Janji Menikah
Maisara Hayati hampir saja menangis, saat berdiri di dekat pintu kamar Roni dan mendengar ucapan sang kekasih yang membuat telinganya sakit.
Namun, hal inilah yang membuat gadis itu akhirnya mantap menerima pernikahannya dengan Harlan Mahespati Prawira, seorang pria yang menderita stroke, dan tidak bisa melakukan apa-apa.
“Aku bersyukur, Maisara mau menikahi laki-laki itu atas permintaan Bibi Wendi, coba kalau dia menolak ... kita nggak akan bisa menikah secepatnyaa!”
Kalimat yang menyakitkan didengar Maisara dari balik pintu kamar Roni, kekasihnya itu. Ia tidak menyangka jika orang yang dicintai ternyata tega menghkianatinya.
Bukan hanya itu, Maisara melihat dari celah sempit pintu kamar yang terbuka sedikit, Roni sedang berpelukan erat dengan seorang wanita berambut lurus sebahu. Betapa terkejutnya ia setelah tahu bahwa, wanita itu adalah sepupunya sendiri, Nela.
“Ya. Aku beruntung mempunyai kekasih sepertimu dan aku pun bersyukur Maisara mau mengikuti permintaan Bibimu!”
“Apa yang bisa diharapkan dari Harlan, mungkin dia akan mati tak lama lagi, dan kekayaannya mungkin akan jatuh ke tanganmu, Sayang!”
“Ya. Tentu saja!”
Maisara mengepalkan tangannya, mendengar percakapan dua orang dalam kamar.
Sejak kapan mereka menjalin hubungan di belakangku? Dasar pengkhianat!
Ia sengaja datang ke kamar itu atas pemberitahuan seorang pelayan, yang entah kenapa tiba-tiba saja memberi informasi bahwa, Roni membawa wanita lain ke kamarnya.
Di kemudian hari Maisara baru tahu jika informasi yang diberikan pelayan adalah, permintaan Wendi--wanita yang menginginkan dirinya menikah dengan Harlan.
Walaupun sedikit aneh, tapi Maisara memaklumi mengapa Wendi memberitahunya. Sebab jika tidak, selamanya mungkin ia tetap akan mencintai sang kekasih dan tidak tahu kalau sudah berkhianat.
Wendi mengetahui perbuatan Roni sejak beberapa bulan yang lalu, karena secara tidak sengaja mereka sering bertemu. Maklumlah karena mereka adalah Bibi dan keponakan, yang tinggal dalam satu rumah.
Selama ini Maisara sering berkunjung di Mension keluarga Mahespati, saat mengerjakan tugas kuliah bersama Roni--kekasihnya sejak tiga tahun yang lalu.
Tidak ada wanita yang diajak ke rumah itu kecuali Maisara, tapi ia selalu menolak jika Roni mengajak ke kamarnya. Gadis itu merasa tidak pantas.
Namun, atas dasar apa Nela berani memasuki kamar itu dan membicarakan Maisara. Ia pun bertanya-tanya, bila kemungkinan ini hanyalah soal tidur bersama.
Beberapa hari yang lalu, Wendi mendatangi Maisara secara khusus, dan memintanya untuk menikah dengan anak satu-satunya, Harlan Mahespati.
Maisara tidak langsung menyetujui, karena tidak mengenal Wendi dengan baik. Walaupun, mereka pernah bertemu di kediaman keluarga Mahespati yang mewah dan sangat luas sebelumnya, tapi tidak banyak bertegur sapa.
Namun, setelah Maisara mengetahui pengkhianatan Roni dan Nela hari itu, ia pun menerima permintaan Wendi, dengan lapang dada. Terlepas dari apa pun alasan wanita tua itu memohon, menikah dengan pria tak berdaya tetap lebih baik, dari pada menikahi seorang pengkhianat.
Dalam perjalanan pulang, Maisara mengingat pertama kali ia berbicara serius dengan Wendi waktu itu.
