NovelToon NovelToon

Godaan Daun Muda

Bab 1. Awal Mula.

"Hawa, carilah pria yang baik. Menikahlah dengannya setelah itu. Papi semakin tua, dan kamu membutuhkan pemimpin yang dapat mengingatkan serta membimbing mu," ucap pria paruh baya bermata sipit.

"Hawa, sebenarnya sedang dekat dengan pria itu, Pi. Dia cocok dengan kriteria yang kita mau," jawab Hawa, semringah.

"Langsung bawa kesini. Kenalkan pada, Papi!" titah pria keturunan Tionghoa yang bernama Samudera Lim ini.

Hawa Nuraisah adalah anak pertama dari direktur perusahaan tambang dan minyak bumi. Ia memiliki satu orang kakak perempuan dan satu orang adik laki-laki.

Sang papa yang keturunan Tionghoa ini, tidak ingin menikah lagi. Karena Muhammad Samudera Lim, itulah namanya. Pria berwibawa yang kharismatik itu masih belum bisa melupakan ibu dari ketiga anaknya, yang mana sudah setia bersamanya ketika masih meniti usaha dari nol.

Karena itulah, Samudera memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan bekerja serta bergabung dengan salah satu komunitas sosial. Mengurus beberapa daerah yang tertimpa bencana serta ikut ke dalam panitia dakwah untuk para mualaf.

Hawa dan kedua saudaranya tidak ada yang mengambil paras dari sang papa. Dimana Samudera memiliki kulit putih dan mata yang sipit. Hawa dan saudaranya memiliki kulit kuning Langsat serta mata besar seperti mendiang sang mama. Karena Keysha Alvira berasal dari pulau Jawa.

Hawa belum lama mengenal laki-laki ini di kampusnya. Ia tertarik dengan pembawaannya yang tidak seperti pria lain kebanyakan.

Dialah, Faruq Albani. Laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang.

Bertemu dengan Hawa ketika mereka kuliah di universitas yang sama. Pada saat itu, Mereka sama-sama menyelesaikan tugas dari semester akhir. Namun, berbeda tingkatan. Hawa lulus strata dua sedangkan Faruq Stara satu.

Mereka berdua seumuran. Hanya saja Hawa memang pintar dan mampu menyelesaikan pendidikan dalam waktu singkat. Sementara, Faruq yang memiliki keterbatasan otak serta biaya menjadikannya terlambat lulus.

Itupun sekolahnya di biayai oleh seseorang yang merupakan Abang dari Ibunya. Faruq, memanggil pria itu dengan sebutan uwak. Karena memang ia berasal dari pinggiran kota Jakarta.

Sejak lulus SMU, Faruq yang sudah tidak mempunyai ayah mengalami kendala dalam meneruskan kuliahnya. Sehingga, sang uwak memiliki inisiatif menggantikan peran sang ayah yang telah tiada. Berharap dengan memberikan pondasi pendidikan yang tinggi kepada Faruq, yang tak lain adalah anak tertua. Itulah yang, pria itu ceritakan pada Hawa.

Sang uwak memiliki harapan suatu saat nanti, Faruq dapat menjadi tulang punggung yang menjamin pendidikan dari ketiga adiknya serta dapat mengangkat derajat dari keluarga. Hawa yang berjiwa sosial tinggi, terkadang membantu keuangan keluarga Faruq. Kebaikan serta kemurahan hatinya itulah yang membuat Faruq jatuh cinta.

Saat itu di kampus.

"Bang, Papi mau ketemu sama kamu," ucap Hawa. Ketika ia dan Faruq ada di kantin taman belakang.

Deg!

Ni Ukhti pasti minta gua nikahin. As you wish, my lady.

Faruq tersenyum simpul. "Ya udah, kapan? Malam ini?" cecar, Faruq seakan menantang. Sambil menyeruput capuccino–ice. Karena siang yang cukup terik. Jadi, memang inilah minuman yang paling cocok membuat kepala dan hati menjadi sejuk.

