Aiden Allend Hadev adalah seorang vampir yang terlahir dari ibu berdarah suci. Dia sudah hidup beratus-ratus tahun lamanya, tetapi hal tersebut tak membuat dia menua.
Dia seperti sosok yang abadi, sehingga tak dapat musnah begitu saja. Padahal zaman sudah kian canggih, kepercayaan terhadap makhluk-makhluk astral pun sudah mulai menghilang.
Akan tetapi mereka tidak tahu, jika di sekitar mereka masih ada sosok vampir—makhluk penghisap darah—yang mampu menyerang manusia kapan saja.
Setiap dua puluh tahun sekali, Aiden dan keluarganya selalu berpindah negara, itu semua mereka lakukan demi menyembunyikan identitas yang selama ini telah tersimpan rapih.
Sebelum berpindah tempat, Aiden selalu melakukan persiapan yang sangat matang, hingga saat kakinya berpijak, dia sudah mampu menguasai dunia bisnis di tempat itu.
Di dunia manusia, dia dikenal sebagai seseorang yang kejam dan berdarah dingin. Siapa yang membantah ucapannya, maka tidak akan dia beri ampun.
Siang itu, Aiden berdiri di depan cermin yang memiliki ukuran setinggi tubuhnya. Kamar baru bernuansa gelap menjadi tempat ternyaman untuknya beristirahat.
Pria tampan itu memperhatikan pantulan wajahnya yang selalu terlihat datar dan pucat. Biasanya jika malam purnama tiba, bayangan Aiden akan hilang, sama seperti ayahnya—Kaisar.
"Pelayan!" panggil Aiden dengan keras. Tanpa menunggu lama seorang wanita langsung mendatangi kamar Aiden dengan membawa satu buah botol berisi ramuan.
Sebuah kebiasaan yang tidak pernah hilang, sebelum keluar rumah Aiden harus mengolesi ramuan itu ke seluruh tubuhnya, agar tidak terbakar sinar matahari.
"Letakan saja di sana!" kata Aiden sambil menunjuk meja menggunakan dagunya.
Patuh, wanita itu segera meletakkan botol tersebut, lalu pamit undur diri. Tak lama kemudian, Lucy—sepupu Aiden—yang merupakan manusia serigala itu datang.
"Buka bajumu, jangan manja!" ujar Lucy, di samping dia sepupu Aiden, dia juga memegang jabatan sebagai asisten pria itu. Dia memiliki pekerjaan dan tanggung jawab, dan tugas pertamanya adalah melumuri tubuh Aiden menggunakan ramuan yang telah dibuat oleh Kakek Aiden.
Tanpa bicara Aiden melepas satu persatu kancing kemejanya, hingga kini dia bertelanjang dada.
"Habis ini kita harus pergi untuk melakukan pertemuan. Bersiaplah, kita akan memiliki banyak klien!" ujar Aiden mengingatkan Lucy, dan wanita itu hanya mengangguk. Sementara tangannya tak berhenti untuk bergerak melakukan tugasnya.
Setelah selesai mereka benar-benar pergi dari rumah. Lucy mengemudikan mobil sedan hitam, membawa kendaraan roda empat itu ke sebuah perusahaan yang dimaksud oleh Aiden.
Beberapa pertemuan berjalan dengan mulus, tetapi tidak dengan pertemuan terakhir, sebab pria yang dihadapi oleh Aiden sangat keras kepala. Dia terus menolak bekerja sama, padahal Aiden telah menawarkan keuntungan yang sangat besar.
"Saya tidak mau, karena bisnis yang anda kelola tidak jelas, bahkan beberapa di antaranya tidak terdaftar pajak!" kata pria tua itu berulang kali, sebuah kalimat penolakan yang membuat Aiden naik pitam.
Pria itu langsung menampakkan tatapan tajam. Dia bangkit dari duduk dengan tangan yang melipat di depan dada.
