NovelToon NovelToon

Reinkarnasi Istri Kontrak Presdir Kejam

Bercerai

"Mari kita bercerai."

Hening

Ruangan itu terasa sunyi, tidak ada suara lain selain suara tadi dan detak jantungnya yang seakan berhenti. Kedua telinganya tak percaya dengan apa yang ia dengar.

Air matanya luruh begitu saja, hatinya bagaikan disambar petir dan hancur seketika. Dokter mengatakan ia tak bisa memiliki seorang anak.

"Apa maksud mu Ed?" Bibirnya bergetar, air matanya mengalir deras.

Pernikahan ini memang pernikahan atas perjodohan. Dia hidup di sebuah panti asuhan dan karena nenek Mely menyukainya. Dia pun menyuruh cucunya menikahinya, Edward Felix Winston. Selama ini dia begitu mencintai Edward. Sekalipun pria di depannya bersikap dingin dan acuh padanya.

Dia tetap mencintainya, manghormati pernikahannya. Selama satu tahun, selama satu tahun dia mengabdikan diri untuk pernikahan ini.

Pria itu menatap datar ke arah wanita di depannya. Sudah satu tahun pernikahannya tapi Areum belum kunjung hamil. Dia butuh keturunan meneruskan keluarganya. Dia akui Areum gadis yang baik, selalu patuh dan merawatnya dengan baik. Namun ia belum bisa mencintai wanita di depannya. Dia tak ingin membuatnya menderita.

"Kita bercerai saja, aku tidak mau pernikahan ini di teruskan. Kau tau selama ini aku tidak mencintai mu."

"Apa karena Helena kembali?" Tanya Areum dengan nada bergetar.

Edward mengangguk, ia lebih baik jujur. Masih ada sedikit cinta untuk Helena.

Areum mundur ke belakang sampai akhirnya tubuhnya tak mampu berdiri tegak. Dia terduduk di lantai dan menangis tersedu-sedu.

Edward masih saja memandangnya dengan tatapan yang begitu sulit. Dia diam saja seolah tangisan Areum tak  berarti, tapi memang tangisan Areum sangat tak berarti baginya.

Suasana semakin dingin, namun hati Areum semakin panas. Derasnya air hujan dan petir yang menggelagar membelah langit seakan mewakili hatinya saat ini.

Areum perlahan berdiri, dia membereskan pakaiannya di dalam lemari. Dia mengedarkan pandangannya ke ruangan itu. Sebuah ruangan yang menjadi saksi bisu pernikahannya selama satu tahun.

Perlahan dia melangkah, langkahnya terasa berat. Dia meneyeret kopernya dengan terpaksa. Pernikahan yang hanya ia jalani seumur hidup. Kini bagaikan kaca yang pecah. Pria yang ia cintai seumur hidup dan hanya ingin mencintai pria itu. Namun kenyataannya ia tak bisa menjaganya lagi.

Gelak tawa terdengar dari lantai bawah. Langkahnya berhenti sampai di pertengahan anak tangga. Dia melihat seorang wanita di samping Edward. Suaminya hanya diam berdiri.

Mertuanya dan adik iparnya menempeli Helena dan mengajaknya berbicara serta bergurau.

Hatinya semakin teriris, selama setahun dia mengabdikan dirinya untuk keluarga ini.

"Mom lihat, dia sudah datang," ujar Alika. Dia menatap sinis ke arah Areum. Entah apa yang di lihat neneknya dari wanita kucel di depannya. Tidak mencerminkan keluarga Winston sama sekali.

Mommy Amber memutar bola matanya, kalau bukan karena ibu mertuanya mana mau dia menerima menantu seperti Areum yang sama sekali bukan tipenya. Miskin, yatim piatu dan kucel, memalukan saja jika sampai semua oranf tau kalau menantunya hanya orang miskin tidak seperti Helena, berkelas, cantik dan seorang designer.

Helena menatap iba pada Areum. Dia mendekati Areum. "Maafkan aku mengambil posisi mu, tapi percayalah aku akan menjaga mantan suami mu dengan baik. Aku akan memberikan cinta ku padanya. Ketahuilah, selama ini kami masih berhubungan."