Alhamdulillah, Abang mau.

Hawa mengangguk bahagia. Dia tau jika Faruq tidak mungkin menolak permintaannya. Pria itu juga tak mau mereka bertemu seperti ini secara diam-diam.

"Iya, Bang. Papi mau kenal sama kamu." Hawa berucap penuh binar kebahagiannya.

"Insyaallah, lagipula, Abang udah gak sabar menghalalkan kamu. Menggapai kesempurnaan ibadah bersamamu," ucap Faruq membuat Hawa tersipu.

Betapa senang hati, Faruq Albani. Ya, kapan lagi. Mendapat istri yang kemungkinan besar dapat menaikkan derajatnya.

Singkat cerita, Faruq pun bertemu dengan Samudera. Kedua mata pria itu hampir menggelinding kala melihat kediaman dari Hawa yang begitu luar biasa.

Perkenalannya dengan Hawa, pun berlanjut ke jenjang pernikahan. Faruq yang kala itu masih bekerja serabutan diangkat sebagai salah satu ketua divisi pemasaran. Dimana, Samudera dan Hawa juga bekerja di perusahaan yang sama. Hanya saja, Faruq di tempatkan pada anak cabangnya.

Mereka menikah lumayan mewah pada saat itu, semua modal di keluarkan oleh Samudera. Karena baginya tak apa memiliki menantu miskin asalkan akhlak dan agamanya bagus. Setidaknya ia bisa tenang karena salah satu anak perempuannya memiliki imam yang mampu membimbingnya di dunia maupun akhirat.

"Satu pesan Papi padamu, Faruq. Jangan sekalipun kau bertindak main hakim sendiri. Jika kau menyerah dan tak lagi mampu menasihati, Hawa. Kembalikan dia padaku, jangan kau tampar, apalagi kau banting!" pesan Samudera tegas.

Kehidupan Faruq seketika berubah pada saat itu juga. Karena Faruq menjadi sosok terhormat dan disegani di daerah kampungnya. Juga di sekitar lingkungan keluarga dan perkawanannya. Ia yang tadinya hanya lelaki biasa kini menjadi juragan yang naik-turun mobil mewah ketika pulang ke kampung menengok keadaan ibu dan para adik-adiknya.

Hawa, memang sejak pertama terpikat pada Faruq kerena pembawaan pria itu yang sopan dan alim. Wawasan agama yang seakan luas ketika ia mendengar Faruq acap kali berbicara. Hawa merasa ia telah menemukan apa yang ia cari dari sosok laki-laki yang pantas mendampinginya.

Enak banget ya jadi orang kaya. Semua orang akan hormat padamu.

_________

"Abang akan nikah sama anak orang kaya, Mah. Abang akan angkat derajat keluarga kita. Gak akan ada yang berani menghina kita lagi. Abang akan tunjukkan pada mereka bahwa, keluarga kita lantas dipandang!" Seru Faruq pada ibunya yang sudah agak tua ini. Usianya telah menginjak usia lima puluh tahun. Kedua pandangannya agak kabur. Karena dokter mengharuskan operasi katarak tapi, mereka belum ada biaya.

"Menikahlah Karen Allah, Nak. Bukan karena harta dan kecantikan. Karena semua itu tidak akan abadi. Semua itu memiliki waktu untuk habis dan berubah," pesan sang ibu..

"Tapi kan, Mah. Islam juga menganjurkan pada pria untuk menikahi wanita dari empat perkara. Satu agamanya, kedua parasnya, ketiga hartanya dan keempat nasab keturunannya. Betul kan?" cecar Faruq. Ia berusaha membenarkan opini serta pendapatnya.

