16 tahun silam.
Seorang wanita yang tengah hamil mendatangi sosok ayah dari anaknya yang sedang makan di restoran bersama seorang wanita yang sedang menggendong bayi.
Baru saja mendekati pacarnya, air mata wanita tersebut langsung jatuh ketika melihat seorang perempuan yang tengah menggendong bayi. Perempuan itu menatap dirinya penuh tanda tanya. Wanita bernama Vadya itu buru-buru mengusap air matanya.
"Dia siapa El?" tanya Vadya wanita yang sedang hamil anak dari El yaitu pacarnya.
Bukan sosok pria bernama El yang menjawabnya. Melainkan wanita di depan pacarnya tersebut yang menjawab pertanyaan Vadya.
"Aku istrinya. Kamu siapa?" tanya wanita yang bersama pacarnya tersebut.
Bagaikan tersambar petir. Seketika dada Vadya terasa sesak. Air mata mulai berkumpul lagi di pelupuk matanya. Tanpa menjawab pertanyaan wanita itu, Vadya pergi meninggalkan restoran tersebut dengan air mata berlinang.
Apa ini? Jika wanita di depannya tadi menggendong anaknya El artinya wanita tersebut sudah hamil lebih dulu dari dirinya. Dia yang di selingkuhi atau malah yang terburuk. Dialah yang merupakan selingkuhan El.
Vadya bingung harus bagaimana, wanita tersebut duduk di bangku taman. Tangannya tidak berhenti mengelus perutnya yang sudah besar.
Tadinya dia menghampiri pacarnya untuk meminta pertanggungjawabannya yang ke sekian kalinya. Ya, sejak pertama kali Vadya mengetahui dirinya hamil dia sudah meminta El untuk menikahinya. Pria itu berjanji akan menikahi dirinya ketika sudah melahirkan. Hari ini dia ingin menagih janjinya karena sudah mendekati HPL. Tapi dia malah di kejutkan dengan keberadaan seorang wanita yang mengaku sebagai istri dari pacarnya.
"Sekarang aku harus bagaimana?" gumam Vadya sambil menangis.
"Ibu tidak mungkin merusak keluarga mereka." ucapnya lirih sambil menatap perutnya.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya disertai petir dan angin kencang. Wanita itu hendak berdiri dan berniat berteduh, tetapi disaat yang sama perutnya tiba-tiba terasa sakit.
"Nggak.. bukannya masih kurang satu minggu..' ucap Vadya sambil menahan rasa sakit di perutnya.
---
Beberapa hari setelah kelahiran putranya. Vadya masih belum berani keluar dari rumah sakit karena takut di cela tetangganya. Satu-satunya sahabat yang masih menemaninya adalah Anya. Anak perempuan tunggal dari pengusaha paling kaya di masa itu.
"Va, Lo udah pulih. Lo udah boleh pulang." ucap Anya yang menemani Vadya sejak wanita itu melahirkan.
"Gue takut.. Mereka akan mencemooh gue.. Bilang inilah itulah." ucap Vadya sambil menangis.
"Lo bisa tinggal di rumah gue."
"Memang orang tua Lo mau nampung wanita kotor kayak gue?" tanya Vadya yang langsung membuat Anya terdiam.
"Gue bakal bujuk mereka." ucap Anya.
Akhirnya karena paksaan Anya, Vadya mau di ajak tinggal di rumah Anya. Tapi sesampainya di sana, dirinya malah di usir oleh orang tua sahabatnya tersebut. Memang sejak lama orang tua Anya menentang persahabatan mereka.
"Ayah! Bunda! Dia sahabat Anya!"
"Ayah tidak peduli! Ayah tidak mau di rumah kita ada sampah!"
Deg! Sakit sekali..
"Maaf, saya akan pergi dari sini." ucap Vadya sambil menggendong bayinya pergi dari rumah mewah tersebut.
"VADYA!" Anya hendak mengejar sahabatnya, tapi dia di cekal oleh ayah dan bundanya.
Wanita itu berjalan di kegelapan malam sambil menggendong bayinya yang sejak tadi tidak berhenti menangis. Di saat seperti ini pikiranya buntu. Dia merasa tidak pantas hidup. Setelah sekian lama, akhirnya bayi di gendongannya tertidur.
