Deril memandang ke luar jendela, di mana pohon-pohon yang berdiri kokoh di pinggir jalan, mulai lewat satu demi satu. Dia sedikit mengantuk karena menempuh perjalanan hampir tiga jam lamanya.
Deril mengusap-usap matanya yang mulai kering. Dia melirik ke arah kemudi. Ayahnya mengemudi dalam diam. Sejak awal perjalanan, ayahnya memang tidak menunjukkan minat ingin berbincang dengan siapapun. Beliau pasti lelah, karena sesampainya di rumah sore tadi, Beliau harus langsung mengemudikan mobilnya selama berjam-jam tanpa mengantuk.
Deril baru berusia enam belas tahun. Dia tidak belajar mengemudi sampai ayahnya mengatakan bahwa dia cukup pantas untuk belajar. Deril tidak keberatan. Toh, dia bisa naik transportasi umum.
Adik perempuan Deril mengerang di sebelahnya, seperti bermimpi buruk. Rambut panjangnya menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Entah sejak kapan adiknya itu tertidur.
Suara hujan mulai terdengar dari luar mobil. Kabut turun dalam hitungan menit. Deril ingin bertanya apakah tempat tujuan mereka masih jauh, tapi pertanyaannya itu tertelan ketika dia melihat dua gapura setinggi tiga meter dilewati oleh mobil mereka. Mata Deril menyapu setiap sudut yang ada. Mereka telah memasuki sebuah kompleks perumahan.
"Sepi sekali," gumam Deril pelan, namun cukup keras untuk didengar ayahnya.
"Hanya ini yang tersisa," jawab Alex.
Deril tidak berkomentar lagi. Kepalanya sibuk memikirkan seberapa jauh jarak rumah dan sekolahnya nanti. Tapi, di zaman modern ini, tentu saja hal itu tidak jadi masalah. Akan ada transportasi umum, walau itu hanya bemo.
"Ayah sudah siapkan sepeda untuk kalian pergi ke sekolah," kata Alex, seakan membaca pikiran anaknya. "Ayah akan mengembalikan keadaan lagi seperti semula. Tapi, untuk itu Ayah perlu waktu."
Deril memandang bagian belakang kepala ayahnya. Tidak ada rasa benci ataupun kecewa di dalam diri Deril, ketika ayahnya mengumumkan kebangkrutan perusahaan yang telah orangtuanya rintis sejak sepuluh tahun lalu. Deril hanya melihat bahwa sosok ayahnya tampak sangat lelah. Mungkin, pindah ke sini adalah pilihan yang tepat untuk mereka.
"Apa aku akan satu sekolah sama Diana?" tanya Deril, mengalihkan topik pembicaraan.
"Ya, Ayah harap kamu bisa menjaga adikmu."
Deril menghela nafas panjang. Sepanjang hidupnya, Deril selalu bertugas menjaga Diana di manapun adiknya itu berada. Mereka hanya terpaut tiga tahun, yang mana artinya, sekolah Deril nantinya adalah sekolah campuran SD, SMP, dan SMA.
"Tenang saja. Kamu belum masuk jurusan, pastinya tidak akan sulit mengikuti pelajaran nanti," sambung Alex. "Di sekitar rumah nanti juga ada banyak remaja yang bisa kamu ajak berteman."
"Aku akan coba berteman dengan baik sama mereka," jawab Deril seadanya. Sebenarnya, dia tidak benar-benar berniat untuk memiliki teman akrab. Baginya itu akan percuma. Deril tidak tahu kapan dia akan pindah lagi dari tempatnya yang sekarang. Dalam tiga tahun, Deril sudah berpindah rumah sebanyak enam kali. Hal itu membuatnya lumayan sulit menjalin hubungan dan dekat dengan seseorang.
Sekitar dua kilometer dari gapura, akhirnya mobil mereka berbelok memasuki sebuah pekarangan rumah berlantai tiga. Rumah itu cukup besar, berbeda dengan yang Deril pikirkan akan mereka tempati. Alex bilang, rumah itu adalah peninggalan saudara kakek mereka dan sudah tidak ditempati selama tujuh tahun semenjak saudara kakek mereka meninggal.
"Apakah rumah ini aman?" tanya Deril.
