Matahari sudah setinggi dada. Sinarnya membias masuk ke celah-celah gorden hijau jendela kamar Yoga. Tetapi, pemuda itu tampaknya tidak terganggu sama sekali. Dengkurnya malah terdengar semakin mengkhawatirkan. Bahkan, ketika terdengar suara nyaring panci dan wajan yang beterbangan, ia sama sekali tidak terganggu. Dan, sudah biasa pula tetangga mendengar suara ricuh dirumahnya.
Pertengkaran orangtuanya selalu menjadi sarapan pagi ataupun makan malam bagi setiap telinga yang mendengarnya. Seru, memang. Namun lucunya, adu mulut itu kadang berujung dengan kemesraan. Bagi Yoga, bangun siang adalah hal yang biasa karena ia memang tidak punya kegiatan.
Dua tahun lalu, Yoga lulus dari fakultas sastra sebuah Universitas Negeri di Bandung. Tetapi, hingga sekarang ia tidak punya pekerjaan tetap. Kegiatannya tak lebih dari membuat kerajinan tangan berupa miniatur alat transportasi atau berbagai bentuk binatang unik.
Ia mengerjakan semua itu di Bengkel Seni, sebuah gudang kosong dibelakang rumahnya. Jika ada yang mau membelinya, ia akan menjualnya. Kalau tidak ada yang berminat, ia juga tidak pernah mempermasalahkannya.
Tiba-tiba bentakan-bentakan hebat Daryani sang ibu, terdengar nyaring menyerang telinga. Dan bentakan Bowo sang ayah, tak kalah hebat. Yoga baru terjaga dari mimpi indahnya, tetapi pintu kamarnya terkena lemparan sesuatu. Ia pun terbangun membuka matanya dan menyeret langkah keluar.
Untuk kesekian kalinya, ia geleng-geleng kepala demi menatap rumah yang berantakan. Perabotan dapur berserakan, bahkan ada beberapa piring dan gelas yang pecah. Yoga menoleh ke belakang rumah, ke arah suara terdengar keras.
Perang mulut begitu sengit terjadi di antara kedua orangtuanya. Alasannya itu-itu saja. Sang ibu kesal kepada suaminya yang pengangguran, tapi doyan mabuk dan berjudi. Sementara sang ayah kesal atas sikap istrinya yang kerap pulang malam dengan diantarkan lelaki tak dikenal. Ya, sang ibu memang bekerja disebuah bar arena biliar. Huff! Benar-benar keluarga yang kacau! Sangat kacau!
"Ayah, Ibu! Berhenti sebentar bertengkarnya!" seru Yoga di ambang pintu dengan gaya seperti wasit memberikan peringatan.
Daryani dan Bowo seketika terdiam. Suasana sunyi mendadak. Yoga sedikit senang dan melanjutkan bicaranya.
"Semalam, aku mimpi dipeluk perempuan cantik bergaun hitam. Saat aku mau bercinta dengannya, tiba-tiba ada wajan menimpa kepalaku. Aku pun bangun, kalian tahu apa artinya itu?" katanya.
Daryani dan Bowo saling pandang.
"Mimpi kok aneh-aneh!" tukas Daryani.
"Iya, mimpi kamu aneh-aneh saja!" timpal Bowo, sang ayah.
Daryani mendelik sengit ke arah Bowo. "Heh! Ngikutin saja!" sentaknya galak.
"Bah! Apa urusanmu? Ini lidahku, bukan lidahmu! Capek aku denger omonganmu yang nyaring kayak kaleng rombeng!" balas Bowo, tak mau kalah.
"Dasar pengangguran! Selalu saja menghina istri yang capek mencari nafkah. Harusnya kamu sadar, dari mana kamu bisa makan dan nongkrong di pos buat judi!" ketus Daryani.
"Kamu juga sama!" sambung Bowo.
Yoga bukannya pusing, tapi malah geli sendiri mendengar pertengkaran orangtuanya kali ini. Ia tergelak-gelak, membuat perang mulut itu kembali terhenti dalam keheranan.
Tawa Yoga semakin keras. "Oh ibu.. oh ayah. Kalian ini seperti langit dan bumi yang tak pernah bisa bersatu, bahkan sejak dulu saling mengejek. Sekali ini, tolonglah jangan kalian ganggu tidur pangeran kalian ini..." ujarnya.
Yoga menggaruk-garuk kepala, hingga rambut gondrongnya kian acak-acakan. "Aku bosan dengar kalian bertengkar terus. Setiap kali kalian bertengkar, selalu perabotan dapur yang jadi korban. Sesekali, pukul saja pohon-pohon itu. Sudahlah, berdamai saja. Kalau kalian romantis, aku ikut senang. Aku kan jadi bisa belajar mendidik anak dari kalian nanti.." tegasnya.