Helena menggenggam tangan Areum. "Aku mencintainya, kau pasti percaya kalau aku bisa menjaganya dengan baik."

Areum mengangguk lemah, sejenak dia menatap kedua netra yang begitu ia rindukan. Dia menghampus air matanya, satu kata tak bisa keluar dari mulutnya. Hatinya begitu teriris dan sakit, ternyata selama ini suaminya masih berhubungan dengan mantan kekasihnya. Ya, dialah orang ketiga dari hubungan mereka.

Dia pun melangkah pergi sambil menyeret kopernya, membawa sejuta luka yang ia peroleh dari keluarganya.

"Akhirnya dia pergi juga," ucap Mommy Amber tersenyum senang.

Kehidupan Setelah Kematian

Derasnya air hujan mengguyur di kota London. Air mata Areum terus mengalir deras bagaikan air hujan saat ini. Entah ia akan pergi kemana untuk saat ini. Ia tak memiliki tujuan. Hidupnya yang dulu mewah walaupun ia tidak menginginkannya, di sayang oleh nenek Mely pun ia sangat bersyukur.

"Ke hotel terdekat," ucapnya. Tujuannya kali ini ke Hotel, ia tidak memiliki tujuan selain menginap di hotel untuk saat ini.

Sopir pribadinya yang bernama Baron, yang telah bekerja dan mengabdi untuk nenek Mely pun berhenti di salah satu hotel. "Nyonya biar saya saja."

Pria itu menurunkan koper yang berisi pakaian Nyonya mudanya itu. "Nyonya, maafkan saya tidak bisa membantu Nyonya. Bagaimana kalau Nyonya ke kampung halaman saya saja? Walaupun tidak seperti di kota, tapi sangat asri Nyonya. Saya yakin, Nyonya pasti betah berada di sana."

"Terimakasih, tapi bolehkah?" tanya Areum. Setidaknya ia mendapatkan tempat tinggal. Tidak masalah baginya walaupun tidak semegah di kediaman Winston.

Pria itu mengangguk dengan tulus, ia senang jika bisa membantu majikan mudanya itu. Orang yang telah di bawa oleh nenek Mely. Dia bertemu dengan nenek Mely pada saat nenek Mely menolongnya di tengah jalan. Dia kelaparan dan di usir oleh istrinya karena tidak memiliki pekerjaan yang baik. Istrinya memilih selingkuh dan menceraikannya.

"Saya sangat senang kalau Nyonya berkenan. Besok pagi saya akan mengantar Nyonya."

"Terimakasih, saya mau, saya mau."

Tanpa di sadari ada dua orang pria mendekati mereka. Pria itu berpakain jaket hitam dan menutupi bagian kepalanya. Dia mengeluarkan sebuah pisau dari saku jaketnya.

Keduanya saling pandang dan mengangguk. Masing-masing dari mereka memiliki sebuah tugas.

Salah satunya memegangi pundak Areum dan Areum pun menoleh, hingga tanpa sadar sebuah pisau menusuk di perutnya.

Sakit dan perih, ia melihat perutnya telah keluar darah. Dress putihnya di bagian perutnya berubah menjadi warna merah. Dia menatap pria itu. Ia tidak memiliki masalah dengan siapa pun. Dia tidak memiliki musuh.

"Kenapa?" Tanya Areum terengah-engah.

"Salah sendiri kau adalah istri Edward dan salah sendiri kau merebutnya dari putri ku, Helena. Kau yang menghancurkan putri ku, maka aku akan menghancurkan dan membunuh siapa pun yang menghalangi kebahagian putri ku."

"Nyonya," sapa Baron. Pria di sampingnya semakin menusuk hingga kedua matanya terasa berat.

Areum menoleh, ia melihat darah segar telah mengalir dari perut sopirnya itu dan tubuhnya lemas tak berdaya.