Alex menarik rem tangan mobilnya, lalu menoleh ke belakang. "Ayah sudah memugar rumah ini beberapa hari lalu. Setidaknya, rumah ini masih kokoh dan tidak ada atap bocor. Selain itu, kita harus memperbaikinya sendiri."
Deril sudah menduga bahwa mereka nantinya harus bergotong-royong memperbaiki dinding ataupun furnitur rumah itu. Deril keluar mobil duluan. Matanya terpancang pada bangunan di depannya. Bau cat basah memenuhi rongga parunya. Rupanya, cat bagian luar rumah masih baru. Deril memperhatikan sekitar. Halaman depan rumah itu cukup luas untuk nantinya dipakai ibunya berkebun. Ibunya akan senang menghabiskan waktu menanam segala jenis bunga di sana.
Dari sudut matanya, Deril dapat melihat pergerakan dari rumah sebelah. Ketika dia menoleh, matanya menangkap seorang perempuan seusianya yang tengah berdiri di ambang pintu. Perempuan itu memiliki kulit seputih salju dan rambut sehitam arang. Matanya bulat besar seperti boneka. Bibir tipisnya semerah buah delima. Untuk sekian detik, Deril menikmati keindahan yang ada di depan matanya.
"Deril!"
Panggilan dari Alex mambuat Deril berpaling. Dia melihat ayahnya sudah menurunkan beberapa koper dari bagasi. Diana meregangkan tubuhnya di sebelah Alex. Sementara ibunya sudah berada di depan pintu rumah dengan kunci rumah.
Deril bergegas membantu Alex menarik dua koper berukuran setengah tubuhnya menuju depan pintu rumah. Serena telah berhasil membuka pintu, membuka daun pintu rumah lebar-lebar, membiarkan udara lembab masuk menggantikan bau apek di dalam.
Rumah itu cukup luas di dalam. Perabotan di sana tidak terlalu banyak. Sepertinya, perabotan di rumah lama mereka lebih banyak disita oleh bank.
"Di mana kamarku?" tanya Deril.
Serena mendongak ke lantai dua. "Sepertinya di lantai dua. Kamu bisa ke atas dan cek? Ajak juga Diana. Dia pasti takut masuk ke rumah baru," jawabnya.
Diana melesat masuk ke dalam rumah dan dengan santainya bergelayut di lengan Deril. Deril memandang tidak suka, namun Diana cuek saja.
"Kak, ayo naik!" ajak Diana. Dia menarik-narik lengan Deril dengan tidak sabar.
Deril ikut saja apa mau Diana. Dia hanya ingin cepat-cepat memilih kamarnya dan istirahat. Udara semakin dingin malam ini dan Diana menariknya ke kamar pertama. Kamar itu cukup besar dengan jendela menghadap ke jalan utama.
"Ini cocok untuk kamar Ayah dan Ibu," ujar Diana. "Kamar ini terlalu besar buatku."
Deril melirik sekilas, sedikit merasa iri pada anak perempuan kesayangan orangtuanya ini. Tentu saja Diana akan diberikan kebebasan untuk memilih kamar paling pertama.
Lalu, Diana membuka kamar kedua yang berada tepat di sebelah kamar besar tadi. "Aku mau yang ini!" seru Diana dengan wajah girang, kemudian melepas pegangannya pada Deril dan masuk mengelilingi kamar. Kamar itu tidak jauh berbeda dengan kamar pertama, hanya saja memiliki jendela menghadap ke Timur dan Selatan. Ruangan itu akan cukup terang di siang hari maupun menjelang malam.
"Hhh, sama aja besarnya dengan ruangan tadi," gumam Deril. "Aku pergi lihat kamar lainnya, ya!" pamit Deril tanpa menunggu jawaban Diana.
Deril berbalik dan melihat pintu kamar berpelitur coklat yang sedari tadi menarik perhatiannya. Pintu itu ada di seberang ruangan pertama. Tanpa ragu, Deril membuka pintu kamar itu dan masuk ke dalam. Ruangannya tidak sebesar kamar pertama dan kedua. Jendelanya terbilang cukup besar dengan tirai kelabu yang masih terbuka. Deril mendekati jendela. Ternyata pemandangan yang dia dapat adalah rumah sebelah, di mana dia melihat perempuan cantik tadi.