“Aku tahu, kamu gadis yang baik, dan pasti mau membantuku menikah dengan Harlan.” Wendi berkata sambil memegang tangan Maisara dan terlihat sangat tulus.
Maisara hanya bisa terdiam tanpa memberi jawaban apa pun, selain menganggukkan kepala.
Di hari pertamanya datang, Wendi membawa hadiah untuk seluruh keluarga dalam jumlah yang sangat banyak.
Maisara pun terharu, meski jujur dalam hati ia belum bisa menerima nasib buruknya. Ini mirip perjodohan atau pernikahan secara paksa. Bagaimana tidak, sebab ayahnya pun menyetujui permintaan Wendi itu.
“Mai, bukankah ini luar biasa? Bibi Wendi tidak mungkin mengambil kembali semua yang sudah ia berikan walaupun, kau menolaknya! Kalau aku jadi dirimu, aku pasti merasa tidak enak dan mau menikahi putranya!” Nela berkata seperti itu pada sepupunya, sambil memakan buah pir.
Maisara diam di sudut sofa sambil melihat perhiasan dan barang mewah lainnya yang menumpuk di atas meja dan memenuhi ruang tamu rumah mereka.
Tapi, siapa Harlan? Aku tidak pernah melihatnya di kediaman Mahespati padahal aku beberapa kali ke sana? Roni pun tidak pernah menceritakan orang yang bernama Harlan itu padaku! Apakah ini rahasia? Bisa saja, karena dia stroke!
Maisara adalah gadis yang serius dan tidak terlalu menganggap penting urusan orang. Apalagi sesuatu yang tidak ada hubungan dengan kuliahnya. Maka ia tak peduli. Ia hanya mengetahui sepak terjang Harlan di dunia bisnis secara selintas saja. Selebihnya, soal asmara dan keluarganya, ia tidak tahu.
“Mereka, keluarga Mahespati, Mai! Menempati urutan teratas di Piramida kekayaan para konglomerat Kota Asnakawa. Itu saja sudah cukup, siapa yang tidak tahu soal mereka? Siapa yang tidak ingin menjadi bagian keluarga mereka?” Itu adalah desa-desus yang sering ia dengar di kampusnya.
“Kau beruntung, Mai! Bisa menjadi bagian keluarga itu!” Ucap Nela
Kata-kata itu disetujui oleh Sahida, ibu tiri Maisara, yang berkata, “Ya. Nella benar!”
Saat itu semua keluarga tengah berkumpul di ruang tengah. Ada Hansan—ayah Maisara, Sahida, dan Nella.
❤️❤️❤️❤️
Kekasih Pengkhianat
Maisara tinggal dengan ayah dan ibu tirinya karena terpaksa. Saat perceraian kedua orang tuanya terjadi, ia masih kuliah dan membutuhkan biaya dari sang ayah. Oleh karena itu ia bertahan di sana sampai sekarang.
Ia menerima Sahida dengan baik, karena wanita yang selama ini bekerja sebagai karyawan ayah dan ibunya itu, orang yang baik juga. Biar bagaimanapun, Sahida adalah wanita yang dicintai ayahnya. Dalam rumah itu, mereka bisa saling menghargai sebagai sesama manusia.
Namun, Maisara tidak tahu kenapa sejak saat itu, Nela pun tinggal bersamanya dan menikmati fasilitas mewah rumahnya, sebagai sepupunya.
Sementara Daina--ibu kandung Maisara, tinggal bersama keluarganya di kampung Desade yang cukup jauh dari kota.
Hari yang melelahkan bagi Maisara itu pun akhirnya berlalu, semua terasa berat karena pengkhianatan Roni. Namun, ia berhasil melangkah pasti meski perasaannya begitu putus asa.
