Assalamualaikum para readers semuanya. Ketemu lagi sama Author. Ini novel menceritakan kisah perjalanan cinta Amira dan Alam. Novel ke delapan Author, mohon dukungannya ya dan semoga kalian suka
Novel ini tak kalah seru loh dari cerita Filosofi Alin.
Selamat membaca!!!!
.
Bandara Soekarno Hatta ...
01 Januari 2015 ....
Seorang gadis cantik turun dari pesawat dengan anggunnya. Semilir angin membuat rambut hitamnya melambai-lambai indah. Kaca mata hitam menghiasi hidung mancungnya. Dengan senyum yang mengembang di bibir seksinya.
Gadis itu menghirup udara sebanyak-banyaknya seakan ia sedang melepas beban berat yang ada di pundaknya. Atau gadis itu sudah sangat kangen dengan negara tercintanya.
"Welcome Indonesia!"
Empat tahun sudah ia meninggalkan Indonesia demi menyelesaikan studinya di London.
Entah benar-benar menyelesaikan studinya atau sedang mencoba melupakan seseorang yang sejak dulu terlukis indah satu nama di hatinya.
"Kak Rara!"
Pekik kan seseorang membuat gadis itu menoleh lalu tersenyum melihat siapa yang sedang melambaikan tangan padanya.
Gadis itu merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan adik sepupu yang sudah sangat besar, bahkan jauh lebih cantik dari sebelumnya.
"Kak Rara, kenapa baru pulang sekarang. Empat tahun kakak gak pulang-pulang!"
Kesal Aurora pada kakak sepupu nya, yang kuliah di London. Bahkan hari libur pun Amira tak mengambil libur sama sekali.
"Anak nakal, kenapa baru pulang sekarang!"
"Ayah!"
Pekik Amira antusias melihat sang ayah dan sang mama berjalan menghampirinya.
Amira kira ke dua orang tuanya benar-benar marah akan dirinya yang memilih tak pulang-pulang ke tanah air.
Ada alasan yang membuat Amira tak pulang, entah alasan apa hanya ia yang tahu.
Jek memeluk putri semata wayangnya dengan penuh kerinduan. Begitupun Melati, bahkan Melati menitikkan air mata karena bisa melihat putrinya lagi.
Ya, selama empat tahun ini Amira tak pulang bahkan melarang kedua orang tuanya berkunjung dengan alasan biar dirinya kuat tak merengek untuk kembali pulang dan tak melanjutkan studi nya.
Entah karena alasan itu atau ada alasan lain, tentunya hanya Amira sendiri yang tahu.
Amira melanjutkan studi nya di London bersama Bunga, sahabat dari bangku SMA nya.
Tapi, Bunga istirahat selama dua tahun karena hamil dan melahirkan. Ya, Bunga sahabat Amira sudah menikah dengan Raja, temen sekelasnya dulu. Dan, bahkan Raja juga kuliah di universitas yang sama.
Amira pulang terlebih dahulu karena studi nya sudah selesai. Sedangkan Bunga masih di Landon karena studi dua tahun lagi.
Rasanya Amira sudah kangen tanah air, dimana tempat ia di lahir kan.
Jakarta dari dulu memang panas dan macet. Namun, tak membuat Amira melupakan kita kelahirannya. Walau bagaimanapun Amira mencintai Jakarta, Indonesia.
Empat tahun Amira meninggalkan Indonesia, tak ada banyak yang berubah sepertinya tetap masih sama seperti dulu. Walau begitu, tetap ada sebagian yang berubah.
Seperti jalan yang sudah di perbaiki, pedagang kecil menjadi punya ruko sendiri. Bangunan-bangunan sederhana menjadi lebih mewah.
Ternyata perubahan zaman membuat era kita juga berubah.
Amira terus menempel pada sang mama, bahkan tak mau melepaskan lengannya.
"Ayah nyetir sendiri?"
"Iya dong,"
"Kenapa tidak suruh Fatih saja!"
"Diakan sibuk di kantor, ayah juga memang sengaja jemput kamu. Habis ini kali pertama kamu pulang ke tanah air!"
"Terus, ini bocah kenapa bisa ikut ayah dan mama!"
"Bukan ikut, tapi kabur dari rumah. Biasa masalah kuliah!"
Amira menatap adik sepupu dengan tajam membuat Aurora menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kenapa?"
