Di sebuah kafe bergaya minimalis. Yang dinding - dindingnya dicat warna kayu. Begitu sejuk dipandang dan dirasakan. Kafe itu memiliki meja untuk duduk berkelompok ataupun sendirian.
Duduk di dekat jendela transparan, seorang gadis yang memakai blus polos berwarna pastel dan celana hitam sepanjang atas mata kaki.
Mulutnya sibuk mengunyah pie susu yang di atasnya terdapat topping stroberi dan jeruk. Ketika digigit, pie susu terasa lumer di dalam mulutnya.
Sebelah tangannya yang bebas tengah memegang smartphone. Tampilan layar menunjukkan berita terbaru yang berasal dari seluruh dunia.
Gadis ini memang sangat suka membaca berita hangat mengenai keadaan di berbagai belahan dunia. Jarinya menggulir kata demi kata, halaman demi halaman.
Matanya terfokus pada berita dari Singapura. Negara dengan ibukota Singapura itu mengalami inflasi inti hingga 5,1% Desember lalu. Itu artinya masalah ini akan berpengaruh pada barang dan jasa.
Gadis itu berhenti memasukkan potongan pie ke dalam mulutnya. Jemari lentiknya yang tidak dipoles oleh cat kuku tetap nampak begitu cantik. Ia mengambil cangkir teh.
Sejak tadi mulutnya begitu kering setelah memakan toast dan pie susu. Karena sudah begitu khatam dengan table manner, gaya makan gadis itu terlihat sangat elegan dan berkelas.
Setelah menaruh cangkir teh kembali. Gadis itu mengangkat tangan kirinya yang dilingkari oleh smart watch.
"Ini sudah lewat setengah jam. Kenapa dia sangat lama? Aku tidak memiliki banyak waktu." Gerutunya.
Gadis itu menghela napasnya dengan panjang. Ia membereskan berkas - berkas dan lembaran dokumen yang sudah disiapkan olehnya. Tidak lupa juga dengan art paper¹ yang sudah dipersiapkannya semalaman.
Ketika ia tengah membereskan berkas miliknya, selembar kertas terjatuh ke lantai. Dengan perasaan terpaksa ia memungutnya kembali.
"Ini 'kan..."
Gadis itu cukup terkejut dengan kertas itu. Bukan, ini adalah sebuah foto. Foto yang diambil ketika ia masih berada di Sekolah Menengah Atas. Tepatnya foto bersama organinasinya saat itu.
"Wah, aku mencarinya ke mana - mana. Ternyata terselip di sini." Gadis itu tertawa kecil.
Matanya memperhatikan setiap anggota yang tampak berpose ria dengan senyuman lebar. Sementara dirinya berdiri di paling pinggir, dengan senyuman paling tipis. Bahkan pose tangannya tampak begitu normal dan membosankan.
"Rasanya nostalgia."
Sedangkan berdiri di samping kirinya, itu adalah Ketua OSIS pada periode ke-40. Masa jabatannya selama menjadi anggota MPK, tepatnya anggota bayangan.
Senyum tipis di wajahnya pudar seketika. Kemudian matanya menelisik mencari sosok lain dalam foto. Seorang gadis yang setahun lebih tua darinya duduk barisan paling depan dengan pose yang tak kalah heboh.
"Kurasa aku sudah melupakannya. Aku akan baik - baik saja."
Gadis itu membaringkan kepalanya ke atas meja yang kosong dari piring dan kertas. Matanya memandang sayu ke luar. Tangannya memutar garpu begitu lincah.
Kedua matanya perlahan tertutup sempurna. Pikirannya mengambang di udara, tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Setelah melihat foto lamanya dengan organisasi ketika di SMA, dia mulai mengingat kembali banyak hal. Setiap kejadian besar yang menyenangkan untuk dikenang. Pahit manisnya kehidupan SMA.
Pikirannya membentuk sebuah siluet pria yang berseragam abu putih dan dibalut rompi berlogo OSIS. Tapi wajahnya sama sekali tidak terlihat, hanya sebatas warna hitam kelam.
Ada lubang besar yang seolah muncul dalam hatinya.
"Maafkan aku karena meninggalkanmu tanpa mengatakan apa pun."
