"Pokoknya Papa nggak mau tahu, sesegera mungkin kamu harus menceraikan Zahra dan menikah dengan Gladis!" Seru Narandra sembari terhuyung dan memegangi dadanya yang terasa sesak.
Ucapan Narandra bak petir menyambar di siang bolong. Zahra yang mendengar hal itu seketika syock dan tubuhnya luruh ke lantai.
Air mata yang sejak tadi Zahra tahan akhirnya tidak dapat dibendung lagi, mengalir membasahi kedua pipinya yang chubby.
Sementara di balik pintu lain, terlihat dua orang wanita sedang berjingkrak penuh kemenangan.
Mereka senang dengan keputusan Narandra dan keduanya berharap Satria akan segera menuruti perkataan sang Papa untuk bercerai.
Satria yang melihat tubuh sang Papa terhuyung, tidak berani membantah lagi. Kemudian diapun berteriak saat melihat Narandra hampir saja terjatuh.
"Pa, awas!"
Satria dengan sigap menahan tubuh sang Papa hingga tidak sampai menggelinding jatuh di tangga.
Lalu Satria pun memapah Narandra dan membawanya turun, mendudukkan serta menyandarkannya di sofa.
Satria membuka kancing baju sang Papa agar beliau bisa bernafas dengan lebih lega.
Kemudian Satriapun berteriak memanggil pelayan agar mengambilkan obat jantung milik Narandra yang ada di dalam kamar.
Melihat Narandra kesulitan bernafas, Satria pun panik. Apalagi saat pelayan yang dipanggil tidak kunjung datang.
Zahra yang mendengar teriakan panik sang suami, tidak lagi menghiraukan rasa sakit di hatinya. Diapun menghapus air mata, lalu bergegas, berlari ke arah kamar Narandra.
Semua laci yang ada di sana Zahra buka sampai dia menemukan obat yang dibutuhkan sang papa mertua.
Kemudian Zahra pun buru-buru kembali sembari membawa segelas air minum hangat untuk Narandra.
Tanpa berani memandang wajah Satria, Zahrapun meminumkan obat tersebut. Dia tidak mau sampai Satria tahu, jika dirinya baru saja selesai menangis.
Zahra kemudian kembali ke kamar, setelah melihat Narandra tenang dan bernafas dengan lega.
Meski ucapan Narandra tadi begitu sakit menghujam jantungnya, tapi Zahra tidak bisa membenci dan membiarkan sang mertua celaka karena terlambat memberinya obat.
Satria tahu Zahra pasti mendengar pertengkarannya tadi dan dia yakin Zahra sedang terluka hatinya.
Satriapun mengantar Narandra ke kamar, lalu dia menelepon dokter agar segera datang untuk memeriksa kondisi sang Papa.
Sambil menunggu kedatangan dokter, Satria meminta pelayan untuk menemani Narandra. Kemudian diapun ke kamar untuk melihat keadaan Zahra.
Mendengar suara pintu terbuka, Zahrapun buru-buru menghapus air matanya yang kembali menetes.
Satria langsung menarik Zahra ke dalam pelukannya, lalu diapun mencium puncak kepala Zahra sambil meneteskan air mata.
Tangis Zahra kembali pecah, dan dia mempererat pelukannya. Tubuh Zahra bergetar hebat, dia tidak mampu untuk menyembunyikan kesedihannya lagi.
Satria membiarkan Zahra menumpahkan kesedihan di dalam pelukannya, lalu setelah tangis Zahra mereda, Satria pun berkata, "Maafkan Papa Yang, aku tahu hatimu hancur. Nanti setelah Papa pulih, kita akan bicarakan masalah ini lagi. Mudah-mudahan Papa akan mengubah keputusannya."
Di luar dugaan Satria, Zahra justru menimpali ucapannya dengan tenang dan tanpa amarah, "Papa tidak salah Mas, aku tahu bagaimana perasaan Papa. Aku ikhlas jika Mas Satria menceraikan ku tapi tidak ikhlas jika Mas menikah dengan Gladis."
"Gladis bukan wanita baik Mas, aku tahu Papa bersikap begini karena ada campur tangan Tante Herlina. Mas Satria carilah wanita baik dan aku siap memberi restu."
