NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Mas RT

Linda

Ini adalah kisah dari salah satu cerita tentang Kuliah Kerja Nyata. Kegiatan perkuliahan yang sangat legendaris dengan berjuta cerita. Ada canda tawa, suka duka, kisah mistis dan yang paling banyak terjadi adalah tentang cinta.

Semuanya diramu manis dalam bingkai KKN (Kisah Kasih Nyata). Inilah sepenggal cerita untuk memperjuangkan cinta.

"Mengejar Cinta mas RT"

*

*

*

Langit dipayungi awan tebal tanda hujan akan turun sebentar lagi. Meski bukan dikenal sebagai kota hujan tapi kota Semarang cukup sering dilanda hujan akibat perubahan cuaca ekstrim akhir akhir ini.

Linda berlari menuju lantai tiga gedung perkuliahan. Ia sudah sangat terlambat untuk mata kuliah pengantar manajemen. Mata kuliah yang harusnya lulus di masa-masa awal perkuliahan terpaksa harus Linda ulangi karena dosen kesayangannya selalu memberi nilai D.

Kesal? Tentu saja, Linda mahasiswa tingkat delapan tapi ia harus mengulanginya lagi bersama anak-anak mahasiswa baru tingkat satu dan tiga. Tak jarang Linda menjadi bahan ejekan teman satu angkatan. Yang lebih mengenaskan lagi Linda juga termasuk dari sekian mahasiswa yang belum mendaftar KKN. 

Disaat yang lain menyiapkan diri untuk Kuliah Kerja Praktek, Linda baru saja mendaftar untuk mengikuti program KKN. Poor Linda __,

Linda tergolong mahasiswa yang aktif di beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa, terutama BEM dan Bursa Efek. Saking menggilai kegiatan di bursa efek Linda sampai rela tidur malam mengamati grafik bursa saham Indonesia. Ia juga beberapa kali mengunjungi kantor Bursa Efek Jakarta dan Surabaya untuk sekedar mengetahui kinerja pasar modal.

Sayangnya semua kegiatan super sibuk Linda tidak dibarengi dengan nilai prestasinya. Linda termasuk mahasiswa yang biasa biasa saja, bahkan masuk kategori dibawah rata-rata. Itu sebabnya ia tertinggal jauh dari rekannya yang lain. Nilai IPK-nya (Indeks Prestasi Kumulatif) saja mentok di angka 2,00 Nilai yang sangat rendah untuk standar Program Studi Akuntansi angkatan dirinya.

Disaat teman-teman lainnya mengejar prestasi agar mencapai IPK tertinggi, Linda malah asik mengejar kesenangan bermain main di bursa saham. 

Linda menggerutu karena dosen Pengamen (pengantar manajemen) meminta ruang kelas dipindahkan ke lantai tiga. Alasannya simpel agar berdekatan dengan kelas pasca sarjana selanjutnya.

"Dosen gableg, maunya seenaknya sendiri! Kan capek naik turun tangga begini mana lift rusak lagi!"

Linda terus berlari hingga tiba di depan ruang kelas, ia berhenti sejenak merapikan rambut dan pakaian yang berantakan. Sedikit mengintip ke dalam dan kelihatannya kelas sudah dimulai lima belas menit yang lalu. Pak Marsono, dosen menyebalkan berambut keriting ala-ala Edi Brokoli, wajahnya begitu mirip dengan salah satu aktor stand up komedi Indonesia, Marcel. Dosen dengan dandanan sedikit nyentrik itu sedang menjelaskan slide per slide yang terpampang di layar proyektor.

"Siang pak, maaf terlambat!" sapa Linda setelah mengetuk pintu.

Pak Marsono dan yang lainnya menoleh ke arah Linda. Beberapa dari mereka cekikian geli melihat Linda, ada yang geleng-geleng kepala dan ada juga yang tersenyum sambil garuk-garuk kepala. Linda tak peduli dengan tatapan mereka, ia melenggang masuk kelas. Sialnya tak ada kursi kosong lagi selain deret terdepan persis di depan pak dosen.

Pak Marsono menatapnya dari balik kacamata yang bertengger di hidung dengan kemiringan tiga puluh derajat. Ia menggelengkan kepala sambil berdecak.

