"Pak, pesanan AyoMakan, Town house, atas nama Bapak Isaac Ibrahim" izin gadis muda dengan jaket hijaunya.
"Bisa ktpnya?" Gadis itu mengambil ktp dalam dompetnya, ia tadi telah diberitahu oleh si pengorder, untuk menyiapkan ktp. Namun ia tak menanggapinya.
"Mbak langsung saja naik, pakai jalan yang ujung ya, lantai paling atas" Satpam memberitahukannya.
Gadis itu memacu motor beatnya, menuju lantai paling atas. Ia disuguhi pintu gerbang tinggi menjulang. Ia kembali memarkirkan beatnya. Berjalan menuju pos satpam.
Berjalan perlahan, memperhatikan rumah-rumah yang berada di dalam gerbang tinggi itu.
"Gile rumah siape aja dah nih? Pantes dimintain ktp dibawah tadi, Di atas gedung begini, apa nggak takut rubuh apa yah?" Monolognya.
"Bisa dibantu mbak?"
"Eh, pak, ini, ada pesanan AyoMakan pak, atas nama Isaac Ibrahim" ucapnya saat ia merasakan tepukan di bahunya.
"Oh masuk aja mbak,"
Dan pintu gerbang di depannya membuka dengan sendirinya. Gadis itu bergegas mengambil tas dengan banyak makanan didalamnya.
"Lho mbak, masuk naik motor aja mbak, rumah pak Isak Ibrahim masih jauh di dalam" tegur si satpam. Dengan cengiran Gadis itu kembali ke motornya.
Ia masuk dan mencari rumah si pengorder. Ia tadi sempat terbelalak melihat nominal orderannya. Untung saja mereka membayar lewat aplikasi.
"273"
"273"
"273"
"Itu" gadis itu menggendong tas besar berwarna hijau menuju pintu, dan menekan bel rumah.
"Siapa?" Suara serak terdengar dari bel yang ia tekan.
"Eh, e, itu, Leha, Saya Leha pak" Ya dia Sholeha Badrun, Anak Haji Hamid Badrun. Leha gugup.
"Mau Ada perlu apa?" Kembali terdengar dari benda kotak didepannya.
"Ah, saya dari AyoMakan pak, antar pesanan,"
"Masuk dan letakan diatas meja makan, dan disana ada ongkos mu,"
Klek!
Pintu di depannya terbuka, Leha berjalan perlahan memasuki rumah mewah itu. Ia mencari meja makan si pemilik rumah, wajahnya tercengang melihat kemewahan mengelilinginya saat ini, mulutnya menganga lebar.
Leha melihat meja marmer besar dengan banyak kursi juga tudung saji diatasnya, pasti ini meja makannya pikir Leha. Gadis itu meletakkan tas besarnya.
Ia mengeluarkan semua makanan yang dipesan. Menyeret tudung saji yang ternyata ada tumpukan uang di dalamnya. Ia melihat kertas dengan tulisan disana. Leha meraih kertasnya.
"Ongkos" bisiknya. Mata Leha berbinar, ia memfoto lembaran kertas dan tumpukan uang berwarna merah, juga memfoto makanan yang diorder si pemesan. Juga berselfie dengan uang dan makanannya.
"TERIMA KASIH PAK!" Teriaknya kencang. Mata lelaki dalam kamar rumah itu membuka lebar, ia terkejut dengan teriakan Leha.
"Hmgrn!" Ia baru saja tertidur, dan suara teriakkan itu mengganggunya. Lelaki itu turun dari ranjangnya, dan menuruni tangga dengan tergesah. Ia ingin memaki si pengantar makanan itu.
Ping!
Terima kasih pak tipsnya,
Lelaki itu membuka pesannya, disana ada tiga foto, ternyata dari si ojol.
Terdengar suara motor yang dipacu di depan rumahnya. Leha keluar rumah mewah itu dengan sumringah. Ia menyapa satpam dengan ramah. Dengan mengambil ktp yang ia titipkan.
Ia tak tahu si pemilik rumah itu sedang geram padanya dan memberinya bintang satu pada aplikasi.
***
"Dapat berapa duit lu hari ini?" Seorang lelaki menunggu kedatangan wanita itu. Leha masuk dalam pekarangan rumahnya, ia menatap si lelaki dengan sumringah. Perkenalkan Dia Udin Saripudin. Sahabat dari orok Leha.
"Lumayan, nambah-nambahin ongkos ke Qatar, Gimana bentar lagi piala dunia mulai? Udah dapet tiketnya?"
"Tiket, beres, Hotel, beres, tiket liga, juga beres, entar kita ambil waktu nyampe Qatar" ucap Udin.
"Emang elu terbaik! gak sabar ketemu sama ayang beb aku" ia menciumi gantungan kunci motornya, ada figur mini, pemain bola idola Leha, si Abang Neymar.
"Dih jijik ah lu, Ha!" Udin menoyor kepala Leha. Kemudian masuk kedalam rumah Leha.
Didalam rumah Udin menghampiri, lelaki berpeci, dengan perawakan bulat, sibuk di depan kompor.
"Abah ganteng kesayangan Udin, masak apa Abah ganteng, bolehkah Udin ikut mencicipinya" Rayu si Udin.
