NovelToon NovelToon

Love At Second Chance

LSC 1

"Papa, kamu dimana? Jordan panasnya gak turun-turun! Aku khawatir!" Reni berucap panik saat menghubungi Zai suaminya.

"Oke, Papa akan segera pulang." kata Zai yang kebetulan yang baru saja sampai berada di kantor polsek dari tugas luar kota dan berniat pulang ke rumah.

Sambungan telepon terputus. Setengah jam terlewati, Zai sampai di rumah dan berlari menuju kamar anaknya.

"Gimana keadaan Jordan? Panasnya belum turun ya?" Zai meletakkan telapak tangannya di dahi Jordan.

"Iya Pa, sudah lebih dari 3 hari belum turun-turun dan ini baru saja aku cek suhunya mencapai 40," kata Reni duduk di samping Jordan yang menggigil.

"Astaga, kita bawa kerumah sakit sekarang juga!" Zai langsung menggendong Jordan lalu berlari keluar rumah menuju garasi dimana mobilnya berada.

Sedang Reni mengambil tas dan jaket Jordan, kemudian menuju kamar Gabriel yang sedang tertidur pulas dan menggendongnya. Reni pun menyusul suaminya lalu mengunci pintu rumah mereka.

Masuk ke mobil, Reni meletakkan Gabriel yang langsung terbangun saat duduk di samping papanya. Reni beralih duduk di tengah memangku Jordan yang tertidur.

"Papa, Mama, kita mau kemana?" tanya Gabriel seraya mengucek matanya dan menatap bingung kepada kedua orang tuanya yang dilanda kepanikan.

"Kita mau pergi ke rumah sakit, Sayang, Mengantar adik Jordan yang sedang sakit," jawab Zainudin menatap anak keduanya.

Gabriel pun menoleh ke belakang dimana adiknya terbaring lemah di pangkuan mamanya.

"Pa, ayo cepat! Jordan tak sadarkan diri," pinta Reni yang panik karena Jordan tiba-tiba tak sadarkan diri.

"Apa? Tak sadarkan diri! Baiklah." Zai mulai melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi agar sampai dirumah sakit.

Begitu sampai di Rumah Sakit Harapan Bunda, Zai keluar mobil dan membuka pintu tengah lalu mengambil Jordan seraya berlari menuju ruang IGD.

Reni melakukan pendaftaran karena hanya wanita itulah yang mengetahui kondisi sang anak sebelumnya. Reni merincikan bagaimana dan apa penyebab dari penyakit Jordan.

"Suster, tolong anak saya?" kata Zai saat bertemu perawat yang kebetulan lewat.

Suster tersebut langsung memeriksa suhu badan anak lelaki itu dan terkejut karena sangat tinggi panasnya. Kemudian suster tersebut memasang infus di pergelangan tangan kiri yang maasih begitu mungil.

Tak lama Reni tiba dengan menggendong Gabriel berdiri di samping Zai yang memandang anaknya dengan perasaan sedih dan khawatir.

"Papa," panggil Reni lirih. Dia juga merasa khawatir dengan keadaan sang anak.

"Iya, sayang, tenang. Jordan sudah ada yang menangani. Kita tunggu keputusan dokter," kata Zainudin memeluk Reni.

Dokter tiba bersama suster dan mengecek ulang suhu tubuh anak tersebut.

"Kalian orang tua anak ini?" tanya Dokter Sinta setelah memeriksa.

"Benar, Dok, kami orang tuanya," jawab keduanya kompak.

"Sudah berapa lama sakitnya?" Dokter Sinta bertanya kembali.

Reni segera menjelaskan pada dokter sejak kapan sang anak sakit. Dia juga mengatakan bahwa panas Jordan sempat turun, tetapi naik lagi petang tadi. Suaranya terlihat bergetar menunjukkan bagaimana wanita itu begitu khawatir.

"Begitu." Dokter Sinta menganggukkan kepala mengerti. "Saya perlu mengambil tes darah untuk mengetahui penyakit yang dideritanya," Dokter Sinta memberitahu pada kedua orang tua anak tersebut.

Dokter Sinta segera memerintahkan suster yang berdiri di sampingnya untuk mengambil darah sang pasien. Dia ingin melakukan pemeriksaan terhadap contoh darah tersebut di laboratorium.

"Saya permisi dulu," pamit Dokter itu pada kedua orang tua pasien.