TBC
[1] Art Paper adalah kertas yang sering digunakan pada percetakan offset dan digital. Kertas jenis ini memiliki karakteristik berkilau dan bisa ditambahkan finishing menggunakan doff, glossy, maupun dengan UV. Biasanya, Art Paper digunakan sebagai bahan untuk mencetak poster, namun tidak menutup kemungkinan untuk mencetak sampul majalah.
"Peta, jangan pulang dulu!"
Eta mengerling kesal saat terciduk lagi untuk bolos kumpulan rutin. Padahal Eta sudah mendedikasikan dirinya sebagai anggota bayangan. Sayang sekali anggota lain selalu merasa kehilangan tanpa kehadirannya.
Sebelum Eta berhasil menyusup keluar gerbang sekolah, Raya lebih dulu menangkap tangannya.
"Hehe, kau tidak bisa lari lagi, Peta! Ayo kumpulan!" Tarik Raya.
Eta mendelik.
"Kau 'kan yang paling tahu kalau aku tidak bisa pulang sore karena ayahku pasti akan marah. Ayolah, besok aku pasti akan kumpulan!" Eta berusaha membela diri.
"Kumpulan rutin hanya diadakan setiap hari Senin, jangan mencoba untuk kabur." Ujar Raya dengan kesal.
Tanpa sepengetahuan anggota lain, Eta selalu bisa menyelinap pulang. Jika ia tertangkap di sini, maka label 'anggota bayangan' akan segera dicabut darinya.
"Ayolah, kumpulan itu ada untuk mengetahui perkembangan program kerja OSIS, bukan MPK! Aku akan sibuk ketika kalian lengser nanti. Jadi, biarkan aku menikmati waktu senggangku!"
Raya mendelik kesal. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Eta adalah benar. Sebagai anggota dari Komisi A, tugasnya sendiri adalah membuat program kerja Seksi Bidang 1, 2 dan 3 serta mengawasi berjalannya program kerja mereka.
Raya melepaskan tangan Eta dengan perasaan masam di hatinya. "Baiklah, pergi sana!"
"Sekarang kau malah mengusirku, aku sangat tersinggung dengan caramu."
Eta memeriksa pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram habis-habisan oleh Raya. Bekasnya menimbulkan ruam merah. Mata Eta menyipit. Mengapa orang-orang selalu kasar terhadapnya?
"Jadi, kau mau pulang atau tidak?"
"Tentu saja pulang!"
Langkah kaki Eta bergerak menuju halte, tempat biasa untuknya menunggu bus. Ia tidak lagi melihat ke belakang, di mana Raya mungkin saja menunggunya berubah pikiran. Sayangnya, Eta terlalu sibuk untuk melakukan kumpulan.
"Hari ini sangat panas!"
Eta mengeluh kepanasan. Beberapa orang memilih pulang menggunakan sepeda motor atau jemputan. Beberapa sisanya tampak sedang menaiki angkutan umum.
Sebenarnya, bisa saja kalau Eta mau naik angkutan umum. Tapi jika naik itu, dia harus naik angkot dua kali. Jika naik bus, rute bus akan sampai melewati rumahnya. Ongkos bus juga lebih ramah di kantong menurutnya. Jadi selama ini Eta selalu pulang pergi dengan bus.
Ketika bus rute 13 sampai, Eta segera naik.
Dari bus, Eta masih bisa melihat lalu lalang para anak SMA yang baru pulang. Bisa dilihat juga di gerbang masuk, Raya dan seorang pria nampak sedang berbincang.
Eta mengenalnya, dia adalah sang Ketua OSIS.
Wajah Eta terasa panas. Pipinya bersemu merah. Bahkan detak jantungnya berpacu dengan sangat cepat. Segera saja ia alihkan pandangannya ke arah depan, dimana hanya ada sopir bus dan beberapa karyawan penumpang.
Aku tidak percaya bisa menyukai orang sepertinya.
...****...
Keesokan harinya. Eta berjalan di lorong sekolah dengan langkah lunglai. Pasalnya, semalam Eta harus begadang hingga tengah malam demi bisa menyelesaikan tugas membuat makalah dalam bentuk tulisan. Jika saja makalah itu boleh diketik, tugasnya yang satu ini pasti sudah selesai dari minggu lalu.
Ini bahkan tugas individu, tugas individu!
