"Kanaya kau dimana!! dasar anak tidak berguna."
Brak
Pria itu membanting keras pintu rumahnya sehingga menimbulkan bunyi yang begitu nyaring.
"Kanaya..!!" Teriak Herman dengan keras, membuat dua orang yang di dalam kamar saling memeluk.
"Kak Fikri takut." Bocah berusia 10 tahun itu memeluk erat tubuh kakaknya.
"Jangan takut dek, ada kakak." Kanaya memeluk adik laki-laki yang tumbuhnya bergetar karena katakutan.
Brak
Kanaya dan Fikri tersentak kaget melihat pintu kamar Kanaya terbuka lebar dengan kuat.
"Apa kau tuli." Herman menarik tangan Kanaya yang memeluk adiknya.
"Bapak lepas..!! apaan sih." Kanaya mencoba untuk memberontak hingga tangannya terlepas dari cekalan Herman.
"Kenapa kau kabur hah! bukankan aku menyuruhmu untuk melayani mereka di sana!" Hardik Herman dengan tatapan marah kepada Kanaya.
Tubuh Fikri sudah menggigil dan bergetar ketakutan, melihat keributan di depannya bahkan wajahnya sudah pucat.
"Aku tidak mau pak, aku bukan wanita murahan."
Plak
"Akhh." Kanaya jatuh tersungkur dengan memegangi pipinya yang terasa begitu sakit.
"Kakak." Fikri berteriak dan setelah itu jatuh pingsan.
"Fikri..!!" Kanaya langsung bangkit berdiri menghampiri adiknya yang tergeletak di atas ranjang.
"Fikri bangun Fikri, bangun..!"
.
.
.
"Kenapa kalian tidak mencegah Kanaya hah..!!" Herman menatap tajam tiga orang yang hanya bisa menunduk takut.
"Apa kalian tidak tahu, jika mereka marah dan minta uang nya dikembalikan. Dan sekarang aku tidak memiliki uang sepeser pun meskipun hanya untuk satu kali putaran." Herman masih marah dengan kejadian beberapa waktu lalu. 3 Preman setempat yang cukup meresahkan pengunjung dan warga setempat kini hanya bisa diam pasrah mendapat amukan dari Herman, pria yang ditakuti di desa setempat.
"Ah, sialan..!!"
Harman meluapkan amarahnya kepada ketiga pria yang hanya diam saja.
Herman adalah pria berusia 45 tahun. Tumbuhnya yang kekar memiliki banyak tato sekitar tanyanya, Herman terkenal sebagai pria penjudi dan mabuk-mabukan, hanya saja pria itu tidak pernah main wanita.
Siapa yang tidak kenal dengan Herman di daerah sana, bahkan sebuah resort besar menggunakan jasanya sebagai securty. Walaupun begitu Herman tidak pernah puas dengan hasil kerjanya sendiri karena kebiasaan judinya lebih banyak menghabiskan uang dari pada mendapatkan uang.
"Sial!! aku harus mendapatkan uang sebelum aku mati di tangan mereka." Geramnya yang mengingat Kanaya ternyata malah kabur.
Terpaksa Herman harus mencari uang untuk membayar hutangnya, dan sesuatu terlintas di kepalnya.
"Dokter bagaimana dengan adik saya?" Kanaya berdiri didepan dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Pasien mengalami serangan jantung, dan harus di operasi segera." Ucap sang dokter yang memeriksa Fikri.
"Apa!" Kanaya menutup mulutnya tak percaya.
Inilah yang Kanaya takutkan. Sebelumya Fikri memang memiliki riwayat jantung seperti ibunya yang sudah tiada, dan kini adiknya memiliki penyakit yang sama.
Kanaya menangis terisak meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan, ibunya meninggal lima tahun lalu karena serangan jantung, dan ayahnya yang penggila judi dan mabuk-mabukkan tanpa memikirkan kehidupan anaknya.
Kanaya Alifa, gadis berusia 20 tahun yang bekerja di toko kue, uang gajinya hanya untuk kehidupan sehari-hari sisa dari untuk menebus obat sang adik yang memiliki riwayat penyakit jantung.
Kanaya hidup dengan adik dan ayahnya, tapi memiliki ayah bagi Kanaya tidak ada artinya sama sekali, karena sejak ibunya meninggal ayahnya tidak bisa dikendalikan.
Pikiran Kanaya begitu kalut saat mendapati adik nya yang harus di operasi, tidak memilki uang sepeser pun lalu dengan apa dirinya membayar. Apalagi biaya operasi begitu mahal membuat Kanaya tidak bisa berpikir.
Kemana dirinya harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu cepat, sedangkan keadaan Fikri sedang kritis dan harus segera di operasi.