Suster tersebut mengambil darah Jordan, lalu segera membawanya ke ruang laboratorium untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Mama," panggil Gabriel pelan. Dia merenggangkan tubuhnya untuk turun dari gendongan sang Mama. Anak itu berjalan menuju adik kecilnya seraya mengusap kepala Jordan lembut.

Reni mengikuti langkah Gabriel, lalu berdiri di samping anak itu. "Sayang, do'akan Adik Jordan cepet sembuh, ya," ucap Reni seraya menatap Jordan dengan nanar.

"Pasti, Mama," sahut Gabriel.

Reni duduk di kursi memangku Gabriel yang sedang menatap adiknya, sedang Zai duduk di kursi luar memikirkan keadaan Jordan yang tiba-tiba sakit dan demam tinggi.

"Bagaimana bisa Jordan tiba-tiba sakit dan demam tinggi? Apa yang dilakukan Reni selama ini?" Zai bertanya-tanya dalam hati dan juga pikirannya. Namun, untuk saat ini belum waktunya menanyakan hal ini pada istrinya.

Zai langsung teringat, bahwa anak pertamanya sudah waktunya pulang sekolah. Dia kembali masuk, lalu mengatakan pada Reni bahwa ingin menjemput Rere anak sulungnya.

"Gabriel ikut!" pekik Gabriel. Ya, kemana pun sang Papa pergi, pasti anak tersebut tidak mau ketinggalan.

Gabriel turun dari pangkuan mamanya, lalu Zai langsung menggendong Gabriel berjalan keluar menuju parkiran rumah sakit.

Masuk mobil, Zai meletakkan Gabriel di kursi depan, lalu menutup pintu. Pria itu melajukan kendaraan menuju sekolah Rere yang lumayan jauh dari rumah sakit.

Selama perjalanan, yang ada dalam pikiran Zai adalah Reni, bukan Jordan. Entah kenapa, Zai merasa ada sesuatu hal ganjil yang dilakukan sang istri.

"Papa, itu Kakak!" teriak Gabriel yang membuyarkan lamunan Zai.

Zai segera menepikan mobil, lalu membuka pintu. Dia menghampiri Rere yang sedang berdiri di gerbang sekolah. Pria itu pun membawa sang anak segera meninggalkan tempat itu.

"Papa, kita mau kemana?" tanya Rere yang menyadari arah mereka bukan ke rumah.

Zai menjelaskan dengan cara sederhana dan lembut agar mudah dipahami anak sekecil Rere. Dia juga tak ingin sang anak ikut khawatir.

Sesampainya di rumah sakit, Zai, Rere dan Gabriel turun dari mobil dan menutup pintu dengan cepat. Sang Papa mengunci otomatis mobilnya dari jarak jauh.

Berjalan di koridor Rumah sakit, Zai menuntun Rere dan menggendong Gabriel yang memeluknya erat. Kini, mereka berjalan menuju ruangan ICU.

Ya, sebelumnya Reni telah memberitahu bahwa Jordan telah dipindahkan ke ruangan tersebut. Anak tersebut memerlukan perawatan intensif.

"Mama!"

Reni yang duduk di kursi tunggu ruang ICU menoleh saat mendengar suara anak sulungnya itu. Reni menyambut kedatangan sang anak dengan senyum di wajahnya.

"Bagaimana Ma? Apakah Dokter sudah datang membawa hasil lab-nya?" tanya Zai yang penasaran dengan penyakit yang diderita Jordan.

"Belum Pa," jawab Reni.

Matahari mulai tergelincir dari singgasana, tetapi pihak rumah sakit belum memberi kabar. Akhirnya, Zai menyuruh Reni pulang supaya dapat mengurus kedua anak mereka serta membawa dirinya baju ganti untuk kedepannya.

Reni pun menuruti perintah sang suami. Dia segera membawa kedua anak mereka pulang bersama. Sedangkan Zai masuk untuk menemani Jordan karena ruang ICU hanya boleh ditunggui oleh satu orang saja.

Tak lama kemudian pintu kamar rawat Jordan terbuka. Muncullah perawat datang membawa beberapa lembar kertas. Dia segera membaca tulisan di atasnya yang berisi hasil laboratorium.

"Anak Bapak terkena DBD dan trombosit rendah," ucap sang perawat.

"Apa?" Zai membuka mata lebar, tak menyangka jika sang anak akan terkena penyakit itu.

"Jadi, secepatnya harus mendapatkan transfusi darah. Tapi, sayangnya kami tidak punya stok darah A seperti yang dibutuhkan pasien," jelas sang perawat lagi.

