Alya menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan sebelum mengetuk pintu di depannya itu. Ia baru saja tiba di rumah sakit beberapa menit yang lalu dan langsung diminta menghadap dokter Lia di ruangannya.
Petugas rumah sakit yang menyampaikan pesan padanya itu menatapnya iba, ia tahu benar bagaimana perjuangan Alya selama ini.
Wanita itu lebih banyak bermalam di rumah sakit menjaga ibunya, jarang sekali tidur dan sering terjaga sepanjang malam karena harus terus menemani ibunya yang sering mengalami sesak napas tiba-tiba.
“Ibumu harus segera dioperasi, Al. Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan beliau,” ucap dokter Lia, ketika sudah berhadapan dengan Alya. Ia harus mengatakan hal ini secepatnya, sebelum hal buruk terjadi pada ibu gadis itu.
Alya tersentak, menatap dokter Lia dengan wajah tegang. Meski ia sudah menduga hal itu sebelumnya, namun ucapan dokter Lia barusan tetap saja membuatnya terkejut.
Penyakit paru yang selama ini menggerogoti tubuh ibunya itu sudah parah, satu-satunya jalan adalah dengan melakukan operasi dan itu butuh biaya yang sangat besar.
Alya yang hanya bekerja sebagai seorang karyawan biasa di sebuah rumah makan cepat saji itu, harus segera mencari dana secepatnya bila tak ingin kehilangan nyawa ibunya. Tapi bagaimana caranya?
“Baik Dok, Saya akan berusaha mencari biaya untuk operasi Ibu. Kapan kira-kira waktu yang tepat untuk operasinya,” tanya Alya gamang dengan suara bergetar, sejak tadi ia berusaha menahan tangisnya meski sudut matanya sudah berembun.
“Secepatnya, Al.”
Alya mengangguk kuat, melipat bibir menahan isak yang hampir keluar.
“Saya akan berusaha membantu semampu Saya, dan Saya harap Kamu tetap kuat dan tegar menghadapi masalah ini.” Dokter Lia memegang tangan Alya, mengusapnya perlahan.
“Terima kasih, Dok.”
Alya berjalan terhuyung keluar dari ruangan dokter Lia, wajahnya tertunduk pucat. Ucapan dokter yang selama ini membantu merawat ibunya itu terus terngiang di benaknya.
Ini bukan kali pertama Alya harus berjuang sendiri mencari biaya untuk pengobatan ibunya. Di usianya yang hampir menginjak angka dua puluh tiga tahun itu, ia harus bekerja banting tulang siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua.
Alya hanya tinggal berdua saja bersama ibunya di sebuah rumah kontrakan kecil sederhana, setelah rumah satu-satunya peninggalan ayahnya pun dijual untuk biaya pengobatan ibunya.
Beruntung ada bude Marni, tetangga sebelah rumahnya yang baik hati, yang kerap menolong Alya menjaga ibunya selama ia bekerja di luar rumah.
“Ke mana lagi Aku harus mencari biaya untuk operasi ibu. Semua harta peninggalan ayah sudah habis terjual. Hanya ini satu-satunya yang tersisa.” Alya meraba kalung di lehernya, dan perlahan melepaskannya.
“Ya Allah, beri Aku kesabaran dan kekuatan lebih dalam menghadapi setiap ujian dari-Mu." Alya menggenggam erat kalung emas miliknya, satu-satunya benda berharga yang ia punya selama bekerja.
Alya mengusap kasar wajahnya, air matanya mengalir deras. Tak ada yang menguatkannya saat ini, ia benar-benar merasa sendirian. Tak dihiraukannya tatapan heran juga kasihan orang-orang yang lalu lalang di rumah sakit itu.
Sebenarnya bukan suatu pemandangan aneh bila berada di rumah sakit, melihat orang lain menangis, meraung kesakitan, dan berteriak histeris karena baru kehilangan saudara.