Vadya membeli sebuah keranjang bunga yang agak besar dan segera kembali ke rumahnya. Di taruhnya kain-kain sebagai alas. Kemudian dia mengecup berkali-kali wajah putranya sebelum diletakkannya bayi laki-laki yang malang tersebut di dalam keranjang.
Wanita itu menuliskan dua buah surat yang diletakkan di samping keranjang tersebut dan juga memasangkan sebuah kalung yang diberikan El dahulu untuknya kepada putra kecilnya.
"Tolong rawat bayi saya.. Maaf, saya tidak mampu merawatnya sendirian. Di dalam keranjang ini sudah saya letakkan sejumlah uang yang kemungkinan cukup untuk membelikan dia susu sampai usia 3 bulan. Saya juga meletakkan dua buah surat. Satu surat lainnya tolong berikan kepada putra saya ketika dia sudah berusia 16 tahun. Namanya adalah Kafka Anzalion. Ulang tahunnya adalah tanggal 14 Februari. Jika dia sudah besar dan menanyakan saya, bilang saya sudah bahagia di sisi Tuhan. Tolong jaga bayi saya baik-baik.. Terimakasih banyak...
Vadya Kaveline."
Wanita itu menangis hebat malam ini. Mungkin bisa di bilang malam ini adalah titik terberat di dalam hidupnya. Dan dia tidak kuat.
Setelah semuanya siap, dini hari Vadya berjalan keluar rumah menuju sebuah toko bunga tempatnya bekerja. Dimana tempat tersebut ada seorang wanita janda yang ditinggalkan suaminya karena mandul. Toko bunga tersebut lokasinya jauh dari rumahnya, sehingga tidak ada yang akan mencemooh bayinya di sana. Di taruhnya bayi yang telah di beri nama Kafka Anzalion tersebut di depan toko bunga. Setelah itu dia berlari menuju sebuah jembatan yang melintasi sebuah sungai besar.
"Maaf.. maafin ibu.. ibu sangat menyayangimu.. tapi ibu tidak bisa mendengar semua itu.." ucap Vadya.
Dan.. Byurr... Wanita putus asa tersebut bunuh diri dengan lompat dari jembatan.
Satu jam kemudian.
Pemilik toko bunga itu, terbangun karena mendengar suara tangisan bayi ditengah derasnya hujan. Dia kira itu adalah halusinasinya karena begitu menginginkan seorang anak. Tapi suara tangisan tersebut semakin jelas. Wanita tersebut langsung buru-buru mencari asal suaranya.
Betapa terkejutnya dia menemukan seorang bayi di dalam keranjang bunga yang ada di atas meja.
"Astaghfirullah!" Wanita itu langsung mengangkat bayi tersebut dan membawanya masuk kedalam rumah.
Di gantinya bedong bayi tersebut dengan bedong bekas keponakannya dahulu karena bedong bayi tersebut sedikit basah terkena cipratan air hujan.
"Siapa yang tega membuang bayi selucu ini.." gumam wanita bernama Anggi sambil menggendong bayi yang terus menangis tersebut.
Setelah bayi itu tertidur lagi. Anggi meletakkan bayi tersebut di ranjangnya. Wanita itu kembali ke depan dan melihat isi surat yang ada di dalam keranjang. Ketika membaca surat tersebut Anggi tanpa sadar meneteskan air matanya. Diambilnya satu surat lainnya yang ada di dalam amplop dengan tulisan 'Untuk Kafka'
"Vadya..." gumam Anggi.
Anggi mengusap air matanya. Wanita tersebut kembali ke dalam membawa keranjang tempat Kafka tadi dan menyimpannya untuk diberikan kepada Kafka ketika sudah besar. Setelah itu ia masuk ke kamar melihat bayi yang sudah tertidur. "Tante tidak tahu dimana ibumu. Tapi, sampai kamu bertemu ibumu Tante akan merawat kamu Kafka. Dan, semoga ibumu baik-baik saja." ucap Anggi sambil mengelus pipi Kafka kecil.
Memutuskan untuk merawat Kafka adalah pilihan terbaik yang bisa dia ambil. Dia tidak mungkin menitipkan bayi itu ke panti asuhan karena ibu bayi tersebut mempercayakan bayinya kepada dirinya. Dan lagi, dirinya tidak yakin dengan keberadaan serta ibu bayi tersebut. Dia masih hidup atau... kemungkinan yang terburuk adalah ibu dari bayi malang tersebut sudah tiada seperti yang tertulis di dalam surat. 'Saya sudah bahagia di sisi Tuhan'.
