Membuatkan teh manis, Diah yang awalnya senyum pada ibu mertua, beringsut begitu saja.
"Ga usah buat minum manis manis, gula mahal. Emang semua enggak pake dibeli apa? udah mandul, buat susah suami seret rejeki lagi. Kalau di pikir pikir, kamu tuh istri pembawa seret rejeki loh Diah." ujar ibu mertua, membuat Diah menelan saliva terasa pahit.
"Insyallah yang sabar ya bu, mas Fariz juga bentar lagi mau interview, semoga diterima." lembut Diah.
"Alah, lembut mau gimana. Orang tiap hari minta duit aja kerjaannya, kamu juga disini beban nyepetin mata ibu, minggir sana! biar suruh Fariz cari perempuan lain, yang bisa kasih anak buat putra ibu, biasanya dia bakal lancar tuh rejekinya kalau ganti istri." oceh ibu mertua, hingga tak terlihat.
Istighfar Diah!!
Diah, diam bersabar di dalam kamar menangis, hingga beberapa jam kemudian mas Fariz pulang. Diah pun menghampirinya.
"Mas udah pulang? apa mas diterima kerja, kalau diterima kita ngontrak yuk mas. Meski petak."
"Ih .. kamu ini baru juga dateng, udah ngelantur terus."
"Mas, ibu selalu salahin aku terus seperti biasanya, meski petak kecil. Kita bisa nyaman tinggal mas, aku mohon mas."
"Diah, mas mau berangkat lagi. Lagi pula tinggal disini enak, enggak pake bayar semua biaya. Udah anggap aja angin lalu ok! mas pamit."
Diah menatap suaminya, benar membuatnya gila semakin lama.
Hingga dimana ia merapihkan beberapa uang lembar biru simpanannya yang nyelip ke dalam tas, mengekor tempat interview mas Fariz.
'Aku kasih semangat mas Fariz aja deh.' batin Diah.
Diah pun pamit pada ibu mertuanya, hingga dimana ia meminta sang ojek pangkalan, mengikuti taksi suaminya pergi.
'Dih mas Fariz, bukannya ngirit kok malah naik taksi?' gerutu Diah, membenarkan helm ojek.
***
"Mas, nambah! aku masih mau lagi!"
"Hey! sayang kita sudah lima kali melakukannya, kamu tidak capek?"
"Mas, katanya kita mau sesuatu untuk generasi baru. Setelah lahir, mbak Diah aja yang rawat. Kamu janji kan, terus lahirnya caesar!"
"Tentu sayang."
Diah bagai tersambar petir, tubuhnya kaku meleset, seperti tercongkel benda tajam. Tumpul menusuk di hati. Diah mendobrak pintu. Begitu terkejut dengan apa yang ia lihat saat ini, suami yang ia cintai sedang berselimut manja dengan separuh penutup kain.
Diah! ka-mu kenapa disini? Fariz terdiam, menutupi sebagian lekukan tubuh Mira.
"Mas, tega kamu! kenapa kamu lakukan ini semua?" teriak Diah, matanya tak bisa lagi membendung air mata dan kekecewaan.
Fariz hanya santai, mengambil kaos. Lalu memakai penutup bawah diakhiri dengan perekat pinggang, dengan santainya ia berjalan mendekat ke arah Diah.
"Jangan mendekat mas! aroma mu terlalu busuk!"
"Diah! ingat aku ini suamimu. Kamu harus nurut sama aku. Aku dan Mira sudah nikah kontrak. Mira janji akan berikan kita keturunan. Tapi aku akan berlaku adil sampai semuanya berhasil. Demi ibuku juga, biar ga ngomel terus ke kamu."
"Apa? kamu pikir dunia itu hanya ranjang saja mas. Apa kamu lupa, sudah beri apa kamu untukku selama delapan tahun ini?" teriak Diah masih mode emosi bercampur kecewa.
Fariz dengan enteng meludah di depan wajah Diah, dengan gaya petenteng kedua tangan bertolak pinggang. Dan menunjuk wajah Diah.
"Kamu lupa? delapan tahun, kamu belum memberi aku apa, tangisan anak Diah!Keluargaku sudah kebanyakan tanya! capek, aku bahkan bosan juga setiap orang dan keluarga bertanya. Yakin, kalau kamu tidak bermasalah?"