Bak disambar petir, tubuh Zai pun seketika mematung. Dia seperti orang linglung. Ucapan sang suster tentang golongan darah sang anak terus saja berulang di telinga.

Hai semuanya, ini adalah karyaku yang ke 5 berjudul Love at Second Chance. Semoga suka dengan karya baru ini. Mohon dukungannya ya agar author tetap semangat dalam berkarya. Terimakasih. Salam hangat untuk kalian🥰

LSC 2

Zai mendudukkan dirinya ke atas kursi. Mencoba menetralkan emosi untuk menenangkan diri. Disaat seperti ini dirinya tidak boleh mengutamakan egonya. Keselamatan Jordan adalah yang utama.

"Bagaimana Pak? Apa Bapak mau mendonorkan darah untuk anak Bapak?" tanya suster yang masih berdiri di sana.

"Sus, golongan darahku B. Jadi tidak mungkin aku mendonorkan darahku," jelas Zai.

"Kalau begitu, Bapak harus segera mencarikan darah untuk anak Bapak. Sementara itu, kita juga akan mencarikan kantung darah untuk pasien. Jadi, biar lebih cepat jika kita bekerja sama," ucap sang perawat.

"Baiklah. Lakukan yang terbaik, Sus!" pinta Zai.

Meski pun banyak pertanyaan yang mengganjal di benak Zai, tetapi dirinya tetap ingin yang terbaik untuk anak itu. Semua itu dia lakukan karena rasa kepedulian.

Zai selalu menemaninya duduk di kursi sebelah brankar seorang anak yang masih berusia 1 tahun itu. Zai menatap lekat wajah mungil dengan tubuh lemas di sana. Pikirannya kacau dan hati yang begitu gelisah.

"Sebenarnya kamu anak siapa Jordan? Kenapa golongan darahmu berbeda dengan punyaku. Padahal, golongan darah Reni juga B. Terus, siapa pemilik golongan darah A yang juga ayahmu?"

Zai berencana akan mengungkap semua ini ketika anak itu sudah sehat. Untuk saat ini, Zai tetap berusaha merawat agar Jordan segera sembuh.

Pria itu pun segera teringat dengan seorang teman yang bekerja di PMI. Dia tahu bahwa di sana pasti banyak stok darah yang dibutuhkan Jordan. Zai segera mencari ponsel dalam saku celananya, lalu menghubungi nomor tersebut.

"Halo Irwan, apakah disana ada golongan darah A?" tanya Zai yang memerlukan golongan darah itu secepatnya. Zai sangat berharap jika sang teman dapat membantunya.

"Ada Zai, tapi untuk siapa?" jawab Irwan.

Zai segera menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Saat ini nada bicaranya sudah cukup tenang. Dia juga mengatakan bahwa butuh beberapa kantung darah.

"Oke. Kebetulan disini ada banyak."

"Kirim segera ke Rumah Sakit Harapan Bunda, Wan. Segera ya!" pinta Zai.

"Oke Zai. Aku segera kesana."

"Terimakasih Wan."

Sambungan telepon terputus. Zai akhirnya bisa bernapas lega setelah mendapatkan darah golongan A. Zai kembali menatap Jordan yang terlihat begitu pucat.

"Reni, apakah kamu diam-diam selingkuh di belakangku? Dengan siapa kamu melakukan itu?" gumam Zai bertanya kepada dirinya sendiri. Perlahan Zai membelai rambut tipis anak di depannya.

Dua jam berlalu, Reni, Rere dan Gabriel tiba di parkiran rumah sakit. Reni menggendong Gabriel berjalan beriringan dengan Rere tersenyum merekah dan membawakan makan malam untuk Papa tercinta.

"Kalian tunggu di sini. Jaga Gabriel baik-baik!" pinta Reni. Lalu, Reni meninggalkan kedua anak itu dan segera menemui Zai.

Perawat memperbolehkan Reni masuk karena ingin memberitahu sang suami akan kedatangannya. Dia pun berjalan menghampiri Zai yang duduk di depan Jordan.

"Malam Papa?" sapa Reni masuk membuka pintu ruangan dimana Jordan di rawat.

Selama Reni berada di rumah, tak hentinya menanyakan kabar Jordan kepada Zai. Namun, sang suami sama sekali tidak membalas pesan darinya itu.

Tidak mendapatkan tanggapan, Reni menghampiri Zai. Dia mengintip wajah pria yang tergeletak di sisi brankar. Ternyata sang suami telah tertidur.

