Sosok gadis cantik dan anggun tengah duduk manis di dalam mobil. Tubuh mungilnya tampak di apit oleh dua wanita yang tak kalah cantik namun berbeda usia dengannya.
Dia adalah calon mempelai wanita yang akan menikah satu minggu lagi. Wajah cantik itu sama sekali tak menampakkan aura bahagia. Hanya ada wajah menekuk yang jelas terpancar di sana.
“Kakak, kenapa diam terus? Calon pengantin itu di larang melamun, di larang sedih, di larang marah, di larang…”
Helaan napas keluar dari sosok Anatari Camilia. “Ratna, cukup. Ini sudah kesekian kali kamu bicara seperti itu. Kakak tahu, lagian siapa juga yang seperti itu?” Anatari memanyunkan bibirnya.
Adiratna Caitlyn sosok adik yang memang lebih banyak bicara dari pada sang kakak. Dan itu salah satu point yang menurut Adiratna membuatnya lebih dulu laku dari sang kakak.
“Lihat, Bu. Kakak selalu bicara ketus. Makanya jodoh pun harus Ayah yang carikan. Coba sepertiku. Cari sendiri kan mandiri.” Ledeknya pada sang kakak yang hanya diam saja.
Keduanya memang saudara kandung. Namun, keduanya memiliki perawakan yang berbanding terbalik.
“Sudah kalian ini kenapa selalu ribut hal yang sama sih?” Diatmika, sang ibu akhirnya bersuara.
Mereka bertiga tampak menuju ke sebuah butik dimana gaun pengantin akan di tes kembali di tubuh Anatari. Takut jika sampai tidak pas.
“Kenapa harus seperti ini sih pernikahanku? Ke butik saja harus sama ibu dan Ratna. Beda sekali sama pernikahan orang-orang di luar sana.” Anatari bergumam sedih membayangkan jalannya menuju pernikahan sangat tidak sesuai dengan harapannya selama ini.
Menikah dengan pria asing tentu rasanya sangat canggung. Tak ada rasa antusias sama sekali menurutnya.
Bahkan menolak perjodohan pun Anatari tak memiliki kuasa, ia tak berani menolak perintah sang ayah.
“Sudahlah Kakak kalau tidak bahagia hentikan saja. Semua masih ada waktu sebelum terlambat, Kak.” Ratna membisikkan kata itu pada sang kakak.
Sang ibu yang mendengar pun seketika mencubit kecil tangan anak keduanya.
“Ratna, nggak boleh bicara seperti itu. Kamu kok pengaruhi buruk kakak kamu sih?”
Adiratna hanya tersenyum kikuk melihat sang ibu yang menatap tajam padanya. Sementara Anatari acuh dan keluar dari mobil menuju ke sebuah butik. Keduanya pun bergerak mengikuti langkah Anatari.
Sementara keadaan di gedung yang sudah meriah dengan dekor bunga segar tampak memuaskan di mata Carel Damar.
Demi memastikan pernikahan sang anak meriah, pria paruh baya itu segera turun tangan sendiri. Ia tak ingin melewatkan satu momen pun untuh hari bahagia anak pertamanya.
“Seharusnya Ratna bisa menikah dengan megah seperti Tari. Sayang, suami yang ia pilih begitu jauh dari standar. Tapi sudahlah. Yang terpenting Tari bisa merasakan pernikahan seperti ini. Aku sangat bahagia dan tidak sabar menantikan hari bahagia itu. Regi benar-benar menantu idamanku.” Carel Damar tampak begitu mendambakan sang calon menantunya.
Tanpa ia tahu pria yang begitu ia puja saat ini tengah menghabiskan waktunya di ruang kerja dengan beberapa botol wine dan dua orang wanita di ruang kerja itu.
Tampan, mapan, dan begitu berwibawa, tentu saja tak ada yang menyangka jika perilaku Regi begitu di luar dugaan.
Di depan Carel Damar, ia bersikap sangat mahal. Wajah tegas tak pernah ia hias dengan tingkah yang konyol.
Hingga hari yang di nantikan pun akhirnya telah tiba. Pernikahan yang tidak pernah di inginkan kini berlangsung dengan baik. Anatari terus mengembangkan senyum di depan menerima setiap ucapan selamat dari para tamu undangan. Di sampingnya tampak sosok pria tampan bernama Regi.