"Eh? Dia masih di sana?" gumam Deril, saat melihat perempuan tadi masih berdiri di depan rumahnya. Matanya terpaku pada mobil van Alex. Namun, tidak lama kemudian, seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. Mereka tampak bicara sejenak. Deril memperhatikan laki-laki yang terbilang tampan itu. "Mereka mirip." Kesimpulan itu membawa Deril yakin bahwa mereka adalah ayah dan anak.
"Kamu lihat apa, Ril?" suara Alex tiba-tiba terdengar dari arah pintu.
"Anak tetangga sebelah," Deril jujur saja.
Alex tersenyum penuh arti, lalu berlalu bersama Serena yang baru saja tiba di puncak tangga.
***
(Hai, para pembaca tersayang 🥰 Novel ini saya garap pelan-pelan, ya. IGD tempat saya dinas mulai ramai dan lumayan menghabiskan waktu. Terima kasih untuk pengertiannya 🙏)
(Jangan lupa like dan bintangnya ⭐⭐⭐⭐⭐)
Sekolah menjadi tempat yang kurang menarik bagi Deril. Dia tidak seperti adiknya yang pandai bergaul, jadi dia menghabiskan waktunya dengan berdiam diri di kelas, memandang ke luar jendela seharian. Hujan masih saja awet menyapa bumi. Ajaibnya, kota ini tidak tertimpa banjir walau hujan bertahan seharian, tidak seperti kotanya dulu.
Sepulang sekolah, Deril menunggu Diana di dekat pintu gerbang. Deril bisa melihat beberapa teman sekelasnya berniat berbicara dengannya, namun Deril buru-buru menolak secara tidak langsung dengan menempelkan headset di telinga.
Tidak ada lagu yang dia putar.
Deril menatap layar handphone-nya yang menyala. Dia melihat gambar langit biru yang menjadi wallpaper, berpura-pura sibuk dengan dunianya sendiri. Dalam hati, Deril merutuki Diana yang terlambat pulang. Ini bukan kejadian pertama. Diana sering sekali terlambat saat jam pulang sekolah. Diana adalah gadis cantik yang cakap. Banyak anak menyukainya. Hal itu membuatnya tertahan untuk satu-dua alasan.
Pernah sekali Deril memutuskan untuk pulang lebih dulu, membiarkan Diana menikmati waktunya bersama teman-teman. Namun, Serena malah memberinya nasehat seharian karena meninggalkan adiknya sendirian. Deril lebih tidak menyukai hal itu, ketimbang harus menunggu Diana agak lama.
"Hei!"
Deril terlonjak ketika sebuah kepala menyembul di depan matanya. Hampir saja handphone-nya meluncur ke tanah. "A-apa!?" cicit Deril, kesal.
"Kita sekelas, kan? Kamu nunggu apa?" tanyanya.
Perempuan di depannya berambut sebahu dengan wajah oval. Rambutnya sedikit bergelombang. Meski tanpa riasan, perempuan itu tampak manis. Dia bahkan mempunyai lesung pipi.
"Nunggu adik," jawab Deril sembari membuang muka.
"Aku Nala," perempuan itu mengulurkan tangan. Ternyata tangannya sangat kecil. Setelah berdiri tegak, tubuhnya hanya setinggi dada Deril. "Aku duduk paling depan. Sebenarnya nggak suka, sih. Tapi, kalau duduk di belakang, aku nggak lihat apa-apa," Nala nyerocos.
Deril membalas jabatan tangannya. Mulutnya tetap terkatup. Dia masih berpikir kalau berteman tidak ada gunanya. Siapa tahu, beberapa bulan lagi ayahnya harus pindah karena mutasi lagi. Mutasi itu tidak bisa dihindari, berhubung mereka memerlukan uang dan Deril belum cukup umur untuk kerja part time.
"Aku kenalkan teman-temanku, ya?" tanya Nala. Belum sempat Deril menolak, Nala sudah berbalik dan melambai pada tiga orang laki-laki yang tadi Deril lihat. "Sini, guys! Dia nggak gigit, kok! Tampangnya aja yang seram!" panggil Nala.
Tiga orang laki-laki yang Nala panggil, berjalan berduyun-duyun menghampiri. Mereka memiliki wajah bersahabat. Tanpa ragu lagi, mereka mengulurkan tangan pada Deril.
