*Akira Anak Perampok (AAP)*
“Hahaha….!”
Suasana hening yang khusyuk mendadak rusak oleh tawa Akira yang meledak seorang diri di sisi belakang saf murid perempuan. Seketika seluruh murid laki-laki dan perempuan berpaling kepadanya. Namun, Akira tetap tertawa terbahak.
Ctarr!
Suara menggelegar tiba-tiba terdengar lebih mengejutkan ke-50 murid yang semuanya di bawah usia 15 tahun. Seketika semuanya kembali ke sikap semula, duduk diam khusyuk pandangan ke depan. Suara yang bersumber dari rotan yang dipukulkan ke papan tulis itu juga menghentikan tawa Akira, tapi tidak benar-benar berhenti. Tawa itu dikurung di dalam mulut sehingga yang terdengar adalah suara cekikikan.
"Akira!" sebut lelaki paruh baya di depan sana dengan keras.
Lelaki berjubah hitam yang memegang sebatang rotan itulah yang baru saja memukul ke papan tulis. Lelaki berkulit hitam itu memiliki wajah tua yang sangar. Sorot tajam matanya ditunjang oleh bekas luka besar yang bergaris dalam di bawah mata kiri. Kepalanya dililit kain abu-abu yang serasi dengan warna jenggot putihnya yang bercorak mengembang. Lelaki ini dikenal dengan nama Jenggot Perak.
Akira mendongak kepada Jenggot Perak dengan wajah benar-benar menahan tawa. Gadis cilik berambut kepang tunggal itu bertanya dengan wajahnya yang putih bersih, seolah tanpa dosa.
"Tidak sopan anak perempuan tertawa besar seperti itu!" bentak Jenggot Perak. Matanya benar-benar mendelik. "Kenapa tertawa?"
"Hahaha …!" Akira melepas tawanya yang tertahan. Ia berusaha berhenti tertawa. "Mei Mei, Guru!"
Tsalji menunjuk murid perempuan yang duduk di sebelahnya. Gadis 12 tahun bermata sipit itu hanya diam, tak berani bersikap macam-macam.
"Kenapa?!" Jenggot Perak masih membentak marah.
"Kentut seperti tikus kaget keselek!" jawab Akira.
"Hahaha …!"
Sontak tawa seluruh murid pecah. Akira pun kian tertawa keras juga. Tapi Mei Mei hanya diam, dongkol dan merengut.
Ctarr!
Kembali suara rotan menghentikan kekisruhan. Jenggot Perak memang sangat ditakuti oleh seluruh santri, kecuali satu santri, yaitu Akira.
“Akira! Maju!” perintah Jenggot Perak.
Anak berusia 11 tahun itu pun berdiri dan berjalan ke depan kelas. Raut tawanya sudah hilang. Akira sudah tahu, ia pasti dihukum. Hukuman bagi Akira bukanlah hal baru. Murid yang paling banyak mengoleksi hukuman adalah dirinya.
“Baca 20 adab belajar!” perintah Jenggot Perak.
Tanpa diarahkan, Akira berjalan ke sudut ruangan. Di sana ada sebuah tiang kayu setinggi lutut orang dewasa. Akira naik ke tiang lalu berdiri satu kaki.
“Atas nama Penguasa Jagad Raya. 20 adab belajar!” Akira mulai membaca tanpa teks.
“Salaaam!” salam seorang lelaki separuh baya di ambang pintu. Lelaki berhidung mancung itu lebih muda dari Jenggot Perak.
“Wassalaaam untukmu!” jawab Jenggot Perak setelah melihat siapa yang datang.
“Srikandar sudah kembali. Orang-orang tua sudah berkumpul di rumahnya!” kata lelaki berhidung mancung yang bernama Badas. Tampak di sabuk kulit merahnya tergantung pedang besar.
Akira yang sedang menghapal seketika berhenti, menatap serius kepada kedua orang tua itu.
“Anak-anak, pelajaran hari ini cukup. Salaaam!!” kata Jenggot Perak tanpa berpikir panjang.