Bergandengan tangan dengan orang asing sungguh memuakkan, namun Anatari tetap menghormati Regi sebagai suami yang di pilihkan oleh sang ayah untuknya.
"Kak, selamat yah atas pernikahan paksa ini. Semoga kalian bisa saling mencintai secepatnya seperti aku dan Kak Farid." Ratna berbisik saat mencium pipi sang kakak.
Tak ada jawaban dari Anatari untuk sang adik selain anggukan kepala lemas. Ia hanya terus mengembangkan senyum pada semuanya. Melihat wajah bahagia sang ayah dan ibu sudah cukup bagi Tari. Kedua orangtuanya adalah harta yang paling berharga.
"Tari akan mencintai Regi demi kebahagiaan kalian, Ayah, Ibu. Tari sadar selama ini Tari memang cukup sulit menemukan pendamping hidup dan itulah alasan kalian mengadakan perjodohan ini. Semua tentu demi kebaikan Tari." ucapnya dalam hati memandang nanar kedua orangtuanya yang berdiri di samping.
Sejak pertemuan hingga pernikahan berlangsung, belum ada satu kata pun yang Regi keluarkan pada sang istri. Wajah tegas pria itu membuat Tari tak memiliki cukup keberanian untuk menegur sang suami.
Hingga malam pun tiba, akhirnya acara sudah selesai dengan baik. Semua bubar dari ruangan pernikahan itu. Tari berjalan mengikuti langkah kaki sang suami menuju kamar pengantin.
Semua pengantin wanita tentu saja merasa gugup di saat malam pertama mereka. Begitu juga dengan Tari saat ini. Ia benar-benar gugup menyadari kamar yang besar itu hanya berisikan mereka berdua saja.
"Em..." pelan ia membuka bibir namun kembali ia bungkam. Tari ingin menyapa pria ini. Sayang Regi sudah melangkah lebih dulu meninggalkannya ke kamar mandi.
Sejenak Tari menghela napas kasar. "Kenapa dia dingin sekali? Apa aku ada melakukan kesalahan? Tapi selama mengenalnya aku baru sadar tidak belum pernah mendengar suaranya." tutur Tari dalam hatinya.
Melamun adalah jalan yang Tari pilih saat ini. Duduk di sofa depan jendela hotel ia memikirkan apa yang harus di lakukan saat ini. Bahkan Regi saja tak berniat bicara dengannya. Bukankah pernikahan ini sama-sama bukan keinginan mereka? Mengapa harus Tari yang di cueki. Seharusnya mereka bisa bekerja sama.
Hingga larut malam keduanya pun tidur dengan jarak yang cukup di antara mereka. Tari berbaring bersama Regi tanpa ada sentuhan sama sekali.
"Malam ini aku lelah dan ingin istirahat. Jangan banyak bergerak." Suara berat milik sang suami akhirnya terdengar juga.
Tari pun menghela napas kasar. Setidaknya suaminya bisa bicara, pikirnya.
"Baik." jawab Tari apa adanya.
Wanita itu memejamkan mata.
***
"Wah pagi-pagi ada yang keramas. Berapa lama nih kak?" celetuk Ratna saat menyambut kedatangan sang kakak dan kakak ipar di meja makan hotel itu.
Yah semua keluarga rupanya tinggal di kamar yang sudah Regi persiapkan untuk mereka masing-masing. Kikuk Tari hanya bisa menunduk. Tidak mungkin dirinya menjelaskan jika mereka tidak melakukan apa pun dan Tari memang mandi selalu membasahi rambut seperti itu.
"Sayang, jaga bicaramu." teguran lembut Ratna dapatkan dari sosok Farid.
Pria yang selalu bertutur kata hangat pada istri tengilnya itu.
"Ratna itu benar, Farid. Tidak perlu menegurnya. Sebaiknya kau urusi saja pekerjaannmu yang entah kapan majunya." sindiran telak untuk kesekian kali Farid dapatkan dari sang ayah mertua.
Dan lagi ia hanya bisa diam. Ratna menatap kesal pada sang ayah. Istri mana pun tak ada yang terima jika suaminya di rendahkan seperti itu.
Melihat keadaan yang tak kondusif, sontak Diatmika pun angkat suara. "Sudah sudah...ayo makan. Tari ambilkan Regi makan." semua pun kembali fokus dengan makan pagi mereka.
Tari yang semula ceria tampak memajukan bibirnya kesal. Sementara Farid yang dengan sabar tersenyum mengusap punggung tangan sang istri. Memberi isyarat seolah semua baik-baik saja.