"Memang benar, Nak. Karena apa, karena wanita itu adalah sebaik-baiknya perhiasan di dunia. Mereka juga yang akan melahirkan penerusmu. Karena itulah setiap laki-laki wajib melihat dari asal usul dan silsilah keluarganya. Juga dari ilmunya. Karena dialah yang akan mendidik anak-anakmu menanti menjadi pribadi yang sholeh dan sholehah. Karena setiap wanita akan menjadi ibu, dan setiap Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. karena itu setiap laki-laki harus mencari wanita yang pintar terutama mengerti dalam ilmu agama. Jika tidak ada, sebaik-baik perangainya maka kau pilihlah dia. Karena, sejatinya laki-laki adalah pemimpin," tutur wanita yang bernama Siti Nurhaliza, atau biasa di panggil Bu Nur.

"Tuh, kan. Pilihan Abang benar. Hawa selain cantik dan pintar, dia juga kaya raya. Sehingga anak keturunanku nanti pasti tidak akan tersia-siakan dan terhina. Bukankah, rosul juga menikahi wanita kaya, seperti Khadijah." Faruq tersenyum ketika Bu Nur tak lagi menyangkal ucapannya.

...Bersambung...

Bab 2. Sosok Yang Sempurna.

Ya, semua terlihat mudah bagi, Faruq. Karena, Hawa tak butuh pria berharta. Ia telah memiliki itu semua. Ia hanya butuh pria yang dapat membimbingnya serta calon anak-anak mereka nanti. Hawa ingin memiliki keturunan atau buah hati yang banyak. Ia ingin membanggakan diri nanti ketika bertemu Rosulullah.

Awal pernikahan baginya, Faruq adalah sosok pria luar biasa yang memang diidamkannya  selama ini. Tutur katanya yang lembut, tak pernah sekalipun kasar terhadapnya. Hingga kini usia pernikahan keduanya tak terasa telah menginjak usia dua belas tahun.

Meskipun terkadang sebagai manusia yang tak sempurna, Hawa pun bisa melakukan kesalahan. Maka, Faruq akan menasihati dengan pelukan dan juga ciuman. Sungguh, sebuah sosok pernikahan yang sakinah, mawadah, warohmah. Menurut, Hawa kala itu.

Merasa dirinya semakin tua, Samudera memutuskan untuk mengundurkan diri serta mengalihkan tampuk kepemimpinan pada orang yang lebih enerjik dan muda. Ia memilih menghabiskan waktu alias masa tua bersama kedua cucunya saja.

Yaitu anak-anak dari Hawa. Karena putri pertamanya belum memilliki keturunan.  Sebelum itu, ia menunjuk putri keduanya ini sebagai salah satu ketua dari dewan direksi yang memiliki kekuasaan di bawah direktur.

Sementara anak pertamanya yang tinggal di luar negeri fokus membantu usaha dari suaminya. Mereka akan mengunjungi di musim pertama dan hari raya saja.

Jangan tanya berapa gaji Hawa pada saat ini. Pastinya ia dapat membeli tiga hingga empat kendaraan roda dua setiap bulan hanya bermodalkan gaji pokoknya saja.

Belum lagi aset yang di miliki olehnya. Setidaknya meskipun sang papa tidak memiliki perusahaan tersebut, namun mereka telah memiliki banyak aset. Begitu pun dengan Hawa.

_______

"Sayang, gajiku kan sudah naik lima puluh persen. Ketimbang beberapa tahun lalu. Kini, terimalah nafkah dariku. Meskipun, aku sadar jika gajimu lebih besar dari ini," ucap Faruq di sertai senyum hangat di pagi hari yang cerah sebelum keduanya turun untuk sarapan.

Hawa sang istri pun menanggapi amplop yang di sodorkan oleh Faruq dengan senyum lembut seperti biasanya. Ia terlihat mendorong benda itu pelan.