"Ya Tuhan tolong aku."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Haloo kesayangan author... datang lagi Karya baru Author untuk Kalian. Jangan bosan beri semangat author ya SAYANG 😘😘 Semoga bisa menghibur kalian 🤗🤗 Love you💗💗💗💗💗💗
"Naya kamu kenapa?" Tanya Sasi teman Kanaya bekerja.
"Sasi, Fikri." Kanaya kembali menangis di dalam pelukan Sasi.
"Adik kamu kenapa Nay." Sasi memeluk Kanaya sambil mengusap punggung temanya itu.
"Fikri harus di operasi, dan aku-" Kanaya tidak bisa melanjutkan ucapanya.
Hatinya terlalu sesak dan perih mengingat bagaimana adiknya terbaring di rumah sakit menunggu pertolongan.
"Kita masuk dulu, kita bicarakan." Sasi membawa Kanaya masuk kedalam kos-kosannya.
Sasi adalah teman Kanaya bekerja di toko kue. Mereka kerja hanya sampai pukul 5 sore, dan Sasi hidup seorang diri menghidupi dirinya sendiri.
"Jadi Fikri harus operasi dan butuh biaya?" Ucap Sasi yang ikut syok mendengar penuturan temanya itu.
"Hu'um." Kanaya mengagguk dengan isak tangisnya.
"Aku tidak tau harus mencari uangnya kemana, aku tidak tahu harus melakukan apa." Kanaya menangkup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Gadis itu terisak menyedihkan.
Sasi mengusap punggung Kanaya, wanita yang usianya lebih tua 3 tahun dari Kanaya itu memeluknya dari samping.
"Aku bisa membantumu, tapi tidak banyak seperti yang kamu butuhkan." Ucap Sasi pada Kanaya yang terisak dalam rengkuhannya.
"Tapi aku bisa memberimu jalan mendapatkan uang banyak dalam waktu cepat, jika kamu ingin melakukanya." Ucapan Sasi membuat Kanaya mendongak dan menatap wanita yang juga sedang menatapnya.
"Maksud kamu apa Sas?"
.
.
Kanaya tampak risih dengan pakaian yang dia kenakan, sejak tadi tanganya terus bergerak menurunkan gaun malam yang dia kenakan sebatas paha yang sama sekali tidak pernah dia pakai. Apalagi datang ketempat yang tidak pernah dia bayangkan. Kanaya rasanya sudah ingin pergi dari tempat yang mengerikan jika tidak ingat kepada Fikri adiknya yang tergeletak tidak berdaya dirumah sakit.
"Nay, ayoo." Sasi mengandeng tangan Kanaya untuk lebih masuk kedalam, walaupun risih dan takut tapi Kanaya tetap mengikuti kemanapun Sasi membawanya.
"Bos.." Sasi memanggil seorang pria yang sedang duduk disofa sambil ditemani dua wanita berpakaian minim bahkan kurang bahan.
"Saya bawa teman saya." Ucap Sasi pada pria yang sedang mematikan sisa bakaran tembakau di asbak.
"Who?" Tanya Alex pria yang memiliki tato dilehernya.
"Teman saya butuh uang cepat dan banyak." Itulah yang Sasi katakan, dan membuat Kanaya menuduk.
Alex menggoyangkan jarinya tanda jika dua wanita yang menemaninya harus pergi.
"Is she still a virgin?" tanya Alex menatap penampilan Kanaya dari atas ke bawah, dan kembali menatap Sasi untuk meminta jawaban.
Sasi hanya menggangguk, tidak perlu bersuara. Karena dengan anggukannya Alex sudah terseyum lebar.
"Girl, what's your name?" Tanya Alex sambil duduk bersandar di bahu sofa.
Melihat gadis muda belia dan masih tersegel, membuat Alex ingat dengan temanya.
"Nay, kamu ditanya?" Sasi menyenggol bahu Kanaya membuat gadis itu mendongakkan wajahnya.
"S-saya Kanaya tuan." Jawab Kanaya terbata.
"Kamu ingin menjual kegadisanmu hanya untuk uang?" Tanya Alex yang menatap wajah cantik Kanaya.
bola mata bulat, hidung mancung. Jangan lupakan dagunya yang belah tengah membuat bibir gadis itu terlihat begitu menggoda.
"S-saya-" Suara Kanaya tercekat, rasanya begitu sulit untuk mengatakannya. Hidupnya terlalu sulit.
"Baiklah, jika kau sudah bertekad untuk terjun, jangan harap bisa keluar tanpa ada jaminan."
Mendengar itu membuat bulu kuduk Kanaya langsung merinding, jadi setelah ini dirinya akan mulai melakukan pekerjaan yang penuh adrenalin menurutnya.