"Kagak pergi lu! Kesini cuman buat makan doang! Ini buat bontot Abah, kesayangan Abah, Sini Leha, Abah buat nasi uduk sama semur jengkol kesukaan bototnya Abah"
Dia, Haji Hamid Badrun, Abah si Leha. Makelar kambing dan bebek. Leha seorang piatu, Uminya yang bernama Julaeha Maemunah meninggal saat Leha brojol. Jadi ia tak pernah mengenal si Umi.
Dan sampai saat ini Pak Haji Hamid Badrun tak sekalipun ingin menikah lagi. Katanya karena mencintai si Enyak.
Duh jadi ikut baper kan si Leha, ia ingin juga mendapatkan jodoh seperti sang Abah, semoga ia dan Bang Neymar berjodoh.
"Enak nih" Udin sudah duduk dengan piring kosong miliknya.
Plak!
Tangannya yang akan menyendok nasi uduk dipukul oleh Leha. "Lau tuh ya kagak bisa liat makanan, ini buat gue!" Leha merebut piring Udin.
"Ambil lagi sono, makan yang banyak yah bontot Abah"
"Ah elah, males beut lu!" Omel Udin, ia juga lapar mencium aroma lezat dari makanan yang katanya buatan si Abah.
Semua tahu Abah, masak air saja gosong, apalagi memasak nasi uduk lengkap seperti ini, kemungkinan Abah Hamid memesan nasi uduk dari mpok Jana.
"Nanti dulu mau mandi" Leha berjalan memasuki kamarnya. Dan kebiasaannya mendekat pada meja rias, disana ia menempelkan bibirnya pada foto Neymar.
"Aku pulang Hubby" ucapnya.
Leha bukan seperti penggemar bola pada umumnya, lebih tepatnya ia hanya penggemar Neymar dan tahu sedikit tentang bola. Ya bisa dibilang fans karbitan lah. Namun jangan sedih kamarnya penuh dengan poster juga foto Neymar. Ya dia se-obsesi itu.
Bahkan di pintu kamar tidurnya tertulis NEYMAR WIFE'S, diranjangnya pun ada dua buah bantal bertuliskan Mrs Neymar, dan Neymar's. Dan si Udin, sahabat itu, sering mengatainya gila akan kegemarannya.
Sebenarnya Udin lah yang mengenalkan gadis itu pada bola. Ia hanya menemani si Udin saja. Namun saat ia melihat Neymar, ia menjadi terobsesi dengan lelaki asal klub Brasil itu.
"Kagak ada ya Leha?! KAGAK BOLEH!" Suara tinggi, Abah Hamid melipat tangannya didada. Matanya tajam melihat bontotnya itu yang berniat meninggalkannya. Meja makan menjadi memanas.
"Bah! Leha udah dari empat tahun nabung buat ini, Bah" Leha memelas. Leha sarjana dengan kerja serabutan, ia menabung semua penghasilannya bertujuan untuk menonton liga piala dunia secara langsung di Qatar.
Ide tercetus setelah ia menonton piala dunia di televisi. Dengan percaya diri ia mengatakan pada Udin akan menonton langsung pertandingan bola. Dan bertemu dengan Neymar.
Dari situ Leha menjadi lebih giat mencari cuan. Apapun ia lakukan dari menjadi kasir di mini market, ojol dan ngangon bebek dan kambing milik sang Abah.
Bahkan ia akan meng-cuan-kan apapun perintah Abah Hamid, kadang ia mendapat ceramah panjang karena pamrih. Dan dengan setia Leha mendengarkan wejangan orang tua satu-satunya.
Sedangkan abang-abangnya jauh dirantau, dengan keluarga masing-masing. Pulang hanya jika hari besar di kalender. Leha memiliki dua saudara lelaki, Sulung Badrun dan Solikin Badrun. Dengan lima keponakan yang gemoy.
"Jauh itu, Abah kagak bisa!" ucap Abah Hamid. Ia melirik sang anak.
"Abah, Leha nggak sendiri, bareng si Udin, Udin punya teman disana, ya kan Din?" Si Udin masih menikmati semur jengkol mpok Jana, bingung melihat mata Leha mengedip aneh.
"Aw!" Kakinya diinjak oleh Leha. Udin sadar saat melihat Abah Hamid menatapnya bergantian dengan Leha.
"Iya Bah, tenang, Ada, disana ada temen Udin, pokonya Leha, tinggal berangkat aja, nggak usah ngurus ini itu. Semua beres." melihat Leha mengangguk yang setuju dengan ucapannya,
Abah Hamid menghela nafasnya, ia masih tak setuju, ia memiliki satu ide lagi untuk mengurungkan niat anaknya pergi ke Qatar, Abah Hamid tahu Leha akan dengan gamblang menolak mentah-mentah. Calon suami.
Abah beranjak dari kursinya. Ia masuk dalam kamar. Dan menguncinya. Leha melihat pintu kamar Abah Hamid dengan nelangsa.
Paginya saat sarapan, Leha telah memasak makanan kesukaan si Abah, roti sumbu goreng dengan kopi hitam.
"Sarapan Bah" sapa Leha.
Abahnya duduk dengan acuh. Dan menikmati Roti sumbunya. Leha menunggu peluang untuk kembali merayu Abahnya.
Setelah serasa menemukan waktu yang pas, ia mendekati si Abah, "Bah Leha tahu, Abah sayang Leha, ini sekali seumur hidup Leha bisa lihat idola Leha Bah" ucap Leha.
"Sekali aja Bah, setelah Umi gak ada, Idola Leha yang nemenin Leha Bah, Leha tahu ada Abah juga yang nemenin Leha, tapi Abah juga sibuk nyari duit buat Leha. Izinin Leha ya Bah" sendu.