“Wassalaaam!” jawab puluhan anak-anak itu.
“Ayah pulang!” pekik Akira girang lalu bersalto turun dan berlari keluar menerabas posisi Badas.
Jenggot Perak dan Badas hanya geleng-geleng kepala. Ada pun murid yang lain bubar dengan teratur. Mereka menyalami tangan kasar Jenggot Perak dan Badas satu per satu. Setelah anak-anak habis di dalam kelas, Jenggot Perak dan Badas beranjak bergi dengan langkah cepat menyusuri jalan yang berbata rapi.
Matahari belum mencapai puncaknya. Tampak beberapa kaum muda sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Usia Desa Petobat itu baru satu bulan. Desa ini awalnya adalah sebuah desa yang tidak berpenghuni, sebuah desa mati. Kemudian desa ini ditempati dan dibangun oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh Srikandar.
Setelah sejauh 500 meter, Jenggot Perak dan Badas memasuki halaman rumah besar. Di halaman, tepatnya di depan tangga teras rumah panggung kayu, telah berkumpul puluhan lelaki yang rata-rata usianya di atas 40 tahun. Rata-rata mereka membawa golok dan pedang. Tampak semuanya menunggu seseorang yang akan muncul dari dalam rumah.
Jenggot Perak dan Badas berhenti di depan mereka yang sudah hadir. Keduanya pun menatap ke atas rumah, menunggu.
Dan akhirnya, muncullah seorang lelaki gagah dari dalam rumah. Lelaki berusia 45 tahun bertubuh kekar. Ia mengenakan jubah putih besar yang dibalut sabuk kuning. Rambut dua warnanya, yakni putih dan biru terang, tersisir rapi. Jenggot hitamnya tumbuh lebat tapi pendek. Sorot matanya penuh wibawa di bawah naungan alis tebal. Di tangan kanannya tergandeng tangan bocah perempuan cantik berkepang tunggal. Dialah orang yang bernama Srikandar. Bocah perempuan yang bersamanya adalah Akira, putrinya.
Di belakang Srikandar berjalan seorang perempuan bercadar kuning. Ia istri Srikandar, bernama Kayla.
“Salaaam, saudara-saudaraku!” salam Srikandar dari atas tangga.
“Wassalaaam, Ketua!” jawab para lelaki gagah itu.
“Hari inilah saudara-saudaraku!” seru Srikandar berwibawa. “Sekian hari keraguan menggelayuti hati-hati kita, akhirnya Tuhan memberikan kepastian, memberikan jawaban atas pertanyaan kita semua!”
Puluhan lelaki yang berdiri di depan rumah semuanya hening, mendengarkan dengan wajah antusias. Tak ada yang bersuara.
“Tiga hari yang lalu, aku hadir dalam majelis Syeikh Zainal Ali. Ia menyampaikan beberapa ayat dan hadits. Ada satu hadits yang sangat kusukai hingga kuminta tulisannya lalu aku hapal dalam perjalanan pulang. Hadits itu berasal dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Wahai anak Adam, selama engkau berdoa dan berharap kepada Kami, Aku ampuni dosa-dosamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, walaupun dosamu seluas langit, lalu engkau meminta ampun kepada-Ku, pasti Aku ampuni. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan seluas bumi lalu engkau menjumpai-Ku tanpa menyekutukan-Ku, maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan seluas itu pula.
Maka itu, wahai saudara-saudaraku, mulai hari ini, tidak ada kata lain selain perbaikan dan penyesalan. Berawal dari desa yang sekecil ini, kita akan berjuang menata masa depan.”
Srikandar menghentikan pidatonya. Ia memandang kepada kedatangan seorang pemuda yang menunggang kuda. Semua yang serius mendengarkan Srikandar jadi ikut berpaling melihat siapa yang datang. Penunggang itu memacu kencang lari kudanya dan berhenti tepat di depan rumah. Mereka kenal dengan pemuda berpakaian hitam itu, yaitu anak buah Srikandar yang berjaga di luar batas desa.
