Siang itu suara tangis pecah di sebuah ruangan ICU, ketika seluruh keluarga menyaksikan tubuh Dini terbujur kaku tak bernyawa. Gadis itu mengalami kecelakaan dengan luka parah di area kepala. Dini di rawat di Rumah Sakit sejak dua hari lalu. Sebelum meninggal, dia sempat berpesan untuk mendonorkan hatinya kepada sahabatnya yang bernama Gita.
Gita menderita kanker hati dan harus di angkat hatinya, agar kanker itu tidak menjalar ke seluruh tubuh.Karena merasa bahwa hidupnya tidak akan bertahan lebih lama, maka Dini mengambil keputusan untuk mendonorkan hatinya untuk Gita, jika nyawa dia benar benar tidak bisa di selamatkanMengingat semua pesan terakhir itu, dengan terpaksa keluarga Dini harus merelakan tubuh Dini di robek dan di ambil hatinya untuk di donorkan kepada Gita.
Banyak yang keberatan dengan keputusan Dini, karena keluarga Dini dan juga kekasih Dini yang bernama Dewa, tidak begitu menyukai kepribadian Gita yang berantakan. Gadis yang berpenampilan dan bersikap tomboi. Kurang sopan santun dan suka kelayapan.Namun, Gita adalah sahabat terbaik Dini karena di balik penampilannya yang acak acakan, Gita adalah gadis yang baik hati, suka menolong dan jujur.
Setelah di lakukan pendonoran hati tersebut, jenazah Dini di pulangkan untuk di kebumikan. Banyak hati yang hancur mengantar kepergian Dini ke tempat peristirahatan terakhirnya. Terutama Dewa, lelaki yang selama dua tahun terakhir menjadi kekasih Dini dan berencana akan menikahi wanita pujaannya satu bulan lagi. Namun sayang, sebelum semua itu terwujud, Dini lebih dulu di panggil yang Maha Kuasa.
Di lain tempat, tubuh seorang gadis juga terkulai lemas di ruangan salah satu Rumah Sakit. Gita yang baru saja menjalani operasi donor hati dari sahabatnya masih belum di perbolehkan banyak bergerak. Gadis itu sendiri berada di ruangan tersebut, hingga setelah beberapa jam dia sadarkan diri pasca operasi, barulah seorang wanita muncul menemuinya.
Dia adalah ibu kandung Gita yang sudah lama berpisah karena perceraian. Sementara ayah Gita menghilang entah kemana bersama istri barunya. Gita tinggal bersama sang nenek, tapi tiga tahun lalu neneknya meninggal, sehingga Gita tinggal seorang diri di rumah peninggalan almarhum neneknya. Itulah penyebab mengapa kehidupan Gita terlihat liar dan tidak teratur. Dia kurang kasih sayang dan perhatian keluarga, bahkan saat dia di vonis mempunyai kanker hati, hanya Dini yang tahu tentang hal itu.
"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Gita kepada ibunya dengan ketus.
Wanita itu menangis dan ingin merangkul Gita, tapi dengan segera gadis itu menepisnya.
"Pergilah, aku tidak mau bertemu lagi denganmu. Urusi saja keluarga barumu dan juga anak anak mu yang lain!" Gita justru mengusir ibunya.
Berkali kali mendapat penolakan, akhirnya ibu Gita pergi meninggalkan ruangan dengan tangis tanpa mampu berkata kata. Setelah sang ibu keluar dari ruangannya, Gita merasa sedikit nyeri di hatinya.
"Awww..." gadis itu merintih sambil memegangi dada. Setelah merasa tak mampu menahan nyeri tersebut, Gita memanggil perawat yang berjaga di ruangan itu.
Seorang perawat bergegas memberi tahu Dokter, lalu beberapa menit kemudian seorang wanita berjas putih nampak berjalan menghampiri Gita.
"Kami akan memberi suntikan anti nyeri" tukas sang Dokter.
"Tapi rasanya sakit sekali Dok, sakitnya berbeda." sahut Gita.
"Berbeda? Apa maksudnya?" tanya Dokter tersebut.
"Sakit sekali Dok, ini seperti rasa sakit hati karena kehilangan. Sakit karena tersayat, dan perihnya begitu menusuk kalbu. Bahkan aku ingin menangis, tapi aku nggak tahu apa yang membuatku menangis?" ungkap Gita sambil berlinang air mata.
Sejenak Dokter itu terdiam dan berpikir. Dan setelah beliau merasa menemukan satu pemikiran, Dokter tersebut kembali bersuara.