Daryani dan Bowo saling pandang dengan wajah sama-sama merah merona. Wajah garang keduanya mulai mengendur. Bowo sadar terlebih dahulu, lantas mendekati istrinya.
"Bu, maafin ayah ya..." ucap Bowo menggelikkan.
Yoga pun tertawa terbahak-bahak.
"Yoga! Ayah mau serius, kamu malah tertawa! Lebih baik kamu mandi sana, lalu pergi!" tegur ayahnya.
"Hohoho... aku tahu, aku tahu. Gitu dong, yang romantis. Aku mau mandi dulu.." ujar Yoga sambil melangkah ke kamar mandi. Tapi, tiba-tiba ia menoleh.
"Oh iya.. Jawab dulu apa arti mimpiku itu.." kata Yoga.
Daryani dan Bowo saling pandang seperti orang bodoh. Yoga hanya geleng-geleng kepala.
"Aku tahu. Jawaban kalian pasti tidak tahu.." sahut Yoga seraya melanjutkan niatnya masuk ke kamar mandi.
"Yoga!" pekik ibunya. "Jangan kamu habiskan lagi sabunnya! Ibu belum punya duit buat beli lagi!" sambung tegasnya.
Dari kamar mandi terdengar gelak tawa Yoga. Bowo tersenyum. Malu-malu, lelaki itu menyentuh tangan istrinya. Sang istri pun luluh. Daryani tak bicara, menurut saja ketika Bowo membimbingnya ke kamar. Ups! hehehe...
Usai sarapan, Yoga termenung di jendel kamarnya. Segelas kopi kental menemaninya. Keributan yang sering terjadi di rumah ini jelas mengganggu pikirannya. Terkadang, ia geli melihat sikap orangtuanyayang seperti anak-anak. Namun di lain waktu, ia justru kesal karenanya. Apalagi kalau melihat ayahnya bersikap kasar kepada ibunya.
Lima tahun silam, Bowo adalah seorang pilot di sebuah maskapai penerbangan. Tetapi, karena tak sengaja membuat pesawat tergelincir saat landing, akhirnya ia dipecat. Keharmonisan keluarganya dipertaruhkan, kebutuhan ekonomi mereka pun mulai tidak teratur. Hampir saja Yoga berhenti kuliah karenanya.
Lantaran sang suami tidak bisa menafkahi lagi, Daryani nekat bekerja di malam hari. Sementara itu, Bowo kerja serabutan. Kadang ia menjadi tukang parkir, dan juga menjadi kuli bangunan. Bahkan, lelaki itu juga pernah menjadi preman yang sosoknya cukup ditakuti. Parahnya, mereka yang semula rajin sembahyang mendadak lupa. Srjak itulah kejayaan keluarga Yoga memudar.
Suasanya rumah senyap. Mungkin, orangtuanya masih bermesraan setelah bertengkar. Sambil menggaruk-garuk kepala, Yoga ke bengkel seninya. Berada tepat di belakang rumahnya. Ia mulai berkarya lagi hingga terlupa akan semua kekacauan pagi ini.
Selepas Dzuhur, ketika Yoga baru selesai shalat, kekasihnya datang. Dengan wajah sendu, Dina, kekasih Yoga yang cantik itu menghampiri. Di tangannya terselip sebuah surat kabar.
"Ada apa Dina sayang? Kenapa wajah cantikmu kian murung? Coba ceritalah padaku.." goda Yoga dengan senyum simpulnya.
Dina duduk di atas meja butut dengan wajah tertunduk. Yoga ikut duduk disampingnya, sembari menghaluskan miniatur motor besar yang belum seutuhnya jadi.
"Tumben kamu datang dengan wajah yang seperti nenek-nenek begitu. Ada apa? Jangan buat aku ikut bersedih dong.." lanjut Yoga.
"Boleh aku jujur?" tanya Dina.
"Ya, silahkan.." jawab Yoga.
"Aku... aku ingin ke Jakarta. Bekerja di sana." ujar Dina.
Seketika, Yoga menghentikan gerakan tangannya menghaluskan benda unik nan mungil itu.
"Jangan bercanda, ah!" tegas Yoga.
"Aku serius.." balas Dina.
"Memangnya, ibu sama abahmu merestui?" tanya Yoga.
Sekilas, Dina menatap wajah lucu Yoga, lalu mengangguk. Yoga menyeringai kecil, lagi-lagi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Jakarta itu kota besar, Din. Keras. Aku saja rasanya belum berani mengadu nasib di metropolitan itu. Memangnya, kamu mau kerja apa di sana? Di kantor seperti keinginanmu dulu? Atau di hotel sesuai bidangmu?" tukas Yoga.