Abah Hamid, menyurukkan selembar kertas didepan Leha.
"Tanda tangan!" Ucap Abah.
Sebelum ia lemah dengan cerita kesenduan Leha pada Uminya. Leha menarik kertas bermaterai diatasnya dan membacanya.
"Bah! Ini beneran?" Jeritnya,
Abah Hamid hanya mengangguk dengan tangan melipat didada. Leha masuk ke kamar, ia mengambil bolpoin, kembali ke meja makan dan menandatangani lembaran bermaterai itu.
"Leha? beneran, mau nikah?" Abah Hamid tercenung.
Menarik kertasnya dan melihat tanda tangan anaknya ada di atas materai.
Ia tak menyangka Leha dengan mudahnya menyetujui kertas yang menyatakan jika Leha telah kembali dari Qatar ia harus membawa calon suami dan menikah.
Abah Hamid yakin Leha akan menolak tapi pikiran Abah Hamid meleset jauh. Anaknya itu dengan cepat menyetujui keinginannya.
Tbc.
"Yuhuu … selamat pagi yang cerah My Hubby" Leha menyapa poster juga foto Neymar. Ia bangun dengan sumringah, setelah mendapatkan izin dari sang Abah, ia merasa bebannya terangkat semua. Ia mengambil handuk.
"Bentar! Gue dulu, mules!" Udin menarik bahu Leha dan mendorongnya keluar kamar mandi.
BRAK!
Ia menutup pintu tepat di depan wajah Leha.
"Sialaan Lu!" Maki Leha.
"Maap Ha, gak tahan! Brrott,Brooot,JEDOS!"
"Buset dah! Itu bom nuklir nagasaki ape!" tawa kencang terdengar dari dalam kamar mandi.
"Lu makan apa dah! Baunya naujubillah!" Leha menjauh, ia duduk kursi meja makan yang tak jauh dari pintu kamar mandi.
Krek!
"Nasi uduk lu maren! Gak ikhlas nih si Abah!" Udin meringis, ia membungkuk karena perutnya masih melilit ya sebelas duabelas lah dengan dompetnya yang sering kosong.
"Dah bau ape nih?" Abah Hamid datang, ia membawa secangkir kopi hitam. Dengan tangan menutupi hidungnya.
"Bah gak ikhlas yak, mules ini gegara nasi uduk maren!" Cerocos Udin.
"Apah lu nuduh-nuduh?!" Abah tak terima. Karena Udin yang menghabiskan semua semur jengkol dan menyisakan nasi uduknya saja.
"Lu kuras entuh semur jengkol dower Mpok Jana, rasain lu, panas panas dah tuh bo kong!" Abah Hamid tergelak kencang ia pergi ke teras. Tempat favorit buat Abah sarapan.
"Abah lu tuh! Dasar gemblong!" Ejek lirihnya.
"BAAAAHHH UDIN NGATAIN ABAH GEMBLONG!" setelah berteriak Leha berlari ke kamarnya, menunda mandinya, ia tak mau mati gara-gara gas beracun si Udin.
"Bocah kurang ajar! Kemana lu" Abah Hamid masuk lagi dengan berlari pelan sambil membawa sapu lidi.
Udin yang tahu kebiasaan Abah, langsung ngacir dan berteriak "Ampuuunn Baaaahh Gemblong Enak kok"
***
"Gimana? Gimana?" Leha antusias saat melihat Udin datang. Setelah beberapa hari lalu Leha telah mentransfer uang tabungannya pada Udin.
"Beres" decakan terdengar dari bibir Leha.
"Beras beres aja kata lu, gue perlu bukti." Leha mengernyitkan dahinya.
"Udeh lu tahunya beres aje! Nanti seminggu lagi kita berangkat. Semua udeh gue urus, kan lo udah nyiapin noh paspor, nah kita tinggal cus berangkat aje" jawab panjang Udin yang mendapatkan balasan senyuman lebar dari Leha.
"Semua Rena, sepupu gua yang urus dan beres" kata Udin penuh keyakinan.
"Bener dah Rena the best."
Leha sudah mempersiapkan keperluannya, bahkan ia sudah mempunyai paspor setahun lalu, dan semua berkat bantuan Rena. Ia pun sedikit-sedikit belajar bahasa inggris.
Maunya langsung bahasa portugis biar bisa ngobrol dengan Neymar, namun ia berpikir lagi, jika ia di luar negri setidaknya bisa bahasa inggris dulu, jadi Leha mempelajari bahasa inggris. Belajar dari Utube bayar pakai kuota.
Seminggu kemudian,
"Mpok nitip Abah ya" Leha memberi amplop pada Mpok Jana untuk kebutuhan makan sang Abah,
"Lu tenang aja Ha, lu pulang Abah lu tambah gembul tuh perutnya" ejek Mpok Jana, Anak dari Uwak Hasbih, sepupu Leha.
Leha menatap Abahnya hanya diam, sedari kemarin tidak bersemangat dan lesu. Matanya memerah saat tadi subuh saat berpapasan untuk berwudhu.
Dan sekarang Abahnya hanya diam, termenung di kursi mobil. Menunggu Leha berpamitan dengan Mpok Jana. Mereka menggunakan mobil pick up Mang Kusdi, suami Mpok Jana. Yang biasa digunakan untuk mengangkut sayur ke pasar.
