NovelToon NovelToon

Ikatan Cinta Suami Korea

Surat perjanjian

"Negatif !"

Kedua sudut mata bulatnya mulai mengeluarkan cairan bening seraya menatap pada sebuah benda panjang dan terdapat garis satu berwarna biru. Untuk ke sekian kalinya dia melakukan tes kehamilan dengan harapan sosok malaikat kecil yang bernyawa sudah hadir di dalam rahimnya. Dengan linangan air mata dia mengusap perutnya yang masih terlihat rata dan berkata,"kenapa kamu belum saja hadir di perut mama nak? apa yang harus mama lakukan agar kamu segera hadir? tolong mama nak, mama tidak ingin berpisah dari papamu."

Norin tidak bisa membayangkan jika suatu hari nanti dia harus berpisah dengan sang suami yang sangat di cintai nya. Suami mualaf yang baru enam bulan menikahinya di sebuah pondok pesantren milik pamannya tanpa dia duga. Norin sendiri tidak pernah berkhayal bahkan bermimpi akan di nikahi oleh bos nya sendiri sekaligus pria yang sudah merenggut kesuciannya. Pria asing yang tampan dan rupawan serta kaya raya berkebangsaan Korea.

Flashback

Brakk...

Sebuah file serta satu buah pena tergeletak di atas meja tepat di hadapan Norin yang sedang duduk di sebuah kursi sembari membaca buku. Nyonya Hoon telah melemparnya dengan kasar sehingga membuatnya terperanjat. Norin segera menutup bukunya, menegak kan posisi duduknya lalu meraih file itu dengan perasaan ragu. Sejenak dia memperhatikan file di tangannya kemudian mendongak melihat pada kedua orang yang sangat dihormatinya sedang berdiri angkuh di hadapannya yang berjarak dua meter darinya.

Dengan perasaan campur aduk antara heran, terkejut, serta gugup, dia memberanikan diri untuk bertanya pada kedua mertuanya itu." Dad...Mom..apa ini?"sembari menunjukan file yang tengah di pegang olehnya pada mereka.

Nyonya Hoon tersenyum sinis kemudian menumpukan ke dua belah tangan nya di atas perutnya dan berkata,"baca saja dan setelah itu segera kau tanda tangani tanpa harus protes," titah nyonya Hoon, tegas dan menekan serta tatapan tajamnya tidak lepas dari wajah cemas sang menantu yang tak pernah di anggap olehnya.

Sejak dari pertama kali Norin menginjak kan kakinya di rumah besar keluarga Hoon yang bertempat di Seoul, Korea, nyonya Hoon sudah menunjukan sikap ketidaksukaan nya pada Norin sebagai seorang menantu yang berasal dari Indonesia. Dia tidak pernah merestui pernikahan Shin dengan wanita yang di anggapnya sebagai wanita miskin serta berpenampilan aneh. Sebab, di negara korea tidak ada wanita yang berpenampilan seperti Norin, memakai baju tertutup serta hijab panjang dan hanya menampakan wajah serta telapak tangan saja.

Menurut nyonya Hoon, Norin tidak pantas berada di tengah - tengah keluarga Hoon yang berkiblat pada paham atheisme sekaligus keluarga kaya raya pemilik perusahaan Nobland Group yang terpandang dan terhormat.

Nyonya Hoon beranggapan bahwa pernikahan mereka merupakan sebuah kesalahan besar karena menikah tanpa sepengetahuannya serta suaminya, Yeun jin Hoon. Dia sangat menyesali kenapa anaknya yang sempurna itu menikahi seorang wanita biasa berasal dari Indonesia serta dari kasta bawah.

