Hujan rintik di pagi buta membuat Alisha menarik kembali selimutnya. Di tengah kesadaran dan tidurnya ia melihat jarum jam dinding masih mengarah ke angka empat. Bahkan alarm adzan subuh belum terdengar di telinga gadis itu.
Namun tiba-tiba ia terpikir sesuatu, yang membuat matanya mengerjap cepat. Ia mengambil ponsel dari samping bantalnya dan melihat tanggal di kalender menunjukkan bahwa hari ini adalah hari yang tidak ingin ia tunggu. Ya, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Dan memang benar ia tak ingin menunggu datangnya hari ini.
Tahun ini Alisha memasuki usia kritis bagi sebagian besar kaum wanita, tiga puluh tahun. Bagaimana tidak, bayangan ulang tahun ketiga puluh membuatnya bergidik. Ia membayangkan satu hal yang pasti akan dialaminya, yakni mendapat predikat perawan tua.
Bukan tanpa alasan Alisha memikirkan hal tersebut. Selama tiga puluh tahun dia hidup di dunia ini, sekalipun Alisha belum pernah merasakan yang namanya cinta bersambut, apalagi berkencan. Semua yang dialaminya hanyalah cinta sepihak yang berakhir tragis dan menyakitkan.
Pernah satu kali semasa kelas satu di sekolah menengah pertama, dia menyukai kakak kelasnya yang duduk di kelas tiga. Ia melihatnya saat sedang kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Sebenarnya Alisha hanya mengaguminya, sama seperti gadis kecil pada umumnya. Namun kala itu dia salah memilih teman cerita. Ia bercerita pada seorang teman di lingkungannya, yang notabene adalah teman seangkatan dari kakak kelas yang ia suka. Tentu tidak butuh waktu lama bagi kakak kelas idolanya itu mendengar curahan hatinya.
Suatu hari Alisha mendengar dari teman lingkungannya itu bahwa sang kakak kelas idola menolaknya mentah-mentah. Hal itu tidak terlalu menyakitkan karena ia memang belum mengenalnya. Namun yang lebih menyakiti hati gadis kecil itu, sang idola menolaknya hanya karena fisiknya yang tidak cantik, pendek dan berkulit cokelat dekil khas anak kecil yang suka bermain panas.
Hal itu begitu melekat di ingatan Alisha hingga usianya tiga puluh tahun ini. Bahkan semenjak itu dirinya tak pernah merasa cantik. Apalagi keinginannya masuk organisasi osis ketika SMP harus ia lupakan karena pemilihan anggota yang berdasarkan fisik. Trauma dan pandangan itu ia bawa sepanjang masa remajanya. Ia menjadi gadis yang tidak pernah percaya diri apalagi merasa cantik.
Kekuatan pandangannya sempat berubah saat dirinya berhasil menjadi anggota osis ketika duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Karena pada saat itu sistem pemilihannya berdasarkan tes. Namun kehidupan cintanya masih sama saja, ia kalah melawan fisiknya sendiri. Setiap laki-laki yang ia suka, berujung menjauh saat tahu rupa gadis yang menyukainya.
Semua kejadian di masa lalunya membuat Alisha semakin insecure. Bahkan saat usianya telah memasuki angka tiga puluh, tingkat insecure gadis itu menjadi semakin tinggi. Selain karena fisiknya yang memang tidak sebagus orang lain, dirinya juga tidak berpendidikan tinggi. Alisha hanya memiliki tinggi 155 sentimeter, wajah dan tubuhnya tidak pernah melakukan perawatan, ditambah lagi dia hanya lulusan SMA.
Satu-satunya hal yang bisa ia banggakan adalah kemampuannya dalam membuat kue. Ia memiliki kemampuan itu tidak secara alami, melainkan otodidak. Dikombinasikan dengan kemampuan marketingnya, ia berhasil menjual produk hasil tangannya melalui online.
Dan kini Alisha telah merintis sebuah usaha katering kecil. Meski ia masih menjual produknya secara online, tetapi usahanya berkembang cukup pesat kala itu. Hingga akhirnya karena sebuah musibah, kateringnya harus gulung tikar. Pedihnya lagi, Alisha harus menanggung hutang usahanya sebesar tiga ratus juta.