"Leha pamit ya Mpok," Leha mencium tangan kakak sepupunya itu.
"Iya Ha, ati-ati lu disana, sehat terus ya Ha, Din, jagain enih sepupu gua, jangan sampe lecet, gua gibeng lu kalo sampe kenapa-napa ini sepupu gua!" Teriak macam toak masjid, Mpok Jana menodongkan tangannya ke arah Udin.
"Iye Mpok kagak lecet dah ah!" Udin memasukkan koper-koper mereka. Dan perjalanan ke bandara senyuman Leha tidak luntur.
Pukul 9 pagi, mereka telah berada di bandara. Perpisahan Abah Hamid dan Leha berjalan dramatis. Kucuran tangisan yang Abah Hamid pendam sedari tadi pun ambyar saat Udin memaksa Leha memasuki bandara.
"Ha, lu harus baek-baek ya, jangan sakit, kalo ada apa-apa langsung telpon Abah,"
Abah memeluk Leha erat. Leha juga ikutan terdiam, air matanya ikut mengalir deras. Ini pertama kalinya ia akan berjauhan dengan Abahnya. Mengapa berat, tapi keinginan untuk bertemu Neymar sangat besar.
"Din … " Udin menarik tubuh Abah dan memeluk lelaki tua cengeng itu erat, "Siap Bah, Udin sayang banget Abah, tambahin ongkos Udin Bah" toyoran didapat si Udin.
"Lu tuh gak ada segen-segennya sama gue, Udah ini, jagain anak bontot Abah Din, ini amanah" Udin kegirangan ia menerima amplop yang diberikan Abah Hamid.
Leha pun mendapat amplop, "Baik-baik Ya bontot" Abah mengelus kepala Leha sayang.
"Pamit Bah, Mang" Leha masuk bersama Udin. Mang Kusdi ikut mengangguk, setelah ikut memberi petuah pada Udin.
***
"Koper lu taro dimari, entar ada yang bawain, ke pesawat" Udin meletakkan koper-koper dirinya dan Leha di dekat toilet.
"Kita langsung masuk aja ke pesawatnya," kembali Udin yang telah bersiap, Leha hanya membawa tas ransel kulitnya. Ia menurut karena ini pertama kalinya ia naik pesawat.
"Din ini kagak di cek dulu sama, siapa tuh, mbak-mbak di loket gitu, tiketnya?" Leha bingung, dengan Udin yang mengatakan bisa langsung masuk pesawat dimana yang ia tonton di Utube berbeda.
"Kan Gua bilang semua beres-res Lu tinggal masuk, duduk dan ketemu Neymar"
Udin menarik tangan Leha, yang langsung tersenyum membayangkan dirinya bertemu Neymarnya sebentar lagi. Rasa gugup melingkupi Leha.
Udin melihat keadaan sekitar, dirasa sepi ia kembali menarik tangan Leha. Dengan Id Card yang diberi Rena ia bisa leluasa masuk dalam tempat pesawat pribadi berada.
Pesawat yang tampak kecil di antara pesawat lain itu terlihat. Udin bergegas menaiki tangganya dan mendorong tubuh Leha yang masih membayangkan Neymar.
Kalau sudah menyangkut Neymar, Leha memiliki dunianya sendiri. Dan akan lama menghalunya gadis itu.
"Kita sampek" Udin menepuk bahu Leha yang sadar dengan sekitar ia sudah berada dalam pesawat yang luar biasa mewahnya.
"Ini beneran Din?" Leha terperanjat, ia masuk lebih dalam. Menyentuh kursi kulit yang empuk.
Hanya ada 4 buah kursi yang saling berhadapan dua di kiri dan dua di kanan . Dan di belakangnya ada mini bar, dengan banyak botol berjejer, gelas-gelas dengan tangkai tinggi mengkilap.
Benar-benar mewah. Leha mendapati sebuah ruangan di paling belakang pesawat, sebuah kamar, udara dingin berhembus, dengan kamar mandi dengan shower. Dengan ranjang besar, dengan seprei dan selimut putih, tampak nyaman, Sungguh elegan.
Leha sedari tadi terkagum dengan isi pesawat yang akan membawanya ke Qatar. Ia kembali menemui Udin.
"Din! Ini beneran kayak dale man hotel Din! Bener-bener mewah"
"Ah, ape lu! Ngagetin gua aja! Ya semua berkat sepupu gua, si Rena, bosnya tajir sama baek banget, kita boleh nebeng" ucap Udin dengan gugupnya, menuju Qatar sebentar lagi, Leha pun sama gugupnya.
"Udah sini duduk, kita cobain dulu kursinya" Udin menarik Leha duduk di kursi depannya.
"Lha empuk bener Din, kursi orang kaya" Leha melompat-lompat dalam duduknya.
"Lha iya biar gak tepos itu bemper" ucap Udin, "Ini lu minum dulu" ia memberi sebuah botol minuman jeruk.
"Wedeeh … minumannya jus jeruk Din, bukan aer putih, sini" Leha meraih satu botol dan meneguknya,
"Yaelah Din, orang kaya gak mau rugi juga yak ternyata, rasanya kecut pait, apa di blender sekulit-kulit ama bijinya yak, Hmm … tapi seger, adem mak gleser di kerongkongan gua" Leha meringis setelah meneguk beberapa kali jus jeruk pada botol.
"Masa pait, lu halu jelas-jelas ini kecut manis, bener ini di blender sekulit ampe bijinya," Udin memandangi botol miliknya dan kemudian meletakkan di meja.