"Lin," pak Marsono memanggil nama Linda dengan microphone yang masih digenggamnya.

"Eh, iya pak!" Linda menjawab dengan sedikit gugup.

"Kamu angkatan lama apa baru?"

Pertanyaan yang sontak memerahkan wajah Linda, mata indah Linda melirik ke kanan dan kiri. Antara malu dan juga bingung.

 "Ehm, baru pak." jawabnya ragu.

"Baru?" pak Marsono kembali bertanya.

"Ya, anggap aja gitu pak. Biar serasa mudaan dikit." sahutnya cengengesan.

Pak Marsono masih menatapnya dari balik kacamata yang melorot. Linda menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdemo indah didalam sana, kesal dan juga jengah dengan tatapan dan senyuman yang seolah menghakiminya sebagai mahasiswa terbodoh di dunia.

Pak Marsono menghela nafas panjang, matanya menatap lekat Linda, lalu turun kebawah. Linda mengikuti arah tatapan pak Marsono dan betapa terkejutnya ia saat melihat sepatu yang dikenakan. 

Sebelah kiri ia memakai sepatu warna putih dan sebelah kanan memakai hijau metalik. Sepintas mirip dengan sepatu yang sedang trend saat ini, tapi begitu melihat tali dan merk sepatunya jelas itu adalah sepatu yang berbeda. 

'Hah, mati aku! Sejak kapan Adidas sama Nike satu pabrik?!' batinnya kesal.

Linda beralih menatap pak Marsono lagi, dia pun tersenyum masam.

"Jangankan angkatan sendiri sama sepatu yang dipakai aja kamu lupa! Gimana mau lulus kalo begini caranya, Lin!"

Suara riuh terdengar di belakang Linda meneriaki dan juga menertawakannya. Tapi bukan Linda jika dia tidak tebal muka. Linda hanya memejamkan mata sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Pak Marsono geleng-geleng kepala. Ia lalu mematikan pengeras suara dan merapikan bukunya.

"Eh, lho pak saya kan belum dengerin materi? Kok udahan pak?" protes Linda bingung.

"Saya cuma bisa ngajar empat puluh lima menit dan yang seperempat jamnya kamu habiskan sendiri gara-gara sepatu unik kamu itu." jawab pak Marsono datar kembali melirik kebawah menatap sepatu Linda.

"Eh jangan gitu dong pak, saya sudah berjuang ini bangun pagi pake lari-lari segala lho pak? Masa udahan sih pak?!"

"Ya itu urusan kamu, resiko kamu! Makanya bangun pagi jangan telat tiap masuk kelas saya. Atau kamu saya kasih nilai E sekalian!"

"Wah jangan dong pak, masa gitu aja bapak ngambek! Harusnya yang ngambek kan saya pak, dua kali lho saya dapat D(-) melulu. Nggak fair lah!" sungut Linda yang masih tak terima dengan sikap pak Marsono.

Pak Marsono hanya memberi senyum sekilas lalu beranjak pergi. Linda pun terburu-buru mengejarnya keluar kelas. 

"Pak, tunggu dong! Pak, pak Marsono!"

Akhirnya lelaki berumur empat puluh tahun itu berhenti, lalu menatap Linda.

"Lin, bapak sudah kasih kamu kesempatan kedua lho! Please kali ini serius kuliah! Apa nggak malu sama kakak kamu? Dia sampe minta sama bapak lho buat kasih kesempatan kamu!"

"Iya sih pak, saya juga usaha ini tapi kan ___,"

"Nggak ada tapi tapian lagi semester ini kamu harus lulus dan tinggalin itu pasar saham! Memangnya dapet apa kamu main saham? Sudah setor banyak?" Linda menggelengkan kepala, pak Marsono pun kembali berkata.

"Nah kan, yang penting lulus dulu sekarang. Inget pas ujian besok saya mau kamu tulis jawaban sesuai pemahaman kamu, bukan semua materi di buku kamu tulis! Kayak anak SMA aja pake hafalan!"

"Lho tapi kan betul semua pak jawaban saya?" Linda kembali melayangkan protes.