"Sudah sayang, nanti saja bahas nya. Sekarang ceritakan gimana kuliah di sana?"
Tanya Melati mengalihkan pembicaraan karena Melati ingin tahu apa saja aktivitas sang putri di sana.
"Asik, di sana juga banyak orang Indonesia. Mereka baik-baik, dan hari Rara menyenangkan!"
Jawab Amira dengan mata berbinar sambil mengingat momen kuliahnya di London.
Melati sangat senang jika putri ya juga senang. Pantas saja Amira tak mau pulang ke Indonesia nyatanya ia menikmati kuliahnya di sana.
Anak nakal satu ini sungguh membuat Melati cemas sepanjang waktu karena putrinya jarang menelepon juga.
"Mama tahu, Rara sebenarnya masih ingin berada di sana. Sampai musim dingin, menghabiskan waktu bersama Bunga!"
Celoteh Amira dengan senyuman yang mengembang seakan ceritanya benar-benar sangat menyenangkan.
"Tapi, semua itu gagal, ayah gak ngerti anak muda!"
Amira menjadi kesal ketika mengingat sang ayah memaksanya pulang sesudah wisuda. Bahkan bibir Amira mengerucut bak Tutut membuat Jek yang sedang menyetir terkekeh. Ternyata putri ya masih sama seperti dulu, selalu merajuk jika ada sesuatu yang tak di sukai.
"Bukan gak ngerti sayang, kamu sudah sangat kangen. Siapa suruh kamu gak balik-balik. Mama setiap hari merengek minta menyusul."
"Aisstt, kan sesuai perjanjian, Rara lima tahun di sana. Harusnya satu tahun lagi,"
"Jadi sekarang pulang nyesel nih!"
Goda Melati pura-pura marah membuat Amira semakin bergelayut manja di lengan Melati.
"Enggak gitu mah, Rara kangen mama. Tapi, kan itu sudah perjanjian. Malah mama sendiri yang setuju!"
"Ya .. ya .., mama pikir mama gak akan se rindu ini!"
Aurora memanyunkan bibirnya, dari tadi dia diam sendiri tak di ajak mengobrol. Kalau begini, Aurora menyesal sudah kabur dari rumah.
"Kalian jahat, masa Rora dari tadi gak di ajak ngobrol,"
Amira, Melati dan Jek tertawa melihat Aurora merajuk.
"Nanti ngobrol nya, sekarang sudah sampai ayo turun!"
Aurora semakin kesal, uncle nya ini sungguh ngeselin.
Amira menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil merentangkan tangan melihat rumahnya. Lalu Amira bak anak kecil berlari menaiki anak tangga karena sudah merasa rindu dengan suasana rumah.
Empat tahun ia meninggalkan rumah dan kedua orang tercintanya. Tak ada yang berubah dari rumah yang terakhir Amira tinggalkan. Masih sama, seolah Melati tak mau menggantinya.
Amira duduk di shopa sambil menyandarkan punggungnya dengan tangan di rentangkan.
"Aistt, kakak jahat. Masa gak bantuin Rora, berat tahu!"
Kesal Aurora membawa tas Amira yang Amira tinggalkan di Mobil dan malah keluar begitu saja tanpa membawa apa-apa.
Amira terkekeh melihat adik sepupu yang cemberut dari tadi.
"Sini!"
Suruh Amira sambil menepuk shopa, agar Aurora duduk di sampingnya.
"Sudah, jangan cemberut kaya bebek. Nanti ceritain sama kakak kenapa pergi dari rumah!"
"Sayang, kamu istirahat, nanti malam mama panggil buat makan malam!"
Suruh Melati karena putri ya pasti butuh istirahat setelah perjalanan 14 jam di pesawat.
"Baik mah,"
Amira menarik lengan Aurora mengajaknya ke kamar. Sambil membawa tas kecilnya yang selalu melingkar di pundaknya.
"Welcome my room!"
Girang Amira sambil membuka pintu kamarnya. Amira langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang yang begitu ia rindukan.
"Kakak ngeselin banget sih, dari tadi girang sendiri!"
"Kakak kangen suasana ini dek,"
"Oh iya, kakak mandi dulu ya gerah. Nanti harus ceritain sama kakak,"
Ucap Amira langsung mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
Aurora lagi-lagi di buat cemberut karena kesal akan tingkah kakak sepupu nya.
"Amira Putri Jacob Prayoga!"
