NovelToon NovelToon

Terpaksa Merawat Anak Pelakor

1. Telepon Dari Rumah Sakit

Dering ponsel milik Bara berbunyi demikian keras hingga mengagetkan Shanaz yang sedang bertempur dengan sang suami sedang berada dalam puncaknya.

Shanaz menghentikan permainannya agar Bara mau merima panggilan itu.

"Abaikan saja sayang, aku sedang ingin bercinta denganmu. Jangan hiraukan."

Ucap Bara sambil membantu sang istri bergoyang riang di atas tubuhnya.

"Tidak sayang...! Ini sudah ketiga kalinya ponselmu terus berbunyi, biarkan aku mengangkatnya sambil bercinta denganmu.

"Jangan...! Ini jam satu pagi dan aku tidak ingin di ganggu." Lanjut Bara terus memaksa istrinya bercinta.

Keduanya memutuskan untuk meneruskan permainan mereka hingga akhirnya lenguhan panjang itu membuat keduanya terkulai lemas saat mencapai puncak kenikmatan bersama.

Dering telepon itu kembali berbunyi, kali ini Shanaz tergelitik untuk meraih ponsel suaminya dan menerima panggilan itu walaupun tidak ada nama penelpon.

"Hallo selamat pagi tuan Baratayudha!"

"Selamat pagi...! Ini dari mana...?" Tanya Shanaz yang masih duduk di atas tubuh suaminya dengan tubuh polos.

"Kami dari rumah sakit. Seseorang ingin bicara dengan tuan Bara. Gadis ini dalam keadaan sakarat karena mengalami pendarahan internal setelah mendapatkan kecelakaan mobil.

"Berikan telepon itu!" Ucap Shanaz sambil bangkit dari tubuh suaminya yang terlihat lemas setelah habis berpacu semalaman dengan sang istri.

"Bara..! Aku tidak kuat lagi sayang. Tolong rawat bayi kita! Aku tidak punya siapa-siapa di dunia ini kecuali dirimu, sayang. Aku pamit. I love you, baby..!"

Ucap gadis itu lalu menghembuskan nafas terakhirnya.

Duaaarrr.....

Bagai gemuruh ombak laut biru yang menghempaskan tubuhnya di tebing karang terjal, tubuh Shanaz seketika jatuh terkulai.

Air mata itu luruh dengan mulut tak mampu berkata apapun diikuti pandangan nanar menatap suaminya yang terlihat tenang tanpa dosa.

Cinta yang di bangun tiga tahun dengan penuh kemesraan dan romantis terburai begitu saja karena pengkhianatan suaminya yang tidak tercium sama sekali bau perselingkuhan.

Pernikahan mereka yang belum di karuniai anak, namun Bara tidak mempermasalahkan itu semua karena cintanya terlalu besar pada istrinya.

Bara yang tertidur tidak melihat ekspresi wajah istrinya yang sangat syok mendengar kabar itu.

Telepon itu berdering lagi, Shahnaz kembali mengangkatnya.

"Baik. Kami akan ke sana." Ucap Shanaz lalu masuk ke kamar mandi membersihkan dirinya.

Shanaz menangis sejadi-jadinya di dalam kamar mandi, merasakan dirinya paling bodoh di dunia ini karena terbuai dari tipuan suaminya yang berkedok suami romantis.

"Pengkhianattttt...! Prankkkk...!"

Kaca wastafel itu pecah berantakan membuat Bara sigap membuka pintu kamar mandi.

"Baby....!" Panggil bara yang melihat tubuh istrinya seperti kerasukan setan.

"Apa yang terjadi sayang? Kamu tidak apa-apa...?" Tanya Bara yang belum paham apa yang terjadi pada istrinya.

Shanaz memakai handuk dan keluar dengan rambut basah tanpa ingin mengusap rambutnya kering dengan handuk kecil yang biasa ia lakukan.