"Kau pembisnis bersih ternyata. Tapi sayang, kau tidak tahu siapa aku. Berhenti bicara omong kosong, dan lekas tanda tangani ... jika tidak—maka kau akan tahu akibatnya!" ucap Aiden dengan penuh ancaman. Aura gelap seolah terus mengikutinya, tetapi hal tersebut tak membuat David menjadi ciut.
Dia melawan rasa gemetar di dadanya, demi mengamankan nama baik perusahaannya. Dia tidak mau terdaftar sebagai perusahaan yang hanya mementingkan laba. Tapi tidak dengan kwalitas.
"Saya tidak akan takut, Tuan. Lagi pula anda adalah pendatang baru di sini, jadi saya rasa, saya tidak perlu was-was dengan ancaman seperti itu. Anda masih sangat muda, lebih baik anda perbaiki sopan santun anda itu!"
Aiden menyeringai setan.
"Kau yakin dengan ucapanmu?" tantang Aiden.
David menganggukkan kepala. Sementara Aiden langsung meludah ke samping. "Kalau begitu, jangan menyesal!" Cetus pria itu, lalu meninggalkan ruangan dengan mengibaskan jasnya. Diikuti Lucy yang melayangkan tatapan remeh.
David hanya bisa mematung menyaksikan kepergian Aiden. Dia merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, secepat kilat menyambar. Tak berselang lama setelah dia duduk di ruangannya.
Dia mendapat kabar, bahwa para pemegang saham, menarik semua saham mereka di perusahaan David. Dan kabar itu tentu sangat mengejutkan baginya. Dia seperti mendapat serangan dadakan.
"Tidak mungkin!" lirih David sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Dia teringat kembali dengan ancaman Aiden, dia merasa bahwa pria itu mulai merealisasikan ucapannya.
"Tuan, bagaimana ini?" tanya asisten David dengan raut cemas, tetapi David seolah tak dapat mendengar apapun, hingga tiba-tiba tubuhnya ambruk.
"TUAN!"
Dalam sekejap perusahaannya bangkrut. Dan hal tersebut membuat sosok pria bernama Aiden menyeringai puas. "Itu akibat melawan ucapanku! Bagus tidak langsung aku bakar."
Lantas setelah itu, Aiden langsung melesat ke mobilnya. Dia duduk manis, dengan Lucy yang mengemudikan kendaraan roda empat itu.
"Malam ini, aku ingin bersenang-senang," ucap Aiden dengan senyum remehnya.
***
Hola, kita main isep²an dulu ya sama vampir tampan😜 Yang belum baca My Husband Is A Vampire, gih mampir dulu. Karena di sini adalah squelnya🙏
Sekian terima gajihhh.
Salam anu 👑
"Halo, Nona, Tuan masuk rumah sakit!" ucap Dean, asisten David, dalam sambungan telepon. Siang itu David yang tak sadarkan diri langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Karena Dean khawatir pria tua itu mengalami serangan jantung.
"Kenapa bisa? Di rumah sakit mana?" tanya Lyodra, seorang gadis cantik, putri semata wayang David. Saat itu Lyodra masih berada di kampus, tetapi ketika mendengar ayahnya yang tidak sadarkan diri secara tiba-tiba, tentu dia tidak bisa diam saja.
"Dekat perusahaan. Lebih baik anda segera ke mari, Nona," ucap Dea. Dan Lyodra langsung menganggukkan kepala seolah Dean tahu gerakannya.
Setelah sambungan telepon terputus. Lyodra langsung pamit pada sahabatnya—Jayden.
"Jay, tolong katakan pada Dosen, aku izin hari ini. Daddy-ku masuk rumah sakit," ujar Lyodra dengan raut wajah yang terlihat sangat cemas. Di dunia ini dia hanya memiliki ayah dan neneknya, sebab ibu Lyodra sudah meninggal lima tahun lalu.