"Maksud mas, aku?"
"Yah! jelas kamu mandul Diah."
"Jadi dengan seperti ini jalannya mas?"
"Ya! kamu harus berterimakasih. Setelah Mira hamil dan melahirkan. Kita bisa bersama, kamu bisa urus fokus sama anak kita."
Mas!
Diah tak percaya, ia sudah lelah dengan urusan catering keluarga seharian, bahkan sering lembur, jarang berada di rumah. Kini harus di hadapi dengan tingkah pola pikir suaminya yang tidak matang. Terus terang Diah lah yang selama ini mengurusi seluruh kebutuhan hidup.
Bahkan ibu mertua Diah, ia tahunya jika uang bulanan delapan juta untuk menafkahi dan menyekolahkan adik suaminya itu, dari jerih payah anaknya selama ini. Padahal Diah lah semuanya, bahkan tagihan air, listrik dan gas yang sering membludak setiap bulan. Belum lagi di rumah itu ia tinggal, dengan mertua dan adik ipar yang jaraknya sepuluh meter di batasi tembok menjulang.
Diah terkadang sering lelah, untuk patungan seluruh tagihan di rumah ibu mertuanya, meski sedikit kadang sering gantian. Tetap saja perlakuan ibu mertua selalu menyalahkan Diah.
"Cukup mas! kalian lanjutkan saja. Aku capek, aku perlu memutuskan semuanya." isak tangis Diah, pergi.
Di Rumah.
Diah masih tak bisa memikirkan hal, sepulang catering daily. Ia tak ingin makan, hanya karena mengingat mas Fariz. Tapi begitu sampai rumah, makanan yang ia beli, begitu saja basi dan tak berselera. Apalagi mas Fariz ikut pulang, membawa wanita itu dan gamblang mengenalkan pada ibu mertuanya.
"Eh ini yang kamu bilang Fariz, bawa ke kamar tamu aja gih!" ujar Ratna.
"Apa ini balasannya untuk aku mas. Aku mengabdi dan berusaha menjadi istri terbaik. Apa itu kurang?" lirih Diah, ia menutup kuping karena ******* itu kembali terdengar dengan jelas di sebelah kamarnya.
Sehingga Diah kembali teringat memori dirinya bersama Fariz pertama kali bertemu.
Sembilan tahun yang lalu, Diah sendiri tidak tahu siapa laki laki yang menolongnya di cafe. Ia hanya bisa terisak menelan kesakitan, kepahitan dalam kelingkungan. Karena saat itu Diah pertama kali putus cinta, di tinggal mengajar ke negri sebrang, dalam waktu yang cukup lama.
Kekasihnya dulu adalah seorang anak pengepul besi borongan. Ia mendapat beasiswa sampai ke negeri tetangga. Hingga kala itu ia memutuskan hubungannya dengan Diah, demi mewujudkan impian terbesarnya yaitu sukses.
Diah sendiri tak menyangka bisa terkecoh dengan aksi Fariz yang menolongnya. Seiring waktu perasaan itu berubah dan menerima kekurangan Fariz suaminya, kala Fariz melamarnya secara kagum, dan sederhana.
Satu tahun menikah, barulah Diah tahu sifat asli kelakuan Fariz yang semakin nyata. Sehingga ia harus menopang tetap bekerja. Belum lagi manja, kala setiap masalah ia harus mengadu pada ibunya. Yakni ibu mertuanya.
Diah pun langsung tertidur, akibat sembab tangisan kesedihan yang bercampur.
Namun ketika esok pagi, Diah terkejut kala matanya berusaha membuka, suaminya sedang mengambil beberapa pakaian kemeja yang menggantung.
"Mas, kamu mau kemana, bawa koper?" tanya Diah, yang bangkit dari ranjang kasur.
TBC.
"Heh Diah! siapin makanan?" ujar ibu mertua.
"Iya bu, Diah siapin makanan pesanan dulu ya bu. Diah minta maaf, akan sedikit telat."
"Duh, kamu ini jadi menantu bebel deh. Tolong deh, kamu buatin makan siang dulu. Meja kok kosong? udah mah perut kosong enggak bisa taruh anak di rahim sendiri, ini setiap ibu pulang. Ada aja bikin senewen, emang kamu jadi menantu enggak bisa di andalkan Kok bisa Fariz nikah sama kamu, jangan jangan kena guna guna." ujarnya, dan berlalu ke kamar.