...***...
...Bersambung......
16 tahun berlalu.
Kafka telah tumbuh menjadi seorang remaja yang baik hati, berbudi luhur, memiliki sopan santun, pekerja keras, ramah dan murah senyum. Itu adalah sifat yang di wariskan dari mendiang ibunya.
"Ibu!" panggil Kafka kepada Anggi.
"Ya? Kenapa nak?"
"Sini Kafka bantu bawain keranjangnya." ujar Kafka sambil merebut keranjang bunga yang di pegang Anggi.
"Kenapa gak belajar? Besok kan, sudah mulai masuk SMA?" tanya Anggi sambil tersenyum menatap putranya.
Kafka menggeleng sambil tersenyum. "Kafka ingin bantu ibu mengantarkan bunga." jawab Kafka. Cowok periang dan suka membantu. Itulah jiwa Kafka.
Anggi tersenyum bangga kepada putranya. Walaupun Kafka bukan putra kandungnya, tetapi berkat kehadiran Kafka dia tidak kesepian. Dia bisa merasakan bagaimana menjadi seorang ibu. Dan tentunya dia sangat menyayangi anak laki-laki tersebut.
"Pak Ahmad!!" panggil Kafka sambil melambaikan tangannya kepada tetangganya yang sedang membenahi genteng.
"Oh, kemana Kaf?!" teriak Pak Ahmad.
"Ngantar bunga pak!" jawab Kafka sambil teriak juga.
Tak jauh dari tempat itu. Kafka bertemu lagi dengan Bu Santi. Bidan ramah yang sangat akrab dengan Kafka. Bidan itu juga yang menjadi guru les Kafka selama ini.
"Bu Santi!" sapa Kafka dengan ramah.
"Eh Kafka. Mau antar bunga kemana nih?" tanya Bu Santi.
"Gak jauh kok Bu. Tuh di perempatan doang." jawab Kafka. Lalu tersenyum dan melanjutkan jalannya.
Anggi senang melihat Kafka yang ramah seperti ini. Sifatnya benar-benar fotocopy dari mendiang ibunya. Semasa hidup Vadya juga sangat ramah dan murah senyum. Banyak pelanggan yang datang ke toko Bunganya karena senang dengan pelayanan Vadya yang selalu ramah kepada semua pelanggan. Begitu juga sekarang ketika bersama Kafka. Selalu banyak pelanggan yang senang membeli bunga di tempatnya karena senang bertemu Kafka yang ramah dan murah senyum.
Setelah sekian lama berjalan. Akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang berada di ujung perempatan.
"Bunga!!" teriak Kafka sambil mengetuk pintu rumah.
Setelah menunggu beberapa saat keluarlah gadis kecil yang tingginya hanya sepinggang Kafka. Melihat gadis kecil yang keluar Kafka jongkok di hadapan gadis tersebut.
"Mamanya dimana dek?" tanya Kafka.
"Mama lagi keluar kak." jawab gadis kecil tersebut.
"Ini yang nerima bunganya adek?" tanya Kafka lagi.
Gadis kecil itu mengangguk sambil merogoh sesuatu dari sakunya. "Ini kak uangnya." ucap gadis tersebut sambil menyodorkan sejumlah uang kepada Kafka.
"Gadis manis. Nih bunganya." kata Kafka sambil mengacak pelan rambut gadis kecil tersebut. "Oh iya, nama kamu siapa?" tanya Kafka sambil tersenyum.
"Kaila kak."
"Wah, namanya cantik. Kayak orangnya. Nih kakak punya sesuatu buat kamu." ucap Kafka sambil mengeluarkan dua buah permen lollipop dari sakunya.
"Makasih kak!!!" gadis kecil bernama Kaila tersebut menerima permen dari Kafka sambil lompat-lompat kegirangan. Kemudian segera masuk ke dalam rumah karena dipanggil seseorang.
Setelah dari rumah Kaila. Mereka tidak langsung pulang. Ibunya mengajak Kafka ke sebuah toko alat-alat tulis untuk membeli persiapan sekolah karena besok adalah hari pertama dimana Kafka akan duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Bu, bukannya buku Kafka yang dirumah masih ada ya?"
"Itu kan buku kamu waktu SMP." ucap Anggi sambil tersenyum.