"Ada apa dengan Uncle David?" tanya Jayden.
"Aku juga tidak tahu, yang jelas aku harus segera pergi!"
Lyodra hendak melangkahkan kakinya, tetapi dengan cepat Jayden meraih pergelangan tangan gadis itu. "Aku ikut. Biar kita izin sama-sama."
"Kalau begitu ayo! Aku tidak memiliki waktu banyak, aku sangat takut, Jay."
Pemuda itu pun mengangguk, dia menarik lengan Lyodra untuk pergi ke ruangan dosen. Mereka izin untuk tidak masuk kelas karena ada urusan mendadak.
Keduanya pergi menggunakan taksi, sepanjang perjalanan Lyodra tidak bisa untuk duduk dengan tenang. Dia takut terjadi sesuatu pada ayahnya, dan Jayden merasakan hal itu, dia pun mengusap bahu Lyodra dengan lembut, turut memberikan kekuatan.
"Tenanglah sedikit, Lyo. Uncle David pasti baik-baik saja," ujar pemuda itu, tetapi hal tersebut tak lantas membuat kecemasan Lyodra berkurang.
"Aku tidak ingin kehilangan dia."
"Tidak akan."
Jayden menarik kepala Lyodra untuk bersandar di bahunya, mereka sudah bersahabat sejak kecil, dan Jayden sudah menganggap Lyodra sebagai adiknya. Sosok yang harus dia jaga.
***
Tak berapa lama kemudian, Lyodra dan Jayden sampai di rumah sakit yang dituju. Gadis itu langsung berlari ketika pihak administrasi sudah memberitahu di mana kamar ayahnya.
Tanpa mengetuk pintu, Lyodra langsung membuka benda persegi panjang itu, hingga semua orang yang ada di dalam sana, langsung menoleh ke arahnya.
"Daddy!" panggil Lyodra seraya mendekati pria paruh baya itu. Dia melihat David sudah sadar, dan pria itu baru saja mendapatkan pemeriksaan lanjutan.
"Hei, kamu tidak perlu secemas itu. Daddy tidak apa-apa," ujar David sambil mengelus punggung Lyodra. Namun, tangis gadis itu malah semakin keras, dia memeluk David dengan erat.
"Jangan mencoba untuk membohongi Lyo, Dad. Aku bukan anak kecil!" kata Lyodra sesenggukan. Akan tetapi David malah terkekeh kecil.
"Maka dari itu, berhentilah menangis seperti anak kecil. Lihatlah ... Daddy baik-baik saja."
Lyodra pun bangkit, lalu mengusap air matanya yang sedari tadi menderas. Entah kenapa ketika menangis, Lyodra malah terlihat semakin menggemaskan.
"Katakan, apa yang sebenarnya terjadi, Dad!" tuntut Lyodra. Dia ingin sebuah penjelasan, penyebab ayahnya masuk rumah sakit.
David menghela nafas, lalu mengulum senyum tipis. Dia tidak mau membuat Lyodra merasa sedih, jadi dia tidak mau memberitahu gadis itu masalah perusahaannya.
"Daddy hanya kurang enak badan," jawab David, sebuah jawaban yang membuat kening Dean berkerut. Akan tetapi David segera berkedip, memberi kode pada sang asisten untuk menutup mulut.
Mata Lyodra menyipit.
"Daddy sedang menyembunyikan sesuatu dariku?"
"Tentu saja tidak. Jay, lihatlah ... anak ini kalau dikasih tahu suka keras kepala," gurau David sambil melayangkan tatapan pada sahabat putrinya.
Jayden hanya terkekeh, ikut merasa gemas dengan reaksi yang diberikan oleh Lyodra.
Dan hal tersebut membuat Lyodra mencebikkan bibir. Dia mencubit lengan ayahnya dengan pelan, pura-pura marah. "Aku tidak sedang bercanda."