Diah merasa syok, benar benar ibu mertuanya tidak pake rem saat bicara, jika Diah mengadu pada suaminya tentang ibunya. Jawaban Fariz selalu membela dan tidak pernah menjaga hatinya. Alasannya ia lebih percaya pada ibunya, dari yang terbaik dianggap baik.
'Jika menjaga hati ibu adalah kebaikan, apa perlu menyakiti batin istri dianggap lumrah?' batin Diah, menahan sesak.
Diah merasa perlu bersabar, hingga akhirnya ia kini masih berada di rumah mertua. Diah menumpang tidur, karena semalam dia tak ingin ada keributan. Alasan sama, yakni kecapean sehingga tidur di kursi tamu. Bahkan jarak rumah Diah dan Mertua, hanya dibatas dinding, karena bangunan sebelah untuk adik mas Fariz.
Diah merasa sang ayah mempunyai istri muda, ibunya menerima jika di madu. Tapi kali ini jika ia alami, dan mengatakan ibu mertuanya terlihat baik baik jika kedatangan sang ibu, dan selalu menyakitkan mengadu, apakah perasaan ibunya tidak hancur.
'Ah, benar aku harus sembunyikan semua sakit ini.' batin.
KLAKSON MOBIL MENYILAUKAN AREA HALAMAN.
Diah menghampiri mas Fariz, mencium tangan dan mencoba tersenyum guna menyapa layaknya sang istri.
"Mas, pasti lelah. Aku bawain ya!" senyum tak lupa Fariz mencium kening Diah.
Beberapa Jam Kemudian.
Diah dan Fariz menyapa dan mencuci tangan. lalu berkumpul makan malam. Fariz sangat bahagia, ia merasa keluarganya di penuhi bidadari orang tersayang yang penuh berarti. Kala ibu Diah, datang menjenguk Diah. Sehingga Diah benar benar syok, kedatangan ibunya saat ini.
"Diah, kamu masak gih. Di kulkas jangan lupa goreng aja frozen. Ibu mu datang, kita harus makan bersama." senyum ibu mertua, bagai punya dua muka.
"Iya bu." menurut Diah, dimana sudah pasti setelahnya ia harus mengganti apa yang ia pakai bahan di kulkas, karena sikapnya manis tapi nyatanya hitungan.
"Lain kali Mama dan Ibu ga perlu repot masak, kita bisa pesan online. Jangan seperti ini, Fariz merasa ga enak. Kenapa mama ga pake jasa pembantu masak sih Mah? Kan Fariz udah bilang, buat bantu mama. Mama dan Ibu ga perlu capek capek?!" ungkap Fariz tak ingin melihat sang mama lelah.
"Fariz, jangan mubajir. Mending kamu harus banyak menabung untuk calon cucu Mama nanti. Masa udah mau jadi Oma, harus merepotkan kamu. Kapan kabar bahagia itu tiba?"
Diah terdiam, ia sebenarnya merasakan mood aneh. Tapi tidak yakin jika itu hamil atau bukan. Yang jelas saat ini, Diah menahan rasa sakit akan kepura puraan suaminya Fariz
'Dari mana kamu bisa bayar cicilan mobil, juga membiaya adikmu mas. Sekarang bicara pake pembantu? kamu pikir aku mesin atm?' batin Diah.
"Bukan begitu, Mama dan semua di sini udah tanggung jawab Fariz. Fariz mau Mama, Diah dan Ibu senang senang aja menikmati hidup. Biar Fariz yang selaku kepala tanggung jawab di sini memikirkan hal lain."
"Ya udah, kita makan yuk! Mas, aku sendokin segini dulu ya?" memotong pembicaraan Diah, karena sudah kesal akan drama Fariz.
Ibu dan mama mertua tahu, jika Diah tak suka melihat Fariz terus saja berdebat di meja makan. Maka dari itu, ia merasa tak bersalah akan suasana makan malam yang tak asing.