“Satu pasukan besar berbaju besi hitam menuju ke mari, Ketua!” lapor si penunggang kuda.
“Itu Pasukan Algojo Hitam!” terka Jenggot Perak.
Perkataan Jenggot Perak langsung menimbulkan ketegangan di wajah-wajah mereka.
“Bukan!” sanggah Srikandar. “Aku sudah melihat mereka dalam perjalanan pulang kemarin. Mereka adalah Pasukan Zabaniyah pimpinan Jenderal Dara!”
Maka tampak gejolak kegelisahan dari pengikut Srikandar. Ada kepanikan yang tercipta. Sebagian dari mereka memegang kepala senjata di pinggangnya. Sepengetahuan mereka, Pasukan Zabaniyah adalah pasukan eksekusi yang tidak kenal ampun. Jenderal Dara adalah satu pimpinan Pasukan Zabaniyah yang menjadi momok bagi setiap orang. Bahkan orang tidak bersalah pun menakuti namanya.
“Segera tinggalkan desa ini!” perintah Srikandar.
Seesst...!
Tiba-tiba terdengar suara desisan yang berasal dari tempat yang jauh. Srikandar mendelik terkejut. Ribuan titik hitam melesat cepat dari langit seperti sekawanan lebah.
Teb teb teb! Teteb!
“Akh...! akh...! Akh...!”
Ratusan anak panah menghujani tempat itu. Puluhan anak buah Srikandar tumbang berjeritan, ketika satu dua tiga anak panah menancap di tubuh mereka. Beberapa lelaki lainnya bergerak lincah menangkis dan menghindari hujan panah itu, termasuk Jenggot Perak. Kuda yang tadi datang juga terkapar.
Hujan panah berhenti, maka tampaklah pemandangan yang mengerikan. Puluhan mayat tergeletak seketika di tanah. Ratusan panah menancap di kayu rumah Srikandar. Tinggal sembilan orang yang mampu selamat dari hujan panah.
“Ketua!” pekik Jenggot Perak saat melihat tiga anak panah telah menancap di punggung Srikandar karena melindungi Akira.
Sementara Kayla berhasil luput karena berlindung di balik tiang kayu rumah. Kayla cepat menyongsong tubuh suaminya.
“Ayaaah ...!” pekik Akira menangis melihat ayahnya terkena tiga anak panah.
“Jenggot Perak! Bawa Kayla dan Akira pergi lewat jalan rahasia!” perintah Srikandar.
“Tapi, Ketua, kau harus....”
Kata-kata Jenggot Perak putus ketika Srikandar melempar tubuh Akira ke dalam rumah lalu mendorong tubuh Kayla ke dalam. Ternyata, hujan panah kembali datang dari langit.
Dengan gerakan cepat, Jenggot Perak menangkis semua panah yang mengarah pada Srikandar dan dirinya. Dan ternyata, anak buah yang tersisa kali ini tewas semua.
Hujan panah kedua berakhir, ribuan panah semakin memenuhi rumah kayu besar itu.
“Ayaaah ...!” pekik Akira histeris dari dalam rumah. Ia menangis kejer.
“Cepat pergilah, Jenggot Perak!” perintah Srikandar yang masih sanggup berdiri berlumuran darah. (RH)
*Akira Anak Perampok (AAP)*
Jregr! Jregr! Jregr!
Tampak dari luar halaman rumah yang luas muncul tiga ekor kuda berlapis baju besi, yang ditunggangi oleh penunggang berbaju besi hitam. Kepalanya pun tertutupi helm besi hitam. Penunggang kuda tengah mengenakan baju dan helm besi yang lebih rapat dan tebal, serta tampak lebih bagus. Dialah yang disebut sebagai Jenderal Dara.
“Ingat, aku tidak mau keturunanku terputus!” bisik Srikandar kepada Jenggot Perak, sambil meringis menahan sakit pada tubuhnya yang ditancapi oleh panah. Ia lalu mendorong Jenggot Perak masuk ke dalam rumah.
