Terik matahari siang itu terpancar jelas menembus kulit putih beberapa orang asing yang menelusuri kebun di desa tersebut.
Heboh bisik-bisik para gadis desa serta para pekerja di kebun lantaran mengagumi ketampanan sosok pria yang tengah berbincang dengan orang yang mendampinginya. Tak lupa gadis cantik yang juga menjadi pusat perhatian di samping pria tampan itu.
“Ini semua lahan milik Tuan Tegar, Tuan. Mungkin jika penawaran anda cocok dengan beliau saya rasa proses jual beli lahan ini akan lebih mudah.” Salah satu kepala pengawas di kebun yang bernama Lukas.
Ia begitu berambisi menawarkan tanah pada Danny Elton demi mendapatkan keuntungan jual beli tanah yang sangat menggiurkan.
“Saya cukup tertarik dengan tanah di sini. Sangat asri dan cocok untuk saya bangun vila.” Danny tersenyum memandangi lahan yang sangat luas itu.
Tanpa mereka sadar beberapa pekerja mulai resah setelah mendengar perbincangan mereka.
“Danny, sudah kita pulang yuk. Banyak kok tanah di dekat pantai yang lebih menarik buat di bangun vila. Di sini pemandangannya terlalu biasa dan membosankan.” Gadis cantik yang sedari tadi diam mencerna kini angkat suara.
Danita Kirani. Sekertaris Danny saat ini.
“Danita, tugasmu cukup memahami semua kegiatan saya dan memberikan masukan. Keputusan tetap saya yang memikirkannya.” Tegas Danny bicara dan Danita terdiam.
Malu rasanya di tegur di depan beberapa orang saat ini.
“Lihat aja kamu, Danny. Ada waktu dimana kamu akan bertekuk lutut denganku. Apa pun yang aku katakan akan kamu setujui.” gumam Danita dalam hati.
Semua bergerak jalan meninggalkan kebun usai Danny puas memperhatikan sekeliling.
Mobil offroad mewah mengkilat menjadi pilihannya untuk mengelilingi kebun itu. Hanya berdua dengan Danita, Danny mengemudikan mobil itu sendiri.
Tiba-tiba saja ia merasa risih kala lembut tangan Danita menyentuh punggung tangannya.
“Danita, singkirkan tangan kamu itu.” pintah Danny.
Bukannya menurut, Danita justru menggeleng manja. “Sampai kapan kamu mengabaikan aku, Danny. Kita sudah lama sama-sama. Apa tidak ada perasaan sama sekali buat ku?” Wajah Danita di buat sesedih mungkin.
Sayangnya ia tidak tahu jika Danny sangat tidak ampuh dengan wajah seperti itu.
“Ini jam kerja. Jadi saya harap kami profesional.” Kembali Danny ingin melajukan mobil tiba-tiba ia di buat menghentikan mendadak mobil itu.
“Awh…Danny kepalaku sakit!” Danita berteriak merintih memegang keningnya.
Di detik berikutnya ia kaget saat di sebelah sudah tidak ada sosok pria yang ia kagumi. Danita menoleh kesana kemari.
“Kamu baik-baik saja?” Lembut penuh perhatian Danny bertanya pada seorang wanita di depan sana.
Bahkan tangannya bergerak ikut membersihkan siku lengan gadis itu yang kotor.
“Em aku baik-baik saja.” Tertunduk gadis itu tak berani menatap pria di depannya.
Debaran jantung yang sama sekali tak pernah ia rasakan saat ini tiba-tiba terasa begitu kencang.
“Dadaku ada apa dengan dadaku?” batin gadis yang bernama Annalise itu.
Melihat pemandangan dekat seperti itu, Danita panas hatinya. Sumpah demi apa pun tatapan mata Danny pada gadis asing itu sukses membakar hati Danita.
“Apa apaan ini?” Makinya seraya turun dari mobil. Tak perduli kening yang sedikit menonjol akibat terbentur.
Yang terpenting saat ini Danita harus menjauhkan Danny dari Annalise. Mereka tidak boleh berdekatan.
“Dasar perempuan modus!” Danita kasar mendorong Anna hingga terjerembab kembali ke tanah.
Tak biasanya Danita yang selalu bersikap lembut di hadapan Danny seketika berubah menjadi singa garang. Ia membulatkan matanya tajam serta tangan yang siap untuk kembali menyerang gadis desa dengan perawakan sangat cantik dan lembut.
Tatapan mata sayu begitu membuat hati Danny bergetar. Inilah sosok yang ia cari selama ini. Tanpa sadar ia pun memiliki kriteria untuk seorang wanita di sisinya. Melihat kekasaran Danita, Danny pun segera melindungi wanita yang tengah berusaha bangkit dari rebahnya.