Ia tidak ingin menjawab pertanyaan suaminya dan langsung masuk ke ruang ganti.

Sesaat kemudian ia kembali keluar dengan pakaian rapi

dibaluti mantel hitam.

"Baby...! Kamu mau ke mana malam-malam begini?" Tanya Bara cemas melihat istrinya bukan lagi dirinya sendiri.

"Mau bertemu dengan selingkuhanmu. Aku ingin melihat seberapa hebatnya wanita itu untukmu hingga kamu begitu pintar mengatur kencan mu saat selingkuh di belakangku.

Kamu sangat hebat Bara. Dan kamu suami dan sekaligus pecundang bangsat. Bajingan sialannn...!"

Plakkkkk...plakkkk..!"

Tamparan keras itu di hadiahi Shanaz pada Bara yang sedang termangu saat mengetahui rahasia perselingkuhannya selama ini terbongkar juga.

Shanaz mengambil kunci mobilnya dan membawa mobil itu sendiri menuju rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, Shanaz menemui dokter Rania.

"Saya istrinya tuan Baratayudha. Di mana wanita itu? Apakah dia sudah meninggal?" Tanya Shanaz sambil menahan amarahnya.

"Nona Widia saat ini sedang koma, nyonya."

"Apa yang terjadi padanya?"

"Kecelakaan mobil dan kami belum tahu pasti kejadiannya. Pasien di bawah ke sini dalam keadaan terluka dan mengalami pendarahan internal. Bayinya bisa selamat." Ucap dokter Rania.

"Saya harap kalian tutup mulut atas kecelakaan wanita itu. Jika berita ini terdengar oleh wartawan saya tidak akan segan menuntut rumah sakit ini, mengerti ?"

Ucap Shanaz yang merupakan pengacara kondang di negeri ini.

"Baik, nyoya Shanaz!" Ucap dokter Rania yang tidak menyangka suami pengacara hebat ini selingkuh.

Shahnaz menemui Widia di ruang ICU dan melihat keadaan selingkuhan suaminya. Ia menarik sudut bibirnya sambil menatap keadaan Widia yang sangat mengenaskan.

"Sekuat apapun kamu ingin merebut tempatku, kau hanya wanita malang yang sedang mencari kehangatan suami orang lain entah demi apa." Ucap Shanaz begitu sinis.

Ia kemudian ke ruang bayi ingin melihat bayi suaminya di dampingi oleh dokter Rania.

Bayi itu terlelap dalam tidurnya.

Shahnaz menahan air matanya melihat bayi malang itu. Dadanya terasa makin sesak dengan tubuhnya menahan getaran.

Iapun membalikkan tubuhnya untuk segera meninggalkan rumah sakit itu dan lagi-lagi ia harus melihat suaminya yang sudah berdiri di belakangnya.

"Shanaz...! Ku mohon bawah lah putriku bersama kita karena dia tidak punya siapa-siapa selain aku dan kamu.

Keadaan Widia yang tidak tahu bagaimana nasibnya selanjutnya. Apakah dia akan kembali hidup ataukah akan mati. Aku mohon rawatlah putriku, Shanaz!"

"Apakah kamu gila ...? Kamu sudah melukai hatiku dan sekarang kamu ingin menyiram lagi dengan cuka..?

Kenapa tidak sekalian saja kamu bunuh aku, Bara? Kamu pintar bersandiwara dalam pernikahan kita selama tiga tahun, tapi inikah balasan cintamu yang setiap hari kamu katakan, bahwa tidak ada wanita lain di dunia ini yang kamu cintai selain aku untukmu yang kamu cintai.

Ternyata semuanya itu bull$hit....! I hate you, Baratayudha...!!" Ucap Shanaz langsung lari meninggalkan suaminya yang sedang berlutut sambil menangis.

Flash back!

Malam itu sekitar pukul sepuluh malam, Widia merasakan sakit pada perutnya. Harusnya ia belum saatnya melahirkan bayinya karena usia kandungannya masih delapan bulan lebih.