Sesampainya di rumah, Maisara menerima ultimatum dari Hansan—ayahnya, yang mendukung agar ia menikahi Harlan. Ia hampir tak percaya, mengapa sang ayah tega menikahkan anaknya dengan lelaki stroke. Ia tahu, calon suaminya itu memiliki kekayaan tak terbatas, dan bila disamakan dengan jumlah tanah, maka hampir seluruh kota adalah miliknya!
Benarkah Harlan kaya? Karena itukah dia menikahkan aku?
Maisara merasa tak berdaya. Pertanyaannya bahkan tidak membutuhkan jawaban.
Untuk apa kekayaan sebenarnya, padahal tanpa kekayaan pun manusia bisa hidup dalam kedamaian asalkan tidak kelaparan.
Keesokan harinya. Maisara telah memakai gaun berwarna putih, dengan desain indah dan mewah kiriman Wendi. Ia terlihat memukau meski dengan riasan tipis yang sederhana. Ia wanita berkulit seputih susu dan bermata sipit, dagu dan hidungnya kecil selaras dengan pipinya yang tirus. Alisnya melengkung seperti bulan sabit, rambut ikalnya disanggul ke atas setelah diuntai sedemikian rupa. Ada hiasan bunga di samping kepala, membuat penampilannya semakin manis saja.
(Saya tidak membuat ilustrasinya ya, silakan bayangkan sendiri deh!)
Demi pernikahan itu keluarga Maisara sudah menerima harta yang sangat banyak.
Pernikahan dilangsungkan di rumah secara sederhana, disaksikan oleh seluruh anggota keluarga dari kedua belah pihak. Namun, yang menyematkan cincin pernikahan adalah Wendi, sang ibu mertua mewakili anak pertamanya.
Di mana pengantin pria?
Tanya beberapa orang di tempat itu, walau mereka tahu tidak akan bisa melihat Harlan semudah itu. Kecuali, ada keajaiban terjadi dan pengantin pria bisa sembuh.
Walaupun, semasa sehat Harlan adalah pria yang luar biasa, tapi melihat kenyataannya sekarang, ia bagai seonggok barang tak berguna. Mungkin saja kekayaannya akan jatuh pada Roni, cucu satu-satunya dari keluarga Mahespati.
Oh, jadi karena itu Nela menyerahkan dirinya pada kekasihku?
Semua orang mencibir, sebab Maisara hanya akan mendapatkan pria tak berdaya sepanjang hidupnya. Meskipun ia kelak akan mendapatkan warisan, kalau Wendi atau Harlan tiada, tapi tidak akan mendapatkan terlalu banyak tanpa adanya seorang anak.
Lalu, bagaimana wanita itu akan dapat keturunan kalau ia menikahi manusia yang tak memiliki jiwa apalagi hati untuk mencintai. Harlan hanyalah manusia yang hidup enggan, mati pun tak bisa.
Setelah acara pernikahan selesai, Maisara langsung diminta untuk tinggal bersama suaminya.
Ia menoleh melihat rumah di mana ia dibesarkan, sebelum menaiki mobil yang akan mengantarnya ke Mension keluarga Mahespati. Ia membawa koper besar berisi beberapa pakaian dan barang-barang pribadinya.
Selama dalam perjalanan, Maisara terus berpikir tentang, bagaimana nasib dirinya ke depan.
Namun, setidaknya Wendy--calon ibu mertuanya tidak jahat, itu saja sudah cukup dan mungkin ia bisa melakukan hobinya.
Membuat cerita dan kartun lalu, menjualnya.
Kata ayah dan ibunya, Maisara harus menjadi istri yang taat, walau ia akan menikahi pria cacat, mungkin akan seperti itu sepanjang hidupnya. Ia juga banyak membaca tentang riwayat stroke yang kebanyakan berujung pada kematian. Namun, Harlan masih muda kalau dilihat dari buku nikah di catatan sipil miliknya.
Bagaimana dia bisa mendapatkan penyakit seperti ini?