Srikandar lalu mencabut beberapa panah yang menancap di tiang dan melompat ke halaman sambil melesatkan anak-anak panah di tangannya. Anak-anak panah itu mengarah ke bagian tubuh ketiga kuda yang tidak tertutupi besi. Namun dengan mudah para penunggangnya menepis anak panah itu.
Jenderal Dara memberi isyarat kepada anak buahnya. Penunggang kuda di sisi kanan yang bernama Sohor cepat melompat dari kudanya, lalu berlari cepat ke arah rumah. Srikandar cepat melompat hendak menyerang Sohor.
Seet! Ceb ceb!
“Akh!” pekik Srikandar ketika dua butir peluru besi melesat menembus dada dan perutnya. Dua peluru itu tersambung benang baja hingga ke tangan prajurit yang di sisi kiri Jenderal Dara. Dia bernama Aral.
Srikandar terlutut di tanah dalam kondisi dua benang baja menancap di tubuhnya.
Brak!
Sementara Sohor mendobrak pintu rumah yang penuh dengan tancapan anak panah. Ia berhenti sejenak, di dalam kosong. Namun suara pintu ditutup membuat prajurit itu berlari masuk lebih dalam. Di dalam, Sohor menemukan ada pintu terbuka di lantai kayu dan ada tangga yang menuju ke bawah. Namun sayang, lubang bertangga tersebut tidak muat oleh besarnya pakaian besi si prajurit.
Sohor mengeluarkan sebuah bola besi berbentuk manggis berdaun satu. Daunnya dicabut dan bola besi pun dilempar ke dalam lubang.
Bduarr!
Bersamaan dengan berlarinya Sohor ke luar rumah, lubang yang adalah jalan rahasia itu meledak.
Sementara di luar, ....
“Srikandar, hari ini kau dieksekusi mati karena kejahatanmu. Pengadilan Wilayah Lima telah memutuskan hukuman ‘pancung di tempat’ dan ‘pemutusan generasi’!” seru prajurit Aral sambil tetap memegangi dua benang bajanya.
“Keturunanku tidak bersalah!” teriak Srikandar dengan mulut penuh darah.
Sets!
Sebuah benda tipis dilesatkan oleh Jenderal Dara dan Srikandar tidak dapat menolak ketika benda itu memotong rapi lehernya. Kepala Srikandar jatuh menggelinding bercecer darah.
Aral menarik kembali benang bajanya yang tergulung otomatis di lengan besinya. Tubuh Srikandar pun tumbang tanpa kepala dan nyawa. Jenderal Dara melemparkan tombak besinya kepada Aral. Si prajurit menangkap tombak itu dan turun untuk menusuk kepala Srikandar dari bawah leher. Hal ini menunjukkan bukti bahwa eksekusi “pancung di tempat” telah dilaksanakan.
“Ada yang kabur lewat jalan rahasia, Jenderal!” lapor Sohor sekeluarnya dari rumah.
Jenderal Dara hanya menunjuk memerintahkan untuk mengejar. Tidak ada istilah membiarkan ada yang lolos dari eksekusi.
“Baik, Jenderal. Tapi aku harus lepas baju besi, lorongnya sempit!”
Sohor segera membuka semua kunci pakaiannya. Ketika pakaian besi itu ditanggalkan, sangat jelas bobot berat dari pakaian besi hitam itu.
Ternyata Sohor adalah seorang pemuda gagah bertubuh kekar dengan pakaian biru ketat. Wajah dan tubuhnya berkeringat. Ia membawa besi besar berbentuk silinder. Sohor segera masuk kembali ke dalam rumah. Segera ia melompat masuk ke dalam lubang yang sudah hangus. Sementara itu di dalam terowongan tanah, ....
“Ayo cepat!” kata Jenggot Perak kepada Kayla dan Akira yang berjalan membungkuk di depannya.
Lorong itu selain sempit, kelebarannya juga tidak teratur. Jenggot Perak dan Kayla harus membungkuk untuk melaluinya.