"Kalau uangnya buat beli Kafka buku, nanti buat modal ibu apa?" tanya Kafka.
"Gapapa, uang ibu masih ada kok."
Kafka tersenyum. "Makasih ya Bu.."
Sebelumnya Kafka sangat jarang membeli buku. Bukan karena Anggi tidak mau membelikan Kafka buku. Tapi Kafka yang tidak mau. Cowok itu biasanya akan memotong lembar-lembar buku tulisnya yang masih bersih dan menggabungkannya untuk menjadikannya sebuah buku yang bisa di gunakan untuk menulis. Menurutnya itu bisa menghemat pengeluaran, dan lagi lembar-lembar kosong di buku sisa sangat sayang jika di buang.
Malam harinya di rumah Kafka. Cowok itu sedang menuliskan nama dan mata pelajaran di buku-buku barunya. Tiba-tiba Anggi mendekat sambil membawa dua buah surat.
"Kafka.." panggil Anggi dengan lembut.
"Kenapa bu?" Kafka langsung menghentikan aktivitasnya menulis di buku dan memperhatikan apa yang akan di ucapkan Anggi .
"Buka ini setelah ibu pergi ya nak." ucap Anggi sambil meletakkan surat-surat tersebut di tangan Kafka. Mata wanita tersebut terlihat sembab. Artinya dia baru saja menangis.
"Ini apa Bu? Dan ibu mau pergi kemana?" tanya Kafka dengan wajah khawatir.
Anggi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Ibu tidak akan pergi kemana-mana.. Cuma pesan ibu, jangan pernah kamu lepas kalung itu, selalu makan tepat waktu. Jangan sakit. Cuci sepatu kamu setiap sudah terlihat kotor, jangan tunggu bau dulu baru di cuci. Jangan tidur terlalu malam, gak baik buat kesehatan. Jangan bandel juga kalau di sekolah, yang sopan sama bapak dan ibu guru. Jangan karena sibuk dengan toko bunga kamu jadi lupa belajar, ingat tugas utama kamu itu belajar." ucap Anggi sambil mengelus kepala Kafka dengan lembut.
Perasaan Kafka saat ini sungguh tidak enak. Dia tahu betul ibunya membunyikan sesuatu dari dirinya. Apalagi wanita tersebut memberikan nasihat-nasihat yang seharusnya tidak perlu di berikan karena Kafka selalu melaksanakan itu. Di tambah mata wanita itu terlihat sangat sembab seperti baru menangis.
"Ibu gak bohong kan sama Kafka?" tanya Kafka.
"Enggak kok." jawab Anggi. "Yaudah ibu mau tutup toko bunga dulu. Kamu selesaikan belajarnya ya." ucap wanita tersebut kemudian beranjak pergi dari sana.
Kafka diam, cowok itu memikirkan setiap kata yang baru saja di ucapkan ibunya. Dia tahu ibunya tadi menyelipkan kebohongan diantara kata-katanya. Tepatnya pada kalimat Ibu tidak akan pergi kemana-mana. "Kenapa ibu selalu bohongin Kafka?" gumam tanya bertanya.
Sejak kecil, Kafka selalu bertanya-tanya dimana keberadaan ayahnya? Mengapa dia tidak pernah melihatnya? Apakah ia masih hidup? Tapi jika bertanya kepada ibunya jawabannya selalu sama. "Ayah kerja di luar negeri nak." itulah jawaban yang Anggi berikan setiap Kafka menanyakan ayahnya. Kafka tahu ibunya berbohong, tapi dia memilih diam dan berpura-pura percaya.
Tangan cowok itu tergerak memegang kalung yang terpasang di lehernya. "Sebenarnya kalung apa ini? Kenapa ibu selalu bilang aku gak boleh melepas ini?" gumam Kafka. Dia pernah tanya kepada ibunya mengenai kalung ini, tapi ibunya hanya bilang itu peninggalan seseorang yang penting. Setelah itu dia tidak pernah bertanya apa-apa mengenai kalung ini, karena ia tahu jawaban ibunya pasti tetap sama.
"Ada berapa banyak rahasia yang ibu sembunyikan dari Kafka?" batin Kafka sambil melihat fotonya bersama Anggi yang dipasang di dinding kamarnya.
...***...
...Bersambung......