Geram Aurora tertahan melihat kakaknya dengan bernyanyi ria masuk ke dalam kamar mandi tanpa peduli dirinya.
Bersambung ..
Jangan lupa Like, Hadiah, komen, dan Vote Terimakasih ...
Acara makan malam pun sudah selesai. Amira dan kedua orang tuanya berkumpul di ruang keluarga.
Amira menceritakan semua aktivitas dan keadaannya di sana.
Gelak tawa terdengar di ruang keluarga begitupun Aurora menikmati suasana di keluarga Prayoga.
Setidaknya Aurora bisa menghindari percakapan kuliahnya. Yang sebenarnya Aurora ingin kuliah di Jepang, tapi kedua orang tuanya menolak keras.
"Aurora sayang, bisa bantu aunty sebentar?"
"Bisa Aunty!"
Aurora mengikuti langkah Melati menuju dapur. Dimana, posisi dapur agak jauh dari ruang keluarga.
Kini tinggal Jek dan Amira saja di ruang keluarga. Sepertinya ini waktu pas bagi Amira menanyakan kenapa sang ayah kekeh memintanya pulang. Padahal, ada sesuatu yang harus Amira selesaikan terlebih dahulu. Tapi, desakan sang ayah memintanya pulang membuat Amira mau tak mau ia harus balik.
"Ayah, sebenarnya ada apa. Apa ada sesuatu yang mendesak hingga membuat ayah dan mama menyuruh Rara pulang?"
Tanya Amira cepat, ke ingin tahuan nya membuat Amira tak sabar bertanya. Apa alasannya, kenapa ia harus pulang cepat tak sesuai dengan perjanjiannya.
Jek menghela nafas berat menatap putri semata wayangnya. Tatapan Jek seperti itu membuat Amira merasa cemas. Apa benar, ada sesuatu yang mendesak hingga membuat ayahnya memaksa pulang.
"Ayah, jangan seperti itu! membuat Rara takut!"
Jek tersenyum mendengar penuturan putrinya. Apa wajahnya se menyeramkan itu, pikir Jek.
"Sini duduk dekat ayah!"
Amira dengan perasaan was-was duduk di samping Jek. Tak biasanya sang ayah memasang wajah aneh seperti itu. Karena Jek bukan tipikal orang yang selalu menunjukan keluh kesahnya.
"Sayang, usia ayah sudah semakin tua. Dua tahun lalu kakek dan nenek meninggal. Ayah ingin kamu me --"
"Stop ayah! apa ayah menyuruh Rara menikah muda. No, ayah, Rara baru lulus kuliah dan Rara ingin pengalaman bekerja dulu!"
Jek menghela nafas berat ketika putrinya memotong pembicaraannya. Se takut itukah Amira tentang pernikahan. Bahkan Amira sekarang benar-benar memasang wajah panik.
"Sayang, jangan memotong ucapan ayah, itu tak sopan!"
"Maaf ayah, tapi Rara belum siap jika menikah tahun-tahun ini!"
Sesal Amira, dia tahu apa kesalahannya. Memotong ucapan sang ayah itu tak boleh. Apalagi sampai ngegas.
Amira menunduk merasa bersalah, membuat Jek menghela nafas berat. Sepertinya putrinya masih sama seperti dulu, belum ada perubahan.
"Sayang, dengarkan ayah baik-baik dan jangan potong ucapan ayah sebelum ayah selesai bicara!"
Tegas Jek, seperti nya Jek harus sedikit keras pada putri semata wayang ya.
Amira hanya mengangguk saja, patuh akan perintah sang ayah.
"Ayah bukan ingin menikahkan Rara, tapi alasan ayah meminta Rara kembali. Karena sudah waktunya Rara menggantikan ayah di perusahaan!"
"Apa!"
Pekik Amira terkejut bahkan suaranya sampai ke dapur. Tapi, Aurora hanya diam saja karena Melati sudah memberi tahunya. Kalau Jek sedang membicarakan hal serius dengan Amira.
Amira sungguh tak menyangka dengan keputusan sang ayah. Bagaimana bisa sang ayah memintanya dirinya memegang kendali perusahaan. Sedangkan dari dulu Amira tak berminat memegangnya. Amira punya cita-cita sendiri, bukan ingin menggantikan sang ayah di perusahaan.
"Yah, sudah berapa kali Rara bilang, Rara gak mau. Rara ingin membuka usaha Rara sendiri di bidang kecantikan bukan properti dan perhotelan!"