Lagi pula ia sudah meminta Bara untuk menginap di apartemennya saat menjelang persalinannya dengan dalih keluar negeri.

Karena terlalu merasakan sakit yang luar biasa, akhirnya Widia nekat membawa mobilnya sendiri menuju rumah sakit karena tidak kuat turun ke bawah menghampiri taksi.

Ingin rasanya ia menghubungi Bara, tapi mereka sudah berjanji untuk tidak saling menghubungi satu sama lain saat sudah berada di rumah agar istrinya Bara tidak curiga dengan perselingkuhan mereka.

Ketika berada di jalan raya, perut Widia makin sakit dan tidak terasa ketubannya pecah. Ia nekat mengambil ponselnya hendak menghubungi Bara.

"Semoga dia sendiri yang mengangkat telepon dariku." Harap Widia sambil mencari kontak Bara.

Tapi naas bagi Widia, ia tidak melihat lampu merah sudah menyala dan mobilnya sudah lebih condong ke depan membuat tabrakan itu tidak terelakkan lagi.

Brakkkk....

Mobil itu seketika berhenti dan Widia segera di bawa ke rumah sakit terdekat tidak jauh dari lokasi kejadian perkara.

2. Tidak Tega

Bayi malang itu diurusi sendiri oleh Bara di bantu pelayannya. Ia juga memberikan susu botol pada sang bayi sesuai takaran usianya.

Namun bayi itu tetap tidak ingin mengisap dot susu itu membuat Bara merasa tertekan. Air matanya ikut menangis mendengar tangis bayinya yang menyayat hati.

Shanaz yang mendengar dari kamarnya mencoba untuk menutupi kupingnya dengan alat sumpalan telinga.

Antara marah dan iba perasaannya saat ini bercampur aduk pada bayi malang itu yang menangis sepanjang malam.

Naluri keibuannya meronta untuk menolong bayi itu. Tapi memikirkan lagi bagaimana pengkhianatan suaminya membuatnya enggan untuk beranjak menghampiri kamar bawah di mana putri dari selingkuhan suaminya itu ditempatkan di bawah sana.

Kamar bayi itu yang dulu disiapkan oleh dirinya dan suaminya jika kelak mereka punya bayi. Tapi sekarang, kamar itu dipakai oleh bayi suaminya dari wanita lain.

Rasa sakit itu masih menggerogoti seluruh tubuhnya bahkan menuntut egonya untuk berpikir menceraikan suaminya.

Tapi pengorbanan suaminya untuk dirinya hingga rela memisahkan diri dari keluarganya demi menikahi dirinya yang merupakan seorang gadis yatim-piatu.

Jika bukan dengan suaminya, bagaimana mungkin dia hidup sendiri di luar sana walaupun ia bisa hidup dengan gajinya sebagai pengacara.

Tangis itu lagi-lagi membuat tidur Shanaz sudah tidak terlelap lagi. Ia bangkit dan turun ke lantai bawah menemui suaminya yang sedang menggendong bayi itu sambil menimang dengan penuh kesedihan.

Melihat kedatangan istrinya, wajah Bara makin terlihat sendu. Rasanya ia ingin bersujud di kaki istrinya untuk memohon maaf. Tapi luka itu tidak mungkin sembuh dengan ia bersujud.

Shanaz mengambil bayi itu dari gendongan suaminya dan membawanya dalam pelukannya.

Dalam sekejap bayi itu terdiam merasakan kehangatan dalam pelukannya Shanaz.

"Sayang...!" Panggil Bara terdengar serak.

Ia mendekati istrinya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga sambil memberikan susu botol itu pada bayi malang itu.

"Shanaz, sayang...! Maafkan aku kalau sudah membuatmu kecewa. Aku hanya ingin memiliki keturunan, hanya itu. Aku dan Widia tidak sengaja bertemu saat melakukan perjalanan bisnis." Ucap Bara sambil terisak.