"Hei, lagi pula siapa yang mengajakmu bercanda, Lyo?"
"Haish, Daddy menyebalkan!" Lyodra melipat kedua tangannya di depan dada, tetapi David segera meraihnya.
"Ke mari, peluk Daddy lagi."
Lyodra menatap kedua manik mata milik ayahnya, dia merasa bahwa pria paruh baya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, mau mencecar seperti apapun, dia yakin David tidak akan buka suara. Hingga akhirnya dia memilih untuk memeluk David lagi.
"Aku sayang Daddy, jangan tinggalkan aku."
***
Malam harinya, api berkobar hebat melahap habis bangunan tinggi nan megah DS Group. Sebuah perusahaan yang dipimpin oleh David. Kebakaran terjadi diduga akibat percikan api yang keluar dari kabel komputer, hingga kini jago merah tersebut sudah menjalar ke mana-mana.
Lyodra hanya bisa mematung dengan tatapan nanar melihat berita tersebut. Tubuhnya terasa sangat lemas, sebab perusahaan keluarganya tiba-tiba hancur dalam hitungan malam.
Dan dia yakin, ini semua pasti ada hubungannya dengan sang ayah yang tiba-tiba masuk rumah sakit. David telah menyembunyikan sesuatu darinya.
Tak ingin berdiam diri seperti orang bodoh, Lyodra segera berlari, meninggalkan Jayden yang sedari tadi menemaninya.
"Lyo, kamu mau ke mana?!" tanya Jayden dengan sedikit berteriak. Akhirnya dia pun mengekor, mengikuti ke mana pun Lyodra pergi.
Hingga kini Lyodra berhenti di parkiran, dia segera meraih kerah kemeja Dean yang kala itu hendak masuk ke dalam mobil. "Jelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?!"
Mendapati serangan tak terduga, tentu membuat Dean merasa sangat terkejut, apalagi tiba-tiba Lyodra bertanya seperti itu.
"Nona, apa maksud anda?"
"Jangan pura-pura bodoh, Daddy-ku masuk rumah sakit, dan sekarang perusahaan mengalami kebakaran. Kamu masih tanya apa maksudku?!" teriak Lyodra marah.
Deg!
Dean terlihat gelagapan. Karena ini bukan ranahnya untuk menjelaskan. Akan tetapi dia yakin, Lyodra pasti akan terus menuntut sebuah jawaban.
Akhirnya Dean menyerah, dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Lyodra, tentang kedatangan Aiden dan apa yang perbuat pria itu, hingga membuat Lyodra menganga.
"Siapa dia?" tanya Lyodra.
"Dia pendatang baru, Nona. Tapi sepertinya orang-orang sangat takut padanya."
"Cih, hanya mereka, bukan aku!" Lyodra melepaskan cengkramannya pada baju Dean, lalu dia kembali melangkah pergi.
"Lyo, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Jayden, dia berusaha menghentikan langkah gadis itu, tetapi Lyodra terus menepis tangan Jayden.
"Lyo, stop!" teriak Jayden frustasi. Dan hal tersebut sukses membuat Lyodra menoleh.
"Kamu menyuruhku berhenti? Sedangkan perusahaan ayahku sudah hancur berkeping-keping karena ulahnya? Tidak, Jay. Aku akan mencari tahu, apa yang membuat dia begitu ditakuti. Bahkan kalau bisa, aku akan membalasnya!"
"Lyo, itu berbahaya!" kata Jayden, dia berusaha untuk meraih tangan Lyodra.
"Jangan halangi aku, kalau kamu memang sahabatku!" ketus Lyodra, lalu menepis kasar genggaman tangan Jayden.
Dia akan memikirkan cara, bagaimana bisa masuk ke keluarga Aiden.
Di parkiran rumah sakit.
"Lyo, aku tidak yakin ini akan berhasil, karena ada resiko yang harus kamu tanggung. Kalau dia tahu kamu adalah anak Uncle David, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu," ucap Jayden panjang lebar. Dia masih kukuh untuk menolak ide yang tercetus dari mulut Lyodra.