Kini hidupnya berubah, bukan semakin bahagia tetapi semakin menyedihkan. Ia mengalami kebangkrutan di usianya yang kritis, sebutan perawan tua yang didapatnya, kisah cintanya yang tak pernah berakhir bahagia, dan kini masalah lain muncul saat ibunya meminta Alisha segera menikah.
"Nduk, apa kamu belum berniat menikah?" tanya ibunya lembut.
"Kalau pengen sih pengen, Buk. Tapi belum ketemu sama jodohnya" jawab Alisha yang mana tetap sama dari hari ke hari.
Dan balasan ibunya akan tetap sama juga dari hari ke hari, bahwa semoga jodohnya segera datang agar ibunya segera menimang cucu di usianya yang sudah senja.
Hal sama yang berulang setelah ibunya mendoakannya adalah Alisha yang selalu terbayang semua masalahnya. Ia sering membayangkan, pria seperti apa yang bersedia menikahinya nanti. Pria seperti apa yang mau menikahi seorang gadis yang hanya ada kekurangan di dalam dirinya.
Hal itulah yang membuat Alisha enggan memikirkan pernikahan dalam suatu waktu. Namun ia beruntung memiliki sahabat yang selalu mendampinginya di setiap ia membutuhkannya.
Sama seperti hari lainnya, hari ini pun sahabatnya berjanji akan menemaninya belanja bahan. Meski hujan di pagi hari membuatnya malas, ia harus tetap memenuhi kewajibannya mengerjakan pesanan kuenya.
***
Ting
Al, aku di depan
Setelah membaca pesan dari Nadia sahabatnya, Alisha bergegas keluar rumah. Dengan senyum simpul seperti biasa mereka saling menyapa satu sama lain. Hari itu Alisha berniat mengajak Nadia makan di luar karena sahabatnya menagih pajak ulang tahun. Ia juga berniat menceritakan kegundahannya hari itu.
"Nad, hari ini makan diluar yuk!"
"Wiihh..birthday girl, oke kita kemana?" jawab Nadia bersemangat.
Mereka memilih tempat yang biasa mereka datangi. Karena selain tempatnya nyaman, harganya juga masih masuk kantong Alisha yang mulai mengering.
Setelah belanja, mereka tiba di sebuah restoran kecil dengan konsep angkringan khas Jawa. Alisha sengaja memilih tempat yang jauh dari pelanggan lain karena dia ingin mencurahkan isi hatinya.
"Sini aja Al, kenapa mojok banget sih?" gerutu Nadia.
"Aku mau cerita, sini aja udah!" jawabnya ngeyel.
Akhirnya Nadia menuruti Alisha karena seperti ucapannya, hari ini Alisha adalah Birthday Girl.
"Bukan girl, tapi woman" sahut Alisha.
"Dih, suka suka aku lah" komplen Nadia.
Meskipun mereka sahabat, tetapi mereka selalu bertengkar atau saling sindir dan mencibir. Itu sudah hal biasa dan makanan mereka sehari-hari.
"Nad, aku disuruh nikah sama Ibuk" celotehnya tiba-tiba.
Nadia yang memang sudah terbiasa mendengar hal itu, tidak lagi merasa kaget tapi justru bertepuk tangan.
"Bagus doongg, kan itu yang kamu mau" serunya sambil menyeruput kopinya.
"Iya sih, tapi kan kamu tahu aku belum punya pacar.." suara Alisha mulai sendu.
"..dan lagi, umurku udah segini. Kamu juga tahu keadaanku gimana, apa ada orang yang mau nikah sama cewek kayak aku?"
Nadia menghentikan aktifitas makannya dan mulai mendengarkan Alisha dengan serius. Nadia memang tahu segala permasalahan sahabatnya itu. Ia juga tahu kegelisahan Alisha mengenai usianya. Bahkan ia akan jadi orang yang maju paling depan jika ada orang yang menyebut Alisha dengan sebutan perawan tua.