Dengan tangan sedikit gemetar Norin menuruti perintah nyonya Hoon untuk membuka sampul file berwarna kuning kemudian menemukan selembar kertas putih berisi tulisan. Dia membacanya setiap kata demi kata dan dalam hitungan detik wajahnya berubah menjadi tegang, ternyata kertas itu merupakan sebuah kertas berisi perjanjian yang telah di buat oleh mertuanya untuk dirinya yang mana perjanjian itu berisi dua pilihan yaitu yang pertama, Norin harus meninggalkan negara Korea serta meninggalkan suaminya untuk selamanya. Dan yang ke dua, Norin tetap berada di Korea dan menjadi istri anaknya namun harus merelakan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain jika dalam satu tahun ini dia tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga Hoon.

Sungguh dua pilihan yang sangat berat tentunya, bagaimana mungkin Norin sanggup menyetujui dua pilihan itu karena dia sendiri sangat mencintai anak mereka. Kedua bola mata bulatnya mulai berkaca kaca, Norin tidak menyangka baru tiga bulan usia pernikahannya dengan Shin, dia sudah mendapatkan tuntutan dan tekanan dari sang mertua.

Norin menatap getir pada kedua mertuanya yang masih berdiri angkuh dan seolah olah memandang rendah dirinya. Nyonya Hoon yang dia hormati selama ini tidak pernah menunjukkan kesukaannya pada dirinya sejak awal kehadirannya di rumah besar keluarga Hoon. Sementara Tuan Hoon sendiri berubah sikap dari yang mulanya bersikap baik dan hangat menjadi dingin padanya. Air mata Norin mulai mengalir ke dasar pipi mulusnya, dia tidak pernah memikirkan tentang bagaimana sikap orang tua suaminya terhadap dirinya ketika dia memutuskan untuk ikut dengan sang suami tinggal bersama mertuanya di korea.

"Cepat kau tanda tangani kertas itu wanita aneh, aku jijik sekali melihat air mata wanita munafik seperti mu." Nyonya Hoon menekan kan kembali apa yang harus Norin lakukan setelah membacanya. Kekesalannya semakin bertambah karena Norin tidak langsung menandatangi kertas itu melainkan dia mengeluarkan air mata. sebab, nyonya Hoon sendiri tidak suka melihat orang menangis. Dia beranggapan bahwa orang menangis merupakan orang yang bodoh dan lemah, maka tak jarang dia menyebut Norin adalah wanita bodoh dan lemah karena sering kali menangis.

Air matanya semakin mengalir deras, rasanya ingin mengatakan bahwa dia tidak mau menandatangi perjanjian itu namun lidah nya terasa kelu dan sulit mengucapkan kata kata.

"Jangan kau buang buang waktu kami, apa kau pikir kami sudi memiliki menantu yang asal usulnya tidak jelas sepertimu? harus nya kau sadar diri siapa dirimu? kau tak pantas berada di tengah tengah kami." Nyonya Hoon kembali menekan Norin dengan suara lantang.

Tuan Hoon sendiri sebenarnya merasa iba pada sang menantu yang tidak pernah di perlakukan baik oleh istrinya. Namun ego nya yang sangat besar untuk memiliki seorang keturunan dari Shin membuatnya menutup mata dan hatinya. Kemudian dia pun ikut berkata," benar apa yang dikatakan istriku, kau jangan membuang buang waktu kami. Kau tau siapa aku bukan? aku harus memiliki seorang keturunan sebagai penerus ku, jika aku tidak memiliki penerus lantas siapa yang akan meneruskan perusahaan besar ku ini di masa depan? aku harap kau mengerti keinginanku."

Tekanan dari kedua mertuanya membuat Norin tidak bisa berbuat apa apa. Mereka sama sekali tidak memberikan toleransi padanya dan mau tak mau dia harus mengikuti keinginan kedua mertuanya untuk menanda tangani kertas yang masih di pegang erat olehnya meskipun sebenarnya sangat berat, berat sekali.