"Abang, simpan saja. Rumah ibu juga kan perlu renovasi. Supaya lebaran tahun ini bisa menampung banyak saudara yang datang berkunjung. Aku ikhlas, gunakan saja untuk membantu saudara maupun keponakanmu yang mungkin membutuhkan. Jangan sampai ada keluarga kita yang kelaparan di saat kita memiliki kelebihan," tolak Hawa dengan penjelasan yang lembut, agar tak terkesan merendahkan suaminya. Ketika, Faruq berniat memberikan nafkah dari gajinya yang hanya seperempat dari penghasilannya itu.

'Bagus deh kalo gak di terima. Duit gaji jadi utuh. Bukan salah gue juga kan. Tapi kamu yang selalu menolaknya, Wa.' batin Faruq.

Pria dengan brewok tipis di sekitar rahangnya ini pun memasukan kembali, amplop tersebut kedalam sakunya. Ia tertawa getir. Meskipun dalam hati senang juga. Apa yang di sarankan oleh Hawa tak sekalipun pernah ia lakukan. Melainkan, Faruq menghabiskan uangnya untuk mengumpulkan aset atas namanya sendiri. Hingga, ia memiliki sebidang tanah serta simpanan mas batangan.

Lumayanlah di atas dua puluh juta. Bisa kalian bayangkan berapa gaji yang di dapatkan oleh Hawa. Namun, Hawa tidak seperti kebanyakan wanita yang suka menghabiskan uang dengan barang-barang branded.

Ia tidak punya kumpulan atau komunitas sosialita. Hawa ketika pulang bekerja tidak akan lagi keluar rumah. Ia menghabiskan waktu untuk anak dan suaminya serta sesekali memanggil guru privat untuk memperdalam ilmu agamanya.

Hawa yang ternyata memang memiliki jiwa sosial seperti sang papa.

Ia lebih senang membelanjakan uangnya untuk membahagiakan orang lain. Karena itu, ia akan di sambut dengan suka cita ketika berkumpul dengan keluarga dari suaminya. Karena pada saat itu, Hawa selalu membawa banyak hadiah seperti sembako dan pakaian. Juga tak ketinggalan menyisipkan salam tempel pada orang-orang yang lebih tua.

Seluruh keluarga dari Faruq sangat menghormatinya. Selalu menyanjungnya. Tersenyum semringah acap kali Hawa datang. Akan tetapi ternyata di lubuk hati terdalam Faruq ia merasa seakan di kucilkan. Ia merasa pujian itu tak ada yang mampir untuknya. Semua hanya pada Hawa saja.

Karena itulah, Faruq tidak pernah mau mengeluarkan uang sepeserpun setiap pertemuan. Baginya, apa yang di berikan oleh Hawa sudah cukup banyak. Pemberian darinya belum tentu berarti apa-apa. Begitulah pikirkan buruk yang selalu memenuhi otak serta hati kotor Faruq Albani.

"Lu kenapa, Bang. Malah mojok disini?" tegur sepupunya yang bernama Ikbal. Papa muda yang baru memiliki anak satu itu, terlihat mengerutkan keningnya bingung. Karena wajah serta ekspresi dari  Faruq nampak kusut.

Faruq terlihat menghela napas. Setelahnya ia kembali menghisap dalam asap dari nikotin yang selalu menjadi kawan setianya itu.

"Ngapain lagi, Bal. Kagak guna juga pan Abang di sono. Liat aje tuh. Cuma si Hawa yang jadi sorotan. Abang mah kagak dianggap dari dulu sampe sekarang tetep aje begitu," keluh Faruq mengungkapkan semua yang ia rasa menekan hatinya sejak beberapa tahun ini.

"Kagak begitulah, Bang. Itu mah perasaan Abang aja kali!" ujar Ikbal menjawab keresahan tak beralasan yang diutarakan oleh Faruq.

_______

"Dy. Kapan sih punya pacar kayak temen-temen lu padaan tuh?" tanya seorang ibu dengan daster lusuhnya. Sang anak gadis yang sedang mencuci piring sambil jongkok di depan pintu kamar mandi itu pun menoleh cepat.