Satria terkejut mendengar keikhlasan Zahra, lalu dia menangkup wajah chubby sang istri sembari menatap dalam matanya dan berkata, "Aku tidak akan pernah menceraikan mu sampai kapanpun. Masih ada cara lain untuk mendapatkan anak dan aku akan menawarkan hal ini kepada Papa."
"Kamu tenanglah Yang, Inshaallah Papa pasti setuju. Harap kamu ingat, sampai aku mati kata talak tidak akan pernah terucap dari mulutku!" ucap Satria, lalu menarik Zahra kembali ke dalam pelukannya.
Sejenak keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing dan Satria melepaskan pelukannya saat mendengar seorang pelayan memanggil serta mengetuk pintu kamar mereka.
"Aku keluar dulu ya Yang, mungkin dokter sudah datang. Kita harus memastikan apakah Papa musti dibawa ke rumah sakit atau bisa dirawat di rumah saja."
Zahrapun mengangguk, lalu dia membenahi baju kemeja Satria yang sempat berantakan karena pelukannya tadi.
Satriapun bergegas ke kamar sang Papa untuk melihat dokter yang sedang memeriksa keadaan Narandra.
Satria pun mendekati sang dokter lalu bertanya, "Bagaimana keadaan Papa Dok?"
"Sebaiknya kita bawa Pak Narandra ke rumah sakit saja, saya akan lakukan pemeriksaan ulang, sepertinya jantung beliau kembali bermasalah."
"Baiklah Dok, saya akan bersiap. Dokter duluan saja, biar saya dan istri yang akan mengantar Papa ke rumah sakit."
"Oke, kalau begitu saya duluan. Saya tunggu kedatangan kalian di ruangan pemeriksaan."
Setelah mengantar dokter keluar, Satria pun meminta pelayan untuk menyiapkan pakaian ganti sang Papa yang akan dibawa ke rumah sakit, lalu Satria kembali ke kamarnya untuk mengajak Zahra.
Melihat Satria datang tergesa, Zahrapun bertanya, "Bagaimana kondisi Papa Mas?"
"Bersiaplah Yang, kita akan membawa Papa ke rumah sakit. Dokter akan melakukan pemeriksaan yang lebih intensif di sana."
Zahra pun buru-buru mengganti pakaian, lalu menyambar tas dan menyusul Satria yang sudah duluan turun.
Satria dibantu pelayan memapah sang Papa dan membawanya masuk ke dalam mobil, sedangkan Zahra membawa tas serta perlengkapan lain yang mereka perlukan.
Bersama seorang pelayan merekapun berangkat ke rumah sakit dan selama dalam perjalanan masing-masing diam, sibuk dengan alam pikirannya masing-masing.
Narandra juga tidak mengatakan sepatah katapun, meski dia berterima kasih karena Zahra telah menolong, tapi keputusannya masih tetap sama. Dia ingin Satria menikahi Gladis.
Sepeninggal mereka, Gladis dan mamanya baru keluar dari kamar. Keduanya pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi barusan.
Herlina menghampiri pelayan, lalu bertanya, "Rumah kok sepi Bi? Kakak, Satria dan istrinya pada kemana?"
"Tuan terkena serangan jantung, Nya, dan saat ini Den Satria sedang membawa beliau ke rumah sakit."
"Apa Bi! Papa Narandra terkena serangan jantung?" tanya Gladis sembari mengucek mata layaknya orang yang baru bangun tidur.
"Kenapa tidak ada yang membangunkan kami. Jika tahu, kami pasti ikut menemani Papa ke rumah sakit," ucap Gladis lagi.
"Ya sudah Dis, kamu bersiaplah! kita akan susul mereka. Barangkali Kak Narandra ingin kamu yang menemaninya di sana."
"Dia kan saat ini sedang marah dengan Zahra, jadi cuma bantuanmu lah yang dibutuhkan Kak Narandra sekarang," ucap Herlina dengan percaya diri.
Gladispun mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar untuk berdandan dan menyiapkan pakaian ganti.
Dia sangat yakin jika Narandra bakal menolak Zahra dan akan memintanya untuk menginap serta menjaga Narandra di sana.
Setelah berputar sejenak di depan cermin untuk memastikan penampilannya, Gladispun menyusul Herlina yang sudah menunggu di dalam mobil.
Bersambung....
Sesampainya di rumah sakit, Herlina dan Gladis bertanya kepada suster yang bertugas di bagian pelayanan pasien.