Norin mengusap air matanya terlebih dahulu sebelum menorehkan tinta berwarna hitam di atas kertas tersebut, kemudian dia berucap dalam hati."Maaf kan aku suamiku atas apa yang aku lakukan tanpa sepengetahuan dan seijin mu. Ketahuilah apa pun yang terjadi nanti aku akan selalu mencintaimu sepanjang hayat ku."Setelah berkata dalam hati, Norin pasrah dan dengan tangan gemetar dia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas perjanjian yang tersebut. Hal itu tentu saja di sambut tepuk tangan serta senyuman yang merekah di bibir Nyonya Hoon.

"Ingat, kau tidak boleh mengadu pada anak ku tentang perjanjian ini. Jika tidak, lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu."Nyonya Hoon mengancam, kemudian dia mengambil kasar file yang sudah di tanda tangani di atas meja lalu beranjak pergi dari hadapan Norin. Sementara tuan Hoon hanya melirik ke arah nya tanpa berucap sepatah kata pun padanya. Setelah itu, dia pergi begitu saja meninggalkan sang menantu yang tengah tergugu.

Norin memegang dadanya yang terasa sesak sekali dan dia berkata menenangkan perasaannya sendiri." Sabar Norin...sabar...ini masih tiga bulan dan masih ada sisa sembilan bulan lagi, yakin lah kamu pasti bisa memberikan mereka seorang keturunan seperti yang mereka inginkan." Setelah berkata, dia memejamkan matanya dan berharap apa yang telah terjadi merupakan hanya sebuah mimpi buruk bukan kenyataan pahit.

Flashback off

Setiap hari Norin merasa menjalani kehidupannya dengan perasaan tidak pernah tenang mengingat perjanjian dirinya dengan mertuanya yang selalu berputar putar di otaknya. Dan sekarang kecemasan pun mulai menyelimuti hatinya karena sudah enam bulan usia pernikahannya dia masih saja belum kunjung hamil. Norin berpikir bagaimana nasib rumah tangganya jika dia benar benar tidak bisa hamil dalam jangka waktu satu tahun ini.

"What are you doing here, honey?" Suara bariton sang suami menyapanya.

Gara gara testpack

Norin terkejut mendengar suara suaminya yang bersumber dari arah belakang punggungnya. Dia menjadi panik lalu segera menghapus air matanya dengan asal. sebab, dia tidak ingin suaminya mengetahui jika dirinya tengah menangis hanya karena sebuah testpack yang telah menunjukan hasil negatif.

Norin pikir Shin masih tidur ketika dia beranjak dari tempat tidur tapi ternyata Shin sudah terbangun dan mencarinya hingga ke walk in closet. Shin sendiri merasa heran kenapa istrinya lama sekali berada di walk in closet, oleh sebab itu, dia menyusulnya dan mendapati sang istri hanya berdiri mematung membelakanginya.

Baru saja Norin menghapus air matanya, tiba tiba dua buah tangan kekar sudah melingkar di perut ratanya, sebuah dagu mendarat di pundaknya kemudian bisikan lembut dan manja menyapanya," kamu sedang apa di sini sayang? kenapa lama sekali meninggalkan aku sendirian di ranjang?" Setelah menyapa, dia mengecupi punggung mulus milik sang istri yang masih berdiam diri.

Sejenak Norin memejamkan matanya menetralisir perasaannya. Setelah di rasa perasaannya stabil, dia membalik kan tubuhnya menghadap pada wajah tampan Shin lalu memberikan senyuman semanis mungkin padanya.Tangan kanannya bergeliar manja di dada bidang yang terbuka sambil berkata," aku sedang mencari pakaian ganti sayang." Norin berusaha bersikap setenang mungkin agar suaminya tidak curiga.

Semenjak tinggal di rumah besar keluarga Hoon, Norin kerap kali bicara bohong pada Shin menutupi perlakuan buruk kedua mertuanya padanya. Bukan tanpa alasan dia berbicara bohong, sebab, Norin sendiri tidak ingin hubungan antara anak serta orang tua menjadi renggang hanya karena pengaduannya.