“Kenapa Ayah dibunuh, Ibu?” tanya Akira yang masih menangis ketakutan campur sedih.
“Mereka menuduh ayahmu orang jahat,” jawab Kayla yang harus menahan tangisnya dan kepedihan batinnya. “Kita harus selamat, karena kita juga akan dibunuh, Akira!”
“Uhuk uhuk!”
Jenggot Perak batuk darah. Ledakan bom tadi membuatnya mengalami luka dalam yang serius.
“Perkiraanku, daerah ini sudah dikepung oleh pasukan Jenderal Dara. Algojo itu terkenal sekali dalam operasinya. Semut pun tidak akan lolos dari hukumannya!” ujar Jenggot Perak. “Tidak ada jaminan kita akan lolos. Jika salah satu dari kalian dikehendaki Allah selamat, pergilah mencari Penunggang Angin!”
“Kita sudah sampai di air terjun!” kata Kayla.
Memang terdengar suara gemuruh air dan berubahnya udara lorong menjadi dingin. Di depan, lorong tampak lebih bercahaya. Kayla dan Jenggot Perak sudah tahu persis tentang jalan rahasia itu. Lorong itu berujung tepat di sisi jatuhnya air terjun ke bawah. Posisi ujung lorong ada di tebing, puluhan meter di atas permukaan sungai yang menjadi penadah air terjun.
Suara air terjun semakin keras terdengar. Ketika jarak beberapa meter lagi, Jenggot Perak cepat menahan.
“Tahan, jangan langsung keluar. Biar aku lihat dulu ke luar. Jika terjadi sesuatu, bawalah Akira langsung melompat ke bawah!”
Kayla dan Akira berhenti. Jenggot Perak terus merangsek menuju ke luar lorong. Ujung lorong tepat berada di sisi terjunnya air dari atas, tapi tidak sampai terkena air. Puluhan meter di seberang lorong adalah tebing batu yang lebih rendah, atasnya adalah hutan lebat.
Set set set!
Betapa terkejutnya Jenggot Perak saat melihat sosok-sosok hitam mengkilap bersiaga di balik pepohonan di tebing seberang. Seketika itu juga, ratusan anak panah melesat ke arah mulut lorong, menghujani Jenggot Perak.
“Berlindung!” teriak Jenggot Perak tanpa beranjak dari depan lorong.
Kayla cepat menarik Akira ke balik tonjolan batu. Jenggot Perak membiarkan tubuhnya berdiri di ambang lubang menjadi penutup. Puluhan anak panah tanpa ampun menancapi tubuh tua itu.
“Guruuu!” jerit Akira histeris.
Seiring itu, sebuah benda besi menggelinding dari dalam lorong.
Blesss!
Bola besi itu kemudian terbelah mengeluarkan asap kuning pekat yang tebal.
Kayla cepat membekap hidung dan mulut anaknya lalu membawanya berlari ke luar lorong. Mayat Jenggot Perak yang berdiri tersender, didorong. Tanpa membaca area lagi, Kayla membawa Akira melompat terjun bebas ke bawah.
Spontan puluhan anak panah melesat berusaha membidik Kayla dan Akira. Kayla sigap melepas cadarnya lalu dikibas-kibaskan yang mementalkan beberapa anak panah yang menyasarnya.
Jburr!
Seiring masuknya Kayla dan putrinya ke air sungai, lenyaplah keduanya dari pandangan.
Dari dalam lorong keluar asap kuning yang langsung raib oleh angin.
“Komandan Safar! Cepat kirim pesan ke Komandan Topa untuk berjaga di hilir!” teriak seseorang dari dalam lorong kepada para prajurit berpakaian besi di tebing seberang.
Orang yang muncul di lorong tidak lain adalah prajurit yang mengejar pelarian Jenggot Perak, yakni prajurit Sohor.
Secara serentak, puluhan prajurit berpakaian besi melesat turun dengan bantuan tali baja ke aliran sungai yang cukup besar. Seiring itu, ratusan anak panah ditembakkan secara acak ke dalam sungai. Namun, semua anak panah berbahan besi itu hanya tenggelam.