Keesokan harinya. Kafka berangkat sekolah menggunakan sepeda kayuh kesayangannya. Sepeda itu umurnya sudah cukup tua karena ibunya membeli sepeda itu ketika Kafka duduk di bangku kelas 5 SD. Tapi karena Kafka yang pandai merawat barang-barangnya, sepeda tersebut masih bagus hingga sekarang. Tidak ada cat yang mengelupas atau bagian yang rusak.
Kafka di terima di sebuah sekolah bergengsi di kotanya karena mendapatkan beasiswa. Ya sekalipun nilai rapot Kafka tidak terlalu tinggi, cowok itu punya keahlian di bidang musik. Dia pernah mendapatkan juara satu lomba menyanyi di tingkat nasional semasa SMP. Hal itu juga yang membuat Kafka di terima di Ivarnest High School dengan beasiswa yang didapatkannya saat menang lomba.
Saat ini Kafka sedang berkumpul di depan papan pengumuman untuk melihat dikelas apa dia di tempatkan. Cukup sulit untuk membaca tulisan kecil yang di tempelkan di papan pengumuman diantara kerumunan siswa siswi yang juga mempunyai tujuan yang sama dengan Kafka. Sampai akhirnya Kafka mempunyai kesempatan melihat di kelas apa dia ditempatkan. Ditelitinya nama-nama yang tertera di papan pengumuman hingga akhirnya dia melihat namanya terpampang jelas di barisan kelas X MIPA 2
Setelah mengetahui di kelas apa dia akan belajar. Kafka beralih melihat peta sekolah untuk menemukan dimana kelas X MIPA 2.
"Masih jam segini.. Yaudah makan dulu aja deh." gumam Kafka.
Cowok itu duduk di bangku taman dan memakan sarapan yang ia bawa dari rumah. Seperti itu sejak SD. Kafka selalu dibuatkan bekal dari rumah. Selain untuk menghemat pengeluaran, bekal dari rumah terjamin kebersihan dan juga gizinya. Itu yang Kafka tanamkan di dalam pikirannya sejak kecil.
"Gue gak tahu kalau sekolahannya sebesar ini." gumam Kafka sambil melihat seluruh halaman sekolah.
Di halaman depan sekolah terdapat lapangan basket, voli, bulu tangkis, dan sepak bola yang terpisah-pisah. Di sisi lain halaman terdapat taman dimana tempat Kafka saat ini berada. Di samping taman terdapat tempat parkir untuk guru yang dipisahkan menjadi sepeda motor dan mobil. Di sisi lain taman terdapat juga tempat parkir untuk murid yang di pisahkan menjadi sepeda motor, mobil, dan sepeda kayuh. Ada juga lapangan yang digunakan untuk upacara bendera setiap hari Senin yang sangat luas. Bisa dibayangkan betapa luasnya bukan. Itu baru halaman depan. Belum seluruh area sekolah tersebut.
Disaat Kafka asyik memakan bekalnya. Tiba-tiba sebuah bola basket menghantam kepalanya dengan keras.
"Akh!"
Beberapa anak cowok berlari mendekatinya dengan raut wajah yang khawatir disertai ekspresi merasa bersalah.
"Sorry sorry, gue gak sengaja. Lo gapapa kan?" tanya cowok yang berpostur tinggi. Kelihatannya dialah yang tidak sengaja melemparkan bola basket ke arahnya.
Kafka mengangguk. "Iya gapapa." jawab Kafka.
"Gapapa mata Lo anjr! Itu hidung Lo mimisan!" celetuk cewek yang baru saja datang. Cewek itu menyodorkan sebuah tissue kepada Kafka.
"Makasih." Kafka segera mengelap hidungnya.
"Ke UKS aja ya?" tawar seorang cowok yang memiliki wajah paling tampan diantara lainnya. Tapi penampilan cowok itu sedikit berantakan. Bahkan seragamnya tidak di kancingkan.
"Gak usah, gue gapapa." jawab Kafka.
Kira-kira ada 4 orang yang menghampirinya tadi. Tiga orang cowok dan seorang cewek. Satu yang sejak tadi menarik perhatian Kafka. Cowok yang memiliki wajah datar. Tapi di sorot mata cowok itu terlihat jelas kekhawatiran.
"Lo murid baru juga ya?" tanya cewek yang tadi memberinya tissue.
"Iya, Lo juga?" tanya Kafka.
"Yoi! Kenalin gue Yora. Lo siapa?" tanya cewek itu.