"Din lo tahu gak di belakang ada kasurnya, guede, terus empuk, emang gak papa yak kita nebeng dimari?" Leha memang senang tapi ini terlalu "berkat anak Sholeha" sekali.
Eh namanyakan Sholeha, ini mungkin nasibnya sedang mujur. Dan Leha bersyukur, ia diberi nama Sholeha.
"Yuk gua liatin kamarnya" Leha beranjak dari tempatnya dan kembali masuk dalam kamar,
"lu liat Din, itu kasur pengen bet gua jajal" ucapnya.
"Ya sono jajal aje, pan dimari lu bayar" Udin mendorong bahu Leha,
"Kagak ngapa kan yak?" Leha berjalan ke ranjang, dan mencoba menekan-nekan kasurnya, Udin kembali ke tempat duduk dan mengambil minuman yang dia bawa, lalu membereskan dan memasukkan dalam tas selempangnya,
Ia menatap kamar yang Leha tempati, ia menelan ludahnya, menghela nafas panjang,
"Bener empuk Din" Leha tak hanya menekan, ia sudah duduk dan bergelung dibawah selimut tebal.
"Enak bener Din, wangiiiiii, kok gua jadi ngantuk yak" Dan Leha pun terlelap. Hembusan nafasnya teratur. Leha nyenyak. Udin mengintip dengan raut tak bisa dijelaskan.
"Maapin gua Ha" kemudian ia keluar dari pesawat dan mendorong koper-koper mereka keluar bandara.
***
"Bagaimana persiapannya?"
"Oke Bunda"
"Bunda sama yang lain juga sudah di bandara"
"Baik Bunda, Pak Dio sudah konfirmasi, target sudah masuk dalam pesawat"
"Baik Copy!"
***
"Silahkan naik, Bos telah tertidur" pilot pesawat. Rombongan yang memakai atribut ulang tahun heboh itu mengendap masuk ke dalam pesawat Isak.
"Semuanya perlahan, hitungan ketiga kita dobrak pintunya" ucap berbisik wanita yang masih terlihat cantik walau sudah tak muda lagi.
"Nalen! Dobrak!" Perintahnya. Dengan bisikan kencang
"Lho kok Nalen Bun?" Pemuda yang mirip dengan Isak protes.
"Ya siapa masa Bunda?" Ujarnya masih dengan berbisik
"Ayah nggak mau nanti encok!" Tolak sang Ayah.
"Ck! Selalu diriku yang dikorbankan Tuhan adil kahini?!" Adunya.
PLETAK!
"AW!" Teriak pemuda itu. Mengusap jitakan sang Bunda.
"SSSTTTT…" suara mereka yang keras menggema di ruangan pesawat.
Di dalam kamar, Isak hanya mendengar keributan tak jelas. Ia kembali tertidur dan mengeratkan pelukannya pada guling empuk juga hangat.
Ia menyurukkan kepalanya lebih dekat pada benda empuk didepannya. Nyaman.
"Cepetan! Keburu leleh lilinnya!" Sang adik yang sibuk dengan kue berlilin mengomel.
Decakan terdengar, "Satu, Dua, Tigaaaaa"
BRAK!
"HAPPY BIRTHDAY BOY!"
"KEJUTAN!"
"KEJUTAAAAANNNN~"
Ctar! Ctar!
Ctar!
Ctar! Ctar!
"AAAAARH"
"AMPUN, AMPUNI SAYA KOMPENI! SAYA BERSEDIA JADI GUNDIK KALIAN!" Jeritan memekik terdengar.
Ctar!
Mereka tercengang melihat seorang gadis berantakan terduduk dengan tangan terangkat, dengan seorang lelaki menggelendot erat pada tubuh gadis itu.
Wajah si lelaki menyuruk pada samping dada sang gadis. Ia suka benda empuk dan hangat itu.
"Ish geli" ucap sang gadis serak, mata si lelaki menyipit melihat si gadis.
"Siapa kau?" Juga serak, mereka saling tatap dengan pandangan menyipit.
"ISAAC LEWI IBRAHIM II!" Suara menggelegar membangunkan kedua orang itu.
Tbc.
Namanya Isaac Lewi Ibrahim II anak pertama dari Isaac Lewi Ibrahim I dan Nami Ibrahim. Ia memiliki adik, Nalendra Ibrahim dan Misyarah Ibrahim. Nalen juga seperti dirinya, jomblo ngenes, berbeda dengan Sarah ia sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi akan menikah.
Ibunya, Nami Ibrahim selalu gencar mencecar dirinya di usia ke 35 yang sebentar lagi akan menuju 36 tahun ini, seharusnya ia telah memiliki 5 atau 6 orang anak yang lucu, montok dan ginuk-ginuk.
Isak hanya menatap sang Ibu dengan wajah tersenyum yang dipaksakan. Dalam hati Isak bergumam, kucing apa? Banyak sekali anaknya! Lalu dengan perlahan mengalihkan perhatian si ibu.
"Bapak, Fifa mengundang anda dalam pembukaan piala dunia" ucap sang sekertaris, Rena Samanta Delino, cantik, pintar istri dari Raka Delino. Sahabat Isak.
"Bukannya Nalen yang pergi?" Ucap Isak sibuk dengan laptopnya.