Hingga tak terasa, mereka bersama kembali berbincang setelah makan. Namun tak terasa, Diah pamit untuk ke kamar menemani mas Fariz yang akan membersihkan diri. Hal itu pun di dukung sang mama mertua, karena ia tak sendiri ada besannya yang masih setia berbincang bincang di ruang tamu.
DI KAMAR.
Diah ingat memori pertama kali setelah menikah, tapi itu kini tak bisa Diah tahan dan ingat kejadian kamarnya yang di pakai wanita lain.
"Mas, kamu sedang apa. Kok senyum senyum sendiri?" tanya Diah yang menaruh air minuman dan herbal sebelum tidur untuk sang suami.
"Sini sayang, duduk di samping mas!" menepuk kasur.
Diah bersandar di bahu mas Fariz, ia tersenyum kala melihat sebuah chating Love online. Dengan tersadar Diah memahami dan menanyakan.
"Mas, itu kamu sadap nomor, dia itu ...?"
"Mas hanya ingin menertawakan cara Emir, sudah sampai mana ia mengejar wanita sayang. Lihat saja percakapannya, mas akan sabotase. Tapi kamu jangan cemburu, ini pyur mengerjai. Sama hal kaya kamu dulu kan?" goda Fariz saat itu.
Hingga di mana senyum Diah meredup akan perkataan suaminya. Ia sungguh bingung, karena dirinya tak pernah sama sekali mempunyai akun sosmed atau memainkan sebuah situs seperti itu.
Namun yang di katakan adalah tentang suaminya dan adiknya, seharusnya dirinya tak tersinggung.
"Heiy, sayang. Kamu kenapa, jangan nangis! Mas ga bermaksud melukai hatimu. Oke mas ga akan ikut campur." cetus Fariz yang membuka akun milik Emir lagi ya.
"Mas, jelaskan wanita bernama Mira! Sudah sampai mana hubungan kalian!"
Deg.
Terdiam Fariz, sehingga ingatan dirinya bertemu Mira, yang akan menjadi istri baru sebagai perantara anak saja.
Namun benar saja, dari pintu lain Mira pun datang, sehingga Diah mencoba berpura pura mengambil minum, agar ibunya tak datang mengetuk kamarnya, dimana wanita asing dari pintu lain datang menemui suaminya.
Mira merasa kerepotan, kala ia menatap Fariz. Ia sebal ingat ketika saat berada di sebuah mall, ia memanggilnya Adiyahtunisa. Yakni nama Diah.
"Mas, aku ambil minum dulu. Sebaiknya kalian jangan bicara terlalu besar, takut ibu datang. Dan kamu, jangan lagi ke kamar ini. Status mu belum resmi istri mas Fariz." ujar Diah.
Halah!! cibir Mira menahan kesal.
"Mir, sini dong. Jangan jauh jauh!" menepuk kasur sebelahnya, Fariz pada Mira.
"Ok! Ceraikan Diah mas! aku cuma datang minta itu aja!" pinta Mira.
Saat Mira kembali dan Fariz ingin menjawab, tatapan sorot tajam Diah membuat ucapan Fariz beku.
EHEUUUM!!
"Apa kamu tidak tahu malu mas? kamu tidur dengan santai dengan wanita lain. Tapi aku di rumah bagai babu! tega kamu mas Fariz!" teriak Diah melempar ponselnya.
"Ibuku pasti sudah bicara, ke ibumu. Jika aku bakal menikah lagi, jadi kedatangan ibumu malam ini. Dia pasti tahu Diah." teriak Fariz, membuat Diah benar benar gila, menoleh pada dua sejoli yang sedang di mabuk asmara, terlebih mereka belum halal.
TBC.
"Mira pergilah, aku ingin bicara empat mata pada istriku!" ujar Fariz mengusir, dan Mira mengambil tasnya pergi lewat pintu belakang.
Beberapa saat kamar itu hening saling diam, dan mereka memulai bicara.
"Mas, kenapa kamu balas aku seperti ini?"
"Diah, aku menyukai Mira karena dia rapat. Aku merasakan sensasi baru karena dia masih segel. Lagi pula, aku sudah teken kontrak agar dia hamil. Anaknya kita yang rawat, bagaimana. Solusi tepat bukan, agar keluarga kita tak berkicau terus." jelas Fariz.
"Mas, kamu tau kan soal Kiaz?"