Puluhan prajurit menyisir dan memeriksa secara seksama sungai itu. Setiap sela di pinggir sungai mereka periksa.
Di udara, tampak seekor burung elang terbang dari hutan tebing seberang. Burung itu adalah burung pembawa pesan.
Kayla dan Akira sempat muncul ke permukaan, tepat di bawah batu pinggir sungai yang menjorok. Setelah keduanya mengambil napas, keduanya segera menyelam lagi sebelum prajurit besi melihat. Ibu beranak itu harus menyelam cukup dalam supaya bayangannya tak terlihat dari permukaan. Kayla harus melakukan hal itu beberapa kali sambil menunggu pasukan besi bersih dari area tersebut. Kayla memutuskan untuk berenang ke arah hulu. Sementara Akira harus mengalami keletihan.
Kayla dan Akira akhirnya selamat. Meski demikian, mereka akan memperoleh status baru, yaitu “Buronan Wajib Mati”. (RH)
*Akira Anak Perampok (AAP)*
Dengan pakaian yang masih basah, Kayla melaksanakan salat di tanah gua kecil itu. Perempuan cantik itu bercucuran air mata hingga tubuhnya terguncang-guncang.
Sementara Akira terbaring lemah tanpa baju beralaskan dedaunan yang telah ditata rapi oleh ibunya. Api unggun kecil cukup menghangatkan tubuhnya. Gadis 11 tahun itu mengalami kelemahan dan beberapa kali harus menelan air sungai saat dipaksa menyelam oleh sang ibu demi keselamatan mereka.
Akira pun menangis melihat ibunya yang tak henti-hentinya menangis, bercucuran air mata dalam salat hingga doanya. Jiwa kecil Akira sudah bisa merasakan kepedihan yang mungkin lebih besar dirasakan oleh sang ibu. Amarah yang memupuk dendam membara harus terbelenggu oleh ketidakberdayaan. Bahkan tangis Akira lebih nyaring terdengar dibandingkan sesegukan sang ibu. Akira tahu bahwa ayahnya telah mati dibunuh oleh orang-orang berpakaian besi itu.
“Sudah tidak usah menangis,” kata Kayla lembut kepada anaknya seusai mengakhiri doanya. Perempuan yang masih tergolong muda itu menghampiri anaknya, mengusap kepalanya dan mecium lembut dahinya.
“Ibu juga menangis,” kilah Akira dan tangisnya kian keras.
Kayla segera memeluk erat anaknya. Ingin ia menenangkan, tapi justru ia ikut terlarut dalam tangisan.
“Ayah mati karena melindungiku,” ratap Akira begitu sedih.
“Tidak. Ayahmu pendekar hebat, panah yang menancap di punggungnya tidak ada artinya. Kau juga harus menjadi anak yang kuat seperti ayahmu!” hibur Kayla. “Beristirahatlah!”
Kayla kembali membaringkan tubuh putrinya.
“Ibu harus melihat kondisi ayahmu, semoga ayahmu masih hidup. Kau istirahatlah di sini, Nak. Nanti Ibu akan kembali membawa makanan,” kata Kayla.
“Iya,” angguk Akira.
“Kau masih ingat pesan Guru Jenggot Perak? Jika Ibu tidak kembali sampai sore, tinggalkan tempat ini dan pergi cari orang yang bernama Penunggang Angin. Kau punya kakek di Pulau Layar dan kakakmu berguru di Sekolah Urat Bumi. Kau bisa mencari mereka bertiga. Dan ingat, hindari jika bertemu prajurit berpakaian besi atau prajurit pemerintah.”
“Tapi Ibu harus kembali ke mari!” pesan Akira.
“Iya. Tapi jika sampai matahari tenggelam Ibu belum datang, pergilah! Kau masih ingat pesan Ibu?”
“Tapi ....”
“Tidak! Ibu harus mencari ayahmu. Tunggu Ibu di sini!”
Dengan berat Akira akhirnya mengangguk. Kayla kembali mencium putrinya.