"Bahma."
"Johan."
"Bian."
Deril menjabat tangan mereka bergiliran. Masih tanpa suara, Deril hanya memperhatikan lawan bicaranya.
"Kamu tinggal di mana? Pulangnya naik bis?"
Deril mengangguk. "Aku baru pindah ke daerah perumahan dekat hutan sana," jawab Deril seraya menunjuk arah kepulangannya.
Mereka berempat saling bertukar pandangan. Sedetik kemudian, mata mereka dipenuhi binar penuh harap, seperti mata seekor anak anjing yang menemukan daging untuk sarapan pagi.
"Jangan bilang ke daerah rumahnya Mika?"
"Kamu kenal Mika?"
Deril menggeleng. Mana mungkin dia langsung mengenal orang-orang yang tinggal di sekitar rumahnya, padahal dia baru pindah dua hari lalu. Deril bahkan masih sibuk dengan urusan dinding dan tata-menata kamarnya. Jika mereka bertanya pada Serena, mungkin akan ada jawaban, karena ibunya itu sibuk menyapa para tetangga di sekitar rumah.
"Wah! Kamu harus ketemu dia!" Nala menepuk lengan Deril, penuh semangat.
"Setuju banget sama Nala!" ujar Johan. "Aku pernah lihat Mika sekali, waktu main ke rumah Sebastian bulan lalu. Dia adalah perempuan tercantik yang pernah aku lihat!"
Alis Deril berkerut. Dia tiba-tiba saja teringat dengan gadis yang tinggal di sebelah rumahnya. Gadis itu luar biasa cantik. Jika ada yang lebih cantik daripada dia, pastinya hanyalah malaikat.
"Kapan-kapan, kita main ke rumahmu, ya?" pinta Bian, tidak kalah semangatnya.
"Lain kali. Rumahku masih sangat berantakan," jawab Deril. Perhatian Deril teralihkan pada kedatangan Diana. Bersama dengan tiga orang teman barunya, akhirnya Diana keluar dari gedung SMP. "Adikku sudah datang. Aku pulang duluan," pamit Deril buru-buru. Dia langsung melesat menghampiri Diana. "Diana, ayo pulang!"
Diana mendongak, diikuti beberapa temannya. "Teman-teman, kenalkan, ini kakakku. Dia anak SMA di gedung sebelah," Diana memperkenalkan Deril pada ketiga temannya.
Ketiga teman Diana terlihat antusias. Kapan lagi mereka bisa berkenalan dengan cowok SMA. Apalagi, Deril terbilang lumayan bertampang. Hanya kurang terawat saja.
"Halo, saya Deril, kakak Diana. Diananya saya ajak pulang, ya! Sudah ditunggu orangtua di rumah," Deril menyela percakapan dan langsung menyeret Diana ke luar gerbang sekolah.
"Ih, Kakak apaan, sih! Aku, kan, sudah bantu Kakak buat sosialisasi!" protes Diana sambil meronta-ronta, minta dilepas.
"Aku nggak perlu bantuanmu," ketus Deril. "Cepat pulang! Aku mau istirahat!"
Diana mendengus tidak percaya. "Tunggu aja sampai aku sudah SMA dan boleh pulang sekolah sendiri, aku nggak mau pulang sama Kakak lagi!" rajuk Diana.
Deril tidak menggubrisnya. Diana tidak tahu, betapa inginnya Deril lepas dari Diana yang selalu membuntutinya. Deril juga ingin memiliki kehidupannya sendiri. Misalnya pergi ke toko musik, dengan tenang memilih album yang dia minati, atau sekedar melihat-lihat list lagu terbaru bulan ini. Atau, dia bisa duduk di cafe kecil, menghabiskan uang jajannya minggu ini, sambil melihat matahari terbenam. Ketenangan seperti itu yang Deril inginkan.
Tangan Deril terangkat, menghentikan sebuah taxi. "Cepat masuk!" perintah Deril begitu taxi itu berhenti sempurna tidak jauh dari mereka. Diana manut saja. Dia tahu, tidak ada gunanya beradu mulut dengan Deril. Setelah memberitahu alamat rumahnya pada sopir taxi, Deril kembali menempelkan headset di telinga, kemudian menyandarkan kepalanya ke belakang. Mata Deril tertutup dengan tangan terlipat di depan dada. Jelas dia tidak mau mengobrol dengan Diana.