Dina menggelengkan kepalanya, dan menyodorkan koran yang dibawanya. Dengan penasaran, Yoga membuka halaman demi halaman.
"Ada apa dikoran ini?" tanya Yoga yang tidak menemukan apa-apa.
"Buka halaman sembilan.." jawab Dina.
Yoga membuka halaman sembilan. Dalam sebuah koran besar, ia melihat daftar nominasi Putri Indonesia. Dina sang kekasih, termasuk salah satu di antaranya.
Yoga mendesah berat. "Aku nggak tahu sama sekali kalau kamu ikut ajang Putri Indonesia. Kenapa nggak bilang dari dulu?" tanyanya setengah kesal.
Dina diam saja. Pandangannya kosong ke arah sebuah meja panjang yang di sana berjajar hasil karya Yoga.
"Kenapa kamu diam saja? Sudah nggak sayang sama aku?" tegur Yoga.
"Aku sayang sama kamu. Tapi... tapi aku juga tidak mau kehilangan impianku yang sudah di depan mata. Apa kamu tidak senang kalau calon istrimu ini masuk nominasi Putri Indonesia? Tidak semua perempuan bisa dapat kesempatan sebagus itu.." kata Dina, mulai meradang di hadapan kekasihnya.
"Aku senang-senang saja. Tapi... aduh, Din! Jadi Putri Indonesia itu bukan pekerjaan mudah. Okelah, aku percaya pada kemampuanmu bergaul dan berbicara bahasa asing. Tapi, pergaulannya itu, Din. Bukan aku sok suci. Aku nggak suka saja. Apalagi, kalau kamu sampai difoto... difoto..." ujar Yoga.
"Difoto pakai baju renang, begitu?" sahut Dina cepat menebak kekhawatiran Yoga.
"Ya.." balas Yoga.
"Itu sudah jadi salah satu syaratnya. Toh, tidak menjurus pornografi." tegas Dina.
"Aku tetap tidak suka, Din." sahut Yoga.
"Yoga sayang sama Dina?" tanyanya.
"Ya, aku sayang kamu. Justru karena sayang itulah aku melarang keras kamu ikut pemilihan Putri Indonesia. Aku nggak mau tubuhmu dinikmati mata jalang laki-laki mata keranjang. Maaf, Din. Mungkin, aku sedikit kasar.." tukas Yoga.
"Ibu sama Abah saja merestui!" tegas Dina.
Yoga geleng-geleng kepala sambil menghembuskan napas berat.
"Aneh. Benar-benar aneh. Maaf, Din. Orangtuamu paham agama. Terlebih ayahmu sering jadi imam di masjid. Tapi, kenapa mereka merestui anaknya tampil seksi? Aku heran dengan pemikiran orangtuamu." balasnya.
"Kenapa kamu malah menyalahkan orangtuaku?" sembur Dina, sedikit tersinggung.
"Bukan menyalahkan, aku hanya heran. Oke, kalau memang itu keputusanmu yang direstui orangtuamu. Aku nggak bisa apa-apa. Tapi, aku berpesan satu hal kepadamu. Jaga hatimu Din. Kapan kamu ke Jakarta?" ujar Yoga.
"Besok pagi." jawab Dina.
"Selamat. Yasudah.. Sekarang aku mau lanjut bekerja lagi!" tegas Yoga.
Dina tertunduk, mulai terisak.
"Kok malah nangis?" tanya Yoga.
"Tadinya, aku berharap kamu akan senang. Tapi ternyata malah sebaliknya. Kamu nggak pernah sayang sama aku. Aku bisa menerimanya. Aku juga sadar, banyak perempuan cantik disekitarmu. Mungkin dengan kepergianku ke Jakarta, kamu akan tenang dengan semua perempuan yang tergila-gila padamu itu.." ujar Dina, lirih.
"Kok jadi bawa-bawa perempuan lain? Apa hubungannya?" tanya Yoga heran.
"Sudahlah. Kamu jaga diri baik-baik. Aku akan selalu rindu padamu.." ujar Dina berlalu pergi dengan tangis tertahan.
Yoga terdiam. Sepeninggal Dina, miniatur motor tak berdosa yang digenggamnya dilemparkan ke dinding hingga pecah berantakan.
"Astaga!" serunya.
Yoga cepat memungut benda itu dan memeriksa kerusakannya. Namun, begitu teringat Dina. Ia kembali diam seribu bahasa. Gadis tercinta yang Yoga ikat dengan kata cinta dua tahun silam itu telah meruntuhkan harapannya. Cerita cintanya berbalik sudah, menyurut pada kepiluan.