Kelakuan tangan nakal Norin membuat Shin merasa kegelian dan membangunkan birahinya namun hal itu dapat dikendalikan setelah mendapati sisa air mata yang menempel di wajah Norin. Kemudian Shin meraih wajahnya lalu menghapus jejak air mata yang masih ada secara perlahan. Apa yang di lakukan oleh Shin sontak saja membuat Norin terkejut, bagaimana bisa dia melupakan tentang bagaimana kondisi wajahnya setelah menangis melihat hasil testpack.

"Kenapa ada sisa air mata di wajahmu? apa kau habis menangis sayang?" Shin bertanya, Sorot mata sipitnya tak lepas dari wajah sembab Norin.

Norin membisu, dia kebingungan alasan apa yang harus dia katakan pada Shin.

Shin menatap lekat wajah cantik Norin, ada rasa kekhawatiran di dirinya pada wanita yang sangat dia cintai melihat wajahnya terdapat jejak air mata, kemudian dia bertanya ulang," what happen, what happen, honey? tell me please."

Tidak ada alasan yang bisa Norin katakan pada Shin selain menundukkan wajahnya menghindari tatapan menyelidik, rasanya dia tidak sanggup di tatap demikian oleh pria yang sangat tulus mencintainya.

Kemudian Shin melepaskan sebelah tangan dari pinggang rampingnya dan meraih dagunya, menatap lekat sorot mata bulatnya kemudian memberikan kecupan singkat pada bibirnya dan berkata," bibir manis mu ini tidak pernah bicara bohong pada suamimu, katakanlah sayang, ada apa?"

Norin masih membisu, hatinya terasa teriris mendengar ucapan sang suami yang selalu mempercayai setiap kata kata yang dia lontarkan padanya. Tidak pernah bicara bohong, anggapan Shin selama ini padanya namun sebenarnya Norin selalu menciptakan kebohongan di antara mereka.

Ingin rasanya Norin bicara jujur bahwa dia telah menanda tangani sebuah surat perjanjian dengan orang tua shin tiga bulan yang lalu. Namun, dia berpikir ulang dan dia tidak ingin mendapatkan sebuah resiko yang dapat memperburuk hubungan antara dirinya serta suaminya mengingat ancaman yang telah di katakan oleh nyonya Hoon padanya.

"Sayang, katakanlah ada apa? kenapa kau menangis, hem?" untuk ke sekian kalinya Shin bertanya ulang karena Norin masih saja belum ingin menjawabnya.

Shin menghela nafas pendek, sedikit kesal pada istrinya yang diam saja. Kemudian dia meraih tangan kirinya dan tak sengaja dia merasa seperti memegang benda keras dan panjang dalam genggamannya. Norin menyadari itu, dia segera mempererat genggaman tangannya, dadanya berdegup kencang, kecemasan mulai terlukis di wajahnya, Norin tidak ingin sang suami mengetahui apa yang sudah dia lakukan.

Pandangan Shin beralih ke arah bawah dimana letak benda yang sedang di pegang erat oleh Norin, kemudian Shin bertanya dengan rasa penasaran."Sayang, apa yang sedang kau pegang itu?"

Norin berusaha menetralisir perasaan gugupnya agar tenang kembali, setelah itu dia menjawab," bukan apa apa sayang, ini hanya...!"ucapannya terhenti, seketika dia teringat perkataan Shin yang mengatakan bahwa dia tidak pernah bicara bohong. Apakah saat ini Norin harus bicara bohong kembali pada suaminya? suami yang selalu mempercayai setiap ucapannya.

Di tengah kediaman Norin, Shin mengambil paksa benda tersebut. Norin membulat kan pupil matanya, dia menjadi panik karena Shin telah mendapati benda yang dapat membuatnya marah padanya.

"Testpack!"ucap Shin lirih. Kemudian pandangannya di alihkan pada wajah panik sang istri.

Norin segera menundukkan wajahnya kembali menghindari tatapan tajam Shin padanya. Dia me re mas buku buku jarinya sebagai suatu kebiasaan ketika tengah dalam kondisi cemas atau panik.