Harlan kaya raya, para pengawal dan anak buahnya pun, masih setia walaupun, selama sembilan belas bulan ia hanya berbaring di tempat tidur. Ibunya pun masih terlihat muda karena rambutnya dicat dan memakai riasan tebal. Tidak akan ada yang menyangka jika wanita itu sudah berumur 65 tahun. Bahkan, wanita itu tidak memiliki cucu.
Sesampainya di kediaman pribadi Harlan, Maisara pun tercengang karena tempat itu tidak sama dengan rumah Roni yang pernah ia masuki. Dari sopir ia tahu kalau yang ditinggali Wendi adalah kediaman keluarga besar, sedangkan Harlan tinggal terpisah, dan memiliki vilanya sendiri.
Oh, pantas saja aku tidak pernah bertemu dengannya.
Begitu masuk rumah, Hara—kepala pelayan di rumah itu menyambut kedatangan Maisara dengan antusias. Ia membawa gadis itu langsung ke kamar utama di mana Harlan terbaring setiap harinya.
Maisara hanya menurut saja.
Di sana sudah ada Wendi—ibu mertuanya Wina dan suaminya, Abid. Tiga orang itu duduk di sofa yang ada di dekat tempat tidur Harlan.
Di samping ranjang, ada seorang pria berpakaian putih layaknya dokter, ia berdiri kaku sambil menunduk. Pria itu adalah, perawat yang setia serta dipercaya mengurus Harlan.
“Apa aku harus tidur di sini bersamanya?” tanya Maisara seraya mengerutkan alisnya.
❤️❤️❤️❤️
Kehidupan
“Ya. Nyonya Haya! Itulah kamar Anda sebagai istri Tuan!” jawab Hara dengan ramah.
“Aku pikir di rumah sebesar ini pasti banyak kamar tamunya?”
“Tentu saja banyak, tapi Anda bukan tamu, melainkan Nyonya rumah ini, istri Tuan Harlan Mahespati ...,” kata Hara seraya keluar dari kamar.
Maisara biasa dipanggil dengan nama Hayati, oleh ibunya. Sebuah nama belakangnya yang artinya kehidupan. Hanya Daina yang memanggilnya demikian. Tentu saja pelayan itu tahu nama lengkap Maisara, yang jelas sekali tertulis dalam buku pernikahan. Wajar kalau ia memanggil Maisara dengan Nyonya Haya, sebab lebih enak di dengar.
Maisara duduk di sisi ranjang, melihat Harlan yang memejamkan mata, lelaki yang kini menjadi suaminya.
“Maisara!” panggil Wendi, dan gadis itu segera bediri, lalu menunduk hormat pada semua orang tua yang duduk melingkar di sofa.
“Ya, Nyonya Wendi!” sahut Maisara lembut dan sopan.
“Panggil aku Ibu, kau anakku juga, sama seperti Harlan!”
“Baik, Bu!”
“Kau memiliki hak penuh seorang istri di sini ... aku tidak akan membatasi semua kegiatan yang biasa kau lakukan sebelum menjadi menantuku, asal kau tetap ingat apa kewajiban dan tetap kehormatanmu, sebagai anggota keluarga Mahespati,” ujar Wendi penuh penekanan.
Maisara tahu betul apa maksudnya itu.
“Baik, Bu!”
“Ingat satu lagi, kau bersiaplah besok aku akan membawamu ke rumah sakit, untuk memastikan kesehatanmu. Kuharap kau bisa memenuhi harapanku dengan mengandung anak Harlan!”
Saat berkata demikian, Wendi berdiri diikuti Wina dan suaminya, tanpa senyuman sedikit pun di wajah mereka. Lalu, mereka keluar kamar dan menutupnya secara perlahan.
Mengandung anaknya?
Maisara menggeleng kepala, saat melihat rombongan itu pergi, sebab ia tidak melihat Roni ada di antara mereka.