“Apa Aku harus menerima lamaran orang tua lapuk itu, menjadi istri ketiganya agar bisa membayar biaya operasi ibu?” Alya bergumam sendiri.
Tubuh Alya gemetar hebat, ia tak mungkin lagi meminjam uang pada atasannya di tempatnya bekerja karena hutangnya pun sudah terlalu banyak . Dan ia harus mencicil setiap bulannya, entah sampai kapan lunasnya.
“Tidak!” Alya duduk berjongkok di lantai teras rumah sakit. Apakah hidupnya harus berakhir seperti ini, apa ia harus mengiyakan lamaran pria tua itu demi menyelamatkan nyawa sang ibu. Tuhan, Aku harus bagaimana?
Teringat bagaimana lelaki tua pemilik banyak rumah kontrakan di tempatnya tinggal itu datang padanya dan menawarkan bantuan, bagaimana lelaki itu memandangnya dengan penuh nafsu. Tanpa sadar Alya bergidik ngeri, membayangkan tangan lelaki tua itu menyentuh kulitnya.
Tiba-tiba dari arah depan terdengar suara riuh ambulans yang datang, dan para perawat juga dokter yang bertugas bergegas menyambut pasien yang datang. Seorang pasien dengan tubuh berlumuran darah dipindahkan ke atas brankar, lalu petugas rumah sakit segera membawanya menuju ruang operasi.
“Pasien bernama Arga Raditya Winata, usia dua puluh delapan tahun. Mengalami kecelakaan tunggal menabrak pembatas jalan tol daerah Dharmawangsa. Luka memar di bagian wajah dan tangan, benturan keras di bagian pelipis mata kiri. Patah tulang bagian kaki kiri. Tekanan darah normal, detak jantung tidak normal, ...” ucap petugas kesehatan memberitahukan riwayat pasien pada dokter yang bertugas.
“Segera hubungi keluarga dari pasien Arga, siapkan ruang operasi. Kita harus segera melakukan operasi pasien secepatnya!”
“Siap, Dokter!”
Alya langsung berdiri dan mundur beberapa langkah memberi jalan untuk mereka. Dari jauh dilihatnya pasien itu mengerang kesakitan dan membuka matanya. Mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, dan mata itu mengerjap padanya.
“Tolong minggir, beri kami jalan!”
Saat brankar itu lewat tepat di sampingnya, Alya terkejut melihat luka di dekat mata lelaki itu yang mengeluarkan darah segar. Entah apa yang sudah terjadi dengan laki-laki itu hingga ia harus mengalami kejadian seperti itu.
Dari data yang didengarnya barusan, lelaki itu mengalami kecelakaan tunggal dan dalam keadaan sadar saat petugas medis dan polisi membantu mengevakuasi dirinya dari lokasi kecelakaan.
Tanpa sadar tangannya yang menggenggam kalung itu pun terangkat menutupi mulutnya, dan kalung di tangannya itu terlepas dan tak sengaja terjatuh di tubuh lelaki itu dan mengenai bagian lehernya.
“Kalungku!” teriak Alya kencang, namun petugas yang membawa brankar pasien itu sudah memasuki ruang operasi dan pintu di belakangnya itu pun sudah menutup kembali dengan cepat.
‘Ya Tuhan, bagaimana ini. Kalungku jatuh di tubuh laki-laki itu.”
Tidak lama kemudian, datang dua orang lelaki berpakaian perlente bersama seorang wanita setengah baya yang masih terlihat cantik dengan penampilan yang berkelas. Mereka mengaku sebagai orang tua dan kakak dari pasien bernama Arga Raditya Winata.
Dari dandanannya, Alya tahu mereka bukan dari kalangan biasa seperti dirinya. Saat melintas di depannya, aroma parfum wangi tercium dari tubuh mereka.
Alya beringsut menjauh dan memilih duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang operasi. Ia harus tetap berada di sana sementara ini, karena kalung miliknya ada bersama pasien di dalam ruang operasi itu.