Tegas Amira menolak keras, ternyata benar apa yang Amira takutkan. Sang ayah menyuruh ia pulang karena perusahaan.
"Nak, kamu putri ayah satu-satunya, jika bukan kamu siapa lagi."
"Tapi yah!"
"Dengarkan ayah, ayah sudah tua dan perusahaan juga sedang mengalami masalah. Ayah tak bisa memegangnya sendirian. Ayah butuh kamu membantu ayah di perusahaan sebelum kamu benar-benar memegang nya!"
Jelas Jek berharap putrinya mengerti, karena dia tak bisa memegang semuanya di usia dia yang sudah tua.
Amira terdiam bingung harus memutuskan apa. Amira tak mau menggeluti perusahaan sang ayah karena itu bukan minatnya.
Amira ingin sekali lagi menolak, namun melihat wajah ayahnya yang kacau membuat Amira tak enak hati.
Apakah ia bisa membantu sang ayah, atau dia malah menghancurkannya.
Lama ayah dan anak itu terdiam dengan pikirannya masing-masing.
Seketika, ide gila muncul dari benak Amira. Entah sadar atau tidak Amira tersenyum membuat Jek yang melihatnya bergidik ngeri. Ada apa dengan Amira kenapa tiba-tiba malah tersenyum. Jek berharap putrinya gak kerasukan jin, kalau sampai itu terjadi Jek bingung harus mengobatinya dengan cara apa.
"Rara mau membantu ayah tapi, dengan satu syarat!"
Jek menautkan kedua alisnya menatap selidik pada putrinya. Kenapa cepat sekali berubah. Biasanya Jek akan sulit membujuk putrinya bahkan harus berminggu-minggu.
"Bagaimana yah!"
Ucap Amira bernegosiasi dengan senyum cerah di bibirnya. Entah apa yang sedang Amira rencanakan. Sepertinya bukan hal yang bagus.
"Katakan, apa syaratnya!"
Pasrah Jek, seperti Jek akan kalah lagi berdebat dengan putrinya.
"Izinkan Rara bekerja di perusahaan Q.B Grup!"
Jek melotot tak percaya dengan apa yang putrinya katakan. Sungguh syarat konyol apa yang sang putri katakan. Kenapa tidak langsung bekerja saja di perusahaan nya. Toh, sama saja. Kenapa harus di Q. B grup, perusahaan yang di dirikan Farhan yang menggeluti bidang Multinasional dan otomotif.
"No sayang, ayah gak setuju!"
"Satu tahun ayah, itung-itung mengganti satu tahun di London!"
"Tapi sayang!"
"Ayah, Rara gak mau tiba-tiba masuk ke perusahaan ayah dengan jabatan enak. Apa kata orang nanti, Rara gak mau di rendahkan. Rara ingin cari pengalaman dulu dan membuktikan kalau Rara mampu dan berhak mendapatkan jabatan itu!"
Jelas Amira, dia ingin mendapatkan pengalaman kerja dulu.
Jek hanya terdiam mendengar penjelasan putrinya. Walau penjelasan putrinya ada benarnya juga. Namun, detik berikutnya Jek menatap Amira intens.
"Kenapa gak di perusahaan induk saja!"
"No, di sana sudah ada Fatih. Yang ada Rara gak konsen bekerja karena pasti sering protes!"
Jek membenarkan saja karena Amira pasti akan melawan jika bekerja dengan Fatih. Apalagi usia mereka hampir sama. Dan tentu, Amira bukan fokus kerja tapi dia pasti meminta kerja yang ringan-ringan saja.
Tapi, kenapa harus bersama Alam!
Ya, perusahaan Q.B Grup di pimpin oleh Laskar Sky Mangku Alam, adik kandung Queen.
Laki-laki dingin dan kaku!
Jek menimbang-nimbang mungkin cocok juga jika Amira bekerja dengan Alam. Apalagi Alam selalu proposional dalam bekerja. Alam tak memandang itu saudara atau teman dalam pekerjaan. Sepertinya memang cocok untuk Amira yang manja.
"Ok, satu tahun dan ayah pegang janji itu!"
"Deal!"
Jek mengangguk saja karena pasti dia akan kalah lagi jika berdebat dengan putrinya.
Sedangkan Amira bersorak ria karena sang ayah yang menyetujuinya.
Amira tersenyum seringai, sepertinya aksinya akan di mulai.
