelum benar-benar hilang di balik pintu.
Hilmi tersenyum lebar meresponsnya. Ia berlari mengekori kedua murid tersebut hingga sampai di persimpangan koridor menuju kantin.
"Ngajak pacarnya ke kantin, masa kakaknya enggak diajak juga sih," celetuknya saat berhasil menyamai langkah Juan dan Amara.
"Dia bukan pacar gue, ya, enggak usah cerewet lo," balas Juan ketus.
"Oh, jadi Hilmi kakak lo?"
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!