Di sana Anna tampak mengusap lengannya yang terkena kotoran, tak tega Danny juga turut membantu. Ia meraih telapak tangan Anna seraya menyapu tanah dan debu.
"Ayo aku bantu berdiri. Maaf, aku tidak sengaja. Aku salah laju-laju di sini." Danny menatap dua bola mata Anna yang begitu bening sedikit kecokelatan.
Senyum Anna perlihatkan. Ia tak merasa keberatan sama sekali sampai harus terjatuh sebab bertemu dengan pria bak pangeran sangat mengobati semua sakit yang tidak seberapa itu.
"Terimakasih, tidak apa-apa." Anna sadar jika ia tidak boleh terlalu lama membuang waktu. Jam kerja masih terus berputar jangan sampai ada pengawas yang melihatnya berdiam saja.
Segera Anna berjalan hendak meninggalkan Danny, namun tangannya di genggam cepat oleh pria tampan itu.
"Tunggu!" Danny berusaha menahan kepergian Anna.
Dannita tak tinggal diam. "Danny, biarkan dia pergi. Kita juga harus pergi bukan? Ayo cepat!" kuat Danita menarik tubuh Danny.
Melihat ada kesempatan, Anna pun bergegas meninggalkan mereka di kebun itu. Secepat kilat Danny sudah tak meihat keberadaan Anna yang mungkin tengah berjalan di ladang yang naik turun gunung itu.
Berpisah dalam keadaan masih tak mengenal, rasanya membuat jiwa Danny begitu penasaran. "Aku harus tahu siapa gadis itu. Setidaknya aku harus membawa Danita pergi dari sini. Aku yakin Danita tidak akan tinggal diam jika ada wanita sembarangan mendekati ku." gumamnya sangat peka.
Danita selama ini bukan hanya menjadi teman dan sekertaris. Melainkan ia seperti seorang ibu yang sangat teliti dengan semua orang di lingkungan Danny.
Keduanya pun kembali melanjutkan perjalanan menuju kota dengan mobil milik Danny. Sementara Anna hari itu memutuskan pulang usai pekerjaannya beres semua. Ia di sambut dengan sang ibu yang tengah asik menampi beras hasil panen di kebun tetangga.
Desa yang Lillia dan Anna tempati memang desa yang kaya akan pertanian. Meski tak banyak uang yang mereka dapat, namun semua hasil ladang bisa mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari bahkan sesekali mereka hanya mendapatkan upah dari hasil panen tanpa uang.
"Sudah pulang, An?" tanya Lillia pada sang anak, kembali pandangan wanita itu terarah pada beras.
"Iya, Bu." jawabnya dengan wajah ceria.
Tak biasanya Anna pulang dengan wajah berseri seperti itu. Sebab setahunya Anna adalah wanita yang sangat jarang tersenyum. Ia selalu menundukkan kepala tiap kali bertemu orang termasuk Lillia.
"Kok senyum-senyum begitu? Ada apa?" Lagi Lillia bertanya. Sebab ia sangat penasaran.
"Tidak ada apa-apa, Bu. Anna ke kamar dulu yah mau mandi. Setelah itu Anna akan masak untuk Ibu." Lillia pun tak mengambil pusing sikap sang anak. Ia hanya tersenyum dan melihat kepergian anaknya.
Sementara di kota, Danny bersama Danita baru saja tiba di kediaman megah milik Firhan. Beberapa tahu terus menjalankan bisnis akhirnya Firhan berhasil menjadi pengusaha sukses. Tak jarang ia menghabiskan waktunya berlibur ke luar negeri.
Namun, hal yang aneh beberapa kali terjadi akhir-akhir ini. Seperti malam ini saat kepulangan Danny dari desa untuk meninjau lahan yang di tawarkan seseorang.
"Mah, barusan ada dokter? papah kambuh lagi?" tanya Danny penasaran.
Ia menatap dalam sang mamah yang tampak cemas. Zaniah duduk dengan pikiran kesana kemari. Ia takut melihat sang suami sering merasakan kepala yang pusing bahkan bertanya siapa saja wanita yang berada di keluarga mereka.
"Mamah? Ada apa? Kenapa Mamah ketakutan seperti itu?" Danny mendekati Zaniah yang duduk di sofa. Zaniah pun terlonjak kaget. Ia menatap sang anak dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Segera Zaniah memeluk erat tubuh sang anak melampiaskan kecemasan kala itu.
Danny maupun Danita sama-sama saling menatap penuh bingung. Sejenak mereka hanya diam membiarkan Zaniah melampiaskan emosionalnya.