"Memang betul, tapi mana terapannya? Kamu kerja pake materi? Bukan kan, pake pemahaman. Materi cuma buat landasan, dasar, pedoman!" protes Linda dipatahkan pak dosen.

"Iya, iya pak. Saya janji besok bakal kerjain berdasarkan pemahaman. Tapi kalo nggak paham juga gimana pak ini sudah dua kali lho saya ngulang." Linda berpura pura merengek dengan menarik baju pak Marsono.

"Lah, ya mbuh Lin! Bapak yo mumet liat kamu ada di kelas bapak terus! Sak karepmu wis Lin, kesel aku wisan!"

Dosen pengantar manajemen itu pun berlalu meninggalkan Linda dengan wajah masam.

"Waah tuh dosen satu bikin keki bener. Harus diapain ya? Masa iya sih aku beliin hp keluaran terbaru? Bisa habis tabungan aku kalo gitu!" Linda mendengus kesal, ia pun melangkah gontai menuju cafe langganan nya di depan gedung.

"Lin, Linda!" 

Linda menoleh ke arah si pemanggil, ia sontak melempar pandangan ke arah lain. Matanya membulat sempurna, "Ya Allah, apes lagi … apes lagi! Linda, Linda keknya harus diruqyah nih aku. Kabur dah sebelum apesnya dobel!" 

 

Obrolan di Warung

Linda menghentikan langkahnya setelah tangannya ditarik paksa oleh lelaki yang memanggilnya tadi.

"Lin, tunggu!"

"Aduh, mau apa sih?!" protes Linda sambil berbalik.

Lelaki tampan, berkulit putih, rambut rapi, dan tinggi sekitar 180 centimeter itu menatap Linda dari atas sampai bawah. "Kamu ke kampus pake beginian?" tanyanya tak percaya.

'Nah kan, apes deh aku kena omelan dia!"

Linda nyengir dan mengangguk, "Kenapa emang? Ini ngetrend lho, baru tau kan? Makanya kakak jangan bergaulnya sama ibu-ibu dosen yang kerjanya ngulik perpus mulu!"

"Hhhm, sialan kamu! Untung di kampus kalo di rumah, habis kamu!" 

Linda cengengesan dan langsung menggamit lengan kakak lelaki tercintanya. "Bawel, traktir aku makan, laper!"

"Ccck, otak kamu isinya cuma makan sama bursa saham doang! Mending kalo menghasilkan duit, cuma hobi mantengin angka tapi jual belinya nggak ada!"

"Ssst, kakak berisik bener sih?! Itu namanya ho-bi, jadinya buat seneng seneng ajah." jawab Linda santai tanpa beban.

"Hhhm, otak udang makanya nggak lulus-lulus sampe kakak malu ngemis-ngemis ke pak Marsono sama dosen kamu lainnya!"

"Lah itu kan fungsinya kakak? Buat apa coba punya kakak kalo nggak ada gunanya?" 

"Eh busyet ni anak satu, jangan sampai ni kakak laporin ke ayah!" ancam lelaki muda itu sambil menyentil jidat Linda, gadis cantik itu pun tergelak.

Obrolan terus berlanjut hingga ke tempat penjual batagor yang ada di depan kampus. Linda memilih duduk di bangku paling belakang pojok.

"Mang, biasa dua porsi ya!" Linda menoleh pada kakaknya, "Kakak makan nggak?"

"Lho kamu kan dah pesen dua porsi toh?" sang kakak balik bertanya.

"Iiish enak aja itu buat aku semua! Kakak pesen sendirilah." jawabnya sebelum berlalu pergi meninggalkan sang kakak yang geleng-geleng kepala melihat ulah adik satu satunya itu.

"Satu ya mang, sama es jeruknya dua." 

Doni, kakak lelaki Linda yang berprofesi sebagai dosen di kampus yang sama dengan Linda kembali menggelengkan kepala saat adiknya dengan santai melewati tatapan mata mahasiswa lain yang terkekeh geli melihat sepatu yang dikenakannya.