Eta menggerutu kesal pada 21 halaman polio yang benar-benar murni tulisannya. Dia enggan meminta bantuan kakaknya, sebab akan terlihat jelas perbedaan tulisan di antara mereka.
"Kalau diketik, aku bisa copy paste!"
Seorang siswa lelaki menghampiri Eta. Ia menepuk pundak kiri gadis itu sampai Eta nyaris saja menendang kakinya karena terkejut.
"Woah, Risa. Kamu hampir menendangku."
"Kak Atlas?"
Siswa itu, Atlas hanya tersenyum tipis. Sang Ketua OSIS yang sebentar lagi akan turun jabatan itu kini berdiri di samping Eta sambil membawa selebaran kertas.
"Apa itu?"
"Surat dispensasi."
Eta mengernyit. "Untuk apa?"
"Eh? Kamu lupa? Tentu saja untuk izin tidak mengikuti kelas selama tiga hari. Tentu saja dimulai dari jam satu siang, bukan dari pagi." Ujar Atlas sambil memperlihatkan surat di tangannya.
"Apa nama semua pengurus periode ke-40 ada di sana?"
"Ya. Termasuk kamu."
"Memangnya ada acara apa?" Tanya Eta penasaran.
Atlas menepuk pelan kepala Eta menggunakan selebaran surat tersebut. "Dasar pembolos! Aku tahu bahwa kamu bolos kumpulan kemarin. Kita membahas tentang program kerja terakhir, class meeting."
"Hee, itu rupanya."
Eta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meski menjadi anggota bayangan, Eta ini sudah pernah menjadi anggota OSIS di SMP selama dua periode. Ditambah pengalaman menjadi Komisi A di MPK selama hampir setahun. Dia telah khatam betul tentang acara class meeting ini.
Di sini, akan diadakan berbagai macam mata lomba yang mempertemukan antar kelas. Perlombaan ini wajib diikuti, jika tidak ikut maka akan dikenakan sejumlah denda.
"Jangan lupa setelah pulang sekolah kumpulan. Aku akan menunggumu." Ujar Atlas sambil tersenyum simpul.
Eta tertegun. Segera ia memalingkan wajahnya dari Atlas. Kakak kelasnya yang satu ini selalu berhasil membuatnya salah tingkah. Terlihat kekanakan memang jika Eta tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
"Kamu akan datang 'kan?"
Eta mengangguk pelan.
"Bagus. Sampai jumpa nanti!"
Setelah kepergian Atlas, Eta hanya bisa memandang punggung sang Ketua OSIS dalam diam. Badannya sama sekali tidak bergeming. Matanya menatap dalam sosok Atlas.
Eta melirik buku besar yang sedari tadi ia bawa. Hari ini ada pelajaran geografi dan guru mapel meminta seluruh murid membawa atlas masing-masing agar ketika sang guru menjelaskan, mereka tidak hanya mendengarkan tapi juga memahami materi.
Langkah Eta menuju sebuah kelas yang di atasnya terdapat tanda 'XI IPS 2'. Tak lama, bel masuk berbunyi dengan nyaring.
...****...
"Bagaimana Eta? Sudah mengerti dengan tugasmu?" Tanya Atlas.
Lalu Eta mengangguk saja.
Saat ini ia sedang kumpulan untuk membahas program kerja terakhir. Kebetulan Eta mendapat bagian sebagai seksi acara yang tugasnya membuat rundown.
Membuat rundown bukanlah hal yang sulit.
Karena kumpulan untuk mempersiapkan acara class meeting akan dimulai minggu depan. Pertemuan hari ini hanya untuk menentukan susunan kepanitiaan saja.
Perkumpulan selesai tepat pukul lima sore. Eta bangkit, ingin segera pulang ke rumahnya. Namun ekor matanya menangkap goresan spidol di atas papan tulis putih.
Tubuh Eta membeku selama sepersekian detik.
Itu semua karena di dalam susunan kepanitiaan, nama Atlas berada di sampingnya. Yang berarti Ketua OSIS tersebut menjadi seksi acara juga sama sepertinya.
Sontak saja Eta menoleh pada Atlas yang masih membereskan laptop miliknya. Pegangan Eta pada tasnya semakin erat. Khawatir Atlas menyadari tatapannya, Eta segera membuang pandangannya ke arah berlawanan.