Ketiga orang itu langsung mendatangi petugas medis dan menanyakan kabar pasien bernama Arga, tidak lama kemudian mereka semua terlibat perbincangan serius.
Alya duduk menunggu sambil sesekali melirik arloji di tangannya, sudah lebih dari dua jam ia berada di sana. Hingga tidak lama kemudian lampu ruang operasi dimatikan dan dokter yang selesai melaksanakan operasi keluar dari sana menemui keluarga pasien yang sudah menunggunya sejak tadi.
🌹🌹🌹
Arga sudah dipindahkan ke ruang perawatan, di mana ia ditempatkan di kamar VVIP dan ada dua orang pengawal berbadan kekar yang berjaga di depan pintu. Sekian lama menunggu laki-laki itu selesai dioperasi, namun Alya tidak diperbolehkan untuk melihat apalagi mendekatinya.
“Tidak ada yang boleh masuk ke dalam kamar rawat tuan muda, tanpa seizin bos kami.” Ucap salah satu pengawal itu, menutup pergerakan Alya saat wanita itu tiba -tiba saja maju dan hendak menerobos masuk ke dalam kamar rawat Arga.
“Tolong Saya, Pak. Saya harus masuk ke dalam dan mengambil kembali kalung Saya yang terjatuh di tubuh tuan Arga,” jelas Alya. “Hanya itu satu-satunya barang yang Saya miliki,” imbuhnya lagi.
Namun pengawal di depannya itu bergeming, dan saling merapat satu sama lain. “Maaf saja, kami tidak bisa membantu Nona. Silah kan pergi dari ruangan ini,” perintahnya kemudian.
“Tolong dengarkan Saya, kalung milik Saya ada pada tuan muda kalian. Mengapa kalian tidak mau mengizinkan Saya masuk dan mengambilnya. Kalung itu sangat penting artinya buat Saya saat ini,” balas Alya setengah berteriak, ia harus mendapatkan kalung miliknya kembali. Karena hanya itu satu-satunya barang yang bisa membantu membayar biaya operasi ibunya.
“Jangan buat keributan di sini. Sekarang tolong Nona pergi dan tinggalkan tempat ini!” perintah pengawal itu lagi.
“Tidak! Saya tidak akan pergi dari sini sebelum mendapatkan kalung milik Saya yang ada bersama tuan muda kalian!” tegas Alya. Kepalang tanggung bagi Alya, ia tidak akan pergi dari sana sebelum mendapatkan kalung miliknya.
“Ada apa ini?” suara bariton seseorang dari ambang pintu yang sedikit terbuka mengalihkan perhatian Alya.
Alya menolehkan wajahnya, dan langsung mengenali lelaki tampan yang berdiri di depan pintu itu yang tidak lain adalah Rivan kakak lelaki Arga. Dua orang pengawal tadi langsung balik badan dan membungkukkan tubuh. Dan kesempatan itu digunakan Alya untuk berjalan mendekati pintu.
“Tuan muda, kami hanya ingin mengamankan tempat ini dan menyuruh wanita itu pergi ...”
Belum selesai pengawal itu berbicara, Alya sudah berada di depan Rivan dan berdiri saling berhadapan. Ia menepis kuat tangan salah satu pengawal yang mencoba menghalanginya.
“Saya Alya,” ucap Alya mengenalkan diri. “Saya hanya ingin mengambil kalung milik Saya yang ada bersama saudara lelaki Tuan. Tapi mereka berdua melarang Saya untuk masuk ke dalam,” jelas Alya mengutarakan maksudnya pada Rivan, dan kedua pengawal itu menatap gusar padanya.
Rivan menatap kedua pengawalnya, dan menggelengkan kepala pada keduanya untuk tetap diam di tempatnya. Mereka hanya bisa menundukkan wajah tidak berani menatap wajah bosnya itu, dan hanya bisa mendengkus kesal mendengar Alya bicara.