Tunggu aku Om!
Batin Amira tak sabar bertemu dengan Om nya yang super duper dingin.
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen, dan Vote Terimakasih ...
"Sayang, kenapa memberi izin pada Rara bekerja di sana?"
Protes Melati tak setuju dengan syarat yang Amira ajukan.
Sia-sia selama ini usaha Melati jika pada akhirnya Amira malah bekerja di sana.
"Mau bagaimana lagi sayang, Amira hanya meminta satu tahun saja. Yang penting nanti Amira mau memegang perusahaan,"
"Tapi kenapa harus di Q.B Grup bukan F.B Grup!"
"Tunggu sayang, kenapa kamu semarah itu. Apa ada sesuatu!"
Selidik Jek bingung, tak biasanya istri ya protes.
"Tidak! tapi bukankah Rara tak menyukai otomotif, atau kenapa gak di perusahaan B.B Grup saja yang cocok dengan cita-cita nya!"
"Kalau di B.B grup aku gak setuju, perusahaan itu ada di Jerman yang di pegang om Fandi, jauh lagi!"
"Kenapa sih, malahan itu bagus. Apalagi perusahaan kita juga sedang kerja sama dengan Q.B grup. Biarkan Amira mempelajari di sana!"
"Tap--"
"Sudah sayang, kamu itu aneh. Bukankah sayang yang ingin Amira pulang, jika aku mengubah keputusan dia malah senang jika bekerja di Jerman. Apa kamu siap jauh lagi dengan Amira!"
Melati terdiam, benar kata suaminya. Ini keinginan dia Amira pulang. Jika Amira pergi lagi, Melati tak bisa jauh lagi dari putrinya.
Tapi kenapa harus Q.B Grup gak yang lain, Melati kurang setuju jika putrinya bekerja di sana.
Melati hanya takut sesuatu terjadi, namun Melati juga tak berani bercerita pada suami nya. Melati takut Jek tidak akan percaya sebelum ada bukti.
Jek semakin heran dengan perubahan istrinya, bahkan sekarang malah melamun.
"Sayang, kenapa jadi melamun?"
"Gak, aku hanya tak menyangka, putri manja kita sudah dewasa!"
"Ya, sekarang ayo kita tidur!"
Melati mengangguk saja lalu berbaring memeluk tubuh Jek. Melati menyandarkan kepalanya di dada bidang Jek. Tempat paling ternyaman yang Melati miliki.
.
Sedangkan di kamar, Amira terus saja tersenyum.
Ini gila, namun Amira tak bisa mencegah hatinya untuk terus mendekat.
Amira sudah berusaha tiga tahun belakangan ini mencoba membuka hati. Namun, tak bisa. Terlalu sulit bagi Amira menghapus satu nama di hatinya.
Ini gila benar-benar gila. Tapi, bukankah cinta tak bisa di cegah. Ia hadir tanpa Amira minta, walau Amira tahu dia sudah menyakiti cinta lain.
Amira melirik Aurora yang sudah tidur setelah Aurora tadi bercerita.
Amira merebahkan tubuhnya di samping Aurora. Namun, belum sempat Amira merebahkan tubuhnya ponselnya berdering.
Bunga, nama itu tertera di layar ponsel canggih Amira. Amira menghela nafas berat, Amira yakin Bunga pasti akan mengomel padanya.
"Ya ampun Ra, kau gila. Kenapa pulang gak bilang-bilang sih. Bahkan kau tak pamit juga pada Moreo. Dari tadi dia nanyain kamu terus tahu. Apa yang kamu pikirkan, jangan membuat sesuatu yang akan menyakitimu!"
Amira menjauhkan ponselnya dari telinganya mendengar Omelan dari sahabatnya yang terus nyerocos tak ada jeda. Sudah Amira duga, Bunga pasti akan marah padanya.
"Katakan apa yang membuatmu kembali, bukankah waktumu satu tahun lagi. Aku bingung harus menjawab apa pada Moreo,. kau ini membuatku pusing saja. Katakan ada apa, jangan buat hal gila, Ra!"
Ancam Bunga merasa takut sahabatnya melakukan hal gila yang akan merugikan dirinya sendiri dan tentu akan menyakiti Moreo.
Sendari dulu Moreo berjuang hanya ingin mendapati hati Amira. Hingga satu tahun lalu Amira mencoba membuka hati untuk Moreo. Namun, nyatanya gagal, semuanya tak semudah yang Bunga katakan.