"Gue Kafka." jawab Kafka dengan ramah.
"Gue Nathan, salam kenal." ucap cowok yang tadi tidak sengaja melemparkan bola basket kepadanya.
"Gue Arzel. Salken." ucap cowok satunya.
Semua telah menyebutkan namanya masing-masing. Kafka melihat kepada satu orang yang belum menyebutkan namanya. Cowok itu terlihat sibuk dengan handphone genggamnya.
"Oh, dia Yohan. Gak usah Lo anggap, anaknya emang gitu. Kayak patung. Gak bisa ngomong." celetuk cowok yang bernama Arzel.
"Bacot!" sahut si cowok berwajah dingin.
"Salam kenal semuanya." ujar Kafka sambil tersenyum. Cowok itu menanggapi mereka dengan ramah karena bisa merasakan energi positif yang terpancar dari mereka berempat. Bukan karena punya kekuatan super, tapi jika seseorang memiliki energi yang positif orang lain pasti akan langsung nyaman di dekat mereka. Dan itulah yang Kafka rasakan.
"Kalian murid baru juga?" tanya Kafka kepada tiga cowok tersebut.
Mereka langsung mengangguk.
"Mau?" Kafka menyodorkan bekalnya. Dia kira mereka tidak akan mau karena dari penampilannya mereka terlihat seperti anak orang kaya. Tapi melenceng dari dugaan Kafka, nyatanya mereka langsung mau ditawari bekal oleh Kafka.
"Gue juga bawa bekal. Kalian mau coba?" tawar Yora sambil mengeluarkan kotak bekal dari tasnya.
Mereka berakhir makan sarapan bersama. Walaupun sama-sama baru mengenal. Tapi mereka bisa akrab dengan cepat. Bahkan Yohan yang notabenenya cowok dingin juga tidak ragu memakan makanan yang diberikan teman-temannya.
Hanya satu yang menjadi pertanyaan di benak Kafka. Mereka murid baru, tapi mengapa penampilannya seperti ini? Yora yang rambutnya berwarna pirang. Sedangkan Nathan tidak mengancingkan seragamnya. Beda lagi dengan Arzel, cowok itu berseragam lengkap dan rapi, tapi di pergelangan tangan kirinya terdapat banyak sekali gelang yang menumpuk. Satu-satunya orang yang berpenampilan normal adalah Yohan.
"Lo, gak takut ngecat rambut kayak gitu?" tanya Kafka kepada Yora.
Yora melihat rambutnya sendiri lalu tertawa. "Ini?" tanya Yora sambil memegang rambutnya. "Haha. Ini alami brother, asli dari cetakannya." jawab cewek itu disusul tawanya.
Kafka beralih melihat Nathan. Ketika Kafka hendak bertanya, cowok itu lebih dahulu menjawab apa yang akan ditanyakan oleh Kafka.
"Gue anak yang punya sekolah. Bodo amat mau gue penampilan kayak gembel juga gada yang marahin." ujar Nathan.
"Jangan tanya kenapa gue gak takut pakai gelang. Di sekolah ini bebas pakai aksesoris asal gak berlebihan." cetus Arzel tiba-tiba.
Kafka mengangguk mengerti. Dia senang disaat pertama kali masuk SMA langsung mendapatkan teman-teman yang baik seperti mereka. Padahal tadinya cowok itu takut tidak mendapatkan teman karena saat SMP tidak ada yang mau menjadi temannya karena dia tidak memiliki ayah.
"Kalau gitu kita semua berteman kan?" tanya Yora sambil menyodorkan tangannya.
"Iya dong!" sahut Arzel sambil meletakkan tangannya di atas tangan Yora.
"Kalau bukan teman kenapa mau makan bareng." ujar Nathan sambil ikutan meletakkan tangannya diatas tangan Arzel.
"Gue boleh join kan?" tanya Kafka seraya meletakkan tangannya di atas tangan Nathan.
Tinggal satu orang yang belum bergabung. Kafka, Nathan, Arzel, dan Yora langsung menatap Yohan. Hanya cowok itu yang tidak meletakkan tangannya di atas tumpukan tangan tersebut.
Yohan menghela napasnya lalu ikutan meletakkan tangannya di atas tangan teman-temannya. Setelah itu mereka mengangkat tangannya bersama-sama ke udara sambil bersorak.
...***...
...Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!