Ratna pun juga tersenyum mengiyakan ucapan sang suami.
Baru saja Tari hendak menyuapkan makan ke mulutnya, tiba-tiba saja Regi bersuara. "Ayah, saya ada urusan penting. Kami harus segera pergi lebih dulu." Sopan dari ucapan namun Regi terkesan sangat tak sopan berucap di saat sang mertua baru saja hendak menyuapkan makan ke mulut.
Sontak Carel Damar menghentikan aksi sarapan dan menutup kedua sendok di tangannya. Ia tatap makanan di depannya berganti pada sang menantu.
"Apa tidak bisa sarapan lebih dulu?" tanya Carel Damar saat melihat pergerakan tubuh sang menantu yang hendak meninggalkan meja makan.
"Ini lebih penting, Ayah." ujar Regi tanpa basa basi.
Semua pun sontak terdiam mendengar ucapan tegas sang menantu dari Carel. Sumpah demi apa pun Carel merasa dirinya tak di hargai oleh menantu untuk pertama kalinya.
Namun, demi menjaga harga diri pria paruh baya itu berusaha tampak baik-baik saja. Ia dengan tenang tersenyum dan berucap. "Baiklah, Ayah tahu pekerjaanmu semua sangatlah penting. Jadi pergilah bersama Tari. Semoga kalian segera memberikan ayah cucu." ujar Carel dengan tenang.
Tanpa ia duga ucapan itu terjawab langsung oleh Regi. "Maaf untuk saat ini sepertinya kami belum bisa, Ayah. Perusahaan sedang sangat membutuhkan perhatian dariku. Jadi aku akan sangat sibuk. Urusan anak bisa lain waktu kami pikirkan. Kami permisi." Regi melangkah tanpa menggandeng tangan Tari.
Keduanya pergi meninggalkan meja makan dengan perasaan campur aduk. Regi yang penuh emosional sungguh tidak bisa berlama-lama dengan keluarga sang istri dimana itu artinya ia harus berusaha bersikap tenang dan baik. Sementara Tari tampak merasa kasihan dengan sang ayah yang tentunya merasa sedih mendengar jawaban sang suami.
Bagaimana pun Regi berkata tanpa menjaga perasaan orangtuanya. Namun Tari tetaplah Tari yang hanya diam setidaknya Regi bicara tidak melewati batasnya.
Setibanya keduanya di dalam mobil yang di kemudikan oleh supir, barulah Tari menatap ke sebelah dimana sang suami berada.
"Jika tidak menginginkan kehadiranku, setidaknya hargai sedikit perasaan kedua orangtuaku. Mereka tidak pantas mendapat penolakan kasar darimu." ujarnya yang sontak membuat Regi menatap padanya. Meninggalkan fokusnya pada tab yang ia pegang.
"Aku hanya bicara apa adanya. Aku tidak suka berbasa basi." jawab Regi dingin.
Nada bicara yang terdengar sangat tegas tanpa bantahan, Tari kini mengerti ia tidak bisa melarang sang suami yang keras. Akhirnya hanya diam menikmati perjalanan pagi itu untuk menuju ke sebuah rumah megah milik Regi.
Kepergian keduanya turut menjadi perhatian oleh keluarga yang di tinggalkan. Tatapan kosong dari seorang Carel Damar membuat Diatmika mengusap lembut punggung tangan sang suami.
"Ayah baik-baik saja kan?" tanya wanita paruh baya itu pada sang suami. Carel mengangguk dan kembali memperlihatkan senyuman di wajahnya.
"Yah. Ayah baik-baik saja dong, Bu. Tari menikah dengan pria mapan dan tepat. Memang itu konsekuensi yang harus Ayah terima. Regi orang penting dan waktunya akan sangat padat." jawabnya sedikit melirik Farid yang menikmati makan pagi itu dengan lahap.
Meski di dalam hati yang terdalam Farid sedih sekali. Sekali saja dirinya tak pernah di pandang oleh sang mertua. Beruntung memiliki istri seperti Ratna yang ceria selalu mampu menghilangkan sedih itu. Ratna mencintai Farid dengan sangat besar.
"Kak Farid masih mau tambah lagi tidak?" tanya Ratna yang sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
Namun, Farid menjawab dengan gelengan kepala saja.
"Sudah cukup, Sayang." jawabnya singkat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!