“Bukankah sudah jelas tugas yang Aku berikan pada kalian berdua, lalu kenapa sekarang bisa ada wanita itu di sini?” Rivan mengerutkan keningnya dalam, ia menatap tajam pada dua orang pengawal yang ditugaskannya untuk menjaga ruangan adiknya agar tetap tenang dari orang-orang yang ingin bertemu dengan Arga.
Dan ia juga tidak mengerti dengan apa yang sedang diucapkan Alya padanya. “Dan Kamu, apa yang Kamu bicarakan barusan. Kalung apa? Adikku tidak pernah mengenakan kalung sejak dulu.”
“Saat adik Tuan dibawa menuju ruang operasi, brankar yang membawanya hampir saja menyentuh badan Saya. Dan kalung yang ada dalam genggaman tangan Saya terlepas dan jatuh mengenai leher adik Tuan,” jelas Alya.
“Apakah Kamu tahu, sebelum operasi dilakukan semua barang yang melekat di tubuh pasien dilepas termasuk benda seperti yang Kamu bicarakan barusan. Dan sampai operasi selesai dilakukan dan adik Saya dipindahkan ke ruang perawatan, tidak ditemukan benda seperti yang Kamu sebutkan itu Nona.” Sahut Rivan lugas.
“Tapi Tuan, Saya mengatakan yang sebenarnya. Kalung Saya terjatuh dan mengenai leher adik Tuan, dan saat ini Saya sangat membutuhkan kalung itu untuk biaya operasi ibu Saya.” Ungkap Alya, membuat kerutan di kening Rivan semakin dalam.
“Tentu sangat berharga sekali dan pasti sangat mahal harganya sampai-sampai sebuah kalung bisa untuk membayar biaya operasi ibumu. Apa kalung milikmu itu dari batu berlian, sampai-sampai Kamu begitu ngotot ingin kalung itu kembali?” tanya Rivan dengan pandangan menyelidik.
Kali ini ia menganggap wanita di depannya itu mengada-ada, dengan mengatakan hal yang sama sekalu tidak masuk akal. Membuat cerita bohong alih-alih ingin bertemu dengan Arga adiknya seperti perempuan-perempuan lain di luar sana yang terus mengejar-ngejar Arga.
“Bu-kan, hanya sebuah kalung biasa. Tapi paling tidak bisa membantu membayar biaya operasi ibu Saya.”
“Sayang sekali, kalung itu tidak pernah ada pada adik Saya. Saya yang mengganti pakaiannya dan tidak menemukan satu pun barang berharganya ada bersama dengannya saat ini. Jadi Saya harap Kamu segera pergi dari tempat ini, dan jangan buat keributan lagi sekecil apa pun itu. Adik Saya butuh ketenangan pasca operasi yang dijalaninya,” pungkas Rivan sebelum ia berbalik dan masuk kembali ke dalam ruang rawat Arga.
Tubuh Alya melorot jatuh, lemas. Seolah semua tulang di tubuhnya hari itu luluh lantak. Ia tidak berhasil meyakinkan Rivan, dan lelaki itu tidak mempercayai ucapannya karena barang yang dimaksudkan tidak ditemui olehnya.
Pikir Alya, dengan menjual kalungnya ia bisa mendapatkan uang tunai sebanyak sepuluh juta dan itu cukup untuk membayar uang muka operasi ibunya. Dan Alya akan berusaha keras mencari pekerjaan tambahan untuk melunasi biaya operasi ibunya itu.
“Apa yang harus kulakukan sekarang, bahkan satu-satunya barang berharga milikku pun kini hilang.”
Alya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, duduk melipat kaki sambil bersandar di dinding tembok rumah sakit. Pikirannya menerawang mencoba mencari cara, namun tak ada satu pun ide yang bisa membuat hatinya tenang.
Alya terpekik kaget saat ponsel miliknya yang berada di dalam saku bajunya bergetar kuat, ia segera menutup mulutnya menyadari tatapan tajam mata orang-orang yang lalu lalang di dekatnya. “Maaf,” bisiknya lirih.