"Tentu! kakak dari mantan kamu itu kan, Diaz soleh tapi Kiaz sangat brandal. Beruntung kamu aku nikahi, aku tutup aibmu. Maka kamu tutub aibku dengan Mira. Ini demi kebaikan kita."
Diah sangat menyayangkan, kala Fariz dengan mudah bicara begitu saja dengan enteng. Apalagi memintanya tak masuk akal, meminta Agar Diah menerima dengan kemauannya.
"Maksud kamu seperti apa mas?"
"Bodoh! tentu kita buat Mira melahirkan. Dan ini sudah bulat, tetaplah baik baik saja Diah!"
Jelas Diah, ia melihat Fariz keluar dari kamar. Sehingga ia hanya bisa terdiam pilu. Tega sekali mas! kamu tidak menatap dan melihat aku yang sakit begini.
"Apa seorang istri, harus selalu mengikuti kemauan suaminya?"
"Itu pilihanmu, rahasia mu ada padaku." ujar Fariz dengan enteng.
KE ESOKAN HARINYA.
Diah yang masih libur bekerja catering, ia segera menatap pesan guna mendapat kabar baik. Tapi Fariz setelah memakai dasi, ia meminta Diah untuk menjaga rumah.
"Diah.." teriak Fariz.
"Ya mas, aku sedang cuci piring."
"Tolong bantu aku, rapihkan!" teriak Fariz.
Sehingga Diah menceritakan hari ini sedang tidak enak badan. Tapi kala ia meletakan ponselnya, ia ingat momen dirinya bucin dan manis pada masa lalu dirinya dengan Fariz.
Belum lagi Diah sangat bahagia, menurutnya tidak ada pria sebaik Fariz, yang mau menerimanya tidak suci karena sebuah kecelakaan, yang ibu bilang Diah kecelakaan karena bersepeda, membuat se-la-put da-ranya robek, itu adalah diagnosa. Tapi bagi Fariz, Diah tidaklah segel.
Diah merasa ingin sekali bicara pada sang ibu, tapi ia cukup tidak berani, jika kelak masalahnya akan besar tercium oleh keluarga. Bahkan nama baik keluarga dan mertuanya akan hebat marah.
Diah juga melihat sebuah foto pernikahan tujuh tahun silam. Ia ingat pertemuan dirinya dengan Fariz seperti tidak punya pikiran. Sama sama dalam pengaruh.
Di cafe Diah bersama Fariz, kala itu.
"Kamu mau apa, Fariz?" sorot mata Diah sedikit menyingkirkan tubuhnya dalam genggaman tangan Fariz yang menyentuhnya.
Tatapan mereka saling dekat, Diah memang mencoba menetralisir agar ingatannya adalah dendam tak akan berhubungan dengan sang mantan. Namun itu membuat Fariz sepupunya mengejar Diah.
Lalu benar meninggalkan. Tapi ketika wajahnya hanya beberapa centi saja, Fariz memiringkan pandangannya pada wajah Diah. Bibirnya membuka dan satu tangan menjaga sekedar menahan di rak lemari, sementara satu tangan lagi kembali menarik ke bawah pinggang Diah pada tubuhnya semakin dekat.
"Hentikan! jaga sikapmu Fariz!" sinis Diah, ia segera bangkit setelah tubuhnya menurun dan berhasil lepas dari lingkaran Fariz yang membuat jantungnya berdebar.
"Kamu mau kemana Diah? aku belum selesai bicara loh?" goda Fariz.
"Aku mau ke kamar mandi, kamu pergilah dari ruangan ini!" teriak Diah, menutup pintu kamar mandi dan menguncinya.
Bagaimana bisa aku pergi, ini usahaku mencari uang, juga di sana kamarku! Fariz merebahkan tubuhnya lebar dengan posisi celentang di tengah tengah sofa. Ia begitu lucu mengingat jelas, kala di mata Diah itu ada rasa cinta padanya.
'Wanita sekarang itu sangat munafik, jual mahal. Tapi aku suka, kenapa aku baru sadar dia cantik?' rona Fariz yang mengigit bibir bawahnya.
Sementara Diah, ia masih mengerjapkan kedua matanya. Seolah ia salah jika itu bukan cinta. Debaran sisi jantung Diah masih terasa, saat Diah meletakkan salah satu tangannya.