"Mm..ya udah, nanti aku bantu cariin deh" jawabnya asal, ia berusaha mengatur mood Alisha agar tidak cepat turun.
Dan benar saja, celotehan Nadia selalu berhasil membuat Alisha kembali menjaga moodnya.
Alisha dan Nadia sudah saling mengenal dan bersahabat sejak mereka kecil. Kepindahan keluarga Nadia di lingkungan tempat tinggal Alisha, membuatnya memiliki teman bermain di rumah. Hal itu membuatnya senang karena Alisha adalah anak tunggal. Oleh karenanya dia sedikit banyak bergantung pada sahabatnya itu.
Tidak terkecuali masalah jodoh, Alisha selalu meminta pendapat Nadia. Walaupun hanya sebatas suka, dia akan meminta saran dari sahabatnya itu.
Untung saja hari ulang tahunnya kemarin berlalu dengan cepat, ia sudah mulai kesal karena beberapa orang yang mengenalnya memberi ucapan berikut dengan sindiran. Mereka terus saja membahas kapan Alisha menikah, umurnya sudah tua, dan sebagainya. Seandainya pantas, ia sudah menyerang balik mereka semua dengan omelannya.
Namun Alisha memilih fokus dengan usahanya. Saat ini bukan saatnya memikirkan tentang pernikahan sekalipun ia sangat ingin. Ia harus memikirkan cara untuk menghidupkan kembali usaha kateringnya.
Semenjak omset usahanya menurun drastis, Alisha kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Bahkan ia sampai harus berutang pada Nadia untuk sekedar membeli beras.
Selain itu, usahanya selalu terkendala masalah modal. Ia tidak mempunyai modal untuk sekedar menalangi pesanan. Hal itu juga mempengaruhi kinerja katering kecilnya di mata pelanggan. Mereka enggan mempercayakan pesanan mereka pada katering Alisha.
Upaya apapun yang ingin ia tempuh, selalu menemui jalan buntu. Setiap Alisha ingin membuat sesuatu, ia selalu terkendala masalah uang. Beberapa kali ia sudah merepotkan Nadia dengan meminjam padanya, namun ia tidak bisa terus meminjam uang pada sahabatnya itu. Bahkan saking frustasinya Alisha sempat berkeinginan untuk bekerja ke luar negeri, namun ia urungkan karena tidak ada yang menjaga sang ibu.
Ah, memikirkan ibunya membuat Alisha kembali memikirkan masalah pernikahan. Ia tidak bisa menipu dirinya sendiri, bahwa dia sangat menginginkan sebuah pernikahan dalam hidupnya. Teman seangkatannya hampir telah menikah seluruhnya, bahkan adik kelasnya juga sudah memiliki anak.
Tapi pernikahan baginya saat ini adalah hal yang menakutkan. Ia tidak bisa membayangkan betapa suami dan keluarganya nanti akan ikut merasakan kesulitan yang ia hadapi selama ini. Dan ia tidak mau hal itu terjadi. Tetapi jika ia tidak segera membuka hati, atau setidaknya mencoba, ia juga tidak akan tahu kapan jodohnya akan mendekatinya.
Hari ini pun Alisha dijadwalkan bertemu dengan seorang pria yang dikenalkan Nadia padanya. Beberapa hari yang lalu Nadia memberikan nomor ponsel Alisha pada seorang kenalannya. Tentu setelah mendapat persetujuan dari Alisha. Meskipun canggung, Alisha selalu menerima semua saran dan usaha perjodohan dari teman dan tetangganya. Ia tidak ingin dicap sebagai gadis pemilih padahal tidak kunjung laku.
Nad, apa orangnya mau ketemu sama aku?
Alisha mengirim pesan pada Nadia karena ia tak mau sakit hati apabila ternyata pria itu mundur teratur setelah melihat dirinya
Ting
Enggak, udah diem aja. Dia bentar lagi datang
Alisha merapihkan rambutnya setelah membaca balasan Nadia. Lama ia menunggu kedatangn pria itu, tapi ia tak kunjung datang. Alisha sempat berpikiran negatif bahwa ia pasti takkan datang.