Rapat adalah nama tengah pria itu. Selalu sibuk adalah caranya untuk melupakan hal yang menyakitkan, sang cinta pertama, dulu itu alasan mengapa ia selalu menyibukan diri, namun sekarang menjadi suatu kebiasaan.
"Bapak Nalen juga diundang, kalian sekeluarga diundang, jadi bagaimana bapak? Hadir atau tidak?"
"Bagaimana dengan jadwalnya?"
"Bisa bapak, saya akan memadatkan jadwal milik bapak sekalian untuk cuti akhir tahun" ucap Rena dengan menggeser tab di tangannya.
"Lalu diakhir minggu, kita ada rapat dengan Marlin Corp, kita visit di singapura, sebelum keberangkatan ke Qatar" jelas Rena, sekretaris yang sangat cekatan, dan sangat membantu meringankan pekerjaan Isak.
Dulu sebelum Raka menikahinya, ibunya sempat menjodohkan mereka berdua. Namun Rena hanya menganggap dirinya bos juga kakak saja, ia pun begitu, menganggap Rena sebagai adik yang manis.
Sama sekali tidak ada perasaan lebih, dan banyaknya ia menolak perjodohan, sang ibu mengira si anak mbelok, alias suka dengan belalai.
Mendapat sangkaan seperti itu dari ibunya tidak membuat Isak risih. Ia hanya mengingatkan sang Ibu tentang cinta pertama yang tak bisa ia miliki hingga akhir hayat.
Dan Ibunya akan terdiam dan mengelus sang putra lalu memeluknya, "Abang masih nggak bisa lupa Bun?" Kilasan yang membuat Isak menghela nafasnya.
"Siapkan penerbanganku"
"Baik Bapak" Rena keluar ruangan Isak.
***
Seminggu yang melelahkan, pemadatan jadwal yang membuatnya mati berdiri menurut Isak, tak mengapa, saat cuti nanti ia akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, dengan cara tidur panjang.
Isak berjalan menuju pintu masuk bandara, ia tak melewati pintu biasa, ia memiliki akses khusus untuk mereka yang memiliki pesawat pribadi.
"Jam 10 kita akan sampai dan akan langsung bertemu dengan Marlin Corp, Dan semoga diskusi kali ini tak akan seriweh kemaren Bang!" ucap Rena yang mengatur jadwal Isak.
Mereka telah berada didalam pesawat. Rena duduk di depan Isak, mereka tak menyadari ada seonggok daging yang meringkuk nyenyak di kasurnya.
"Iya semoga, aku sudah pusing jika nanti Raka memberondong dengan banyak panggilan dan pertanyaan, mengapa menyandera istrinya begitu lama" keluh Isak,
Mata Rena memutar malas, Isak membalik kertas pada berkas yang akan menjadi bahan di rapat dengan perusahaan Marlin Corp.
"Aku pun bingung mengapa si dingin itu menjadi seberingas sekarang" Rena lirih.
"Apa?" Isak menaikkan alisnya menatap sekertarisnya. Lurus. Tajam.
"Ah nggak, masalah rumah tangga, bagi yang belum berpengalaman tak bisa ikutan, ups!" Rena pun beranjak dari kursinya ia kabur kekamar mandi yang berada di depan kamar.
Bahkan sang sekretaris pun suka sekali ikut menyindir dirinya. Ada apa sebenarnya dengan kejombloannya, mengapa semua orang tampak risau, padahal ia sendiri tak peduli.
Yang penting ia tak seperti si adik, Nalen, yang suka menebar benih kemanapun, ia tak memungkiri, ia juga mengandalkan jasa profesional, tapi satu yang ia jaga, ia tidak menebar benihnya sembarangan.
"Selamat cuti bapak" ucap Rena di tengah kelelahan pada wajah sang sekretaris.
Rapat yang mereka prediksi hanya memakan waktu setengah hari molor menjadi sehari semalam penuh.
Mereka baru keluar ruangan pukul 9 malam, dan tentu, di lobby sudah menunggu suami Rena dengan mata nyalang menatap Isak.
"Bisa jangan memonopoli istri orang! Sayang, kangen" Ucap Raka, sinis pada Isak dan berubah manis pada Rena yang sudah ia tarik masuk dalam pelukannya.
"Dia kerja, ya wajar, gue gaji gede" Isak malas melihat Raka yang menjadi seperti bayi versi jumbo.
"Lo tinggal dipakein popok, persis bayi lu!" Ejek Isak.
"Bodo amat, gak terganggu dengan kecemburuan jomblo bangkotan," Terus memeluk erat Rena yang tersenyum geli, melihat pertengkaran sang suami vs si bos yang macam bocah sd.
"Ayo sayang kita bulan madu lagi, tinggalkan saja jomblo tua itu dengan kesepiannya" ia mengecup bibir Rena dan menyeret sang istri menjauh.
"Bapak, nanti pak Dio akan mengantar bapak ke bandara." Teriak Rena, kepala Isak mengangguk dengan tangan yang melambai mengusir sekretarisnya itu pergi.
"Bapak kita langsung?" Supir yang Rena bicarakan sudah menunggunya di luar lobby perusahaan Marlin Corp. Tubuhnya sangat lelah. Ia benar-benar hanya butuh ranjang empuknya saja hari ini.
"Iya pak"
***
Isak jalan menuju pesawatnya yang telah bersiap membawanya ke Qatar. Ia masuk dan bertemu dengan co-pilot dari pesawatnya, kebiasaan dari dahulu, Isak tak suka adanya pramugari dalam penerbangannya.