Ia beranjak menjauh, mencari tempat yang lebih tenang dan menemukan bangku kosong di pojok ruangan tidak jauh dari ruang operasi. Alya membuka layar ponselnya dan menemukan pesan singkat dokter Lia padanya.
“Kamu di mana Ay, ibumu sudah bangun dan mencarimu.” Dokter Lia menambahkan foto ibunya yang sedang berbaring dengan mata menatap layar televisi yang menyala di depannya.
Alya menahan napas, matanya kembali menghangat. Wajah pucat ibunya tercetak jelas di hadapannya. Dari hari ke hari tubuh ibu semakin kurus saja. Makanan yang masuk sedikit sekali, giginya sudah tidak kuat mengunyah makanan lagi.
Sakit kata ibu setiap kali Alya menyuapinya makanan, dan ibu memperlihatkan giginya yang goyang. Alya lalu mengakalinya dengan menghaluskan semua makanan menjadi bubur, ia meminjam peralatan masak di kantin rumah sakit.
Semua ia lakukan agar ibunya mudah untuk menelan, namun hanya tiga empat suap saja yang masuk ke dalam perut ibunya. Selebihnya hanya air putih saja, itu pun tak seberapa. Semua karena penyakit yang sudah lama diderita ibunya.
Setitik air mata jatuh menetes membasahi layar ponselnya, Alya mengusapnya cepat lalu mulai membalas pesan dokter Lia. “Lima menit lagi Aku ke sana, terima kasih dokter sudah mau menjaga ibuku.”
Alya bangkit berdiri, menatap sejenak pada ruangan Arga berada. Berharap lelaki itu terbangun dan mendengar semua ucapannya.
🌹🌹 🌹
Ia berjalan terseok menuju mobilnya, membuka pintu dengan sebelah tangan dan masih memegang gelas kopinya. Dihempaskannya tubuhnya ke belakang jok sambil mengerang memegangi kepala.
Aargh! Berbagai suara terdengar menggema di telinganya. Ia memasukkan anak kunci dengan susah payah. Setelah usahanya berhasil, ia mulai menjalankan mobilnya.
Pulang, persetan dengan wanita itu!
Pandangan matanya mengabur, jalanan di depannya seperti bergelombang. Ia mencengkeram kuat setir mobilnya, dan menggeleng kuat sambil terus meracau.
Setengah sadar ia melirik pada gelas kopi di sampingnya, bayangan Toni juga Deny yang tertawa sambil mengangkat gelas minuman yang sama menyentak kesadarannya.
“Breng sek kalian!” pekiknya geram.
Cahaya menyilaukan dari lampu kendaraan besar yang melaju kencang dari arah berlawanan, mengejutkan dirinya. Ia memicingkan mata dan membanting setir ke kiri, lalu detik berikutnya ia kehilangan kendali.
Mobilnya terseret cukup jauh dan menabrak pembatas jalan, lalu terdengar suara benturan yang sangat keras dan guncangan hebat di dalam mobil.
Rasa sakit luar biasa dirasakan hampir di sekujur tubuhnya, ia masih setengah sadar dan mencoba keluar menyelamatkan diri. Saat kesadarannya hampir hilang ia mendapati tubuhnya terhempas jatuh ke tanah, terbaring telentang dan masih bernapas.
“Apa Kau bisa mendengarku, Tuan?”
Ia mencoba membuka matanya, tapi darah yang mengalir dari pelipis matanya mengaburkan pandangannya. Ia berusaha membuka mulutnya, namun lidahnya terasa kelu. Wajahnya terasa sakit dan ia tidak mampu menggerakkan kepalanya.
“Tuan, apa Anda bisa mengingat bagaimana kejadiannya tadi?”
“Ko-pi,” jawabnya lemah diiringi suara batuk. Akhirnya setelah beberapa saat ia bisa bersuara.
Suara sirene ambulans dan gerakan lalu lalang beberapa orang berpakaian serba putih seperti bunyi dentuman peluru di kepalanya. Gerakan sekecil apa pun di dekatnya seperti gempa buat tubuhnya.