"Apakah aku memintamu untuk menceritakan kisah asmara kalian di mulai?" Sarkas Shanaz sinis.

"Tidak. Aku hanya ingin kamu tahu alasanku kenapa aku nekat berhubungan dengan Widia."

"Apakah itu penting? Apakah dokter sudah memvonis aku seorang istri mandul bagimu? Bukankah kita berdua sama-sama subur, kenapa kamu tidak mau bersabar?" Tanya Shanaz menahan tangisnya.

"Iya sayang aku tahu. Aku sangat merindukan seorang anak, apalagi saat melihat pasangan lain berjalan dengan bayi mereka, itu sangat membuat aku sangat sakit. Aku memang sangat mencintaimu...-"

"Diam ..! Jangan mengulangi lagi kata-kata bualanmu itu. Kamu tidak mencintaiku. Kamu hanya mencintai dirimu sendiri.

Entah kata apa yang kamu nyatakan pada ibu si bayi ini, hingga ia juga terbuai dalam gombalan mu.

Perselingkuhan tidak akan terjadi kalau tiap lelaki di dunia ini bisa menahan dirinya untuk tidak terlibat cinta sesaat dengan wanita manapun yang ia temui." Semprot Shanaz.

"Maafkan aku sayang. Aku khilaf..Aku telah berdosa padamu."

"Khilaf karena ketahuan...? Sekuat apapun kamu menyimpan bangkai, tetap saja tercium juga.

Jika kamu ingin punya anak, kenapa tidak minta cerai saja padaku, dengan begitu kamu bisa bebas bertemu dengan wanita itu tanpa perlu sembunyi-sembunyi seperti maling.

Ketangkap basah baru minta maaf. Kemarin-kemarin lagi menikmati percintaan panas kalian, merasa berdosa nggak?" Sergah Shanaz.

"Aku akan mengurus perceraian kita secepatnya." Ucap Shanaz.

"Sayang..! Jangan lakukan itu..! Aku tidak bisa hidup tanpamu."

"Bukankah kamu punya wanita cantik, ibu dari bayi ini. Mungkin sebentar lagi dia akan sadar, aku yakin dia lebih dari segalanya yang bisa membahagiakan dirimu hingga kamu tega berpaling dariku.

Jadi tidak perlu dramatis seperti itu." Ucap Shanaz lalu ke kamarnya sambil menggendong bayi itu untuk tidur di kamarnya.

Shanaz membaringkan bayi itu yang sudah tertidur pulas. Ia juga mengusap perut bayi itu dengan minyak telon agar tetap hangat.

Bara ikut berbaring di sebelah Shanaz dan ingin memeluk istrinya. Ia tahu Shanaz memiliki jiwa yang besar dan akan menerima dirinya.

"Menjauh lah dariku...! Kalau bisa jangan tidur di sini. Apakah tidak cukup kamu melihatku sesak dengan merawat bayimu ini? Kamu kira aku merindukan sentuhan mu, hah?"

Bentak Shanaz yang tidak bisa luluh begitu saja dengan ucapan suaminya.

Bayi itu kembali menangis mendengar teriakan Shanaz.

Shanaz menenangkan lagi bayi itu dalam dekapannya.

"Sssttt...! Maafkan mami sayang..! Mami tidak marah denganmu...!" Ucap Shanaz sambil mengusap dada bayi itu.

Bara yang menyaksikan keibuan Shanaz membuat hatinya makin terenyuh. Ia sangat menyesal telah menyakiti istrinya.

Ia pun tidur di sebelah bayinya di atas ranjang yang sama dengan Shanaz.

Hampir dini hari ia menatap wajah Shanaz yang terlelap dengan air mata yang masih jatuh menetes membasahi pipinya.

...----------------...

Sebelum berangkat kerja, Shanaz memandikan bayi itu dan menjemurnya di matahari pagi. Ia lalu memberikannya susu dan menidurkan bayi itu hingga terlelap.