Dan setelah mendapatkan info di mana ruangan rawat Narandra, mereka pun memasang wajah sedih, jika keduanya menyesal kenapa sampai telat mengetahui kejadian yang menimpa Narandra.
Ternyata Narandra baru saja selesai diperiksa oleh dokter ahli jantung yang biasa merawatnya, lalu dia diantar suster kembali ke ruangan rawat.
Herlina yang melihat Satria dan Zahra di luar ruangan datang menghampiri mereka, "Maaf ya Sat, kami baru dengar kabar. Kalian keterlaluan, kenapa tidak memberitahu kami jika Kak Narandra terkena serangan jantung."
"Untung saja selamat, jika terjadi hal buruk kami pasti akan menyesal."
Zahra hanya mencebikkan bibirnya, dia sangat malas melihat kedatangan Herlina dan juga Gladis.
Gladis bergelayut di lengan Satria sambil berkata, "Bagaimana keadaan Papa Kak? Kak Satria yang sabar ya, pasti Papa akan sembuh."
"Hemm," hanya deheman yang keluar dari mulut satria sembari dia melepaskan tangan Gladis dari lengannya.
Satria mendekati Zahra lalu diapun sengaja berkata, "Sayang, kita ke kantin dulu yuk, aku lapar. Mumpung ada Tante di sini, jadi bisa menjaga Papa sebentar sampai kita kembali."
"Baiklah Yang. Oh ya Tan, Gladis titip Papa sebentar ya. Nanti kami bawakan minuman untuk kalian."
"Aku ikut Kak! biar mama yang jaga Papa Andara, toh belum boleh masuk ke ruangan. Nggak apa-apa kan Ma, jika Mama di sini sendiri."
"Pergilah!"
Gladis tersenyum sumringah, sedangkan Satria dan Zahra merasa kesal.
Satria menggandeng lengan Zahra, dia tidak peduli jika Gladis tertinggal di belakang.
"Kak, tunggu aku dong! Kaki ku sakit, aku pakai hak tinggi jadi tidak bisa berjalan terlalu cepat!"
"Kalau begitu, kamu tunggu di situ saja. Nanti kami bawakan makanan dan minuman untukmu. Tenang saja Dis, aku tidak akan lupa. Jangan sampai kakimu terpelekok ya, sayang jika kaki indahmu itu harus pincang nantinya," ejek Zahra, yang makin mempercepat langkah sembari tersenyum kepada Satria.
Satria tahu maksud Zahra dan dia mengikuti permainan sang istri. Bahkan mereka bukannya ke kantin, tapi malah mencari makanan di luar area rumah sakit.
Mereka tertawa saat tiba di sana, lalu Satria memesan makanan yang dia dan Zahra mau.
Sejenak mereka menghabiskan waktu tanpa gangguan siapapun.
Sedangkan Gladis kesal dan marah-marah saat dia tidak melihat keduanya ada di sana. Tadi Gladis memang sempat duduk memeriksa dan memijat kakinya yang sakit.
Akhirnya Gladis kembali untuk mengadu ke sang Mama, dia berharap mamanya akan memberi pelajaran kepada Zahra.
Zahra dan Satria tidak langsung kembali, mereka melihat-lihat dulu aneka dagangan yang terpajang di sepanjang jalan tersebut.
"Mas, balik yuk! barangkali kita sudah boleh menjenguk Papa. Aku penasaran dengan kondisi Papa. Mudah-mudahan saja tidak ada yang terlalu serius."
Satria mengelus puncak kepala sang istri lalu berkata, "Maafkan Papa ya Ra! saat ini mata hati Papa sedang tertutup, hingga beliau tidak bisa melihat kebaikan dan ketulusan hati menantu sepertimu."
Zahra tersenyum lalu dia berkata, "Nggak apa-apa Mas. Ayo kita balik, aku nggak mau kedua nenek sihir itu makin meracuni hati Papa."
"Iya Ra, kamu benar. Terimakasih ya," ucap Satria.
Keduanya kembali ke ruangan rawat Papa Narandra dan untung saja kedua nenek sihir masih menunggu di luar.
Saat mereka tiba, dokter pun keluar dari ruangan dan memanggil Satria untuk memberi penjelasan.
Satria langsung memberikan makanan dan minuman yang tadi mereka beli untuk Herlina dan Gladis, lalu dia menarik tangan Zahra, mengajaknya masuk untuk menemui dokter.