“Kami menemukan ponsel dan dompet di dalam mobil, sepertinya milik korban. Ada tumpahan kopi di lantai mobil, sepertinya korban meminumnya sebelum kecelakaan terjadi.” Seorang petugas medis datang dan menyerahkan barang di tangannya pada rekannya.
“Baik, kita bisa mengetahui identitas pria ini.”
Detik berikutnya kepala pria itu diberi penyangga di bagian leher sebelum tubuhnya diangkat dan dibaringkan di tandu, kemudian di masukkan ke dalam mobil ambulans.
Sesampainya di rumah sakit, ia diturunkan dan dipindahkan ke brankar. Luka yang dialaminya cukup serius dan harus segera dilakukan operasi.
“Tolong minggir, beri kami jalan!”
Tubuhnya berguncang, pelipisnya kembali mengeluarkan darah segar. Perlahan matanya mengerjap, selintas matanya melihat seorang wanita muda dengan mata sembab memegang sebuah kalung kemudian menutup mulutnya. Dan kalung di tangannya terlepas dan mengenai lehernya.
Ia masih bisa mendengar teriakan wanita itu sebelum pintu di belakangnya menutup cepat.
☆ ▪︎ ☆ ▪︎ ☆
Di dalam ruang rawat inap pasien Arga Raditya Winata, Widia sedang menunggui putranya itu yang masih belum sadarkan diri setelah melalui operasi. Mata sebelah kirinya diperban, demikian pula dengan kaki kirinya yang mengalami patah tulang. Luka memar hampir di sekujur tubuh, membuat wanita itu tak berhenti mengusap pelan rambut anaknya.
“Bangun sayang, ini Mama datang.” Ucapnya lirih sambil menahan isak yang mulai terdengar.
Di belakangnya tengah duduk Bian Winata suaminya, sambil menjawab telepon dari beberapa kolega mereka setelah mendapat kabar kecelakaan yang menimpa putranya itu.
Suara langkah kaki memasuki ruangan membuat keduanya menoleh. Rivan menjatuhkan bokongnya di sebelah papanya, mengembuskan napas sembari menyandarkan kepala ke sandaran sofa di belakangnya. Memejamkan mata sejenak sambil memijit keningnya yang mendadak berdenyut.
“Ada apa?” tanya Bian, menyimpan kembali ponsel ke dalam saku jasnya. Perhatiannya kini beralih sepenuhnya pada putra sulungnya itu.
“Hanya masalah kecil, Pa.” Jawab Rivan bergeming, ia masih memejamkan matanya.
“Masalah kecil tapi bisa buat Kamu bersikap seperti ini?” Bian menelisik wajah putranya, mata yang terpejam itu tampak lelah. “Ada apa sebenarnya, cerita sama Papa.” Tegas Bian.
Widia yang mendengar suara tegas suaminya pun menoleh, menatap keduanya dengan kening berkerut. “Tidak bisakah kalian bicara dengan nada pelan dan sedikit lebih tenang?”
Rivan membuka mata dan menegakkan punggungnya. Ia tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya, matanya mengedip memberi kode pada papanya.
“Iya, Ma. Kami dengar!” ucap keduanya bersamaan. Kontan saja membuat Widia mendelikkan matanya.
“Kalian masih bisa bercanda dalam situasi adikmu seperti ini,” gerutu Widia. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya lalu bergabung bersama Rivan dan Bian di sofa.
“Kita harus tenang dan terus berdoa, Ma. Arga sudah menjalani operasi di bagian kakinya dan tidak lama lagi dia akan sadarkan diri,” ucap Rivan merangkum bahu mamanya dan mengusapnya perlahan.