Ke mana dia? Apa mungkin mantan kekasihku sedang merayakan kemenangannya dengan Nella, di kamar hotel atau di mana pun yang mereka suka? Terserah!
Gadis itu sudah memutuskan hubungannya dengan Roni, dan merasa jauh lebih baik tanpanya. Perasaan cintanya hilang begitu saja sejak mengetahui pengkhianatan pria itu.
Maisara memutuskan cintanya lewat telepon tadi malam. Ia tidak membutuhkan jawaban apa pun dari Roni saat menerima panggilan.
“Roni! Kita putus! Aku akan menikah!” hanya satu kalimat itu yang dikatakan Maisara, begitu telepon genggamnya tersambung. Ia tidak peduli apa yang akan ditanggapi oleh Roni.
Harusnya dia sadar mengapa aku memutuskannya!
Tak lama setelah telepon ditutup, Roni mengirimnya pesan seolah-olah merasa kehilangan dan merasa bersalah, ia menulis jika frustrasi karena putus.
“Cuih! Kau pikir aku tidak tahu perbuatanmu?” kata Maisara pada udara malam itu, “Aku tidak akan pernah menyesal memutuskan orang sepertimu!”
Lalu, ia menangis sampai puas. Setelah itu, ia menarik napas dalam-dalam, sambil menghapus nama Roni dari daftar kontak.
Kini Maisara sudah menjadi istri orang. Ia kembali duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan perawat yang melakukan terapi pada tubuh Harlan. Ia melihat dengan saksama wajah pria itu dan terpesona. Suaminya itu akan tampak sangat tampan dan gagah kalau duduk atau berdiri.
Fitur wajahnya serius dan menunjukkan katangguhan, Harlan mirip para pria yang menjadi super model paling keren, untuk iklan rokok ternama di negaranya.
(Maaf, saya kembali tidak membuat ilustrasinya, silakan bayangkan saja sendiri, saya rasa kalian pernah atau sering melihat banyak iklan rokok, kan?)
Sayang sekali matanya sekarang terus terpejam, seperti orang yang mati suri dari pada pasien penderita stroke.
Benarkah ia terkena stroke? Rasanya tidak mungkin!
“Apa aku boleh melakukannya untuk suamiku?” tanya Maisara pada perawat.
Pria itu tersenyum dan mengajarkan caranya. Maisara mengikuti, ia melakukan pijatan dan tekanan pada beberapa titik meredian secara perlahan.
Mereka memijit masing-masing satu bagian, perawat pada satu kaki dan Maisara pada kaki yang lain. Perawat berada pada satu tangan, dan Maisara pada tangan yang lain.
Tiba-tiba Maisara menghentikan gerakannya ketika melihat dada Harlan turun naik lebih kuat dari sebelumnya, seolah ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, begitu terus secara berulang.
“Apa aku menyakitinya?” tanya Maisara yang khawatir, karena ia pun melihat perubahan pada kulit wajah Harlan yang sedikit memerah. Padahal sebelumnya, wajah itu terlihat sangat pucat seperti orang mati saja.
“Tidak nyonya, seperti ini sering terjadi ... jangan khawatir itu menunjukkan kalau Tuan memiliki reaksi ... dan itu bagus!”
“Oh ya, berapa kali kau datang dalam sehari?”
Pria itu tersenyum samar dan berkata, “Tidak setiap hari, Nyonya, saya datang dua kali saja dalam sepekan.”
“Apa tidak masalah kalau aku melakukannya setiap hari?”
“Tentu saja tidak! Anda boleh melakukannya sesering mungkin, itu hak Anda sebagai istrinya!”
Maisara mengangguk. Setelah itu, perawat mengemasi barang yang digunakan untuk terapi, seperti jarum akupunktur dan alat pengisap darah kotor yang baru saja dibersihkan. Ia hendak pulang karena waktu terapinya sudah habis.
Dia harus bangun!
❤️❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!