Adiknya memang cantik, rambutnya digelung ke atas asal, bibirnya tipis, berkulit kuning langsat khas keturunan Jawa. Linda memiliki pesona kecantikan yang selalu menguar meski berdandan asal seperti saat ini. Kata orang Jawa bilang, anak yang terlahir dengan kalung usus membuat apa saja yang dikenakannya selalu bagus. Begitu juga dengan Linda meski pakaian yang dikenakannya terlalu casual untuk ke kampus, tapi ia tetap terlihat chic dan menarik

"Ccck, kamu ni bisanya malu maluin kakak aja sih Lin! Ke kampus beginian, sekali kali kayak cewek-cewek yang disana tuh. Cantik, dandan kayak supermodel, pake tasnya juga udah kek orang mau ke mall." protes Doni sambil memakan cemilan ringan yang ada di depannya.

"Iya, besok kalo monyet udah lebaran."

"Kapan?"

"Entah, kakak nggak usah ngomel terus bisa nggak sih? Aku ni lagi kesel sama pak Marsono, udah capek-capek dateng pake acara sepatu sebelah-sebelah gini eh dianya ngeloyor pergi gitu aja pas aku baru duduk. Coba bayangin, kesel nggak sih?!"

"Nggak!"

Linda berdecak kesal, matanya melirik ke arah kakaknya yang kini jadi pusat perhatian mahasiswi yang sedang nongkrong sambil makan batagor di depannya. Kakaknya memang selalu menjadi idola, ruangan kelas selalu penuh saat Doni mengajar. Dosen pengajar Sistem Informasi Akuntansi itu memang sangat tampan bak aktor Reza Rahadian.

"Sekali kali kasian sama aku kenapa sih kak?"

Doni pun kesal dan menatap adiknya, "Heh, kalau aku nggak kasian sama adikku yang otak udang ini mana mungkin aku ngemis-ngemis gitu ke pak Marsono buat kasih kamu nilai A besok. Lagian kamu, mata kuliah sederhana aja nggak mudeng juga sih. Malu maluin aku aja!"

"Bukan nggak mudeng, orang ngisinya udah bener sesuai materi buku. Dianya aja yang sentimen. Jadi curiga, jangan-jangan __,"

"Apaan?"

"Pak Marsono sengaja ngelakuin itu biar jodohin aku sama anaknya yang cupu itu ya, si Bram!" sahut Linda cepat.

"Uhuuuk," 

Doni tersedak mendengarnya, untung saja minuman yang dipesannya datang. Tanpa menunggu lama, disambarnya es jeruk untuk melegakan tenggorokan.

"Yaelah, sampe segitunya kak!" Linda bantu menepuk nepuk punggung Doni membuat iri mahasiswi lain yang sesekali menatap ke arah mereka.

Linda bukannya tak mengerti dengan kecemburuan para wanita muda sebayanya. Ia bahkan sangat paham, apalagi beberapa teman seangkatannya bahkan terang terangan menitipkan salam rindu untuk Doni, kakaknya.

"Maaf ya mengganggu, biasa kakak saya suka over acting kalo ditempat umum!" cengiran tengil Linda dan ucapan maafnya membuat mahasiswi lain tersenyum semanis mungkin agar mendapat perhatian Doni. Sementara Doni bersungut sungut mendengarnya.

"Otak udang kamu emang parah ya Lin, entah dulu bunda ngidam apaan sih sampai anaknya lahir oon begini?" ujar Doni setelah batuknya mereda.

"Biarin aja, oon begini juga adik kesayangan kak Doni. Lagian ya nggak mungkin kali dalam satu generasi semua pinter pasti ada juga yang oon sama kek aku gini lah!" Linda membela diri sambil mengunyah batagor kesukaannya.

Doni meraih selembar tisu dan membersihkan dagu Linda dari cipratan saus kacang. "Makan yang bener, makan aja belepotan. Abisin makan dimulut sebelum ngomong, bikin cowok ilfeel aja. Pantes si Lilik kabur dari kamu, jadi cewek gini amat sih."

Melihat perlakuan manis Doni pada Linda sontak mahasiswi yang duduk di sekitar mereka mulai gelisah dan sedikit bertingkah berlebihan. Mata Linda menatap geli pada mereka, "Hmmm, liat tuh pada kayak ulet gatel cari perhatian kamu kak!"