Isak melepas jasnya, bergegas menyegarkan tubuhnya dari rasa lengket agar tidurnya semakin nyenyak.
Lelaki itu keluar dengan hanya mengenakan handuk, ia menggosok rambut basahnya dengan handuk kering, namun kantuk menghantam dirinya, dan menjatuhkan dirinya diatas ranjang. Isak tertidur cepat.
Tangannya menarik selimut tebal sembarangan agar menutupi dirinya dari hembusan pendingin ruangan yang cukup dingin.
Sosok gadis terlihat saat Isak menarik selimut, di sebelahnya dengan rambut yang awut-awutan juga baju berantakan, ia adalah Leha.
Leha merasa risih dengan celana panjangnya, ia bangun dan melepasnya dengan mata masih terpejam dan melemparkan kesembarangan arah, ia hanya menggunakan celana da lamnya saja.
Pun dengan kemeja transparan kebesaran yang ia kenakan ikut berantakan.
Ia kembali masuk dalam selimut karena udara dingin yang mengenai kulitnya, Leha bergidik dalam kantuk dan kembali meringkuk mencari kehangatan. Tangannya menyentuh sesuatu yang hangat.
Ia mendapat guling hangat dengan wangi sabun yang amat ia sukai, ia merapatkan dirinya, kakinya merangkul guling itu erat, hidung juga bibirnya menciumi aroma sabun yang wangi dan memabukkan. Dan kembali semakin membuatnya mengantuk.
***
Leha duduk bersimpuh diatas kasur. Ia dikelilingi oleh sosok-sosok malaikat, wajah layaknya dewa-dewi yunani. Jangan bilang ia berada di syuargah!
Pesawatnya jatuh kah? Oh tidak! Leha mencubit pahanya, sakit dan memerah, ia tidak bermimpi.
Ia melirik pada seorang yang menutupi dirinya dengan jubah handuk -yang tidak diikat- Leha bisa melihat ukiran perut rata hasil olahraga teratur, kecoklatan dan menggiurkan.
Matanya masih fokus pada roti sobek itu, Saat sang pemilik tubuh menyadari tatapan lapar Leha, kemudian menutup rapat aset pemandangan Leha.
Tak bisa melihat pemandangan seksi itu lagi, Leha pun berdecak, kesal.
Tidak sengaja matanya bertemu dengan mata dingin yang menatap dirinya tajam. Ia pun melemparkan tatapannya ke arah lain, dan merutuki kebodohannya.
Astagah, Leha, eling neng! Kau dimana sekarang!
Leha memutar ulang ingatannya, ia akan ke Qatar, ia masuk ke dalam pesawat, bersama sang sahabat si Udin, merayakan kegembiraan lalu ia mengantuk dan tertidur di ranjang empuk dan mereka sekarang di pertengahan jalan menuju negara itu.
Pertanyaannya kemana si Udin? Leha mengamati ruangan dan tak ada menemukannya, ia menatap cela pintu keluar, pasti Udin ada di luar.
"Hhh" helaan nafas terdengar dari samping telinganya, Leha kembali melirik dan mendapat tatapan tajam.
"Bang! Jangan mengelak!" Wanita dengan wajah cantik namun tak muda lagi itu bertolak pinggang. Ia menatap lelaki di sebelah Leha garang.
"Bun aku nggak tahu siapa dia?" Ujar lelaki se-lirih hembusan angin . Leha melihat kelelahan pada wajah tampan itu.
"Bu Maaf say—" Leha mencoba membantu si lelaki tampan itu.
"Tak apa nak, Anak saya akan bertanggung jawab, Bang, bunda ingin kalian menikah!" Keputusan yang membuat semua orang melongo. Begitu juga Leha.
Leha berdiri diatas ranjang, lembar selimut meluruh dari tubuhnya, Leha tak sadar dengan tindakannya yang cepat itu, ia mendekat pada si ibu lelaki tampan itu. "Bukan, Bu, Kam—"
"Semua lelaki keluar!" Suara tinggi wanita itu, membuat Leha menghentikan dirinya, tak berkutik. Handuk jubah menyelimuti punggungnya "Tutupi tubuhmu!"
Leha menatap tubuhnya, shock, dengan cepat merapatkan handuk jubahnya, ia tak tahu jika ia hampir tel anjang. Duduk dengan wajah memerah malu.
"Bang! Sana pakai baju mu!" Isak yang sedari tadi terdiam, ia mengikuti perintah sang ibu.
Isak mengambil kaos oblong juga celana panjang santai. Sebelum keluar ia melirik Leha yang masih menunduk dengan rambut acak-acakan.
"Sudah sana!" Ia mendorong anaknya.
"Bunda mau ngapain?" Tanyanya penasaran dengan mata memicing curiga.
"Keluar dulu Bang! Ish susah bener kalau di bilangin" Wanita itu mendorong Isak.
"Kamu bersih-bersih dulu ya, saya tunggu di luar" Leha mengangguk, tak berapa lama Wanita itu keluar ternyata anaknya yang ia pergoki tidur bersama wanita itu menunggu dirinya.
"Takut banget Bang pacarnya Bunda apa-apain" Wanita yang menyebut dirinya bunda itu, membuat anaknya berdecak. Senyuman bundanya yang membuatnya berdecak.
Sang Bunda pasti memiliki rencana tersembunyi. Dan ini tak akan baik untuk dirinya.