Namun ketika Alisha hendak bangkit dan melangkah pergi, seorang pria datang menghampirinya. Ia sempat tertegun karena pria itu sangat tampan dan memiliki tipe wajah idamannya. Alisha masih terpaku selama sekian menit, membuat pria itu menggerakkan kelima jemarinya di depan wajah Alisha.
"Halo, Kak. Saya yang mau ambil pesanan kuenya" kata pria itu.
Mendengar kata kue dan pesanan, Alisha terbelalak. Ternyata ia melupakan tujuan pertamanya. Ia memang berniat membawa serta pesanan kue yang akan diambil sendiri oleh pelanggan, dan ia melupakan itu. Ketika pria yang memesan itu mendatanginya, Alisha malah mengira bahwa dia adalah pria yang akan dijodohkan padanya. Sungguh memalukan.
"Ah, oh..iya..maaf, kak. Ini kuenya, terima kasih" ucap Alisha sambil mengatupkan kedua tangannya.
Pria itu hanya tersenyum dan sedikit membungkuk untuk berpamitan. Alisha memandanganya dari langkah pertama hingga mobilnya menghilang dari pandangannya. Ia sangat terpesona dengan pria itu. Postur tubuhnya sangat proporsional, wajahnya juga memiliki porsi ketampananan yang pas di mata Alisha, sangat cukup untuk menjadi pria idaman Alisha.
Alisha lantas menyadarkan dirinya. Ia disini untuk menemui pria yang mungkin menjadi jodohnya. Namun ia masih saja menyempatkan diri mengecek nama dari pria yang mengambil kue tadi.
"Bian Aditya?" ucap Alisha sambil tersenyum malu-malu.
Aksi salah tingkahnya terpaksa berhenti saat ada pria lain yang mendatanginya. Kali ini benar-benar pria yang sedang ia tunggu.
"Permisi, dengan Alisha?" kata pria itu menyapa dengan sopan.
"Oh iya.." Alisha menerima uluran tangan pria itu dan menjabat tangannya.
Mereka berdua mengobrol dalam waktu yang cukup lama. Alisha merasa nyaman karena pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda tidak nyaman berada di dekatnya.
Akhirnya mereka sepakat untuk bertemu kembali dalam waktu dekat. Namun pikiran Alisha justru kembali pada pria yang bernama Bian itu. Bahkan dalam hatinya ia berharap pria itu kembali memesan kue di tempatnya agar dia bisa bertemu dengannya lagi. Sungguh konyol.
***
"Gimana tadi, ketemuannya?" tanya Nadia.
"Mmm..biasa sih, maksudnya ya gitu-gitu aja" jawab Alisha.
Malam itu Alisha dan Nadia sedang berbelanja bahan untuk pesanan esok hari. Ketika Nadia gencar bertanya tentang pertemuannya, Alisha malah salah fokus. Ia justru menceritakan kekagumannya pada Bian, hingga harapannya ingin bertemu lagi.
"Emang secakep itu? Kaya?" pertanyaan yang selalu diucapkan Nadia.
"Ganteng, mobilnya merk P tapi nggak tahu kaya enggaknya" jawab Alisha meladeni sahabatnya.
"Waow. Kabari aku kalau dia order lagi" pungkas Nadia.
***
Tidak butuh waktu lama untuk Tuhan mewujudkan keinginan Alisha. Seminggu kemudian dia mendapat pesan masuk dari seseorang yang menulis bahwa kue yang Alisha buat sangat enak dan cocok dengan seleranya. Orang itu ingin memesan kembali dalam jumlah yang lebih banyak. Alisha tak berhenti tersenyum tatkala melihat nama pengirim pesan tersebut. Orang itu adalah Bian, pria yang memiliki semua hal yang menjadi tipe idealnya.
"Baik, Kak Bian. Saya catat pesanannya, terima kasih" gumam Alisha sembari mengetik apa yang ia ucapkan dan mengirimnya pada Bian.
Ia melihat foto Bian di profil akunnya, dan malah menjadi salah tingkah sendiri. Ia mulai membayangkan hal konyol seperti Bian menjadi suaminya, apa yang kiranya akan terjadi. Apakah dia akan hidup enak? Apakah masalahnya akan teratasi? Dan muncul pertanyaan apakah dia mau menikahinya?