Pria itu pun melepaskan Areum dan sopirnya, meninggalkan mereka di tengah-tengah hujan. Buliran air bening pun mengalir di sudut matanya, dia menatap pria yang perlahan melangkah jauh. Benarkah ini kehidupannya? Ia ingin bahagia? Perlahan mata itu terasa berat, sakitnya di dalam perutnya seakan menarik nafasnya. Sebuah bayangan Edward dan dirinya bagaikan kaset yang berputar di otaknya. Ia tersenyum dan memejamkan kedua matanya.

Jedar

Sapaan petir itu memekik di telinga seolah memberi suatu tanda.

Hah

Hah

Hah

Peluh keringat membasahi wajahnya, bahkan kimono putihnya yang melekat di tubuhnya. Nafasnya tak beraturan, bagaikan lari marathon. Dia mengusap keringat yang hampir menetes dari jakunnya. Kemudian mengusap seluruh wajahnya.

Ia meraba perutnya, namun tidak ada darah dan sama sekali tidak ada kesakitan. "Aku tidak mati, syukurlah aku masih hidup."

Dia menghidupkan lampu utama di kamarnya dan bernafas lega, ternyata hanyalah mimpi. Tetapi terasa nyata dan menyakitkan. Ia teringat dengan perceraiannya. Tanpa sadar meneteskan air matanya kembali. Ia pun menoleh ke atas nakas, berniat untuk mengambil segelas air putih. Namun kedua matanya melihat sebuah kertas. Ia pun mengambilnya dan membacanya. Kertas itu adalah kertas saat pemeriksaannya, kertas itu pun jatuh.

Ia meremas seprai, air matanya mengalir deras. Tenggorokannya terasa tercekat. Berarti apa yang ia alami bukan mimpi. Pemeriksaannya di lakukan 3 bulan sebelum percerain itu.

"Aku, aku mati, hah ...." Berarti Nenek Mely masih hidup.

Dengan tangan gemetar, dia mengambil ponselnya di atas nakas dan mencari nama nenek Mely.

"Hallo sayang," Suara yang masih terdengar dengan jelas dan nyata. Ia menggigit bibir bawahnya.

"Nenek, nenek baik-baik saja kan?"

"Iya, Nenek baik-baik saja."

Dia teringat dengan kematian nenek Mely yang menimpanya. Sebuah kecelakaan maut terjadi. Ia tidak boleh membiarkannya, ia harus mencegahnya.

Nenek Mely berniat untuk mengunjungi makam suaminya dan menyebabkannya kecelakaan hingga berkahir menanggal.

"Sayang, lusa Nenek ingin mengunjungi makam kakek. Kau mau ikut?" tanya nenek Mely.

Deg

Sama dengan kehidupan sebelumnya, ia menolak karena Edward mengajaknya menghadiri pesta pernikahan temannya itu. Namun kali ini ia lebih mementingkan nenek Mely, ia tidak akan menolaknya. Nenek Mely harus berada di pengawasannya.

Tinta Merah Noda Darah

Setelah berbicara sesingkat mungkin dengan nenek Mely. Areum menaruh ponselnya kembali. Ke atas nakas. Tuhan memberikannya kesempatan. Ia akan menggunakan kesempatan ini dengan baik. Sudah cukup di kehidupan lalunya ia menderita. Sudah cukup baginya mengemis. Ia lelah, tapi ia bertahan demi kebaikan nenek Mely. Wanita itu sangat baik, sehingga ia tidak ingin menyakitinya.

"Apakah aku bisa mencegah kecelakaan itu?"

Drt

Areum menoleh kembali ke atas nakas, dering ponselnya mengalihkan kedua matanya. Dia mengambil kembali ponsel itu dan seketika ia di buat terkejut. Sebuah nama yang selalu menyakitinya.

Dia pun mengangkatnya di iringi air mata yang telah mengalir.

"Kau tidak apa-apa?"

Deg

Hati Areum teriris kesakitan, perkataannya masih terngiang dalam benaknya. Ia meminta sedikit waktu, ia rela menjalani pengobatan apa pun asalkan bisa memiliki anak dengan pria yang berstatus suaminya.