“Tidurlah! Salaaam!”
“Wassalaaam!”
Kayla segera keluar dari gua. Tidak lupa ia merapikan dahan-dahan pohon yang menjadi penutup mulut gua.
Akira kemudian terlelap nyenyak dalam waktu cepat. Hingga waktu berputar. Kayu pun akhirnya padam habis terbakar. Tinggal bara yang bertahan. Kondisi dalam gua pun berubah gelap.
“Ibu!” panggil Akira saat mendapati pandangannya yang terbangun hanya melihat gelap dan sedikit bara api yang tersisa. “Ibu!”
Akira memanggil lebih kencang. Namun, hanya gema suaranya yang menjawab. Sadar bahwa ibunya tidak kembali, sedangkan hari sudah gelap, Akira pun kembali menangis. Ia bangun dan meraba-raba mencari bajunya. Usai berbaju, Akira berusaha membuat api di kayu sebagai obor. Sesuai pesan ibunya, ia harus pergi.
Sambil tetap menangis, Akira berjalan ke luar. Belum terlalu malam. Langit masih memberikan cahaya. Kunang-kunang sudah ramai bertebaran.
Sruutr!
“Ibuuu ...!” pekik Akira panjang saat tubuhnya terperosok jatuh ke bawah.
Jbuur!
Tubuh Akiraa jatuh ke sungai.
Sebelumnya, pada siang yang lalu, Kayla dengan langkah penuh hati-hati kembali ke Desa Petobat. Sejak ia mulai memasuki desa, kepedihan mengiris-iris hatinya.
Yang ia jumpai adalah mayat-mayat penduduk Desa Petobat yang bergelimpangan, yang notabene adalah anak buah suaminya beserta keluarga mereka.
Laki-laki, perempuan hingga anak-anak tewas dibunuh dengan anak panah. Di beberapa bagian jalan ada membekas jejak kaki kuda yang banyak. Selain tiga kuda yang datang ke rumah Srikandar, ada satu pasukan kuda datang masuk ke desa itu dan melakukan pembantaian.
“Sadis!” desis Kayla memendam amarah yang bergejolak hebat.
Kayla hanya bisa melalui mayat-mayat itu tanpa bisa berbuat sesuatu. Ia kian bergegas menuju rumahnya. Anak panah bertebaran di mana-mana. Ribuan anak panah itu jelas dilepaskan oleh pasukan yang berjumlah besar. Harapan untuk menemukan suaminya dalam kondisi bernyawa rasanya adalah hal mustahil.
“Kanda!” pekik Kayla histeris saat pandangannya tertumpu pada sesosok tubuh bersimbah darah dengan tiga anak panah menopang punggungnya.
Tubuh berpakaian putih yang telah merah oleh darah itu memiliki dua lubang luka pada dada dan perut. Tragisnya, tubuh itu sudah tidak memiliki kepala.
“Kandaaa!”
Histeris Kayla berlari kepada tubuh yang adalah mayat suaminya, Srikandar. Dipeluknya kuat tubuh tanpa kepala itu. Kayla segera mencari-cari potongan kepala suaminya di antara puluhan mayat lelaki yang semuanya tewas oleh panah.
Tiba-tiba wajah sedih cantik itu berubah begitu sangar penuh dendam. Matanya mendelik saat dilihatnya seorang lelaki kekar berpakaian biru ketat duduk di tangga rumah memerhatikannya. Pemuda itu tidak lain adalah prajurit yang tadi mengejarnya di terowongan rahasia. Prajurit bernama Sohor itu memegang sebuah besi besar berbentuk silinder yang memiliki beberapa lubang pada ujungnya dan beberapa tombol di ujung lainnya.
“Benar dugaanku, kau akan kembali ke sini, Cantik!” kata Sohor seraya tertawa ringan, menunjukkan karakter pembantai berdarah dingin.
Kayla bangkit berdiri. Ia tutup wajahnya dengan cadar.