"Pa, bangun. Aku bawakan makan malam untukmu." Reni menggoyangkan tubuh suaminya pelan. Dia ingin menyuruh pria itu untuk makan malam.

Zai terbangun saat merasakan tepukan tangan di bahunya secara pelan, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali.

Zaii mendongak, menatap Reni dengan tersenyum tipis. Namun, dalam hatinya menaruh rasa sakit hati dan kekecewaan terhadap istri yang tepat di depannya dengan senyuman mengembang.

"Iya Papa. Baru saja kami datang. Papa sudah lapar 'kan? Tadi Mama membeli ayam bakar dan juga roti bakar permintaan Gabriel." ucap Rere.

"Dimana anak-anak?" tanya Zai singkat.

"Tuh!" Reni menunjuk ruangan di sebelah yang hanya terhalang kaca besar.

Di sana terlihat dua anak kecil menghadap ke arah mereka. Rere menunjukkan satu kantung plastik ke arah sang Papa, sementara Gabriel melambaikan tangan. Zai pun tersenyum lebar seraya melambaikan tangan untuk menyapa kedua malaikat kecil itu.

"Gimana Pa, hasil laporan tes darahnya?" tanya Reni begitu penasaran yang belum mengetahui, bahwa suaminya saat ini sedang menahan amarah besar.

Wanita tersebut tahu persis apa itu ruang ICU. Di sana anak dengan penyakit yang serius akan mendapatkan perawatan intensif. Reni pun semakin khawatir.

Zai menjelaskan tentang kondisi sang anak dan juga ketiadaan darah yang dibutuhkan kepada sang istri. Kata-katanya begitu datar, bahkan terasa dingin jika Reni sadar. Namun, wanita itu tidak menyadarinya. Dia justru menggoyangkan tubuh sang suami.

"Lalu, gimana Pa? Apa Papa mau donorin darah buat Jordan?"

Zai menarik sebelah ujung bibirnya. Hatinya sudah cukup sakit mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Dia hanya menatap Gabriel dan Rere yang duduk di sebelah ruangan. Kedua anak itu sedang asik memainkan permainan di ponsel mereka masing-masing.

"Kenapa Mas Zai tidak menjawab pertanyaanku? Ada apa sebenarnya?" batin Reni berucap merasa heran dengan sikap suaminya.

"Pa, apakah Papa sudah mendapatkan darah untuk Jordan?" tanya Reni kembali menatap suaminya yang kini juga menatap dirinya.

Namun, Zai tetap tidak menjawab pertanyaan dari Reni. Dirinya langsung keluar ruangan begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata.

Reni keluar ruangan dan melihat suaminya sudah duduk bersandar di kursi dengan mata terpejam.

Zainudin yang merasakan Reni duduk disampingnya langsung menanyakan perihal Jordan yang sudah menguasai isi kepalanya sejak tadi.

"Jordan anak siapa?" Zai tiba-tiba bertanya saat Reni baru duduk disampingnya.

Reni seketika diam terpaku mendapat pertanyaan itu dari suaminya.

"Papa ngomong apa sih? Gak lucu deh! Jordan anak kita Pa," jawab Reni berbohong.

"Kalau anak kita, kenapa golongan darahnya tidak sama dengan kita, Ren?" tanya Zai dengan menggeram menahan amarahnya sejak tadi mencoba sebisa mungkin agar tidak berteriak.

"Maksud Papa apa? Jordan jelas-jelas anak kita Pak. Tidak sama bagaimana?" Reni bukannya menjawab, malah balik bertanya pada Zai.

"Golongan darah kita B, sedang Jordan A. Kebohongan mana lagi yang kamu buat, Reni!" Zai memberitahu tentang apa sebenarnya golongan darah Jordan. Zai semakin geram karena sang istri tidak mengakui apa yang sebenarnya terjadi.

Reni seketika membeku, mendengar apa yang dikatakan Zai. Reni tidak tahu harus bagaimana lagi setelah sang suami tahu. Akan tetapi, wanita itu mencoba menetralkan lagi sikapnya.

"Bagaimana mungkin Pa? Kenapa Jordan tidak sama dengan kita?" kilah Reni yang sudah ketahuan berbohong masih saja tetap pada pendiriannya.

"Katakan padaku! Anak siapa Jordan itu?" tanya Zai sekali lagi masih tetap bersabar menghadapi Reni yang pandai menyembunyikan kebohongannya selama ini.

Kini pria itu merasa telah ditipu oleh sang istri. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Reni selama ini hingga menghadirkan Jordan ke dunia. Zai hanya percaya pada sang istri bahwa wanita itu baik-baik saja.