"Kamu menggunakan testpack lagi? apa gara gara ini kau menangis?"Shin memberikan pertanyaan dengan nada menekan membuat Norin semakin menundukkan wajahnya.

"Sudah berkali kali ku katakan padamu jangan pernah lagi menggunakan benda ini tapi kenapa kau masih saja menggunakannya? apa aku pernah menuntut mu untuk segera memberikan ku seorang anak, tidak pernah bukan?"sambung Shin dengan suara tinggi. Kemudian Shin melemparnya ke dinding sehingga benda tersebut memantul lalu terjatuh dan tergeletak di atas lantai. Setelah itu, shin mengacak acak rambutnya merasa frustasi.

Wajar saja jika Shin merasa kesal terhadap apa yang dilakukan oleh istrinya. Dia tidak habis pikir istrinya masih saja membandel tidak mau menuruti apa yang telah dia katakan berulang kali untuk tidak mempermasalah kan soal keturunan. Bukan tanpa alasan Shin bersikap demikian, dia hanya tidak ingin melihat Norin selalu sedih dan menangis hanya karena belum diberi rezeki seorang anak di tengah tengah mereka.

Kedua bahu Norin berguncang pelan, dia menangis tapi bukan menangis karena mendapat kemarahan dari Shin melainkan dia menangisi dirinya sendiri yang tak kunjung hamil serta mengingat surat perjanjian yang sudah terlanjur di tanda tangani olehnya. Norin sedih, bagaimana jika setelah satu tahun usia pernikahannya dia harus berpisah dari Shin.

Shin mengusap wajahnya dengan kasar lalu melihat ke arah sang istri yang tengah menangis sembari menunduk. Ada rasa penyesalan di dirinya, dia menyesal telah membentak sang istri yang berhati lembut dan membuatnya menangis kembali.

Tangan Shin terulur meraih tubuh bergetar sang istri lalu membawanya ke dalam dekapannya, memeluknya erat serta menciumi pucuk kepalanya dan berkata,"maafkan aku sayang, bukan maksudku untuk memarahi mu, aku hanya tidak ingin kau selalu mengecek nya dan membuatmu menangis. Aku tidak ingin melihat mu sedih dan menangis karena aku menikahi mu untuk membahagiakanmu bukan untuk membuatmu sedih."

Kemudian Shin menakup wajah Norin dengan kedua tangannya, sambil menghapus air matanya yang terus menerus mengalir dia berkata kembali." Berhentilah menangis sayang, ingat, ada atau tanpa kehadiran seorang anak di tengah tengah kita, aku akan selalu mencintaimu dan tidak akan pernah meninggalkan mu. Aku menikahi mu bukan karena seorang anak tapi aku menikahi mu karena aku ingin di sepanjang hidupku di temani olehmu hingga ke Jannah, karena kamu adalah bidadari surga dunia ku. Jika Allah menghendaki memberikan rezeki seorang anak itu merupakan suatu bonus pelengkap rumah tangga kita, namun jika Allah tidak memberinya tidak apa apa, kita masih bisa menjalani hidup kita berdua saja hingga menua."

Perkataan Shin yang bijak mampu menghangatkan perasaan Norin, dia terharu kemudian menenggelamkan wajahnya di dada bidang Shin dan menangis kembali. Dalam hati dia bersyukur meskipun kedua mertuanya tidak menyukai nya namun dia memiliki sosok suami yang begitu pengertian serta mencintainya dengan tulus.

Beberapa saat kemudian, air mata Norin telah surut dan di gantikan oleh senyuman mengembang di bibirnya, tangannya terangkat mengelus pipi Shin dan berkata," terima kasih atas cinta mu yang begitu besar padaku, kau tau bahwa aku sangat mencintaimu suami sholeh ku, sangat."