Raya menepuk pundaknya dengan pelan. "Hey, ayo pulang! Aku akan mengantarmu sampai rumah."
Sebenarnya Eta hendak menolak karena tidak enak. Tapi mau bagaimana lagi, Raya adalah tipe gadis pemaksa. Di sisi lain juga Eta harus segera pulang supaya sampai rumah sebelum gelap. Jika ia menunggu bus, mungkin tidak akan sempat.
Eta mengangguk.
Dengan semangat penuh Raya menarik tangan Eta menuju tempat parkir motor.
"Kau tunggu di sini, aku akan mengambil motorku dulu, oke?"
"Ya."
Eta melirik kecil pada sosok Atlas yang berjalan ke tempat parkir sendirian. Kemudian tatapan Eta tertuju pada Raya yang sedang menyalakan mesin motor.
Alasan mengapa Eta agak ragu diantarkan oleh Raya sebenarnya hanya satu. Itu karena arah rumahnya dan Raya berlawanan. Memang pada awalnya searah hingga Raya akan mengambil jalan tikungan sementara Eta terus lurus.
Pandangan Eta kembali tertuju pada Atlas.
Padahal arah rumah kami tidak berlawanan sama sekali.
TBC
Di taman sekolah. Eta duduk sendirian sambil menghabiskan bekalnya. Sejak hari pertamanya masuk SMA, Eta terbiasa untuk tidak membawa uang saku yang banyak dan lebih memilih bekal.
Dia memasukkan potongan ayam ke dalam mulutnya dengan malas. Entah kenapa, pelajaran olahraga selalu membuat suasana hatinya turun.
Eta adalah pribadi yang malas dan lebih suka mempekerjakan otaknya daripada badannya. Tapi pelajaran olahraga memang selalu ada di setiap tingkatan, itu membuat energinya terkuras habis. Selama ini dia selalu bekerja keras agar nilai ujian prakteknya di tahun terakhir sekolah bisa menyentuh KKM.
"Aku benci olahraga, meski gurunya memang menyenangkan."
Pemandangan taman yang menyejukkan tiba-tiba berubah menjadi memuakkan bagi Eta. Ada seorang siswa yang menyatakan perasaannya pada gadis yang ia cintai di depan teman sekelasnya.
Siswa itu memberikan si gadis setangkai bunga mawar lengkap dengan sekotak cokelat. Pria itu terlalu berani dan romantis di waktu bersamaan. Eta ingat bahwa hari valentine masih tiga bulan lagi.
"Peta!"
Eta mendelik. Ia menatap kedatangan Raya yang selalu membawa kebisingan. Masalah utama Eta adalah adegan pernyataan cinta itu. Dia memang merasa muak, tapi Eta tetap segan untuk mengacaukannya.
Raya mengubah suasana romantis menjadi hancur hanya dalam beberapa detik.
"Apa yang kau lakukan! Kau mencuri perhatian banyak orang. Dan lagi, namaku Eta bukan Peta!" Kesal Eta.
"Oh? Ada yang menebar buih-buih cinta, ya?" Raya mengabaikan kemarahan Eta yang disebut Peta.
"Buih-buih cinta?" Beo Eta.
Raya dengan terang-terangan menunjuk adegan romantis di depan mereka. Eta yang kesal langsung menarik kembali tangan Raya, sedangkan Raya memajukan bibirnya.
"Ada apa denganmu? Apa kau malu kalau kita ketahuan mengintip? Salah mereka sendiri yang melakukannya di depan umum!"
"Dengar, taman ini termasuk tempat sepi."
"Tidak masalah, Eta. Lagi pula lihatlah! Teman-teman sekelasnya juga menonton dan mereka berdua sebagai sorot utama sama sekali tidak protes!" Keluh Raya.
Namun Eta tetap tidak setuju dengan Raya. Pasalnya di mata mereka, Eta dan Raya adalah orang asing yang dengan tidak tahu malunya mengintip di balik semak-semak. Mereka seperti pencuri yang ketahuan mencuri.
Saat Eta melanjutkan mengintip, ia sadar bahwa ada yang berbeda dari wajah si wanita. Atau lebih tepatnya, mungkin akan ada yang patah hati di sini?