"Areum, kau baik-baik saja?"

Suara yang begitu ia rindukan tiap malamnya. Rasa hangat yang begitu ingin ia peluk dan wajah yang ingin ia lihat setelah bangun pagi harinya. Selama ini ia sendirian hanya berteman malam yang sunyi dan sepi. Ia selalu menunggu kedatangan pria itu.

"Kenapa?" tanya Areum balik. Tumben sekali pria di depannya menanyakan kabarnya. Selama menikah, jangankan kabar. Berbicara saja acuh padanya.

Deg

Pria di seberang sana terdiam, hatinya berdenyut nyeri. Baru pertama kalinya sikap Areum acuh padanya. "Tidak, aku akan pulang malam ini," ujarnya.

Pria yang di sapa Edward itu mematikan ponselnya, kemudian mengusap wajahnya secara kasar. Edward menghela nafas, ia pun membereskan beberapa dokumen yang berserakah di atas meja kerjanya itu.

Entah apa yang di pikirkannya, yang jelas hatinya berdenyut nyeri.

...

Areum meremas ponselnya, ia tidak peduli dengan pernikahannya saat ini sekalipun dia kembali. Permainan cinta ini sudah usai baginya. Kehidupan kali ini ia hanya fokus pada nenek Mely, ia tidak boleh terjerat lagi dalam pernikahan ini. Ia ingin bebas dan bahagia.

Sudah cukup kesakitannya selama ini. Namun anehnya kenapa pria itu tiba-tiba menghubunginya?

"Apa dia tersambar petir?" Dia melirik ke arah jendela yang tirainya terbuka. "Tidak hujan,"

Dia pun mengusir pikiran anehnya itu, ia tidak peduli lagi. Di kehidupan keduanya, ia berencana mencari kebahagiannya dan memikirkan caranya untu bercerai baik-baik tentu saja atas persetujuan nenek Mely.

"Tiga bulan, iya tiga bulan aku harus bertahan sampai Helena kembali. Aku tidak boleh langsung meminta bercerai dengan Edward. Nenek Mely pasti kecewa, tidak bukan aku yang membuatnya kecewa tapi Edward. Dialah yang harus di salahkan."

"Apa yang harus aku lakukan?" Aruem turun dari ranjangnya. Saat kedua kakinya menginjak lantai, salah satu kakinya terasa sakit dan perih. "Arkhhhh!!"

Areum terduduk lagi di atas ranjang. Rasa sakitnya tidak sesakit hatinya, luka di hatinya sangat dalam. Kesetiannya di balas oleh pengkhianatan. Seandainya ia tidak mencintainya, sudah dari dulu ia meninggalkan Edward.

"Aku kuat, di kehidupan lalu aku bisa bertahan." Dia pun berdiri, dadanya terasa panas. Jadi dia kembali setelah mendapatkan luka yang di peroleh dari ibu mertuanya dan adik iparnya. Ia masih ingat betapa kedua orang itu mengerjainya habis-habisan. Luka di kakinya di peroleh saat mereka dengan sengaja menyuruhnya membersihkan gelas yang mereka dengan sengaja menjatuhkannya dan menyuruhnya melepaskan alas kakinya.

Dia perlahan bangkit kembali, melangkah dengan rasa sakit yang mendera. Bahkan mertuanya tidak mengijinkan memanggil dokter dan membiarkan lukanya di balut begitu saja.

Lantai putih itu pun ternoda dengan bekas darah di kaki kanannya. Rasa sakit itu tidak membuatnya mengurungkan niatnya. Ia membuka sebuah laci, mengambil pulpen di gelas dekat lampu belajarnya itu. Ia duduk dan menuliskan sebuah perjanjian bahwa mereka akan bercerai tiga bulan setelahnya. Mereka akan menutup diri dan masing-masing tidak akan ikut campur.

Ia mengambil sebuah gunting, di tatap gunting itu dengan kilatan kemarahan. Ia menusuk gunting itu ke jari jempolnya, hingga keluar darah. Sebuah jempol merah dengan tinta darah tercetak di kertas putih itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!