"Kalian orang baru di sini, ya?" sopir taxi yang bernama Budi malah memulai percakapan.
"Iya, Pak! Baru pindah dua hari yang lalu," Diana menanggapi. "Bapak asli sini?"
"Iya, Neng. Dari kakek buyut saya memang lahir dan menetap di sini."
Deril melirik ke luar jendela, ingin memastikan bahwa sopir taxi itu berbelok ke arah yang tepat. Deril menutup matanya lagi saat tahu mereka berada di jalan yang benar, tidak mau kalau dia sampai harus terlibat dengan percakapan antara adiknya dan sopir taxi itu.
"Kalau daerah sana, artinya perumahan yang sama dengan Neng Mika, ya?"
Begitu nama itu terdengar lagi di telinga Deril, dia mulai tertarik. Jika perempuan bernama Mika itu dikenal oleh anak seusianya, itu merupakan hal yang wajar. Tapi, jika sampai sopir taxi juga mengenalnya, artinya Mika setara dengan seorang artis.
"Ngomong-ngomong, kalian bule, ya?"
"Ayah kami orang Amerika, Pak," Diana dengan mudah membeberkan asal-usulnya, padahal baru bertemu dengan orang asing. "Yah... Hujan lagi."
Deril spontan menoleh keluar lagi. Gerimis mulai menyapa. Tidak heran, bulan-bulan ini adalah musim hujan. Dia harus menghadapi udara yang lebih lembab dari hari biasa.
Sesampainya di depan rumah, tidak ada yang menyambut kedatangan mereka. Deril menduga, ayahnya sudah mulai beraktifitas di kantor barunya yang ada di pusat kota yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari rumah mereka. Sementara ibunya, mungkin juga pergi ke supermarket yang tadi mereka lewati untuk membeli keperluan dapur. Mereka tidak mungkin makan mie instan tiga hari berturut-turut.
Diana langsung melenggang masuk ke dalam rumah, membiarkan Deril tertinggal di belakangnya. Deril tidak segera masuk. Tentu saja pandangannya teralih pada rumah sebelah. Diam-diam, dia berharap bisa melihat perempuan itu lagi.
Tanpa diduga, harapannya terkabul. Kepala perempuan itu menyembul dari balik jendela lantai satu rumah sebelah. Rambut hitamnya yang panjang tergulung ke atas, memamerkan lehernya yang jenjang. Ada coretan tinta merah muda di pipinya. Sepertinya dia sedang melukis.
***
(Terima kasih pada para pembaca yang bersedia menunggu dan setiap membaca novel karya saya ^^
Semoga kesabaran kalian masih panjang untuk menunggu kelanjutan ceritanya.
Jangan lupa like dan bintangnya ⭐⭐⭐⭐⭐
Terima kasih, salam hangat)
Deril tidak bisa tersenyum. Tubuhnya kaku begitu mata mereka saling bertaut. Wajah khas penduduk lokal yang perempuan itu miliki, membuat Deril mabuk kepayang. Deril merasakan ada yang aneh pada dirinya. Jantungnya terus saja berpacu, membuat keringat dingin mengucur di pelipisnya.
Sama seperti Deril, perempuan itu tidak bergerak. Dia balik memandang Deril tanpa berkutik sedikitpun. Mata bulatnya tidak berkedip.
Tangan Deril terangkat. Dia melambai kecil pada perempuan itu, yang langsung Deril akui bahwa itu perbuatan paling bodoh dan canggung dalam hidupnya. Merasa kewarasannya akan terganggu jika dia berdiam diri lebih lama lagi, Deril memilih berlari masuk ke dalam rumah.
"Kenapa Kakak lari-lari?" Diana yang melihat Deril masuk dengan nafas tersengal-sengal, bertanya. Diana sedang menuangkan segelas air putih untuk dia bawa ke kamarnya.
"Kamu mau nyemil di kamar lagi?" terka Deril. Sebenarnya dia mendapatkan pesan dari Serena untuk melarang adiknya memakan cemilan apapun sebelum makan malam. Tapi, Deril memilih tutup mulut saja, daripada harus mengomel seperti perempuan.