"Bibi...! Tolong jagain Baby Tisha..!"

Pinta Shanaz yang menyematkan nama indah itu pada bayinya yang artinya hidup.

Ia tidak perlu kompromi dulu dengan suaminya atas pemberian nama itu. Bara tidak keberatan apa yang dilakukan oleh Shanaz , karena dia sudah merasa sangat bersalah saat ini.

"Baik nona Shanaz ." Sahut bibi Anggi.

"Jika baby terlalu rewel, jangan sungkan untuk menelepon ku."

"Baik nona Shanaz ."

Ucap bibi Anggi yang merupakan pengasuh Bara sejak pria tampan itu masih bayi.

Shanaz membawa mobilnya sendiri menuju kantornya. Biasanya ia selalu berangkat bersama sang suami.

Sejak pengkhianatan Bara ketahuan, Shanaz tidak lagi respek pada suaminya. Bahkan ia meruntuhkan semua kewajibanya sebagai istri untuk membalas sakit hatinya pada sang suami.

Sepanjang jalan, Shanaz menangis sambil menyetir. Ia tidak habis pikir, kehidupannya yang sebelumnya seperti berada di dalam surga, kini berubah berada di dalam neraka.

Sementara Bara yang masih berada di mansionnya hanya duduk bersandar dengan baju kerja yang sudah siap berangkat menunggu kedatangan asistennya Eki menjemputnya.

CEO muda ini tidak lagi semangat menyambut pagi dengan penuh senyuman. Kini wajah itu terlihat murung menyesali perbuatannya pada Shanaz.

"Tuan...! Nona Shanaz terlalu baik untuk anda sakiti, tuan. Kalau bukan kemurahan hatinya, bayi anda tidak akan ia urus dengan penuh kasih sayang seperti itu.

Tidak semua wanita berjiwa besar mau merawat anak dari pelakor yang telah menghancurkan hidupnya. Bersyukurlah nona Shanaz tidak gila menyikapi ujian yang menyakitkan seperti ini."

Ucap bibi Anggi menasehati Bara yang sudah ia anggap seperti putranya sendiri.

"Apa yang harus aku lakukan bibi untuk menebus kesalahanku padanya?" Tanya Bara terdengar frustasi.

"Bertobatlah dan jalankan apa yang telah tuan sendiri memulainya. Seorang wanita bisa menciptakan neraka di dalam rumahnya jika hatinya disakiti." Ucap bibi Anggi apa adanya.

3. Sudah Tidak Tahan Lagi

Hampir dua bulan Bara tidak pernah lagi menyentuh istrinya. Rasa rindunya pada Shanaz makin membuatnya setiap saat gelisah hingga ia tidak fokus untuk bekerja.

Asistensinya Eki yang sekaligus sahabat akrabnya yang sudah tahu permasalahan rumah tangga bosnya ini, hanya bisa mengelus dada.

Pasalnya, permainan Bara begitu rapi saat berselingkuh dengan Widia, hingga ia sendiri sebagai asistennya Bara tidak menaruh curiga sedikitpun pada Bara yang terlihat seperti suami paling setia di muka bumi ini.

"Kenapa Bara ..? Sepertinya kamu makin terlihat sumpek setelah punya anak." Sindir Eki sambil nyengir kuda.

"Sialan kamu Ki...! Kepalaku saja hampir pecah, kamu malah makin menggodaku." Semprot Bara dengan wajah kelam.

"Apakah Shanaz masih marah kepadamu?"

"Bukan hanya marah, tapi dia sudah menyetop memberikan jatah mingguan padaku." Ucap Bara dengan wajah tertekuk.

"Kamu harus menerima hukuman mu itu sobat. Karena dosa mu itu sangatlah besar. Selama ini Shanaz melihatmu terlalu sempurna. Baginya hingga tidak melihat cela di dirimu dan itu membuatnya sangat bangga padamu.