Herlina dan Gladis yang hendak marah jadi terpaksa harus bungkam dan hanya menatap kepergian keduanya dengan perasaan sangat kesal.
Mereka tidak diperbolehkan untuk masuk semua ke dalam. Karena akan membuat pasien terganggu istirahatnya.
Satria dan Zahra dipersilakan untuk duduk, lalu dokterpun mulai menjelaskan tentang kondisi sebenarnya dari Papa Narandra.
Ternyata penyakit beliau bukan hanya jantung, tapi penyempitan saluran paru dan juga ada batu dalam empedunya.
Satria yang cemas, langsung memberondong dokter dengan berbagai pertanyaan seputar penyakit sang papa dan dia menanyakan bagaimana pengobatan yang musti Papanya jalani.
Jika bisa Satria akan membawa Sang Papa keluar negeri agar mendapatkan perawatan terbaik di sana.
Dokter setuju saja, tapi mereka harus menormalkan dulu kondisi Narandra yang sedang drop agar bisa melakukan perjalanan jauh.
"Oh ya Do, apakah Papa bisa bertahan dan kembali pulih Dok?"
"Tergantung semangat dan keinginannya untuk sembuh. Dorongan semangat dari kalian keluarganya juga sangat di butuhkan. Ingat Sat dan kamu Zahra, usahakan agar hati beliau tetap tenang dan senang. Jangan menambah beban pikiran yang berat."
"Iya Dok. Terimakasih atas penjelasannya. Kami sebisa mungkin akan berusaha membuat Papa senang."
"Oh ya, bagaimana dengan usaha kalian untuk mendapatkan momongan, apa sudah ada kemajuan?"
Keduanya menggeleng, karena masalah itulah pemicu utama hingga Narandra jatuh sakit.
"Kalian yang sabar ya, mungkin ini salah satu masalah yang membebani pikiran Narandra."
"Iya, dokter benar. Memang masalah ini pemicunya Dok," timpal Satria.
"Dok, boleh kami minta tolong, Dokter Rajen kan teman dekat Papa, tolong minta papa untuk menarik keputusannya. Aku mencintai Zahra Dok dan kami nggak akan bercerai meski tidak juga diberi keturunan."
"Baiklah, nanti kalau keadaan Narandra mulai membaik, aku akan coba nasehati dia. Sebenarnya sih aku tahu dan faham dengan keinginannya, tapi sebagai orangtua, Natandra juga harus memahami perasaan kalian. Toh semua ini takdir, bukan kemauan kalian."
"Pasti ada hikmah yang baik dibalik cobaan ini. Tapi saya ada saran, kenapa kalian nggak coba program bayi tabung saja?"
"Kalian cari wanita baik dan pinjam rahimnya guna melahirkan anak kalian. Tapi harus dipertimbangkan baik-baik, terkadang setelah melahirkan, sang wanita terlanjur sayang dan nggak mau memberikan bayi tersebut."
"Mungkin itu salah satu solusi agar Narandra tidak memaksa kalian untuk bercerai. Dan diapun bisa tenang serta memiliki harapan untuk mendapatkan penerus."
"Terimakasih Dok atas sarannya, saya memang sempat memikirkan hal itu. Tapi masih mencari waktu yang tepat untuk menyampaikannya kepada Papa. Lagi pula, pasti akan sulit mendapatkan wanita amanah yang mau meminjamkan rahimnya," ucap Satria.
"Inshaallah, saya akan coba bantu memberi pengertian dan menyampaikan solusi ini kepada Papa kamu. Yang terpenting sekarang, kita berusaha dulu untuk memulihkan kondisinya dan kalian juga harus bantu dengan perbanyak doa. Karena cuma Dia yang bisa memberikan kesembuhan untuk hamba-Nya."
"Iya Dok, sekali lagi terimakasih ya Dok. Mudah-mudahan Papa mau mendengarkan perkataan Dokter. Saya takut, emosinya akan naik lagi jika kami yang menyampaikan hal ini."
Satria merasa lega, kini dia memiliki harapan jika sang Papa akan menarik keputusannya. Dokter Rajen tidak akan membiarkan sahabatnya terpuruk dan dia pasti akan membantu sesuai janjinya.
Bersambung...