Ia senang jika Dina bekerja di kantor atau apalah. Tetapi, kalau untuk tampil memamerkan aurat, ia sungguh tidak suka. Yoga tidak melanjutkan pekerjaannya. Semangatnya mendadak hilang. Ia keluar dari bengkel seninya, masuk ke kamarnya, lalu mengunci dirinya.
***
Sudah dua minggu Dina di Jakarta. Selama berjauhan dengan kekasihnya itu, Yoga lebih sering menyendiri. Temannya sekarang hanyalah laptop kesayangannya. Ya, ia kini lebih suka menyibukkan diri dengan artikel-artikel lepasnya untuk menambah uang harian yang mulai menipis.
Ia pun mulai jarang berada di bengkel seninya. Aktivitas di luar rupanya jauh lebih menarik hatinya, sekedar untuk melarikan diri dari penatnya kesepian. Masjid Agung Alun-alun adalah tempat yang diharapkannya dapat mengobati kepenatannya.
Yoga seakan tidak peduli lagi keadaan rumah yang tak pernab sunyi dari ricuh. Ia bahkan tak mau tahu lagi sudah separah apa orangtuanya bertengkar terus. Setahunya, ayahnya mulai jarang pulang. Setial kali pulang, Bowo selalu dalam keadaan mabuk. Sedangkan ibunya, setiap malam selalu diantarkan lelaki bermobil mewah.
Yoga benar-benar galau, yang berkelebatan di dalam benaknya hanya Dina seorang. Segala kekhawatiran dan kecemburuan mendadak menyiksa batinnya lebih parah. Kerap ia menghubungi Dina via handphone, namun sang kekasih tercinta menjawabnya hanya sesekali. Kesannya, Dina tidak mau diganggu. Katanya, sedang sibuk persiapan psikotes dan tes kepribadian.
Sekarang, Yoga seperti benar-benar kehilangan belahan jiwanya. Sebelah sayapnya mungkin basah oleh air mata batin yang tak mau dikeluarkannya, hingga ia tidak bisa terbang lagi pada gadis yang lain. Ia seperti terperangkap dalam satu drama yang tak berujung, namun beralur membingungkan.
Satu sahabat dekat Yoga terkadang selalu menggodanya. Menyebut dirinya tidak waras.
"Aku masih sadar dan bisa berhitung dengan baik. Dengarkan To! Satu, dua, tiga, empat..." Yoga berhitung sampai dua puluh.
Tito sang sahabat, menanggapi tingkah Yoga dengan geleng-geleng kepala.
"Ya, ya. Aku percaya kalau kamu masih sadar. Tapi, apa yang kamu lakukan sekarang seperti orang kurang waras. Suka melongo sendiri. Mainkan fong logikamu! Dina pergi bukan untuk nikah dengan laki-laki lain. Tapi, untuk mengejar impiannya. Jadi, seharusnya kamu berbangga hati dan mendoakan keberhasilannya. Kamu juga nanti ikut senang, Yog. Jangan kaya anak kecil seperti ini. Orang melihatnya bukan kasihan, tapi sebal tahu!" tegas Tito.
"Jadi, kamu sebal sama aku To? Oke, nggak masalah.." balas Yoga.
Yoga dan Tito saling terdiam.
Dengan unjuk wajah serius, Yoga kembali bicara. "To, apa harus kususul Dina ke Jakarta?" ujarnya.
"Untuk apa? sahut Tito.
"Untuk apa? Ya, untuk mendampinginya." tegas Yoga.
Tito geleng-geleng kepala. "Satu hal itu di luar jangkauanku. Terserah apa kata hatimu. Tapi, pikirkan lagi baik-baik. Mau makan apa kamu disana?" cerobos Tito sembari memainkan sebuah miniatur mobil kuno.
Yoga terdiam. Benar kata sahabatnya itu. Dari berbagai media, ia tahi Jakarta itu seperti apa. Siang terasa begitu panas, sedangkan malam jauh lebih "panas" lagi. Napas-napas setan seakan menyelimuti atmosfer metropolitan itu. Kuatkah iman dalam sekeping hati Yoga?
Matahari yang hampir hilang di titik peraduan dipandangi Yoga hingga bulatnya terlihat jelas. Senja di awal musim benar-benar indah. Namun, kisah cintanya tak seindah sang senja. Desau anhin Bukit membelai rambut gondrongnya. Di sebelah barat dekat lembah, terlihat sepasang kekasih tengah berbincang di atas motor. Hati Yoga teriris seketika.
"To, kamu mau carikan aku obat di apotek?" tanya Yoga.
"Obat apa? Sakit jiwamu itu?" sahut Tito.
"Obat patah hati.." ujar Yoga.
Tito menyeringai lucu. Tanpa sadar, ia menggaruk kepalanya. Mengikuti satu kebiasaan yang sulit terlepas dari sosok Yoga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!