"Apa kamu mengenal siapa pendonor hati untuk kamu?"
"Kenal Dok, dia sahabat baik saya." jawab Gita.
"Kamu pasti tahu kehidupannya, mungkin dia memiliki pasangan yang saat ini begitu kehilangan dirinya, sehingga telepati itu kamu rasakan di hati kamu" tukas sang Dokter.
"Pasangan? Dewa?"
Hati Gita seketika bergetar ketika mendengar nama Dewa. Dia merasakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Jika awalnya Gita sering mengumpat jika membahas pria itu, kini dia justru merasa rindu.
"Kenapa? Apa hati kamu semakin terasa sakit?" tanya sang Dokter.
"Ti_ti dak Dok, saya hanya ... saya hanya sedang merindukan seseorang." tukas Gita sambil terus memegangi hatinya.
"Rindu? Pada siapa? Apa pihak Rumah Sakit perlu menghubungi dia?" Dokter itu kembali bertanya.
"Entahlah Dok, dia pasti tidak akan mau datang ke sini karena kita saling membenci. Tapi entah mengapa aku begitu merindukan dia? Apa mungkin karena dia adalah kekasih dari pemilik hati ini?" ungkap Gita dengan tatapan mata kosong.
Dokter itu diam sejenak, lalu beberapa detik kemudian dia kembali bersuara,
"Ini bukan masalah medis, jadi kami tidak bisa memberi obat atau tindakan apapun."
"Iya Dok, saya mengerti. Kapan saya boleh pulang Dok?" tanya Gita.
"Jika kondisi anda sudah pulih dalam dua hari lagi, maka anda sudah di perbolehkan pulang. Tapi jika dalam dua hari kondisi anda masih belum pulih, maka anda masih perlu di rawat lagi." Wanita berjas putih itu memberi penjelasan.
"Baik Dok, terima kasih." sahut Gita sambil mengatupkan kedua tangannya menghadap ke Dokter.
Tiga hari kemudian ternyata kondisi kesehatan Gita sudah membaik, dan hal itu membuat dia di perbolehkan untuk pulang dengan tetap melakukan pengobatan rawat jalan pasca operasinya. Satu tempat yang ingin di tuju Gita ketika sudah keluar dari Rumah Sakit adalah makam sahabatnya Dini.
"Din, kenapa harus kamu yang pergi dari dunia ini? Harusnya aku. Jika aku pergi, maka tidak akan ada hati yang terluka dan merasa kehilangan, tapi jika kamu yang pergi, semua merasa terpukul.
Terima kasih ya Din, kamu udah mendonorkan hati untukku. Jika saja kamu tidak mendonorkan hatimu untukku, mungkin saat ini makam kita akan berdampingan Din..." ucap Gita sambil meneteskan air mata. Gadis yang terbiasa terlihat tomboi dan acak acakan itu ternyata juga bisa rapuh jiwanya.
Dia duduk lama di dekat makam sahabatnya. Dia sampaikan keluh kesah yang dia alami, termasuk juga getaran yang dia rasakan tentang Dewa.
"Din, apa karena kamu adalah pemilik hati ini, sehingga aku merasa rindu kepada Dewa? Padahal kamu tahu kan, jika aku dan Dewa bagaikan air dan minyak yang selalu berlawanan, tapi mengapa sekarang aku merasakan getaran lain? Jawab aku Din, aku masih butuh kamu. Kamu adalah satu satunya sahabat baikku...." Gita menumpahkan tangis di bawah batu nisan sahabatnya yang telah mendonorkan hati untuk dirinya.
Hari semakin gelap, Gita bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan makam Dini. Dengan langkah berat dia berjalan pulang hingga akhirnya di tengah tengah perjalanan, dia kembali merasakan getaran lain di hatinya yang terasa begitu menusuk.
"Astaga, Dewa. Kenapa aku begitu merindukan kamu?" ucap Gita sambil memejamkan mata.
Gita berusaha menahan perasaan yang ada di hatinya, tapi dia tidak mampu. Malam itu dia memberanikan diri untuk mendatangi Dewa, kekasih almarhum sahabatnya.
Tok..tok...tok...
Gita mengetuk pintu rumah Dewa. Tak lama kemudian, keluarlah sosok tubuh pria yang selama ini di rindukan Gita.
"Dewa?" sapa Gita dengan mata berkaca kaca.
"Ngapain kamu ke sini? Pergi sana ! Kamu sudah membunuh Dini ! "
Degh,
Satu tudingan dari Dewa semakin menyayat hati Gita.