Alisha selalu membayangkan hal-hal semacam itu. Terkadang dia melakukan itu untuk menghibur dirinya sendiri. Dengan berkhayal dia merasa bisa membuat mimpinya sendiri. Karena apabila itu terjadi dalam kehidupan nyata, ia tak yakin bisa menanganinya.
Tiba-tiba lamunannya menguap saat Nadia menepuk bahunya dari belakang. Alisha terlalu sibuk berkhayal sampai melupakan janjinya mengantar Nadia ke bank untuk mengurus kartu atmnya yang tertelan mesin.
"Ngelamunin apa sih, Al? tanya Nadia.
"Bian.." jawabnya sambil tersenyum sok manja.
Alisha bercerita tentang Bian yang kembali memesan kue padanya. Ia berharap ada kesempatan dan peluang untuk mengobrol dengannya walau hanya sebentar.
Tahu sahabatnya begitu senang dan antusias, Nadia langsung melancarkan aksinya. Gadis itu memang selalu terdepan dan bergerak cepat dalam membantu Alisha. Meskipun dia agak pecicilan dan banyak melakukan hal konyol, tetapi Nadia sangat perhatian dan menyayangi Alisha.
"Tenang, aku akan buat dia menyukaimu" katanya.
"Cih.."
Alisha menyukai sifat positif Nadia. Oleh karenanya dia selalu melakukan apa yang menurut Nadia baik untuknya. Sama dengan pikiran Nadia, Alisha pun ingin mencoba lebih dekat dan mendapatkan hati Bian. Ia sudah muak dengan semua omong kosong tentang perawan tua. Ia bertekat akan membuktikan bahwa dia juga bisa mendapatkan jodoh sesuai impiannya, meski usianya sudah dianggap tua.
Hari yang ditunggu Alisha pun tiba. Dia sudah bersiap dan sangat antuasias walaupun hanya untuk bertemu dengan Bian, lelaki yang bahkan belum ia kenal. Didampingi Nadia, Alisha berangkat menuju lokasi yang ditentukan Bian untuk pengantaran. Begitu sampai di tempat itu, Alisha tak berhenti takjub. Dia melihat acaranya begitu mewah, dekorasinya pun demikian. Alisha merasa bangga kue yang ia buat ikut menjadi bagian dari acara mewah itu.
Tanpa menunggu lama Alisha dan Nadia langsung menuju tempat yang disediakan untuk kuenya. Ia melihat di sekeliling tempat itu, berusaha mencari Bian. Tetapi sampai ia selesai menata kue-kuenya, ia tetap belum menemukan keberadaan Bian. Alisha menjadi hilang semangat. Ia kembali pada setingan lamanya, mengubur impiannya dan kembali meyakini bahwa kebahagiaan selalu menjauh darinya.
Dengan langkah lesu ia membereskan semua peralatannya bersama Nadia. Ia sedang membungkuk memasukkan sisa alatnya ke dalam box, saat Nadia tiba-tiba berteriak kecil di depannya sambil menunjuk-nunjuk ke satu tempat. Awalnya Alisha tidak menggubris gadis itu, semangatnya sudah hilang. Tetapi Nadia masih saja heboh dengan tingkahnya.
Akhirnya dia merespon Nadia dengan tujuan agar dia berhenti menarik perhatian banyak orang. Dan ketika dia berbalik, dia melihat Bian sedang berjalan dari kejauhan menuju tempatnya berdiri. Alisha tersenyum sepersekian detik, dan justru bingung harus bersikap seperti apa.
"Hei, Al..itu Bian kan? Yang kamu ceritain" celetuk Nadia masih dengan kehebohannya.
"Kok kamu tahu? Kan belum pernah ketemu" jawab Alisha.
"Tahu aja, udah cepetan kamu beresin. Dia udah makin deket nih, tinggal sepuluh meter seru Nadia
Alisha menjadi ikutan heboh dan pecicilan gara-gara Nadia. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa dirinya melakukan semua ini, padahal belum tentu Bian akan tertarik padanya.