Doni menoleh ke arah para mahasiswi dan tersenyum sambil sedikit melambaikan tangan, sontak semua menjerit histeri mengagetkan mang penjual batagor yang sedang asik melayani.

"Astagaaaa, segitunya liat kamu kak? Udah kek lihat artis BTS aja." Linda terkikik.

Mereka kembali melanjutkan makan, di sela menikmati makanan Zulaikha sahabat Linda datang.

"Lin, aku cari-cari kamu disini ternyata."

"Ada apaan?" jawab Linda cuek sambil mengunyah sisa batagor di mulutnya.

"Dicariin tuh sama Bu Andini, kamu kan belum daftar KKN ya?"

Linda tiba-tiba teringat sesuatu, ia spontan menepuk jidatnya. "Astaghfirullah, lupa!"

"Apaan sih Lin, untung kakak nggak keselek lagi nih!" sungut Doni meminum sisa es jeruknya.

"Eeh ada kak Doni," Zulaikha yang baru menyadari kehadiran Doni langsung merona dan merapikan hijabnya.

"Hmmm, udah deh gejala alergi memang suka nular ya?" sindir Linda sambil menatap sahabatnya yang terlihat mulai menggoda Doni.

"Kak, buruan dihabisin! Antar aku ke atas, hari ini pendaftaran terakhir. Kalo nggak bisa tahun depan lagi nih!"

"Nah kan biasa deh, kakak lagi yang ribet! Kamu sih kerjaannya mantengin grafik doang!"

"Udah bawel, cerewetnya nanti aja! Buru ah, udah siang takut tutup!"

Linda langsung menarik sang kakak untuk segera pergi. Meski Doni menggerutu tapi tetap saja demi sang adik ia menurut.

"Eh kalian mau kemana? Ikut, kak Doni tungguin Zul dong!" teriaknya manja sambil berlari mengejar kakak beradik itu.

 

Bintang Keberuntungan

Linda berjalan cepat sambil menyeret Doni sang kakak. Ia hampir saja melupakan janji temunya dengan Bu Dina di bagian kemahasiswaan. Zulaikha yang mengekor berkali kali hampir terjatuh karena menabrak mahasiswa lainnya.

"Aduh, Lin jangan cepet-cepet kenapa sih jalannya?! Bu Dina nggak bakal kemana mana juga kali!" sungutnya sambil menarik tali tasnya yang melorot ke lengan.

Linda tak memperdulikan protes Zul, ia terus berjalan seraya menggandeng kakak lelaki tampannya.

"Aduh, mati aku!" Linda teringat sesuatu akan janjinya pada Bu Dina.

"Apaan lagi sih!" Doni kesal karena Linda berhenti tiba-tiba.

"Kak, aku belum beli sogokan buat Bu Dina!"

"Hah, maksudnya gimana?" Doni tak mengerti.

"Ehm, gini kak. Bu Dina itu tahu sendiri kan guuaalak banget, galaknya kek singa betina lagi dapet! Ngalahin galaknya bunda kalo sampai cake kejunya abis kita makan."

"Terus?" Doni mengernyit

"Ccck, percuma pinter kalo otak kakak nggak paham juga sama hal sepele kek gini." Linda mencebik.

"Heh, apa urusannya otak pinter sama singa betina lagi dapet?! Dasar oon!" Doni menoyor kepala adiknya gemas.

"Nah, singa betina itu butuh mood booster biar dia senyum and langsung sign up aku buat KKN kak. Gitu loh, paham kan?"

"Nggak, ribet amat sih. Udah cepetan naik kakak ada kelas jam tiga sore, nanti nggak keburu lagi!"

Doni dan Linda segera masuk ke dalam mobil disusul dengan Zulaikha yang akhirnya bisa menyusul setelah melepas sepatu hak tingginya.

"Lin, cepet bener sih jalannya kek dikejar setan! Kakiku sampe lecet ni!" gerutu Zulaikha saat duduk di jok mobil.

"Siapa suruh gegayaan ke kampus pake heels? Lagian kamu ngapain sih ikutan lagi Zul? Kan kamu udah KKN?" tanya Linda sambil mengenakan seat belt.