"Dewa, aku merindukan kamu!"
Satu pernyataan dari Gita membuat Dewa tercengang.
"Apa? Kamu nggak waras? Sudah pergi sana ! Aku tidak mau menambah masalah hidupku dengan berurusan denganmu!"
Braaakkhh.
Pintu rumah Dewa di tutup dengan sangat keras hingga hal itu membuat hati Gita merasa kembali tersayat.
"Dewa, kenapa kamu tega melakukan hal ini kepadaku?" gumam Gita dengan menahan air mata.
Gadis itu berlalu dari tempatnya berdiri dan hendak pulang ke rumahnya, tapi tiba tiba terdengar petir yang sangat menggelegar hingga hujan pun turun dengan begitu cepatnya. Tubuh Gita basah kuyup kehujanan. Kondisinya belum pulih sempurna, tapi kini tubuhnya harus menerima dinginnya guyuran air hujan yang membasahi bumi. Niat hati ingin tetap menerjang hujan badai yang mengguyurnya, tapi apa daya tubuhnya yang masih lemah akhirnya tumbang juga tepat di halaman rumah Dewa.
Setelah sepuluh menit terbaring di tanah dengan guyuran air hujan yang begitu deras,akhirnya Dewa membawa Gita masuk ke rumahnya. Rupanya Dewa sempat melihat keberadaan Gita dari balik tirai karena untuk memastikan gadis itu tidak akan bertindak konyol dengan tetap berdiri di depan pintunya. Namun ternyata malah dia dapati tubuh Gita sudah terkulai lemas di halamannya dengan bash kuyup.
"Dasar gadis bodoh! Menyusahkan saja!" Umpat Dewa sambil membaringkan tubuh Gita di sofa.
"Dia kenapa nak?" tanya Bu Dewi, beliau adalah ibunda Dewa.
"Entahlah Bu, Dewa juga nggak tahu maunya ni anak? Hujan hujan malah keluyuran. Dasar nggak punya otak!" Berkali kali Dewa selalu memaki Gita.
"Hust, jangan gitu nak. Nggak baik bicara seperti itu." tukas Bu Dewi memberi nasehat kepada putranya.
"Dewa nggak suka sama kelakuan anak ini Bu. Dia itu perempuan, tapi nggak bisa bersikap kayak perempuan. Ngomongnya aja juga nggak sopan, nanti kalau dia udah sadar, ibu pasti juga akan benci sama kelakuan nih anak!" sahut Dewa.
"Apa benar seperi itu?" tanya Bu Dewi sambil memandangi wajah Gita.
"Tapi kasihan, dia basah kuyup. Ibu akan mengganti pakaiannya." ucap Bu Dewi sambil berjalan ke kamar guna mengambil baju untuk Gita. Di rumah itu mereka hanya tinggal berdua. Ayah Dewa sudah meninggal dan kakak Dewa tinggal bersama suaminya.
Beberapa menit kemudian bu Dewi keluar dari kamar dengan membawa sepasang baju untuk di pakaian ke tubuh Gita.
"Kamu ke kamar sana. Ganti baju kamu, ibu mau ganti baju dia. Siapa namanya?" tanya Bu Dewi.
"Gita." jawab Dewa.
"Oh Gita, iya ibu mau gantiin bajunya Gita sekalian mau ibu kasih minyak angin biar dia siuman." tukas Bu Dewi sambil mendekat ke arah Gita.
Selama ini Bu Dewi memang belum mengenal sosok Gita, jika Dini main ke rumah Dewa, Gita tidak pernah mau ikut.
"Astaga Dewa..." Bu Dewi berteriak ketika melihat sesuatu.
Dewa bergegas keluar kamar dan dari kejauhan menjawab pertanyaan ibunya karena bu Dewi belum selesai melucuti tubuh Gita.
"Ada apa Bu?" tanya Dewa.
"Gadis ini sedang tidak baik baik saja Dewa. Di dadanya ada bekas jahitan seperti usai melakukan operasi. Lukanya juga masih basah.." Bu Dewi berkata sambil menggelengkan kepala.
Dewa sejenak terdiam lalu beberapa detik kemudian kembali bersuara.
"Pakaikan dulu bajunya Bu, nanti Dewa akan ceritakan pada ibu apa yang terjadi pada dia." sahut Dewa sambil kembali masuk ke kamarnya.
"Baiklah," jawab Bu Dewi sembari tetap mengganti pakaian Gita yang basah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!