Shin tersenyum hangat kemudian meraih telapak tangan Norin yang masih menempel di pipinya lalu menciuminya bertubi tubi.

"Begitu pula denganku, aku sangat mencintaimu, sangat...sangat...bidadari ku, istri sholehah ku," kata Shin sembari terus menerus mengecupi telapak tangan sang istri.

Perdebatan di atas meja makan

Norin dan Shin menuruni satu persatu anak tangga yang cukup panjang dengan tangan yang saling bertautan. Senyum pun tak lepas dari bibir mereka dan sesekali mereka saling pandang serta melemparkan senyum satu sama lain. Namun ketika mereka baru mendaratkan kaki di lantai dasar, Norin menghentikan langkahnya, Shin di buat bingung olehnya dan kemudian dia bertanya dengan rasa penasaran."Ada apa, kenapa berhenti sayang?" tanpa melepas tautan tangannya.

Norin melirik ke arah samping kanan dimana sang suami tengah menanti jawabannya kemudian dia berkata,"aku....aku tidak sempat membuatkan sarapan dan bekal untuk mu pagi ini."

Shin tertawa renyah, dia pikir ada hal yang sangat serius sehingga istrinya terlihat cemas."It's okey honey, bibi Liu pasti sudah menyediakan nya untuk kita, kamu tidak perlu cemas,"kata Shin, menenangkan kecemasan Norin.

"Apa kamu tidak marah?" tanya Norin memastikan. Shin menyunggingkan senyum hangat kemudian membelai pipi mulusnya sambil berkata,"mana mungkin aku marah pada bidadari ku yang menggemaskan ini." Norin tersipu malu, dia menundukkan sedikit wajahnya dan disaat Norin lengah sebuah kecupan singkat mendarat di pipinya, hal itu sontak saja membuat Norin terkejut atas apa yang Shin lakukan padanya secara tiba tiba.

Dengan wajah di tekuk dia berkata,"jangan di ulang lagi, bagaimana jika daddy dan mommy atau pelayan di rumah ini melihatnya? apa kamu tidak malu?" Norin protes sekaligus mengingatkan Shin untuk tidak menciumnya di sembarang tempat.

"Tidak, untuk apa malu aku mencium istriku sendiri meskipun itu di tempat kerumunan orang." Shin menjawabnya dengan enteng dan hal itu membuat Norin mendengus kesal kemudian wajahnya di tekuk kembali sedemikian rupa. Shin tertawa kecil melihat raut wajah sang istri yang terlihat menggemaskan, bagaimana istrinya menjadi seorang pemalu di luar namun liar di dalam kamar.

"Let's go honey, aku sudah lapar sekali." Shin beralasan kemudian menarik pelan lengan Norin dan membawanya menuju ruang makan. Shin tak ingin melihat istrinya terus menerus memasang wajah cemberut karena kelakuannya.

Dari jarak beberapa meter terlihat Nyonya serta tuan Hoon sudah berada di kursinya masing masing.Tiba tiba, kedua kaki Norin terasa kaku serta detak jantungnya berdegup dengan kencang melihat kedua mertuanya berada tidak jauh darinya. Norin memang selalu gugup jika bertemu dengan kedua mertuanya namun tidak separah pagi ini, dia merasakan gugup yang luar biasa bahkan untuk menggerakkan kedua kakinya saja rasanya sulit. Bukan tanpa sebab Norin seperti itu, mengingat hasil testpack yang telah menunjukan angka negatif lah penyebab dia merasa sangat gugup serta ketakutan. Dia takut kedua mertuanya akan mempertanyakannya kembali.

"Sayang, kamu kenapa?" raut wajah Shin berubah cemas melihat Norin tiba tiba terdiam dan tubuhnya bergetar. Shin segera melingkarkan satu tangannya pada pinggang Norin dia takut istrinya terjatuh.

Tuan serta nyonya Hoon menyadari kedatangan anak serta menantunya setelah mendengar suara cemas Shin. Kemudian mereka menoleh dengan wajah datar namun tak lama mereka mengalihkan kembali pandangannya ke arah meja makan.