“Entah apa yang dilakukannya bersama teman-temannya, sampai harus mengalami kejadian naas seperti ini. Dokter bilang, benturan keras di bagian pelipis matanya bisa berpengaruh pada penglihatan mata Arga.” Widia menarik napas berat, putra bungsunya itu harus mengalami patah kaki dan mungkin saja kehilangan penglihatan di bagian mata kirinya.
“Itu hanya bersifat sementara saja, Ma. Penglihatannya akan berkurang sementara, tapi bukan berarti Arga akan kehilangan penglihatannya. Adikku pasti sembuh, dia lelaki kuat.”
Bian menepuk bahu Rivan, bangga. Memiliki dua orang putra yang sama-sama tampan dan saling menyayangi satu sama lain. Ia tahu benar bagaimana kedekatan kedua putranya itu selama ini, meski si bungsu Arga kerap membuat ulah dan menyusahkan kakaknya itu karena harus sering berurusan dengan para wanita yang mengejar-ngejarnya.
Dua-duanya sama-sama bekerja di perusahaan milik papanya, sama-sama punya jabatan penting di dalam perusahaan. Sama-sama pekerja keras dan jadi incaran banyak wanita karena ketampanan juga harta yang dimiliki keduanya.
Bedanya, Rivan lebih pendiam dan pemilih dalam hal berhubungan dengan teman dekat terutama wanita. Sedang Arga kebalikannya, wajar saja bila wanita yang menjadi temannya sering salah menafsirkan sikapnya.
“Van, bukannya tadi Kamu bilang ada masalah kecil. Apa itu?”
Rivan tertawa, ia melepas pelukan di bahu Widia dan mulai menatap papanya serius. “Barusan tadi di luar ada wanita yang mengaku kalau kalung miliknya ada bersama Arga.”
“Bagaimana bisa, apa adikmu mengenal wanita itu?” sela Widia, terkejut mendengar cerita Rivan.
Rivan menggeleng, “Rivan baru pertama kali bertemu dengan wanita itu, Ma. Dia bilang, kalung miliknya itu terjatuh mengenai leher Arga waktu petugas medis membawa brankar Arga ke ruang operasi.”
“Hem, semacam modus baru untuk mendekati adikmu lagi. Abaikan saja!” Bian menimpali.
“Tapi wanita itu bersikukuh mau menemui Arga untuk mengambil kalung miliknya. Bahkan tadi sampai berusaha menerobos penjaga kita di depan.”
“Hem, nekat juga itu perempuan.” Bian terkekeh. “Dia pasti punya alasan kuat sampai melakukan hal seperti itu. Sudah lah, abaikan saja. Jangan dipikirkan, fokus kita sekarang yang utama penyembuhan Arga segera!”
“Katanya sih kalung itu barang berharga miliknya untuk biaya operasi ibunya,” lanjut Rivan, yang sontak membuat Widia dan Bian menatap ke arahnya.
“Kamu percaya sama ucapan wanita itu?” Widia menatap Rivan, lalu beralih menatap Bian. “Papa, gimana?”
Rivan dan Bian saling menatap, lalu menggelengkan kepala bersamaan. “Gak!”
“Ish!” Widia mencebikkan bibirnya. “Kalian itu, ya. Menilai perempuan sama rata. Jangan dulu berburuk sangka, siapa tahu ucapannya itu benar adanya. Dia sedang butuh biaya banyak untuk operasi ibunya dan hanya kalung itu yang ia punya.”
“Jadi Mama percaya sama ucapan itu perempuan?”
Widia menatap Rivan, meraih tangan putranya itu dan mengusapnya lembut. “Kita harus mendengar cerita langaung dari Arga saat adikmu itu sadarkan diri, apakah benar memang seperti itu kejadiannya.”
“Tapi, alangkah baiknya Kamu selidiki terlebih dahulu tentang wanita itu, juga ibunya. Mungkin saja benar ibunya dirawat di rumah sakit ini. Jika benar apa yang dia ceritakan, kita akan sangat berdosa padanya karena sudah menghakiminya tanpa mencari kebenaran kejadian sesungguhnya.”
🌹🌹🌹
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!