"Jordan anak kita Pa! Anak kita!" kekeh Reni. Dia tetap berbohong pada Zai, walau pun bukti sudah di depan mata.

"Kamu masih mau mengelak lagi!" bentak Zai. Kini dia sudah tidak tahan dengan kebohongan Reni.

"Papa bentak Mama!" 

LSC 3

Zai hanya terdiam duduk dengan memegang kepalanya yang tertunduk. Sedang Reni menangis karena mendapat bentakan dari suaminya.

Zai gak tahu lagi harus bagaimana? Situasi seperti ini membuat dirinya harus berpikir lebih jernih agar kewarasannya tetap terjaga.

Sebenarnya, emosi Zai sudah menumpuk sejak mendengar perkataan dari Dokter. Namun, ditahannya karena mengingat situasinya masih berada di rumah sakit.

"Apa yang kamu lakukan selama aku dinas keluar kota Reni?" ketus Zai bertanya pada Reni.

"Aku hanya dirumah saja Pa, mengantar dan menjemput anak-anak kita. Itu saja!" jawab Reni berbohong lagi.

"Kamu-"

Saat akan berbicara lagi dengan Reni, tiba-tiba Irwan datang mengampiri Zai dengan membawa dua kantong darah.

"Zai, gimana keadaan anakmu?" tanya Irwan memandang keduanya.

"Anakku masih belum sadarkan diri Wan. Ayo kita menemui suster di ruang donor darah." ajak Zai pada Irwan dan meninggalkan Reni sendirian di kursi.

Zai melirik Reni sekilas, "Lihat dan tunggu saja bila kamu ketahuan berbohong lagi." gumam lirih Zai saat melewati Reni.

"Aku harus bagaimana? Mas Zai sudah mengetahui kalau Jordan bukan darah dagingnya. Cepat atau lambat Mas Zai akan menceraikanku kalau selama ini aku selingkuh di belakangnya." ucap Reni dalam hati dengan menatap punggung suaminya yang telah melangkah pergi.

"Tidak bisa! Aku harus mencari cara agar Mas Zai menerima anak itu apapun yang terjadi. Aku bahkan tidak tahu dimana lelaki yang telah menghamiliku berada." tambah Reni berucap dalam hatinya lalu beranjak berdiri masuk ke ruangan Jordan. 

Di ruangan donor darah, Zai dan Irwan telah menyerahkan darah tersebut pada suster yang sedang berjaga.

"Terimakasih Pak, silahkan tunggu diluar. Kami akan memberitahu Dokter Sinta." kata suster itu.

"Baik."

Zai dan Irwan keluar ruangan kembali ke ruang VIP dimana anak Zai dirawat.

"Irwan, terimakasih. Jika bukan karena pertolongan darimu. Aku tak tahu lagi kemana mencari donor darah untuk Jordan." kata Zai menepuk bahu Irwan pelan.

"Itulah gunanya teman bro." sahut Irwan tersenyum senang.

Zai dan Irwan masuk ke kamar Jordan dan terlihat Reni duduk di sofa dengan memegang ponsel.

Zai duduk di samping Jordan begitu juga Irwan yang memandang iba pada bocah lelaki itu.

Tak lama suster masuk ke ruangan dan meletakkan donor darah ke tiang, lalu memberi suntikan pada tangan Jordan untuk menambah trombosit pada tubuhnya.

"Semoga anak Pak Zai segera sembuh. Saya permisi dulu." pamit suster itu.

"Aamiin. Terimakasih Suster."

"Alhamdulillah Zai, aku ikut senang. Akhirnya Jordan mendapat tranfusi darahnya dengan cepat." kata Irwan tersenyum senang.

"Justru aku yang harusnya berterimakasih padamu." balas Zai tersenyum.

"Kalau butuh bantuan, jangan sungkan mengatakannya padaku," ucap Irwan.

"Pasti itu."

Reni hanya menyaksikan interaksi keduanya tanpa mengajaknya berbicara.

Kemudian Irwan berpamitan pada Zai dan Reni karena ada urusan mendadak.

Setelah kepergian Irwan, Zai melihat kedua anaknya telah tertidur di lantai dengan beralaskan kasur lantai dengan memeluk guling masing-masing.

Untuk sementara, Zai mengacuhkan Reni dan menunda masalahnya hingga Jordan sembuh. Kemudian dirinya memilih tidur di kursi menemai Jordan disampingnya.