"Apa kamu sakit sayang? kita kembali ke kamar saja okey? bujuk shin, dia mengira Norin sakit namun Norin segera menggelengkan kepalanya dan berkata "Ti..tidak sayang, aku..mau menemanimu sarapan."

"Apa kamu yakin?" tanya Shin memastikan.

Kemudian Norin menarik nafas panjang lalu menghembuskan nya perlahan. Setelah detak jantungnya terasa stabil dia berkata," it's okey, aku baik baik saja."

Shin tersenyum lalu membelai pipinya sembari berkata,"kamu bikin aku khawatir saja sayang. Kau tau, aku tidak ingin terjadi apa apa denganmu."

Norin tersenyum tipis mendengar kekhawatiran Shin padanya kemudian dia beralasan."Maaf, tadi aku hanya sedikit kram perut saja." Untuk kesekian kalinya Norin beralasan dan tidak berkata jujur pada Shin.

"Good morning, dad, mom," sapa Shin setelah mereka tiba di meja makan.

"Hem." Tuan Hoon menyahuti sapaannya namun enggan melirik ke arahnya. Sementara nyonya Hoon hanya memiringkan sebelah bibir nya saja tanpa bersuara. Sikap orang tuanya yang seperti itu sudah dianggap biasa oleh Shin dan dia sendiri tidak pernah mempedulikannya karena sedari kecil mereka memang sudah bersikap demikian padanya.

Setelah itu, Shin menarik sebuah kursi tepat di hadapan tuan serta nyonya Hoon dan mempersilahkan Norin untuk mendudukinya. Dengan perasaan ragu Norin menuruti perintahnya. Shin sering kali menunjukan sikap romantis di hadapan orang tuanya dan hal itu membuat nyonya Hoon semakin tidak menyukai Norin karena dia merasa Shin lebih memperhatikan Norin dari pada dirinya sebagai ibu kandungnya.

Norin berusaha bersikap setenang mungkin di hadapan nyonya Hoon yang bersikap sinis serta tuan Hoon yang bersikap dingin padanya.

"ehm...Sayang, kamu mau sarapan apa?"tanya Norin, pandangannya mengarah pada bermacam macam hidangan di atas meja.

"Aku....sarapan roti selai madu saja!" jawab Shin.

"Hanya roti? nothing else?" Norin memastikan.

Shin mengangguk pelan. Sebenarnya dia ingin sekali memakan hasil olahan sang istri namun tidak ada pilihan lain karena Shin sendiri di buru oleh waktu untuk segera berangkat ke kantor.

"Minum nya?" tanya Norin lagi.

"Air putih saja." Norin mengangguk, kemudian dengan cekatan dia mengambil dua lembar roti tawar kemudian mengolesinya dengan selai madu. Setelah itu, Norin menuangkan air putih ke dalam sebuah gelas kaca.

Gerak gerik Norin tak luput dari perhatian empat pasang mata yang tengah duduk di hadapannya termasuk tuan Hoon. Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia mengagumi sosok menantunya yang patuh dan taat pada Shin dan melayaninya dengan baik, tidak seperti dirinya yang tidak pernah di layani manis oleh istrinya dari sejak menikah karena nyonya Hoon sendiri merupakan wanita karir dan sibuk dengan urusannya sendiri. Namun, tuan Hoon menepis rasa kagum itu, dia lebih mementingkan ego nya yang besar menuntut Norin untuk segera memiliki keturunan dengan alasan selain usianya yang sudah lanjut, Shin merupakan anak semata wayangnya dan satu satu nya harapan dia untuk memiliki seorang keturunan.

Shin mulai memakan rotinya namun baru dua suapan dia melirik ke arah sang istri yang hanya diam sembari memperhatikannya.