Ya, semalaman mereka terus berpikir bagaimana caranya bisa masuk ke perusahaan ataupun rumah Aiden. Dan hasilnya, Lyodra memilih untuk menjadi seorang pelayan di keluarga itu.
Akan tetapi Jayden tidak setuju, sebab dia takut terjadi sesuatu pada sahabatnya. Apalagi Aiden terkenal kejam, dan tak memberi ampun pada setiap orang yang mencari gara-gara dengannya.
"Aku akan tetap pergi!" cetus Lyodra, si keras kepala, yang tak ingin mendengar pendapat siapapun.
Dia berpikir rencana yang telah disusunnya akan berjalan dengan mulus. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Astaga, Lyodra Dawson! Kamu benar-benar ingin menyumbangkan nyawamu?"
Jayden menyugar rambutnya ke belakang, merasa sangat frustasi. Dia tak tahu bagaimana caranya menghentikan niat Lyodra. Terlebih gadis itu sudah sangat menggebu-gebu.
Lyodra hanya menghela nafas lalu tersenyum tipis. Dia mengangkat tangan untuk menepuk salah satu dada Jayden berulang kali. "Tenanglah, aku ini seperti kucing yang memiliki sembilan nyawa. Aku tidak akan mudah mati, Jay. Kalaupun itu terjadi, berjanjilah untuk tidak menangis."
Mendengar itu, Jayden hanya bisa menganga. Dari tatapannya, Lyodra seolah tak memiliki rasa takut sedikitpun. Berbeda dengan dirinya yang sudah ketar-ketir sedari tadi.
"Argh, kenapa harus aku yang merasa sangat cemas padanya. Sementara dia terlihat sangat santai," rutuk Jayden sambil memperhatikan Lyodra yang melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Sebelum pergi ke rumah Aiden, Lyodra ingin menjenguk ayahnya terlebih dahulu.
Dan ketika dia masuk ke dalam ruangan David, ternyata sudah ada sang nenek, Margaretha, yang menemani pria paruh baya itu.
***
Hari itu Lyodra benar-benar pergi ke rumah Aiden. Sebelumnya dia telah mencari alamat rumah tersebut di internet, dan beruntung dia dapat menemukannya. Dengan penampilan seperti gadis biasa pada umumnya, Lyodra berdiri sambil menelisik bangunan mewah yang ada di hadapannya.
Dia mengernyitkan dahi, karena merasa bahwa rumah Aiden cukup menakutkan. Aura gelap seolah menyelimuti bangunan tersebut, sementara aroma dupa ada di mana-mana.
Tiba-tiba nyali Lyodra jadi menciut. Namun, dia tidak akan mungkin memilih untuk mundur.
Pandangan mata Lyodra berhenti ketika dia melihat pos security. Dia pun memberanikan diri untuk memencet bel, hingga seorang pria menghampirinya.
"Ada yang bisa kami bantu, Nona?" tanya security tersebut.
"Aku—aku ingin bertemu pemilik rumah ini, aku butuh pekerjaan, Pak," jawab Lyodra dengan tergagap.
"Kalau begitu mari ikuti langkah saya."
Seperti sudah ditunggu kedatangannya, Lyodra dipersilahkan untuk masuk. Entah kenapa kaki Lyodra mendadak gemetar, hingga ia melangkah perlahan-lahan.
Namun, meskipun begitu akhirnya Lyodra sampai di ruang tamu. Dia kembali menelisik apa saja yang dilewatinya, dan yang mencuri perhatiannya adalah lukisan kelelawar raksasa bermata merah.
Haish, sepertinya orang ini benar-benar menyeramkan. Batin Lyodra menebak.