"Eeh, aku kan mau kasih support ke kamu Lin sebagai sahabat dan juga … calon kakak ipar." sahut Zulaikha dengan suara sengaja dibuat mendesah, Doni langsung bergidik mendengarnya.

"Hhm alerginya kambuh keknya ni, butuh garukan Zul?" tanya Doni santai.

"Kalo yg garuk kak Doni sih mau lah,"

Doni geleng-geleng kepala, hampir semua teman Linda selalu menggodanya. "Ya ampun dosa apa gue punya adik temennya nggak ada yang bener semua." gumamnya lirih disambut cekikikan Linda.

"Bersyukur aja kenapa kak, tapi kakak emang nggak ada yang doyan ni sama teman aku?" Linda mulai kumat usilnya, ia menatap sang kakak yang sedang menyetir.

"Kakak masih normal kali Lin,"

"Terus kenapa nggak pacarin salah satunya?"

Doni hanya menjawab dengan deheman ringan, ia malas membahas masalah wanita. Meski tampan rupawan tapi Doni hingga kini belum juga berniat untuk sekedar berpacaran. Ia masih ingin berkarir dan melanjutkan studinya ke London.

Perjalanan ke arah Tembalang sedikit tersendat karena kemacetan. Jam makan siang membuat jalanan lumayan padat. Linda berdecak kesal, berkali kali ia melirik ke arah jam tangan.

"Kenapa? Telat kan? Kamu sih cari gara-gara aja. Ini paling baru setengah jam kita nyampe sana Lin, macet parah begini." Doni berkata tenang sambil memutar musik.

"Aduuh kacau ini, Bu Dina bisa marah sama aku terus nanti kalo aku di cut nggak boleh ikutan gimana? Kan mundur lagi?" 

"Hei, Linda sayang … kamu lupa yang di sebelahmu siapa?" Zulaikha menaikkan satu alisnya ke atas matanya melirik ke arah Doni yang sedang bersenandung.

"Maksud kamu, dia?" Linda menunjuk ke arah Doni dan Zul pun mengangguk dengan seringai konyol.

"Bener juga, Bu Dina kan suka sama kakak! Otakmu encer juga Zul, untung kamu ikut!" Linda mengedipkan mata sebelah pada Zulaikha sementara Doni, ia tak tahu apa yang akan direncanakan adiknya yang jahil itu.

Sesuai perkiraan Doni mereka tiba di kampus utama setengah jam kemudian. Pelataran parkir lengang membuat hati Linda kebat kebit tak karuan. Dalam pikirannya pendaftaran pasti sudah ditutup.

 Doni turun dari mobil masih mengenakan kaca mata hitamnya, pantulan sinar matahari di daerah Tembalang sedikit terik, cuaca mendung yang tadi sempat terlihat di daerah bawah tak lagi terlihat. Kulit bersih Doni, wajah tampan dan kemeja salem yang dikenakan membuat aura ketampanannya memancar sempurna.

Bu Dina melihat kedatangan Linda dan Doni dari lantai dua tempatnya bekerja di bagian kemahasiswaan. Senyum sumringah terbit di bibirnya yang sensual bak Angelina Jolie.

"Linda, kamu tahu aja kesukaan saya." gumamnya lirih sambil menambahkan riasan di wajahnya.

Bu Dina, bagian kemahasiswaan yang berusia 27 tahun itu sebenarnya belum lama bekerja sebagai staf di kampus. Wanita lajang berkacamata dengan tinggi 160 centimeter dan bertubuh molek bak gitar Spanyol itu menaruh hati pada Doni. 

Sebagai salah satu dosen pengajar mereka acap kali bertemu, ketampanan dan keramahan Doni membuat Bu Dina sengaja memberi perhatian khusus untuk Linda. Tentu saja dengan tujuan mendapatkan perhatian Doni. Bu Dina berpura pura sibuk dengan tumpukan kertas di depannya saat Linda dan juga Doni terlihat di lantai dua tempatnya bekerja.

Antrian mahasiswa tampak duduk rapi berjajar menunggu panggilan. Beberapa ada yang sedang mengajukan wisuda, ada juga yang melakukan pembayaran semester. Linda celingukan mencari sosok Bu Dina.