"Yup!" Diana membawa gelas yang berisi penuh dan berjalan melewati Deril. "Jangan ganggu aku sampai jam makan malam, ya!"
Tangan Deril mengepal. Dia ingin sekali menjitak kepala adiknya itu, agar otaknya kembali ke porosnya. Entah sejak kapan adik kecilnya yang dulu sangat dia sukai, berubah menjadi perempuan menyebalkan seperti itu.
Setelah memastikan pintu depan terkunci kembali, Deril naik ke lantai dua dan segera mengganti seragam sekolahnya. Dirinya tidak sabar untuk ke loteng. Alex telah memberinya kuasa penuh untuk loteng seluas tiga meter itu. Tentu saja setelah memastikan bahwa Diana tidak menginginkannya juga. Deril akan membersihkan loteng itu sore ini, sambil memikirkan akan dijadikan apa tempat itu.
TING TONG!!!
Suara bel pintu menggema di seluruh sudut rumah. Kaki Deril baru saja menapak pada anak tangga pertama menuju loteng. Deril menoleh ke arah kamar Diana. Tidak ada pergerakan dari sana.
TING TONG!!!
Deril mendengus nafas kasar. Tentu saja Diana tidak akan bermurah hati membukakan pintu untuk tamu yang datang. Akhirnya Derillah yang turun.
Awalnya, Deril merasa sangat kesal saat berjalan ke ruang tamu. Namun, rasa kesalnya itu menguap begitu mendapati tetangga sebelah berdiri di depan hidungnya. "Ha-ha-ha... Ehem!" Deril berdeham saking gugupnya. "Halo!" suara Deril berubah 180 derajat.
Laki-laki paruh baya berbadan jangkung yang berdiri di hadapan Deril, tersenyum ramah. "Sore, Nak!" sapanya, memecah kekakuan. "Nama saya Dokter Stephen. Saya tetangga sebelah rumah."
Deril memandang orang yang memperkenalkan diri sebagai seorang dokter itu dengan seksama. Deril memikirkan betapa beruntungnya laki-laki itu. Memiliki wajah tampan, tubuh atletis, profesi yang menghasilkan banyak uang, dan juga seorang putri yang sangat cantik.
"Maaf karena pekerjaan saya membuat saya sibuk belakangan ini. Anak saya bilang, ibumu sempat datang dua kali untuk menyapa, tapi saya sedang tidak di rumah. Anak saya pemalu, jadi dia tidak akan membukakan pintu untuk orang asing."
"I-Ibu... Nggak... Em, tidak di rumah..." Deril tidak tahan untuk tidak melirik ke arah gadis belia di belakang Dokter Stephen.
"Kami membawa kue untuk camilan," lanjut Dokter Stephen. Apa kami boleh bertamu?"
"Ya! Boleh!" Deril menjawab cepat. Tentu saja dia tidak mau menolak. Deril menepi dari ambang pintu depan, membiarkan Dokter Stephen dan anaknya masuk. Lalu, dia mengarahkan tamunya untuk duduk di ruang tamu. "Mungkin sebentar lagi ibu saya akan pulang. Saya akan buatkan minuman."
"Ya, ya! Kamu santai saja. Kami punya banyak waktu hari ini," jawab Dokter Stephen.
Deril berjalan cepat menuju dapur yang ada di sebelah ruang tamu. Dia bersyukur karena setidaknya dia bisa membuat teh hangat. Dalam lima menit, Deril sudah menyuguhkan dua cangkir teh di meja ruang tamu.
"Silakan." Deril mengutuk dirinya karena tangannya gemetar saat menyodorkan cangkir teh.
"Makasih," anak gadis Dokter Stephen menerima cangkir tehnya.
'Waaaah... Aku nggak tahu kalau minum teh saja, orang bisa seanggun ini. Mirip putri raja,' batin Deril sambil memandang perempuan di depannya tanpa berkedip.
"Apa anak saya secantik itu?"
Deril menjadi salah tingkah berkat pertanyaan itu. Wajahnya memerah sampai ke telinga. "Saya tidak pernah lihat perempuan secantik anak Dokter."
Dokter Stephen menoleh dengan tatapan bangga ke arah anaknya. "Perkenalkan dirimu!" pintanya.
"Aku Mika," gadis itu mengulurkan tangan.
'Benar dugaanku! Dia Mika!' batin Deril.