"Lama amat sih mereka Ma, memangnya kondisi Papa kritis ya Ma?" tanya Gladis yang sudah tidak sabar menunggu Satria keluar dari ruangan dokter.
"Mama juga nggak tahu, barangkali iya. Kita tunggu saja info dari mereka. Kamu makan gih, keburu dingin nggak enak."
"Iya Ma, aku makan dulu deh."
Gladis pun membuka makanan yang di bawakan oleh Satria dan Zahra. Tapi baru satu suap Gladis menjulurkan lidahnya sembari berteriak, "Ma, tolong ambilkan minum, cepat Ma!"
"Kamu kenapa Dis, memangnya makanan itu pedas ya!"
"Gila mereka, bukan pedas lagi Ma, tapi lidahku seperti terbakar."
"Kita diberi makanan seperti ini Ma, semua ini pasti ulah Zahra. Awas kamu Zahra, aku akan membalas perlakuan mu. Sebentar lagi kamu akan aku tendang dari rumah keluarga Narandra!"
"Ini di minum dulu Dis, percuma kamu marah-marah, tidak ada guna. Lebih baik kita cepat susun rencana agar Satria segera menceraikan Zahra."
"Iya Ma, nanti aku akan desak Papa Narandra. Mama bantu Gladis ya."
"Tentu Dis, makin cepat kamu menikah dengan Satria semakin baik. Kamu tahu kan, keuangan Mama semakin menipis, mana papamu nggak pernah transfer uang lagi. Dia sudah terlena dengan bujuk rayu bini muda, makanya melupakan kita."
"Mama sih melarang aku kesana, aku kan bisa berbuat sesuatu untuk mengancam istri muda Papa. Enak saja dia mau berkuasa, dulu saat papa susah kita kan yang memberi dukungan. Nah sekarang orang lain yang menikmati jerih payah kita Ma."
"Sudahlah Dis, kita fokus dengan pernikahan kamu dulu. Jika kita berhasil, apa yang Papa mu miliki sekarang tidak sebanding dengan apa yang bakal kamu dapatkan dari Kak Narandra."
"Iya deh Ma. Ma, lihat itu mereka keluar, tapi mau kemana ya Ma? Kok mereka malah pergi ke arah sana?"
"Biarin deh, sekarang kesempatan kita untuk menjenguk Kak Narandra. Mumpung mereka keluar, kita bisa leluasa. Yuk cepat kita kesana!"
"Ayo Ma!"
Keduanya pun bergegas, masuk ke ruang rawat Narandra. Di sana terlihat Narandra sedang terbaring lemah dengan berbagai alat menempel di tubuhnya.
"Kak," sapa Herlina.
"Papa cepat sembuh dong, Gladis sedih melihat Papa seperti ini," ucap Gladis pura-pura sedih. Diapun menggenggam tangan Narandra untuk memberi dukungan.
Narandra hanya tersenyum karena saat ini hidung dan mulutnya tertutup oleh alat bantu pernapasan. Beliau cuma menggerakkan jari-jemari dan sepertinya ingin merespon apa yang Gladis katakan.
"Kakak jangan banyak pikiran dulu biar cepat sembuh, tapi saran ku Kak, saat ini waktu yang tepat untuk Kak Narandra mendesak Satria lagi."
"Beri Satria pilihan, menuruti kemauan Kakak atau mempertahankan Zahra. Dia pasti takut kondisi Kakak makin ngedrop dan sudah pasti akan menuruti permintaan Kak Narandra."
Saat Herlina mengatakan hal itu, dokter yang baru masuk langsung meminta keduanya untuk keluar.
"Maaf Bu, sebaiknya kalian keluar dulu. Saya akan mengecek kondisi pasien."
"Tapi Dok, kami baru sebentar lho! tolong Dok, izinkan saya menemani Kak Narandra."
"Maaf Bu,besar ini yang terbaik adalah membiarkan pasien untuk beristirahat," ucap Dokter sembari tangannya mempersilakan Herlina dan Gladis untuk keluar.
Sesampainya mereka di luar dokter pun langsung berkata, "Tolong jangan bebani pasien dengan masalah, biarkan pikirannya tenang. Jika terjadi apa-apa, ibu nanti dipersalahkan oleh Satria."
"Iya-iya Dok, kami hanya berniat baik, dokter aja yang nggak tahu bagaimana keinginan Kak Narandra."