Dan tibalah Bian di tempat Alisha. Sepertinya dia orang yang mudah sekali tersenyum. Setiap bertemu dengan Alisha dia selalu menyunggingkan senyumnya yang manis. Senyumnya kini telah menjadi favorit Alisha. Ia benar-benar terjatuh ke dalam pesona Bian. Entah karena dia selalu hidup tanpa cinta yang bersambut, atau memang benar dia telah jatuh hati padanya. Hatinya bergetar saat Bian tersenyum padanya. Ada perasaan bahwa senyumnya sangat tulus dan hangat.
"Kak Alisha ya?" tanyanya sopan.
Alisha sudah percaya diri bercampur heran, bagaimana dia bisa mengetahui namanya. Apa dia mencari tahu tentang dirinya. Dan baru saja ia membayangkan hal konyol itu, ia teringat bahwa namanya tertera dalam rekeningnya.
"Ahh, dari rekening.." gumamnya lirih.
"Maaf..rekening gimana kak?"
Ternyata Bian mendengar gumamannya. Alisha salah tingkah dan wajahnya memerah karena malu.
"Eh bukan kak, nggak apa-apa. Iya saya Alisha" ujarnya sambil meraih tangan Bian yang mengulur di udara menunggu disambut.
Nadia yang sedari tadi heboh, mendadak beku dan membisu melihat senyuman Bian. Dia saja yang tidak menggebu-gebu untuk menikah, terpesona melihat pesona Bian, apalagi Alisha yang dalam hatinya sudah memiliki keinginan kuat untuk menikah.
Alisha sepertinya juga sudah terjatuh terlalu dalam, ia bahkan melupakan keberadaan Nadia di sampingnya. Nadia yang memahami sahabatnya tengah kasmaran, berusaha melipir dan mengangkut box peralatan mereka. Sementara Alisha masih saja mengobrol berbagai hal dengan Bian.
"Mm, udah lama Kak Alisha usahanya?" tanya Bian kaku.
Alisha tak bisa menahan tawanya. Mendengar Bian memanggilnya seperti itu membuatnya gemas. Ia meminta Bian untuk memanggilnya dengan nama saja.
"Apa tidak kurang ajar memanggil nama saja..Alisha?"
Kali ini Alisha tersenyum lebar. Bian sungguh memikat hatinya. Bahkan mendengar ucapannya saja membuatnya tersentuh. Selain memiliki pesona yang sulit digambarkan dengan kata-kata, sikapnya yang manis dan kaya raya, ternyata Bian juga sangat sopan, lembut dan hangat. Ah, hari itu hari yang indah bagi Alisha. Hari yang mungkin hanya pernah terjadi satu kali seumur hidupnya.
***
Tiga bulan kemudian
Bian dan Alisha berencana mencari peralatan baru untuk keperluan pesanan kue Alisha. Mereka kini bagaikan layangan dengan bilah bambunya, menempel kemanapun mereka pergi.
Ya, Bian dan Alisha telah berkencan sejak pertemuan kedua mereka di venue acara yang diselenggarakan Bian. Setelah itu mereka menjadi sering bertukar pesan, lambat laun berubah menjadi telepon, dan pertemuan mereka juga semakin intens. Dari situlah hubungan mereka berubah dari konsumen dan penjual, menjadi sepasang kekasih.
Bahkan mereka sudah membicarakan masalah pernikahan. Karena sejak Bian mengutarakan perasaannya pada Alisha, gadis itu sudah memberitahunya lebih dulu bahwa dirinya tidak ingin berlama-lama pacaran. Ia ingin segera menikah. Bahkan Bian sudah mengetahui perbedaan usia mereka yang terpaut tiga tahun.
"Bi, kamu nggak malu punya pacar kayak aku?" tanya Alisha.
"Kenapa malu?"
"Mmm, karena aku lebih tua?"
Bian tertawa, sebab dia penganut ajaran klise tentang cinta tidak mengenal batas usia. Jadi begitu mendengar Alisha berkata demikian, ia justru gemas dengan kekasihnya itu.