"Aku bertaruh gadis itu akan menolaknya." Eta berbisik.
"Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu setelah adegan romantis ini? Bukankah pria itu akan patah hati jika ditolak setelah semua usaha yang dia lakukan untuk pernyataan romantis ini?" Cetus Raya.
Benar. Ini akan menyedihkan bagi pria itu jika dia mendapatkan penolakan dari gadis yang ia kagumi dan mungkin cintai.
Ketika gadis itu mengangguk, Eta menjadi terkejut. Sementara Raya di sampingnya tersenyum sumringah. Gadis itu menerima mawar serta sekotak cokelat dari tangan pria itu sambil tersenyum.
"Bagaimana bisa!" Eta tak terima.
"Hey, kau salah. Berikan aku uangmu."
Eta mendengus. "Aku tidak bertaruh uang."
Raya bangkit dari tempat persembunyiannya, yaitu semak-semak yang berada di belakang kursi taman. Ia menepuk roknya untuk membersihkan debu yang menempel.
"Kau ingin seperti itu?"
"Apa?" Heran Eta.
"Seperti itu," Raya menunjuk kedua sekali yang sekarang sedang merayakan resminya hubungan mereka bersama teman-teman sekelas. "Ditembak dan pacaran."
Eta menggeleng.
"Kau tidak mau?" Tanya Raya.
"Bukan tidak mau, tapi tidak bisa." Jawab Eta dengan nada datar.
Ia berjalan lebih dulu dari Raya. Kesal karena ditinggal, Raya segera berlari menyusul Eta.
"Kenapa tidak bisa?"
Eta menatap Raya dengan tajam. Orang seperti Raya, yang sering penasaran dan teguh untuk tetap bertanya adalah salah satu dari sekian spesies yang dijauhi Eta.
Ketika Eta berjalan menjauhi Raya, dia menangkap sosok Atlas yang tengah berbicara dengan seorang anggota OSIS. Wajahnya terlihat serius, padahal biasanya dia terlihat ramah dan murah senyum.
Tidak biasanya, apa sesuatu telah terjadi?
Raya menyadari sorot mata Eta yang tertuju pada Ketua OSIS mereka. Ia menyentuh pundak Eta dengan ekspresi rumit.
"Peta, jangan katakan padaku bahwa alasan kau tidak bisa pacaran adalah..." Ujar Raya sambil melirik ke arah Atlas juga. "Kau masih ingat dengan pasal 9 ayat 1, bukan?"
Eta mendengus, "Tentu saja! Karena itu aku mengatakan tidak bisa pacaran."
Eta ingat betul dengan peraturan organisasi dari awal hingga akhir setiap bab hingga setiap ayatnya. Dalam pasal 9 ayat 1, dikatakan bahwa setiap anggota organisasi dilarang saling berpacaran karena itu akan menghambat kinerja mereka.
Jika nekat berpacaran diam-diam dan ternyata ketahuan, maka mereka akan dicopot dari jabatan dan dikeluarkan dari organisasi tanpa SP (Surat Peringatan) terlebih dahulu.
Awalnya ayat ini diremehkan, tetapi ketika ada yang melanggar dan diketahui oleh Pembina OSIS, mereka berdua disidang ketika pertemuan rutin di hari Senin.
Sejak saat itu, para anggota mulai menganggap serius peraturan itu. Dan meskipun mereka memiliki pacar di luar organisasi, mereka tetap dibatasi ketika sedang melakukan tugas. Di luar itu, bebas.
"Karena aku tahu, maka aku mengatakan tak bisa. Tak semua hal bisa didapatkan meski kita berusaha keras."
Eta mengambil jalan lain supaya tidak berpapasan dengan Atlas. Sudah cukup ia melihat pernyataan cinta langsung di depan matanya. Di belakangnya, Raya mengikuti dalam diam. Raya melirik sekali lagi pada Eta yang tampak baik-baik saja.
"Omong-omong, kau punya berapa mantan?"
"Nol."
"Huh? Kau sedang berpacaran dan sampai sekarang belum putus? Lalu kenapa kau malah menyukai Kak Atlas?"
Merasa jengah dengan kebodohan Raya yang tiada habisnya, Eta hanya bisa memperkuat perisai kesabarannya. Dia berbalik menatap Raya yang wajahnya dipenuhi rasa penasaran.