Tiga orang duduk saling berhadapan. Zaniah yang sudah bisa berbicara akhirnya membuka suaranya.
"Papahmu dulu pernah lupa ingatan. Mamah sangat takut jika ingatannya kembali, Danny. Sebelum kejadian waktu itu, Papahmu sudah tidan mencintai mamah lagi. Mamah sangat takut jika semua kembali ingatannya dan mamah akan di buang seperti dulu. Dokter mengatakan efek sakit kepala yang sering di derita papahmu ada pengaruhnya dari kejadian di masa lalu."
Danita dan Danny saling pandang saat mendengar ucapan Zaniah barusan. Pelan Danny mendekatkan dirinya pada sang mamah. Di usapnya punggung wanita itu dengan penuh kasih sayang.
"Mamah jangan takut. Danny yakin Papah tidak akan berbuat seperti itu lagi. Selama ini kalian hidup baik-baik saja. Tidak ada alasan untuk Papah bersikap acuh pada mamah. Mungkin dulu pikiran Papah masih sangat mudah kacau, sedangkan saat ini kalian sudah begitu lama bersama dan pasti tahu baik buruknya pasangan."
Benar apa yang di katakan Danny barusan, Zaniah dan Firhan sudah hidup bersama sekian tahun dan semuanya baik-baik saja. Tanpa siapa pun tahu jika semua itu tidak mungkin terjadi tanpa kehadiran Danny di tengah-tengah keluarga mereka.
"Iya Tante...semua pasti baik-baik saja. Tante harus semangat. Sudah ada Danny yang bersama kalian. Pasti Om akan berpikir dua kali untuk mengacuhkan tante. Danny pasti bisa lindungi mamahnya." Kini Danita pun juga turut mengusap punggung tangan Zaniah.
***
Keesokan paginya, Lillia tampak sarapan bersama Anna. Makan dengan tempe goreng serta sayur tauge. Hanya itu menu yang bisa mereka santap satu hari ini. Lillia memasak hanya di pagi hari dan di makan sampai malam. Satu kata pun tak pernah Anna lontarkan ada sang ibu.
"Bu, Anna boleh nggak lanjutin sekolah?" tanyanya menatap sang ibu usai meletakkan sendok di atas piring.
Ketakutan saat berbicara membuat Lillia terkekeh. Sebab dari dulu ia bahkan sangat mendukung anaknya melanjutan sekolah.
"Kamu itu kalau mau sekolah kenapa setakut itu bicaranya? Daftarlah, An. Di kabupaten sana kan ada kampus yang lumayan bagus. Siapa tahu kamu bisa jadi guru di sini nantinya." tuturnya memberi semangat pada sang anak.
Anna menggelengkan kepala. Bukan tak ingin mengikuti kata sang ibu, namun ia punya tujuan sekolah di kota besar untuk bisa mengejar perkembangan pelajaran. Ia memiliki mimpi yang tinggi hingga saat ini masih belum bisa terwujud.
"Anna mau sekolah di kota X, Bu. Di sana kampusnya bagus-bagus. Anna mau sekali sukses di sana dan bawa ibu tinggal di sana. Hidup kita akan jauh lebih baik dari ini, Bu." Sontak Anna kaget melihat ekspresi sang ibu yang kaget. Lillia meletakkan sendok di atas piring dengan segera dan terdiam beberapa saat.
"Waktu sudah hampir siang. Ayo segera berangkat ke kebun." pintahnya tak lagi merespon ucapan Anna. Lillia sangat takut mendengar nama kota yang menjadikan hidupnya benar-benar hancur. Ia ingin semua tetap baik-baik saja tanpa ada orang masa lalu yang mengusik hidupnya.
Meski tanpa ia sadari saat ini Anna sedang dalam pengawasan orang yang termasuk dalam anggota keluarga di masa lalu Lillia.
"Bu, apa ibu tidak mengijinkannya?" tanya Lillia menahan tangan sang ibu yang hendak membawa piring ke dapur.
"Buang jauh-jauh mimpimu itu, An. Kita hidup dengan tenang di sini itu sudah sepatutnya kita syukuri. Kamu pikir orang hidup di kota hatinya tenang? Tidak semua yang mereka rasakan kamu bisa melihatnya." Anna bingung mendengar ucapan sang ibu.
Bahkan ia sadar setiap katanya begitu hati-hati ia ucapkan. Namun, Lillia ternyata begitu marah padanya saat ini sampai meninggalkannya lebih dulu ke kebun.
"Apa ada yang salah dengan ucapanku yah?" gumam Anna berpikir sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!