"Sayang, kenapa kamu hanya memperhatikan ku saja? apa kamu tidak menyukai makanan semua ini? biar aku panggil bibi Liu dulu agar dia membuatkan makanan yang kamu mau." Shin hendak beranjak dari duduknya namun Norin menahannya dan menggelengkan kepalanya dengan pelan.

"Bukan, bukan seperti itu, aku....aku sedang berpuasa sunah." Norin menjawabnya dengan jujur.

"Puasa sunah!" Shin mengulang dan Norin mengangguk pelan. Shin meletak kan garpu serta pisau di atas piring, menyenderkan punggungnya, menghela nafas pendek kemudian bertanya," kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau hari ini kamu sedang berpuasa?"

Tiba tiba, nyonya Hoon berdecak dan berkata,"untuk apa menahan lapar sepanjang hari, lebih baik kau makan yang banyak dan bergizi agar peranakan mu subur." Nyonya Hoon menyindir dengan sinis di tengah tengah obrolan Shin dan Norin, karena obrolan mereka tak lepas dari perhatian tuan dan nyonya Hoon sejak dari tadi.

Norin menundukkan wajahnya mendengar sindiran nyonya Hoon, sementara Shin menoleh ke arah ibunya dan berkata," mom, aku dan istriku tidak memiliki masalah dengan kesuburan kami karena kami sudah memeriksanya dan hanya tinggal menunggu waktunya saja."

Nyonya Hoon mencebik kan bibirnya mendengar pembelaan Shin kemudian menimpalinya dengan nada menyudutkan." Jika benar subur tidak perlu menunggunya hingga berbulan bulan. Kau tau Hoon, mama mengandung mu ketika usia pernikahan kami satu bulan. Ini istrimu sudah enam bulan belum saja menunjukan kalau dia hamil. Apa jangan jangan istrimu memang wanita yang tidak bisa memberi keturunan."

Norin semakin menundukkan wajahnya, dadanya mulai terasa sesak kembali dan sekuat mungkin dia menahan untuk tidak mengeluarkan air mata. Shin melirik ke arah Norin, dia tau bahwa istrinya pasti sedang sedih telah di sudut kan oleh ibunya kemudian dia memegang telapak tangannya dengan erat.

Shin menoleh kembali pada nyonya Hoon dan menatapnya dengan kesal."Jangan pernah menyudutkan istri ku lagi mom, bagaimana jika diriku sendiri yang tidak bisa memberikan keturunan?"

"Tidak mungkin,"ucap nyonya Hoon dengan suara tinggi.

Shin berdecak kemudian berkata,"apa nya yang tidak mungkin, itu bisa saja terjadi. Oleh karena itu aku minta pada mu mom, jangan pernah lagi menuntut seorang keturunan pada kami."

"Itu tidak mungkin, keluarga Hoon tidak ada yang tidak bisa memberikan keturunan...."

Brakk....

Suara gebrakan meja membuat nyonya Hoon bungkam seketika. Tuan Hoon kesal mendengar perdebatan antara istri dan anaknya di sela sela sarapan mereka.

"Kalian persis seperti seekor kucing dan tikus bertengkar tidak tau tempat. Kalian tidak menghargai ku..."

"Sayang, antar aku ke depan aku mau berangkat kerja sekarang." Shin memotong ucapan tuan Hoon, dia sudah tidak mood lagi untuk menghabisi sarapannya dan tidak ingin mendengar perkataan tuan Hoon.

Norin mendongak lalu menggelengkan kepalanya, dia tidak setuju dengan sikap Shin yang kurang sopan pada orang tuanya meskipun norin tau bahwa Shin membela dirinya.

"Sayang, habis kan dulu sarapan mu. Kamu tidak..."

"Aku bisa sarapan di kantor nanti." Shin memotong perkataan Norin. Dia berdiri lalu meraih tangan Norin untuk ikut dengannya meninggalkan meja makan. Norin sempat melirik ke arah nyonya serta tuan Hoon yang sedang menatap kesal ke arah mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!