"Sayang nya Aku sudah membuat keputusan gila, Bunga!"
Pada akhirnya Amira mulia bersua membuat Bunga di sebrang sana melotot tak percaya. Bagaimana mungkin Amira akan sebodoh dan sekejam itu pada Moreo.
"Ra jangan gila!"
"Tapi aku sudah gila sejak dulu, kamu tahu itu!"
"Tapi Moreo bagaimana, Ra. Kamu akan menyakiti nya,"
"Lebih baik sekarang aku menyakiti dari pada dia terus tersakiti. Aku gak bisa Bunga aku gak bisa. Itu terlalu sulit bagiku, aku sudah mencoba kamu tahu itu. Tapi, hasilnya gagal!"
"Ra,"
Berkali-kali Bunga menghela nafas berat di ujung sana bahkan Amira tahu bagaimana cemasnya Bunga akan dirinya.
Empat tahun bukan waktu yang mudah bagi Amira melupakan semuanya. Semakin Amira mencoba melupakan maka hati Amira semakin sekarat.
"Kau memang keras kepala, Ra!"
"Aku akan menelepon Moreo setelah ini!"
"Dia menyusul mu balik, mungkin sekarang sudah ada dalam pesawat!"
Deg ...
Amira terdiam dengan hati bergemuruh, bahkan pikirannya menjadi kacau.
Apa keputusan Amira sudah benar, memperjuangkan cintanya dan menyakiti hati lain. Atau Amira harus pura-pura menerima orang lain walau harus menyakiti dan membohongi dirinya sendiri.
Dua-duanya sangat menyakitkan bagi Amira. Tapi Amira tak mau terus menyakiti Moreo terus dan membohongi dirinya sendiri. Kalau sampai saat ini Moreo belum bisa menghapus nama Alam di hati Amira walau sedikit pun.
Lantas apa yang harus Amira lakukan, semuanya sulit untuk Amira lakukan.
Jika Moreo menyusulnya, Amira harus benar-benar siap untuk mengakhiri semuanya.
Ya, itu keputusan yang sudah Amira buat, dan ia tak akan pernah menyerah begitu saja. Sampai di mana waktu yang menyuruh Amira berhenti.
"Ra, Amira!!!!"
Teriak Bunga di sebrang sana karena tak mendengar suara Amira. Bahkan nafas Amira saja Bunga tak mendengarnya. Jika saja studi nya sudah selesai Bunga pasti akan meminta Raja untuk mengantarkannya kembali ke Indonesia. Guna menemani sahabatnya itu. Tapi, Bunga bisa apa, dia tak bisa apa-apa selain memperingati sahabatnya itu.
"Bunga, aku tutup dulu teleponnya. Sampaikan salamku pada Sekar, aku menyayanginya!"
Tut ... Tut ...
Amira langsung mematikan teleponnya tanpa mempedulikan teriakan Bunga di sebrang sana.
Ini sudah jadi keputusan Amira, maka ia harus sanggup menanggung resiko nya. Apapun yang terjadi kedepannya Amira tak akan pernah mundur lagi. Ia sudah sejauh ini melangkah dan tak mungkin mundur kembali.
"Maafkan aku Moreo!"
Gumam Amira sambil meletakan ponselnya.
Amira tahu, Moreo dari dulu mengejarnya, namun bukankah hati tak bisa di paksakan. Amira sudah mencoba memaksa hatinya untuk Amira berikan pada Moreo. Namun, nyatanya hasilnya tetap sama.
Amira tak bisa mencintai Moreo, Amira hanya menganggap Moreo sahabatnya dari dulu sama seperti Rangga dan Raja, tak lebih dari itu.
Sejauh ini Amira sudah melangkah dan menuruti semua apa yang di katakan sang mama. Tapi, bolehkah sekarang Amira egois, untuk sekedar mengejar apa yang dia inginkan.
Amira berusaha memejamkan kedua matanya, berharap hari esok adalah hari yang baru baginya. Hari yang akan mengubah hidupnya.
Entah kehidupan rumit atau mudah yang akan Amira lalui selanjutnya.
Amira sudah bertekad, ia akan mengejar apa yang seharusnya jadi miliknya.
"Tunggu Rara, Om!"
Gumam Amira dengan mata terpejam, seolah Amira sedang bermimpi dalam tidurnya.
Bersambung ..
Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!