Reni yang melihat hal itu hanya mendengkus geram dan merebahkan tubuhnya di sofa.

*

Keesokan harinya, Jordan terbangun disaat subuh dan mengerjapkan matanya melihat ruangan yang serba putih dengan bingung lalu melihat sekeliling. 

Lalu Jordan melihat di samping ada papanya yang tertidur dengan tertunduk di ranjangnya.

"Papa-"

Zai yang menyadari ada tangan yang menyentuh kepalanya segera bangun dan melihat Jordan telah sadar.

"Jordan? Kamu sudah sadar Nak?" Zai mencium kening Jordan.

Tak lama, Reni terbangun menyadari ada suara Jordan yang berbicara dengan suaminya.

"Jordan sayang," Reni mendekat dan mencium kening anaknya.

"Mama, mama." Jordan mengangkat tangannya ingin di gendong Reni.

"Jordan masih sakit, jadi belum bisa di gendong sayang," ucap Reni memegang tangan mungil Jordan lalu menciumnya beberapa kali.

"Jordan sayang? Papa keluar dulu mau mengambil baju di mobil." pamit Zai pada anaknya.

Jordan mengangguk menanggapi perkataan papanya.

Reni menatap suaminya dengan menahan kesal dan kecewa karena sejak kejadian semalam dirinya di acuhkan begitu saja.

"Oke. Kali ini Papa mengacuhkanku. Lihat saja saat sudah pulang nanti." Reni berkata dengan yakin bahwa dirinya bisa menaklukkan Zai setelah apa yang terjadi.

Di parkiran, Zai telah mengambil baju di koper miliknya dan mengganti dengan yang baru di mobil.

Selesai mengganti baju, Zai duduk di mobil memikirkan Jordan dan apa yang harus dilakukan terhadap istrinya.

"Reni, aku tak akan tinggal diam bila benar kamu berselingkuh di belakangku selama ini," ucap Zai menatap rumah sakit di depannya itu.

Zai keluar mobil setelah berdiam diri lama di mobil seraya memikirkan bagaimana langkah kedepan perihal rumah tangganya ini.

Untung saja suasana pagi yang sepi ini belum begitu banyak orang. Lebih baik, aku pergi ke kamar mandi umum di rumah sakit ini.

Zai berjalan menuju mushola dan berniat mandi disana sekalian menunaikan ibadah sholat subuh.

Selesai menunaikan ibadah sholat subuhnya, Zai kembali menemui keluarga kecilnya di ruang VIP.

Membuka pintu, Zai melihat ketiga anaknya bercanda tertawa bersama istrinya di samping kiri kanan Jordan.

"Kalian sudah mandi?" tanya Gabriel dan Rere.

"Belum Pa, kami berdua baru saja bangun dan melihat Jordan sadar langsung mengajaknya mengobrol." ujar Rere tertawa senang melihat wajah adiknya yang sudah tidak pucat seperti sebelumnya.

"Baiklah, kalau begitu kalian mandi dulu," pinta Zai pada kedua anaknya.

"Yeeyy."

Zai terlebih dulu memandikan Gabriel mengacuhkan Reni yang berada di depannya. Rere kembali mengajak Jordan yang duduk bersandar dengan berbicara dan sesekali bermain di beberapa aplikasi game ponselnya.

Beberapa menit selesai, Zai meminta Rere mandi membawa handuk dan juga baju gantinya. Kemudian Zai mengambil baju ganti Gabriel yang berada di tas dan menyisir rambut serta memakai minyak wangi di tubuhnya.

Tak lama Rere juga selesai mandi dengan wajah segar dan wangi aroma sabun. "Papa, Rere lapar?" tanya Rere duduk di lantai bersama Papa dan adiknya.

"Baiklah, setelah ini kita pergi ke warung depan rumah sakit." ujar Zai.

"Horeeee."

Reni hanya menatap suami dan kedua anaknya dengan tatapan sulit diartikan. Antara ketiga anak dan permasalahan yang dihadapinya saat ini benar-benar membuatnya tak bisa berbuat banyak.

"Sekarang sudah cantik dan ganteng. Yuk, kita keluar jalan-jalan pagi." ajak Zai menggendong Gabriel dan menggandeng tangan Rere.

"Mama, kami pergi cari makan dulu ya?" pamit Rere lalu berjalan keluar bersama papanya.

Reni hanya mengangguk menanggapi perkataan Rere.

Hai semua, terimakasih sudah mampir ke karyaku. Jangan lupa dukungannya ya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!