"Ayo Dis kita pulang saja! Percuma di sini juga kita tidak diberi izin untuk menjaga Kak Narandra."
"Iya Ma."
Keduanya meninggalkan rumah sakit, sementara Dokter kembali keruangan Narandra.
Ketika beliau mengecek kondisi Pak Narandra tiba-tiba tangannya ditarik dan Pak Narandra minta alat bantu pernapasannya dilepas.
"Biarkan seperti ini dulu Ndra, nanti kamu sesak lagi."
Tapi Narandra berkeras dan ingin membukanya sendiri. Melihat hal itu, dokter pun membukanya untuk sementara.
"Apa yang mau kamu bicarakan Ndra? istirahatlah, kondisimu belum stabil."
"Tolong Jen, nasehati putraku. Aku ingin mempunyai cucu sebelum mati," pinta Narandra sembari menggenggam tangan sahabatnya.
"Kamu jangan pikirkan itu dulu, kamu nggak akan mati, Satria pasti akan memberimu cucu. Aku juga belum punya cucu, tapi aku santai saja, Ndra. Tuhan belum berkehendak, kita bisa apa, selain usaha dan tetap berdoa."
"Anakmu banyak, jadi masih punya harapan, nah aku cuma Satria dan dia keras kepala. Satria tidak mau menceraikan Zahra yang jelas-jelas tidak bisa memberinya anak."
"Kamu juga jangan egois Ndra, Zahra pasti nggak mau ada di posisi seperti ini. Seandainya Zahra itu putri kandungmu dan dia diperlakukan mertuanya seperti kamu memperlakukannya sekarang, bagaimana perasaanmu sebagai ayah Ndra?"
Narandra terdiam, sebenarnya ada rasa iba, tapi dia juga tidak mau jika garis keturunannya terputus.
"Tapi Jen..."
"Aku tahu perasaan mu Ndra. Aku punya saran, bagaimana jika mereka tidak usah bercerai dan mereka pinjam rahim wanita lain untuk melahirkan anak mereka."
"Bayi tabung maksudmu?"
"Iya. Aku sudah membicarakan hal ini kepada Satria dan Zahra, mereka setuju. Tinggal kamu sekarang. Berilah putramu kesempatan untuk mempertahankan rumah tangganya."
"Tapi aku nggak mau jika cucuku lahir dari perempuan tidak baik."
"Ya, aku setuju. Makanya aku menyarankan agar mereka mencari wanita baik yang bersedia untuk itu."
"Kalau gagal bagaimana?"
"Itu terserah kesepakatanmu dengan Satria dan Zahra. Aku hanya bisa beri saran, hindarilah perceraian."
"Seperti yang kita tahu, perceraian memang tidak dilarang dalam agama, namun Allah membenci sebuah perceraian (talak)."
"Jadi perceraian hanya jalan terakhir ketika terjadi permasalahan dan saat semua cara telah dilakukan untuk mempertahankan rumah tangga, namun tetap tidak ada perubahan," ucap Rajen yang berusaha menasehati sahabatnya.
"Baiklah Jen, aku akan ikuti saranmu dan memberi Zahra kesempatan. Tapi jika program bayi tabung ini gagal, dia harus bersedia bercerai dari Satria."
"Dan aku yang akan menentukan siapa wanita yang layak untuk mengandung anak mereka."
"Hemm, itu terserah kamu. Yang terpenting rembukkan semuanya kepada Satria dan Zahra."
"Di mana Satria Jen, aku mau bicara. Tolong panggil Satria ke sini."
"Nanti saja Ndra, sekarang kamu istirahat dulu. Lihatlah, nafasmu kembali sesak. Aku akan pasangkan lagi alat bantu ini. Lagipula saat ini Satria dan Zahra masih ke apotik lain untuk membeli obat mu yang stock di sini sedang kosong," ucap Rajen.
Akhirnya Narandra pun setuju, lalu Rajen memasangkan alat bantu tersebut dan meminta sahabatnya untuk tidur.
Rajen berjanji, setelah Satria kembali dia akan membangunkan Narandra.
Saat melihat sahabatnya bernafas dengan tenang, Rajen pun bersyukur. Dia berharap mudah-mudahan cara yang disarankannya, menjadi solusi terbaik bagi masalah sahabatnya itu.
Rajen meninggalkan ruangan, dia harus mengontrol pasien lain sambil menunggu Satria kembali.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!