Sekarang, saat kamu buat kesalahan dan kamu tidak tanggung-tanggung membuat kesalahan yang hampir membuat jiwanya mati.

Wanita mana yang mau diselingkuhi oleh suaminya walaupun suaminya terkenal bajingan atau suaminya yang terkenal bawel dan boros, wanita manapun tidak akan rela menerima perselingkuhan suaminya." Ujar Eki.

"Mau sampai kapan Shanaz menghukum aku seperti ini, Eki?"

"Selingkuh aja lagi bos. Tanggung kalau cuma satu." Sahut Eki sambil tergelak.

"Sialan..!" Umpat Bara sambil mengacak-acak rambutnya gusar.

Bara akhirnya cabut dari ruang kerjanya karena tidak bisa melanjutkan pekerjaannya.

Ia bergegas ke gedung pengadilan tinggi negeri untuk melihat istrinya yang saat ini sedang memegang kasus pengalihan lahan milik warga yang akan di jadikan real estate salah satu pengembang bisnis real estate.

Kedatangan Bara bertepatan dengan selesainya sidang itu, membuat ia segera turun untuk menghampiri istrinya.

Baru saja ia berjalan menuju gedung itu, ia melihat Shanaz sedang bicara dengan jaksa penuntut umum yang merupakan sahabatnya Shanaz saat masih kuliah dulu.

Hati Bara seakan tercabik-cabik saat melihat Shanaz sedang menitik air matanya lalu Mario mengulurkan sapu tangannya untuk mengusap air mata Shanaz.

Bara segera menghampiri istrinya karena takut Mario akan mengambil kesempatan untuk masuk terlalu jauh ke dalam hati Shanaz.

"Sialan si kunyuk itu. Apakah dia mau aku remuk kan wajahnya karena sudah berani mendekati Shanaz." Gumam Bara mengepalkan tangannya.

Bara terkenal suami posesif untuk Shanaz. Siapapun yang berani mendekati Shanaz hingga membuat istrinya terkesan, ia tidak mau tahu alasan apapun untuk bisa memberi pelajaran bagi lelaki itu.

Itulah sebabnya Shanaz selalu menjaga jarak dengan kolega maupun kliennya.

"Sayang ...! Apakah sudah selesai sidangnya?" Tanya Bara menekan suaranya terdengar manis.

Shanaz tersentak melihat Bara sudah ada di antara ia dan jaksa Mario.

Shanaz segera pamit kepada Mario." Ok. Sampai jumpa besok pagi di sidang berikutnya. Sepertinya kita akan menghadapi kasus yang lebih berat lagi daripada hari ini." Ucap Mario.

"Sampai jumpa Mario...!" Ucap Shanaz tersenyum samar.

Keduanya mengambil arah jalan yang berbeda sesuai tempat parkir mobil mereka.

"Mau apa kamu kemari?" Tanya Shanaz sinis.

"Aku ingin bicara denganmu, Shanaz!"

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan." Ucap Shanaz menghampiri mobilnya.

Bara yang melihat sapu tangan Mario masih ada dalam genggaman Shanaz, merebut sapu tangan itu membuat Shanaz makin berang.

Bara membuang saputangan itu lalu menginjaknya ke tanah.

"Apa-apaan kamu, Bara ....?"

"Kenapa kamu bicara dengan Mario? Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak bicara dengannya? Dan kenapa kamu sampai menangis? Apakah kamu ingin mengadu penderitaan mu padanya tentang suamimu yang berengsek ini?"

Ucap Bara lalu menarik tubuh Shanaz untuk masuk ke mobilnya.

"Untuk apa aku harus curhat pada Mario tentang pengkhianatan mu? Rasanya terlalu sedikit orang untuk tahu siapa kamu." Ucap Shanaz.