"Lah itu, Bang Irham. Kan dia pacar, Dya," jawab gadis yang berusia sekitar sembilan belas tahun itu ketus. Ia tau kemana arah pembicaraan dari ibunya ini.

"Halah, cuma kurir antar barang olshop. Mana ada duitnye!" celetuk sang Ibu.

Gadis bernama Fradya itu pun mendengus. Tebakannya benar. Sang Ibu selalu mempermasalahkan pendapatan, Irham. Gadis itu menyusun perabotan yang telah bersih itu ke dalam bak bundar besar. Setelahnya ia bangun, hendak menuju kamar. Malas meladeni perkataan ibunya yang tak akan selesai menuntut.

"Ye ... anak jaman sekarang! Kagak ada akhlaknya banget. Lagi diajak ngomong ma orang tua malah ngeloyor gitu aje!"

Fradya membanting tubuhnya yang ramping tapi berisi itu ke atas kasur. Ia memilih untuk menutup telinganya menggunakan bantal. "Capek ngomong sama emak. Emang di kira gampang apa nyari cowok yang kaya!" gumam Fradya geram.

Dirasa tak ada lagi teriakan dari sang ibu, ia mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. "Gue juga mau punya pacar kaya. Apalagi suami yang kaya. Biar ngerasain yang namanya punya kasur empuk. Kamar yang bagus. Beli skin care mahal. Pake barang-barang bermerek," gumam Fradya seraya mengedarkan pandangannya ke sekitar kamarnya yang kecil dan lengkap. Hanya ada kipas angin baling-baling yang berputar lemah di atas kepalanya dengan berisik.

"Dyaaa!"

"Argh! Apa lagi sih emak!" Fradya, menahan kesal. Namun, tetap turun dari kasurnya.

...Bersambung ...

Bab 3. Kalau Bukan Beruntung, Lalu Apa?

"Perasaan gue gimana sih, Bal? Masa lu kagak bisa liat? Semua dia handle sendiri. Dia itu emang sengaja bikin suaminya kagak keliatan di depan orang." Faruq bukannya mereda justru semakin menjadi. Pria berjambang ini seperti panas sendiri.

"Kagak keliatan? Gimana maksudnya, Bang? Semua sodara juga ngomong ... kalo, Abang itu laki-laki paling beruntung. Hidup Abang jadi enak semenjak nikah sama Kak Hawa. Terus, kenapa Abang malah jadi kayak kesel gitu? Perasaan, apa yang Kak Hawa lakuin kagak ada yang salah? Dia juga kagak sombong dengan kekayaannya.  Itu yang bikin semua saudara nyaman dan seneng, Bang." Ikbal terus berceloteh mengungkapkan penilaian tentang Hawa menurut pandangannya.

Namun, hal itu bukan justru membuat Faruq adem, akan tetapi pria itu lantas mendengus gerah.

"Selalu bilangnya gitu kan. Gue yang beruntung." Faruq kembali mendengus dan tersenyum remeh setelahnya.

"Khan maen, Bang. Emang kenyataannya gitu. Sampe adik-adiknya, Abang lulus sekolah semua. Sayang aja pada kagak mao kuliah tuh pada. Padahal mah, iya-in aja. Tawaran dari kak Hawa. Eh, malah pada maunya kerja." Ikbal masih membela Hawa. Istri dari Abang sepupunya ini.

"Semua ngeliat dia emang bagian cakepnya doang. Tapi, yang ngejalanin kan gue. Semua yang lu liat enak. Belom tentu kenyataannya kayak gitu, Bal." Faruq semakin meninggikan suaranya ia juga lantas berdiri dan meninggalkan Ikbal yang melongo. Karena pria dengan wajah lumayan manis ini masih menelaah arti dari ucapan Abang sepupunya itu.