"Aku tidak punya mantan karena aku tidak pernah pacaran. Puas?"
Langkah Raya terhenti. Sementara Eta tetap melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas. Setelah ini akan ada mata pelajaran sejarah peminatan.
Sedetik kemudian, Raya tersadarkan. Dia segera mengejar Eta yang sudah jauh meninggalkannya. Temannya yang satu ini selalu memberinya kejutan, apalagi dengan kata-katanya.
"Huh? Huh?! Bohong! Apa kau tidak pernah jatuh cinta?"
"Kalau itu tentu saja pernah."
"Dengan siapa? Kapan?"
Raya menghembuskan napasnya dalam-dalam. Kalau Eta tidak menjawab pertanyaan Raya, gadis ini akan gencar mengganggunya sampai rasa penasarannya bisa dijawab.
"Ketika aku masih kelas dua SMP. Ada pertukaran pelajar dari Perancis. Aku menyukai salah satunya. Dia blasteran Perancis-Polandia."
Raya semakin sumringah. "Apa dia tampan?"
"Ya."
"Kau menyukainya karena wajahnya?" Tanya Raya lagi.
"Bukan. Awalnya aku merasa biasa saja. Tetapi ketika dia memberikan sambutan, ucapannya terdengar seperti orang cerdas dan berwawasan luas. Saat itulah aku menaruh perhatian padanya."
Mendengar pernyataan Eta, Raya melebarkan senyumannya. Ternyata Eta yang penggila peta dan pelajaran geografi ini punya kisah manis seperti itu.
"Bagaimana akhirnya? Apa seperti di novel? Yang mana kalian akan saling mengenal secara alami karena ditimpa 'kebetulan'."
Raya mulai mengimajinasikan pertemuan romantis dan manis antara Eta dan si blaster Prancis-Polandia itu. Mereka kebetulan bertemu dan kebetulan juga memiliki persamaan yang membuat mereka semakin dekat, lalu kebetulan lainnya yang membuat mereka selalu bersama. Seperti itu hal-hal klise yang terjadi di dunia novel.
"Tidak ada hal seperti itu. Aku dan dia menjalani kehidupan masing-masing tanpa pernah saling bersinggungan sampai masa pertukarannya selesai di semester keempat, yaitu tahun kedua semester dua. Sejak saat itu, kami tak pernah bertemu lagi."
Raut wajah Raya berubah dalam sekejap. Padahal dia sudah menyusun berbagai macam kemungkinan yang akan terjadi. Tidak disangka kehidupan novel dan drama tidak menjadi nyata untuk Eta.
"Jadi itu hanya cinta monyet." Cibir Raya.
"Semua kisah cinta yang terjadi di masa-masa sekolah adalah cinta monyet." Tambah Eta.
Dia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Raya karena memang 100% benar. Dan menurutnya sendiri, cinta masa remaja bukanlah sesuatu yang perlu dianggap serius dan pasti memiliki akhir putus seperti kebanyakan kasus.
"Tapi aku dan Defri akan awet sampai kita lulus!"
"Ya, dan setelah lulus kalian akan berpisah karena tidak satu universitas. Dan di saat itulah salah satu dari kalian akan mencetuskan untuk putus saja." Ejek Eta.
"Hush! Itu tidak akan terjadi pada kami."
Akhirnya mereka tidak melanjutkan masalah cinta monyet. Bahkan Raya sudah tidak penasaran lagi dengan sosok cinta pertama Eta yang berakhir seperti angin, lewat begitu saja.
Diam-diam Eta memandangi punggung Raya yang berjalan di depannya.
Raya adalah gadis yang energik, dan selalu dikelilingi aura positif yang membuat banyak orang menyukainya. Tapi dia terlalu positif sampai tidak memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, sisi negatif dari setiap hal.
Memang benar, bagi Eta sendiri hubungan antara Raya dan Defri sangat harmonis dan manis hingga membuatnya iri. Sebab Eta tidak punya hubungan semacam itu bahkan dengan kakaknya.
Bagaimana bisa dia berharap mendapatkan cinta sejati?
Cinta monyet yang menjadi cinta sejati kemungkinannya 1 banding 10. Nyaris mustahil!
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!