"Oh, jadi kamu mau mengundang wartawan untuk melakukan konferensi pers dengan mereka agar perselingkuhan ku terekspos ke media. Dengan begitu kamu akan mendapatkan empati dari netizen, hah..?" Tanya Bara sinis.

"Kalau iya kenapa?" Tantang Shanaz dengan wajah yang sudah tidak lagi bersahabat.

"Ok. Silahkan lakukan..! Kalau itu bisa membuatmu puas dan mampu mengobati rasa dendam mu padaku." Timpal Bara lalu masuk ke mobilnya.

"Mau bawa aku ke mana, Bara ?" Tanya Shanaz.

"Tentu saja membawa pulang dirimu ke rumah."

"Aku masih punya banyak pekerjaan di kantor."

"Apa peduliku. Kau istriku dan firma hukum itu milikmu dan kamu adalah CEO di sana."

Ucap Bara yang sudah membangun firma hukum itu untuk istrinya.

Shanaz tidak bisa lagi berkutik saat melihat wajah suaminya yang tidak lagi sabar menghadapinya.

Ditambah lagi, laju mobil yang dikendarai oleh Bara dengan kecepatan di atas standar.

Shanaz hanya bisa menutup matanya begitu mobil Bara hampir menyenggol mobil orang lain.

"Apakah kamu ingin membunuh kita berdua, hah? Hentikan...!" Teriak Shanaz yang sudah gugup saat gerakan mobil Bara meliuk ke kiri dan kanan mengambil cela di antara mobil kontainer perusahaan yang membawa alat-alat berat.

Lebih baik mati bersama daripada menghadapi diam mu yang membuat aku mati secara perlahan. Aku sudah mengaku aku salah. Anak itu juga sudah lahir.

Aku bahkan tidak bisa merubah keadaan apalagi Widia juga terbaring koma di rumah sakit seperti mayat hidup. Aku harus bagaimana denganmu, Shanaz ?"

Teriak Bara terdengar frustasi.

"Kamu mau apa dariku? Berdamai dengan keadaan? Menerimamu seperti dulu? Apakah hatiku ini batu yang tidak memiliki perasaan, hah?"

Mobil itu memasuki gerbang utama. Bara menginjak rem begitu kuat hingga menimbulkan bunyi yang terdengar ngilu seperti ringkikan kuda.

Shanaz turun terlebih dahulu dari mobil sambil berlari menuju kamarnya. Setibanya di kamar, pertengkaran itu kembali terjadi.

Bibi Anggi yang sedang menggendong baby Tisya menjauhi kamar keduanya menuju paviliun milik pelayan agar tidak mendengar pertengkaran itu.

Bara menjadi kasar pada Shanaz yang sudah terlalu lama menguji kesabarannya. Di tambah lagi Shanaz sudah berani bicara dengan jaksa Mario yang memperlakukan Shanaz begitu lembut.

Bara menghempaskan tubuhnya Shanaz ke kasur dan menduduki kedua paha Shanaz sambil menahan kedua tangan Shanaz.

"Aku sudah meminta maaf secara baik-baik kepadamu. Aku menahan diriku karena tidak mendapatkan nafkah batin darimu.

Aku mengikuti kemarahanmu hingga dadaku rasanya sangat sesak melihat sikap dinginmu, sekarang aku tidak sesabar itu lagi Shanaz.

Aku ingin menuntut hakku." Pekik Bara lalu memutus blazer milik Shanaz hingga kancing baju itu putus.

"Lepaskan...! Aku tidak sudi di sentuh pengkhianat sepertimu. Carilah wanita lainnya yang bisa memuaskanmu.

Bukankah kamu juga tidak puas dengan satu wanita hingga tidur dengan mayat hidup itu yang sekarang terbaring di rumah sakit?" Sindir Shanaz.

"Aku butuh kamu, aku tidak butuh yang lainnya. Aku butuh Istriku dan sekarang layani aku!"

Titah Bara yang sudah terangsang melihat tubuh Shanaz yang selalu membuatnya mabuk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!