Dasar Fariz gila! dia benar benar membuat aku sulit. Kenapa aku seperti ini padanya. Tapi dia itu benar benar serius kan? Jika pria itu kembali menyakiti, seperti kerabatnya bagaimana? Benak Diah bertanya tanya.
Beberapa puluh menit kemudian. Saat Diah selesai, ia segera membuka pintu, tapi matanya dikejutkan dengan tatapan punggung pria tanpa alas pakaian. Itu adalah Fariz yang memakai boxer saja, mengganti pakaian dengan piyama.
Bodohnya lagi Fariz dalam pengaruh obat, ia berlaku aneh jika ruangan kerja seperti kamarnya. Fariz membuat senyuman miring kala menyadari jika, Diah dibelakangnya sedang terpana.
"Kamu terkejut, berdetak hatimu bukan?" lirih Fariz.
"Kenapa diam, baru sadar ya liat punggung malaikat? mulus, bersih dan cool?" melirik Diah tidak melihatnya.
"Apa yang kamu pikirkan, lebih baik berganti pakaian di tempatnya. Ingat kita itu apa?" lirih Diah, guna Fariz memakai kembali pakaian, karena mereka saat itu masih dalam ruangan kerja.
"Ki-ta itu a-pa? kita itu akan jadi suami istri, apa perlu aku tunjukan padamu! aku berhak atas dirimu, jadi jangan bicara aku dan kita itu siapa. Jika itu kamu ucap lagi ya Diah, aku tidak tahu. Apa aku bisa menahannya atau tidak!"
Ciiiih! gila. Decih Diah menyingkirkan matanya agar tak terlalu menatap punggung calon suaminya itu.
Benar saja ia memang pria yang perfect. Tapi jika sikap dan gayanya bukan malaikat. Melainkan iblis menjelma kesasar di lembah hutan.
"Apa, kamu bicara aku, iblis kesasar di lembah hutan?" tanya Fariz mendekat ke hadapan Diah.
"Apa maksudmu Diah?" tanya kembali Fariz meraih tangan Diah.
"Kau itu sering sekali berganti wanita, dan berganti belantara hutan yang kau cicipi sangat banyak. Jadi apa! jika bukan iblis yang ke sasar di lembah hutan?!" cetus Diah.
Diah segera pergi dan lebih dulu keluar. Ia tak sanggup rasanya berada di dalam ruangan cafe bersama Fariz. Terlebih Fariz membuat dirinya tidak karuan, bisa mengapung terbang tinggi. Bisa juga terjun bebas tanpa peringatan.
Sementara Fariz tersenyum, memiringkan bibirnya kala mulut Diah bicara lantang seperti tadi.
"Ok! fix kamu cemburu padaku Diah." lirih Fariz lalu mengekor langkah Diah. Yang berlari menjauh.
"Tunggu Diah! aku seperti ini karena menyukaimu! menikahlah denganku. Percaya padaku Diah! kita akan memiliki keluarga bahagia."
Itu adalah penggalan kata kata akhir Fariz terhadap Diah. Yang sangat di sayangkan, ketika Diah harus bisa melihat suaminya kembali gila dengan wanita lain. Yang saat ini dekat dengan wanita bernama Mira.
Makan Malam.
"Hallo sayang! Mama pikir kalian kebablasan ga jadi makan malam?" sindir Mertua Diah.
"Mama suka banget sih goda pengantin. Diah kan baru aja beberapa hari menjalani kuret. Mana bisa Fariz ..?" bisik papa mertuanya.
"Pah, mama itu tahu. Fariz ga jauh beda kaya kamu dulu. Buktinya mama baru beberapa hari lahiran, kamu udah minta jatah."
"Tapi itukan enggak menyentuh apem basah Mah! Papa waktu itu .." terdiam mertua Diah, kala melihat Diah berdiri dengan tatapan aneh.
Diah semakin pilu, kebahagian mertuanya memang sempurna. Orangtua mas Fariz menginginkan cucu dari putranya, tapi setelah kuret saat itu Diah merasa gagal, hingga pernikahan kedelapan belum juga di karuniai mongmongan.
'Apa aku harus terima, jika mas Fariz memaduku demi seorang anak darah daging mas Fariz?' batin Diah.
TBC.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!