Hari sudah semakin sore. Faruq memberi kode pada Hawa agar pamit pulang. Cukup sudah kumpul di acara arisan keluarga hari ini. Hawa pun mengangguk berpamitan satu-persatu pada keluarga besar dari Faruq, suaminya.

Hawa yang tidak memiliki keluarga sebanyak ini sangat senang dengan kebersamaan serta kekompakan dari keluarga suaminya. Apalagi keluarga besar sang papa masih beda agama. Sedangkan dari ibunya masih ada di pelosok desa. Sementara kakaknya, tinggal berjauhan karena ikut sang suami ke luar negeri.

Jadilah, agenda silaturahmi sebulan sekali ini membuat Hawa merasa hidup. Ia bisa menjadi dirinya sendiri. Tertawa riang gembira. Di sela-sela kesibukannya di kantor. Hawa tak peduli, perhatian dari mereka tulus ataupun tidak.

Satu hal yang tetap ia tekankan pada dirinya sendiri ialah. Lakukanlah kebaikan dengan ikhlas karena Allah taala. Sehingga, kau takkan berharap balasan serupa dari manusia. Itulah, prinsip yang di pegang selalu oleh Hawa.

"Rania, Tania. Kita pulang sayang. Jangan lupa salim dulu sama nenek dan uwak semua." Hawa memanggil kedua putrinya, untuk berpamitan pulang.

Kedua anaknya nampak melambaikan tangan pada anggota keluarga yang lain, ketika kendaraan roda empat yang dikendarai oleh Faruq mulai keluar dari pekarangan. Hawa bersyukur karena kedua putrinya humble dan bersahaja.

"Rania kapan-kapan boleh nginep di sini gak Bun?" tanya putri pertama Hawa yang tahun ini akan lulus sekolah dasar. Sementara sang adik Rania akan naik ke kelas empat. Mobil mewah yang dikemudikan oleh Faruq melaju perlahan keluar dari perkampungan yang terletak di pinggiran kota.

Hawa hanya tersenyum, kemudian ia menoleh ke arah Faruq, suaminya. Pria berjambang yang berada di belakang kemudi ini hanya menggeleng.

"Sesekali tidak apa-apa, Bang. Nanti, kan aku bisa titipkan mereka di rumah kakak sepupumu yang juga memiliki putri seumur Rania," ucap Hawa membantu untuk meloloskan keinginan putrinya. Hawa tau, Rania jarang memiliki kawan seumuran selain teman sekolah.

"Nanti kebiasaan. Sekali dikasih nginep. Pasti akan ada yang kedua dan yang ketiga. Anak perempuan itu gak boleh di biasakan tidur di rumah orang lain. Kalau kamu mau main sama saudara yang seumuran, kalian kan bisa ketemu lagi bulan depan," tolak Faruq dengan segala alasan yang baik menurutnya. Bagiamana pun dia sayang kedua putrinya ini.

Hawa yang mengerti maksud dari ucapan suaminya pun mengangguk dan ia menoleh ke belakang. Melempar senyum hangatnya pada Rania. Berharap putrinya itu mengerti dan jangan merengek lagi. Hawa tidak pernah marah. Bagaimana pun tingkah kedua anaknya dia akan selalu menanggapi serta menghadapai dengan senyum.

Mereka telah sampai pada kediaman mewah nan megah milik Hawa. Bangunan luas dengan empat lantai ini memiliki total sekitar delapan kamar tidur. Satu kamar utama, dua kamar anak dan tiga kamar tamu. Dua yang lainnya kamar yang diperuntukkan sebagai tempat beristirahat para asisten rumah tangga.

Hawa memiliki total sepuluh pekerja di rumah mewahnya ini. Kebunnya yang luas membutuhkan penanganan khusus. Karena itu ia mempekerjakan dua tukang kebun. Dua penjaga rumah. Satu sopir dan empat asisten rumah tangga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!