"Mana sih orangnya Zul?"

"Tuh, di pojokan sembunyi di antara tumpukan KRS (Kartu Rencana Studi)." bisik Zulaikha.

Linda tersenyum lalu menghampiri wanita yang sedari tadi berusaha mengontrol detak jantungnya yang berdegup kencang.

"Siang Bu Dina" sapa Linda dengan senyuman semanis mungkin.

Bu Dina berpura-pura sibuk sambil menjawab, padahal tangannya berkeringat dan gemetar tak karuan ditatap Doni.

"Siang, ada apa?" 

"Ibu nyariin saya ya?"

Wanita berkacamata mata itu mendongak, matanya tertuju pada Doni yang sedang sibuk membalas pesan masuk di ponselnya. Hatinya berdesir saat mencium aroma maskulin Doni. Linda dan Zulaikha saling menatap dengan senyuman jahil.

"Pendaftaran KKN masih buka kan Bu? Maaf saya lupa tadi."

Bu Dina melirik ke arah jam tangannya, "Kamu telat, sudah saya tutup tadi."

"Waduh jangan gitu dong Bu kan kemarin kita sudah janjian lewat chat."

"Iya tapi kan kamu telat, saya males nungguin mahasiswa yang lelet kayak kamu!" balasnya sambil melirik ke arah Doni lagi.

Linda ikut menoleh ke arah Doni dan mengerti kode yang secara tak sadar disinyalkan Bu Dina.

"Maaf, telat dikit aja kok Bu. Kena macet tadi Bu, biasa jam makan siang. Iya kan kak Doni!"

"Hmmm," sahut Doni singkat tanpa melihat ke arah Linda.

Bu Dina kecewa karena Doni tak juga merespon adiknya padahal ia sangat berharap Doni juga bicara dan berinteraksi dengannya. Syukur jika mengajaknya makan siang berdua demi kepentingan Linda.

"Iish, kakak! Bantuin bentaran kenapa sih! Hp mulu ni yang dilihat!"

Linda menarik tangan Doni dan memaksanya bicara dengan Bu Dina. "Eeh, apaan sih?!"

Linda memberi kode pada Doni agar bicara dengan Bu Dina, matanya beberapa kali dikedipkan agar Doni paham tentu saja hal ini membuat Doni tak berkutik. "Kan, kakak lagi!"

"Jadi begini Bu Dina, Linda bukannya sengaja telat tapi emang dia lupa terus macet tadi. Biasalah, Bu Dina tahu sendiri kan gimana jalanan dari kampus bawah ke atas?" 

Bu Dina mengangguk dan mengulas senyum manis, hatinya berbunga mendengar suara Doni. "Iya tapi kan Linda udah janji kemarin nggak akan telat, dan lihat sekarang jam berapa?"

Doni mendekati Bu Dina, "Iya sih dia memang salah. Selalu lupa dan ngeremehin kuliahnya." Linda sontak membulatkan bola matanya yang indah pada Doni, "Tapi diluar itu nggak ada maksud Linda melupakan janjinya kok, makan siang bareng gimana? Biar ngobrolnya lebih enak gitu."

Bak tersiram air dingin, Bu Dina mengerut dan membeku sejenak. Lidahnya kelu tak percaya dengan apa yang barusan didengar. "Makan siang?"

"Iya, makan siang. Saya lapar mau nemenin kan?" jurus andalan Doni keluar, ia mengedipkan sebelah mata pada Bu Dina membuat wanita berkacamata itu merona.

Pendekatan pun berjalan lancar, Bu Dina melunak dan memberikan persetujuannya. Linda lega, obrolan mengalir santai di kafetaria kampus. Ternyata Bu Dina sudah menyiapkan semua untuk Linda. Termasuk pengajuan proposal ke desa tempat Linda dan kelompoknya akan bertugas.

Linda tersenyum puas, menggunakan kakaknya sebagai pelicin urusan di kampus tak pernah gagal. Predikat Doni sebagai dosen idola berguna juga untuk merayu dosen killer lainnya. 

Aah, Linda … hidupnya selalu dikelilingi bintang keberuntungan, akankah itu terjadi juga saat ia jauh dari sang kakak?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!