Deril menyambut uluran tangan Mika. "Aku Deril."
"Sepertinya kalian sebaya. Mika berumur lima belas tahun bulan depan."
Deril mengangguk saja. Dia tidak bisa memalingkan perhatiannya dari Mika. Benar kata teman-teman sekelasnya, Mika sangat cantik! Deril mau-mau saja kalau harus membuang waktu untuk menatap wajah Mika.
"Siapa, Kak?"
'Aaargh! Pengganggu datang!'
Dokter Stephen dan Mika menoleh ke arah tangga. Diana berdiri tegap di tempatnya ketika melihat sosok Mika.
"Hai!" Diana tampak antusias. "Jangan-jangan ini Kak Mika, ya?"
"Kok bisa tahu?" tanya Deril.
Mata Diana berputar. "Astagaaa! Semua orang membicarakan gadis bernama Mika waktu aku bilang tinggal di sini. Masa ada lagi, yang lebih cantik daripada ini?" sahut Diana ketus. Diana ikut bergabung bersama mereka. Tidak kalah tertariknya dengan Mika, Diana secara terang-terangan menunjukkannya.
"Kak Mika umur berapa?"
"Masih lima belas tahun."
"Nggak jauh beda sama aku," timpal Diana. "Lain kali nginap di sini, ya!"
Mika melirik pada Dokter Stephen yang tersenyum saja. "Aku nggak suka menginap."
Diana manyun mendengar jawaban Mika.
"Nggak semua orang suka heboh kayak kamu waktu mau tidur," celetuk Deril.
"Itu namanya mengakrabkan diri!" bela Diana. "Daripada Kakak, nggak pernah bawa temen pulang ke rumah," ejeknya.
Deril baru akan mendebat, ketika deru suara mobil memasuki halaman rumahnya. Deril mendongak ke luar jendela, mendapati mobil minivan ayahnya telah datang. Serena di bangku kemudi, berusaha secermat mungkin dalam memarkir kendaraannya. Dia tidak mau suaminya mendapati mobil itu terparkir tidak rapi di garasi rumah.
"Ibu datang!" Diana melompat dari sofanya, berlari kecil ke luar dari pintu depan dan menyambut Serena.
"Saya bantu Ibu bawa barang belanjaan dulu. Silakan diminum tehnya," pamit Deril. Dia mengikuti jejak Diana untuk membantu Serena.
"Wah, siapa ini yang datang?" sapa Serena ketika masuk ke dalam rumah. Di belakangnya ada Diana dan Deril mengikuti dengan masing-masing membawa dua kantong belanjaan di tangan mereka.
"Selamat siang, Bu Serena!" Dokter Stephen bangun dari duduknya, begitu pun Mika. "Maaf baru bisa menyapa sekarang. Jadwal di rumah sakit belakangan sangat padat."
"Salam kenal, Dok!" Serena mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh Dokter Stephen. "Beruntung sekali ada tenaga medis yang tinggal di dekat rumah saya. Ah, bukan berarti saya mau ada yang sakit!"
"Hahahaha! Banyak orang yang bilang kalau mereka beruntung ada dokter di kompleks ini!" sambung Dokter Stephen. Dia tampak bangga dengan identitasnya.
"Gadis kecil ini, apakah anak Anda?" tanya Serena, berpaling pada Mika. Binar mata Serena tampak berbeda ketika melihat Mika. Siapa, sih, yang tidak mau punya menantu seperti Mika.
"Saya Mika," Mika mengulurkan tangan. Senyum manis Mika telah menghipnotis Serena, sampai-sampai Serena hanya bengong saat melihatnya.
"Apa anak saya secantik itu?" Dokter Stephen menyela.
"Ini pertama kalinya saya melihat anak perempuan secantik Mika," puji Serena dengan jujur.
Dagu Dokter Stephen sampai terangkat karena pujian bertubi-tubi yang dia dapatkan. "Andai istri saya masih ada di dunia ini, pastinya dia akan senang dengan semua pujian kalian."
***
(Hai, Sobat ^^
Terima kasih karena sudah setia menunggu dan mendukung novel ini.
Semoga sabar kalian amat sangat panjang dalam menunggu update novel saya ^^
Maaf karena proses lama.
Salam hangat ^^)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!