"Duduk dulu saja, Nona. Saya akan panggilkan Tuan, kebetulan beliau belum pergi ke perusahaan," kata security dengan sopan. Lyodra pun menganggukkan kepala.
"Baik, Pak."
Patuh, dia duduk di sofa yang tersedia. Dia tidak tahu kalau sedari tadi ada sepasang mata yang terus menatapnya dengan sinis.
Hingga tak berapa lama kemudian, Aiden datang dengan Lucy. Namun, ketika hendak duduk, pria itu meminta agar Lucy meninggalkan mereka berdua.
"Urus saja pekerjaanmu. Di sini aku akan mengurus pekerjaanku," kata Aiden ambigu, yang membuat Lyodra meneguk ludah.
Jujur saja, Lyodra pikir Aiden memiliki wajah yang sangat menyeramkan. Akan tetapi pemikirannya salah. Pria itu sangat tampan, dan memiliki tatapan setajam elang.
Rahang tegas itu terlihat sangat sempurna, apalagi saat Aiden menatap lurus dengan tubuh tegap. Pria itu nyaris tak memiliki cacat sedikitpun.
"Ada apa?" tanya Aiden singkat, padat dan jelas.
Mendapat pertanyaan seperti itu tentu membuat Lyodra langsung gelagapan. Kenapa dia malah terpesona? Seharusnya dia marah, karena orang yang ada di hadapannya adalah sosok yang telah menghancurkan perusahaan ayahnya.
"Maaf, Tuan. Sebenarnya saya datang ke mari untuk mencari pekerjaan. Karena saya melihat anda dan keluarga baru saja pindahan," ujar Lyodra mulai membicarakan tujuannya.
Aiden menarik sudut bibirnya sedikit sambil memperhatikan tangan Lyodra yang saling bertautan. "Aku tidak butuh!"
Lyodra langsung mengangkat kepala, dan dia mulai melakukan aktingnya dengan menunjukkan raut memelas. "Tapi, Tuan. Saya benar-benar butuh pekerjaan. Saya siap menjadi pelayan di rumah ini, asal saya mendapatkan uang."
"Untuk?"
"Kelurga saya terlilit hutang di Bank, rumah saya terancam diambil karena menjadi jaminan, sementara saya belum bayar uang kuliah. Saya mohon, Tuan ...."
Lyodra menunduk dalam, berharap usahanya bisa membuahkan hasil. Dia yakin meskipun terlihat bengis, Aiden masih memiliki sisi kemanusiaan.
Dan ternyata tebakan Lyodra salah. Aiden tetap menggelengkan kepala. "Aku tidak mau!"
Lyodra langsung mengepalkan tangannya di bawah sana. Merasa kesal dengan sikap Aiden. Namun, dia tidak menyerah, dia terus memohon pada pria itu, hingga membuat Aiden merasa jengah.
Pria itu akhirnya bangkit tanpa memedulikan kehadiran Lyodra. Dia hendak pergi, tetapi Lyodra segera menahan dengan memegang salah satu tangan Aiden.
"Tuan, saya mohon ... saya sangat butuh pekerjaan ini," kata Lyodra dengan mata yang berkaca-kaca, siap menumpahkan air mata buayanya.
Aiden melirik ke bawah, tepat ke arah tangan mereka yang saling bersentuhan. Lalu pandangannya naik, hingga dia bisa melihat mata dua manik mata Lyodra. Aiden memangkas jarak, hingga kepalanya berada di ceruk leher gadis itu.
Aiden memejamkan mata, menghirup dalam aroma tubuh Lyodra yang sangat manis. Dan hal tersebut tentu membuat Lyodra meremang seketika. Dia gemetar.
Sementara Aiden mulai menyeringai, dia pun berbisik. "Baiklah, aku setuju. Tapi ingat, ketika kamu sudah bekerja di sini, kamu tidak akan bisa berhenti begitu saja."
Deg!
***
Visual ada igeh ya ges @nitamelia05 💃💃
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!