“Jika kau tidak membunuhku, maka kematianmu adalah awal kehancuran seluruh Pasukan Zabaniyah dan pasukan besi!” seru Kayla.
“Wow! Hahaha!” Sohor tertawa meremehkan.
Dengan santai Sohor mengarahkan moncong senjata silindernya kepada Kayla. Sambil tersenyum meremehkan, ia menekan salah satu tombolnya.
Bang!
Empat peluru besi melesat. Namun, Sohor harus mendelik ketika empat peluru itu terhenti oleh hadangan cepat kiblatan selendang cadar Kayla. Empat peluru itu gugur ke tanah.
Selanjutnya Kayla berlari cepat menyambar sebilah golok dan melompat laksana lesatan panah. Posisi tubuh Sohor yang hanya duduk biasa jadi gelagapan. Tepat ketika serangan Kayla sampai, Sohor menekan tombol senjatanya.
Tang! Blarr!
“Akh!”
Sabetan golok Kayla lebih dulu menebas senjata itu hingga tembakan berubah ke bawah. Tembakan bom itu seketika menghancurkan tangga dan mengenai kaki kiri Sohor. Sohor terpental ke belakang menghantam dinding papan yang penuh ditancapi anak panah. Beberapa pangkal panah bahkan menusuk pungggung Sohor. Sementara Kayla terpental dan jatuh berdebam di tanah akibat ledakan itu.
“Akh!” jerit Sohor saat mencabut punggungnya dari panah. Seketika darah mengucur deras. Kaki kirinya yang hancur membuat Sohor kesulitan berdiri. Buru-buru Sohor mencari senjatanya.
Melihat usaha Sohor, Kayla juga cepat bangkit dan berlari meluruk dengan golok siap bunuh. Sohor buru-buru melompat mencoba meraih senjatanya yang tergeletak di lantai papan.
Tseb!
“Hekhr!”
Lebih dulu golok besar Kayla menusuk perut Sohor, membuat pemuda itu berhenti bergerak. Namun, telunjuk Sohor sudah menekan satu tombol merah pada senjata besinya.
Tut tut tut!
Suara nyaring terdengar dari benda silinder itu. Kayla yang mengerti, spontan melompat menjauh.
Bdluarr!
Besi silinder itu meledak dahsyat yang menghancurkan rumah itu. Kayla yang belum terlalu jauh, terpental hebat dan keras menghantam batang pohon di halaman. Tubuh Kayla jatuh berdebam dan tidak bergerak dalam posisi tengkurap. Sementara tubuh Sohor telah hancur berkeping-keping.
Setengah jam kemudian, tiga penunggang kuda berpakaian besi hitam, lengkap berhelm besi hitam, memasuki halaman. Sejenak ketiganya berhenti di tengah halaman. Satu penunggang kuda maju ke dekat puing-puing rumah.
“Sohor mati!” seru prajurit besi itu ketika mengenali wajah Sohor yang cukup hancur tanpa badan lagi.
“Lawannya juga mati!” seru prajurit yang lainnya yang menyodok-nyodok punggung dan kepala Kayla dengan gagang tombak besinya.
“Ayo!” ajak prajurit yang memimpin sambil memutar balik kudanya.
Ketiga prajurit besi berkuda itu segera meninggalkan tempat tersebut. Sebelumnya, mereka cepat datang ke lokasi pertarungan karena mendengar suara ledakan yang memang keras.
Alam mulai meremang, matahari bergerak tenggelam. Desa Petobat yang kembali menjadi desa mati mulai menggelap. Setelah berlalu beberapa jam, ternyata tangan Kayla bergerak.
“Ukh!”
Terdengar suara Kayla merintih. Tubuhnya bergerak lalu berbalik. Tampaklah luka bakar cukup parah dialami sebagian tubuh Kayla, termasuk sebagian wajah Kayla.
“Akira!” ucap Kayla terkejut ketika sadar bahwa gelap mulai datang. Ia seketika teringat dengan putrinya di gua.
Seraya menahan sakit dan perih, Kayla berusaha bangkit. (RH)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!