Setelah wanita cantik itu keluar kamar, Leha bergegas meloncat ke tempat celana panjangnya berada. Ia mengenakan dengan cepat.
Keluar kamar, ia ingin kekamar mandi matanya bersimborok dengan Lelaki yang dipergoki seranjang dengannya, Astaga, mirip headline koran merah hijau saja. Tatapan lelaki itu tajam, menghunus sanubarinya.
Cepat Leha mencuci wajahnya, merapikan rambutnya, melihat adakah belek dan iler di pipinya. Setidaknya ia tak boleh kucel di depan para dewa-dewi yunani itu.
Ia keluar dengan perlahan, Leha menunduk, ia menyampirkan rambutnya ke telinga, ia gugup.
ia mendongak menatap satu persatu lalu menuduk lagi, lalu mendongak seperti mencari sesuatu.
"Sini duduk dengan kami" Ucap wanita paruh baya yang cantik itu. Leha perlahan mendekat. Seperti pesakitan yang akan dihukum gantung. Yang Leha rasakan.
Leha duduk di kursi empuk namun terasa bergerigi tajam. Ia tak nyaman. Ia masih menunduk.
"Hai kau tak usah takut" ucap wanita itu, namun terdengar dengusan di sekeliling Leha. Wanita itu melirik tajam pada sang pendengus.
"Perkenalkan saya Nami Ibrahim, ibu dari Lelaki yang menidurimu—"
"Buun—"
"Sstttt … jangan memotong! Kau tersangka disini!" ucap Nami galak. Nalen si anak ketiga ikut merapatkan bibirnya, jika si ibu sudah seperti ini, maka mereka harus diam dan menurut.
"Bu in—"
"Panggil Bunda, kamu tak perlu cemas secepatnya anak saya akan menikahimu, Oh iya siapa namamu sayang?"
Tangan Leha terasa hangat, Nami menangkup tangan Leha. Mata Leha membesar. Ia bisa menatap mata jernih penuh kasih sayang disana.
"Leha bu, eh … Bun,Bunda" Entah rasanya hatinya menghangat dan haru. Inikah rasanya memanggil sosok seorang ibu.
"Oh sayang tak apa, semua akan baik-baik saja. Anakku akan bertanggung jawab." Leha menggeleng cepat. Matanya berkaca, ia menunduk dalam, rasa senang dan juga sendu menyeruak.
Ia teringat Abahnya, dengan gerakan sedikit menyentak ia kembali ke kamar, mengambil tasnya.
Ia kembali keluar, dan lelaki itu menangkap tangannya, dengan ponsel yang akan dihidupkan
"kita berada di pesawat, tidak boleh" ucap Isak. Memperingati.
"Maaf" Leha menunduk.
Ia menarik Leha dan mendudukan wanita itu di atas ranjang. "Kita buat kesepakatan!" Ucap lelaki itu memecahkan keheningan.
"Kesepakatan?"
"Kita pura-pura pacaran dan Saya akan memberimu apapun." Isak memegang kedua bahu Leha, menunggu respon Leha. Leha tampak berpikir. Lama.
"Baik! Aku punya tiga syarat permintaan" Leha telah yakin dengan keputusannya.
"Apa?"
"Permintaan pertama, Tiket piala dunia dan tiket ke indonesia."
Ia tak tahu namun hanya itu yang ada di otaknya saat ini. Tidak menemukan sosok Udin membuatnya tak berpikir panjang, kemana si Udin berada? Apa jangan-jangan tertinggal? Leha bingung juga sendirian. Ia tak mau sendirian di negara yang asing untuknya.
Dengan pikiran itu Leha menyetujui kesepakatan yang diajukan oleh lelaki tampan di depannya ini, Sudah Ha, dia memang tampan tapi tak.setampan Neymarmu! Leha memperingati dirinya sendiri.
"Sepakat! Dan kau berpura-pura menjadi pacar Saya?" Mata Leha membeliak, ia tak menyangka persyaratannya akan dikabulkan dengan mudah.
"Benarkah?" Anggukan Isak membuat khayalan dengan Neymarnya kembali berjaya. "My Neymar aku datang" bisiknya,
"Lalu permintaan kedua dan ketiga?"
"Aku simpan dulu untuk nanti" Ucapnya.
Kembali mereka terdiam. Mereka bergelut dengan pikiran masing-masing, tentu kalian tahu, Leha membayangkan bertemu Neymar berselfie ria, dan membuat video di media sosial. Sedangkan Isak meneguhkan hati semoga keputusan yang ia ambil ini benar.
"Okeh siapkan sandiwara kita, keluar dari sini, kita dihadapkan oleh keluarga besar," Leha mengangguk kaku, Ini cara Isak mengulur waktu, ia tak ingin menikah, apalagi dengan orang yang tidak ia kenal.
Ia telah menelpon Rena, dan bertanya, ini ada sangkut pautnya dengan sepupu Rena. Isak belum tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Namun ia juga tidak ingin merusak citranya di depan keluarga besarnya.
Dengan ia bersandiwara pacaran, setidaknya masalah akan cepat selesai, dan nanti bilang mereka ternyata tak sejalan dan mereka putus saat di indonesia. Dan tak ada pernikahan. Selesai. Pikiran cepat dan jenius. Isak tersenyum sumringah.
"Sebagai langkah pertama perkenalkan Saya Isaac Lewii Ibrahim II, kau panggil Isak, jangan Lewi, sampai disini paham?"
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!