"Kalau kamu, kenapa kamu suka sama aku?" Bian ganti bertanya.
"Mmm, karena kamu kaya?" jawabnya sambil terkekeh.
Bian dan Alisha tidak pernah bicara serius untuk hal yang ringan. Mereka selalu santai dan saling melempar candaan. Hal itu karena Bian tidak pernah mempermasalahkan apapun yang menjadi masalah Alisha selama ini. Dia tahu latar belakang Alisha, ia tahu usianya, ia bahkan juga tahu masalah hutangnya.
Yang membuat Alisha menarik di mata Bian, adalah ketulusannya. Meski dia tahu Bian orang kaya, dia tidak pernah sekalipun membahas masalah uang. Bahkan ketika Bian menawarinya uang untuk membantu membayar hutangnya, Alisha menolak. Karena itu, Bian sangat mencintai gadis itu.
Menikah? Tentu saja dia setuju. Dia tidak akan melepaskan kesempatan menjadikannya istri terlebih gadisnya yang meminta lebih dulu.
***
Mendengar putri satu-satunya sudah memiliki kekasih, membuat sang Ibu terlihat sangat bahagia. Bahkan saat didesak untuk menikah, Alisha tidak lagi merasa kesal atau insecure. Alisha dan ibunya sangat menanti waktu pernikahan mereka.
Namun berbeda dengan ibunya Bian. Ketika dia mengetahui putra kesayangannya mempunyai pacar, ia langsung melakukan pengecekan latar belakang gadis yang dipacari anaknya. Hal tersebut sangat mudah dilakukan oleh wanita yang bernama Nyonya Liana Herdianto itu.
Begitu mengetahui Alisha berasal dari keluarga miskin dan kalangan bawah, wanita lima puluh tiga tahun tersebut langsung menentang hubungan mereka. Baginya gadis yang menjadi calon istri putranya harus berasal dari keluarga yang terpandang juga. Gadis dengan pendidikan tinggi, fisik yang bagus, dan keluarga yang terhormat.
***
Bian mengajak Alisha bertemu keluarganya. Selama ini dia belum pernah memperkenalkan sang kekasih pada ibu dan adiknya. Bian belum mengetahui bahwa sang ibu telah menyelidiki latar belakang Alisha.
Namun begitu mereka bertemu, sang ibu memandangnya dari kepala hingga kaki dengan pandangan yang meremehkan. Berbeda dengan adiknya, Tsabina Adyani Herdianto, ia justru sangat menyukai Alisha.
"Kami memutuskan untuk segera menikah" ucap Bian secara mengejutkan.
Mendengar hal itu Ibu Liana langsung membelalak dan bangkit dari kursinya.
"Apa?" teriaknya.
"Kenapa, Ma?" tanya Tsabina heran.
"Mama tidak bisa menerimanya sebagai menantu Mama!" teriaknya lagi.
Bian dan Tsabina terkejut melihat reaksi mamanya. Sementara Alisha yang seperti sudah memikirkan hal ini akan terjadi, hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia berusaha menahan buliran bening di matanya agar tak jatuh.
"Kenapa tidak bisa, Ma?" tanya Bian.
"Karena Mama tidak bisa bergaul dengan orang miskin, apalagi menjadi besannya.." jawab Ibu Liana ketus.
"..selain itu, kamu sudah Mama jodohkan dengan anak teman Mama, Bian!"
Mungkin ini pertama kalinya Alisha mengalami hal ini, tetapi ia sudah bisa menangani hatinya. Dari awal Alisha mengencani Bian, dia sudah menyiapkan diri seandainya hal ini benar terjadi. Dan ternyata dia mengalaminya.
"Ma!" teriak Bian memprotes ucapan ibunya yang menyakitkan.
"Dengar, kalau kamu nekat menikahinya, Mama tidak akan tinggal diam, Bi!" ancam ibunya.
Alisha memegang tangan yang Bian bergetar karena menahan amarahnya yang siap meledak. Dia sendiri juga menahan tangisnya, firasatnya mengatakan langkahnya akan berat ke depan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!