"Semoga niatku mendapatkan hasil baik."
Kanaya mencekram kedua tangannya diiringi dengan keringat dingin yang menyerang.
Pikirannya mulai berkecamuk saat terlintas bagaimana dirinya nanti harus bersikap. Apalagi saat bertemu dengan Alex pemilik bar yang bersedia membantunya untuk memberikan uang untuk biaya operasi sang adik.
"Bagaimana ini." Kanaya begitu takut melakukan hal yang menurutnya sangat berdosa, tapi mau bagaimana lagi jika adiknya sedang berjuang untuk menunggu pertolongannya.
Kanaya duduk dipinggiran ranjang dengan wajah pucat dan cemas, tapi keadaan membuatnya harus bisa melakukan hal yang bertolak belakang dengan hati dan logikanya.
Kanaya berdiri dan berjalan mendekati jendela yang tidak cukup besar. Dari sana dirinya bisa melihat kelap kelip lampu di kegelapan malam.
Helaian napas terdengar begitu saja dari bibirnya, seolah melepaskan beban berat yang sejak tadi bergelayut di pikiranya.
Saat tengah melamun Kanaya tidak menyadari jika ada seseorang yang membuka pintu kamar yang dia tempati. Kamar yang ditunjukkan Alex untuk dirinya melakukan hal untuk mendapatkan uang.
Seorang pria berjalan mendekati Kanaya yang tengah bersedakep dada sambil menatap pemandangan malam dari kaca jendela dikamar itu.
Pria itu memasukkan tangannya sebelah kiri ke saku celana, kemeja putih dilapisi jas yang tidak dikancingkan.
"Menungguku."
Suara bariton membuat Kanaya terkejut dan membalikkan tubuhnya, dan Kanaya melihat seorang pria tengah menatap dirinya dari atas sampai bawah membuat Kanaya sedikit risih dan jantungnya berdetak lebih cepat. Apalagi tatapan pria itu seperti ingin menelannya hidup-hidup.
Kanaya menelan ludah saat melihat pria itu berjalan mendekatinya sambil membuka jas yang dia pakai. Bisa Kanaya pastikan dirinya akan berakhir malam ini.
Kanaya memejamkan mata sejenak, untuk menyakinkan dirinya. "Ayo Kay, kamu pasti bisa. demi Fikri." Ucapnya dalam hati dan kembali membuka matanya.
"Akh..." Kanaya terkejut saat melihat wajah pria itu didepannya saat dirinya membuka mata. "A-anda mengagetkan saya." Ucap Kanaya terbata sambil menunduk ketakutan.
Pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya wajahku seperti hantu." Ucapnya dengan suara berat.
Kanaya mendongak, menatap wajah pria didepanya. Kedua mata pria itu terlihat merah dengan senyum seperti meremehkan.
"Aku tidak tahu apa yang spesial pada dirimu, sehingga aku harus mengeluarkan uang banyak untuk memakai jasa mu." Ucap pria itu yang berbalik berjalan menuju ranjang.
Kanaya meremat ujung gaun yang dia pakai, gaun kekurangan bahan yang dia kenakan dengan rasa tidak nyaman.
Air matanya seketika jatuh, jika dirinya tidak memiliki beban yang terlalu berat maka Kanaya tidak akan melakukan hal yang menurutnya sangat tidak pantas seperti ini. Tapi semua dia lakukan untuk sang adik yang sedang terbaring di rumah sakit.
"Mendekat lah."
Kanaya mendongak dan mengusap air matanya, dirinya menatap pria yang sedang duduk di sisi ranjang dengan kedua tangan terlentang kebelakang sebagai tumpuan.
Kanaya berjalan pelan mendekati ranjang, jantungnya benar-benar berdebar kencang seiring kakinya melangkah perlahan untuk mendekat, tidak berani menatap wajah pria itu Kanaya hanya menunduk untuk meyakinkan langkah kakinya.
Melihat jalan wanitanya yang seperti siput, pria itu tidak sabaran dan memilih bangkit lalu menarik tangan Kanaya cepat.
"Akh, tuan..!" Kanaya memekik saat tubuhnya tiba-tiba jatuh di atas pangkuan pria asing yang sayangnya sangat tampan.
"Kau lambat seperti siput." Ucap pria itu diiringi tawa.
"Mau apa tuan." Ucap Kanaya yang terkejut melihat reaksi si pria yang sedang membuka kancing kemeja.
"Mau melepaskan baju, memangnya apa?" Tanyanya yang membuat Kanaya hanyalah bisa menunduk malu. Melihat wajah pria itu saja jantungnya sudah berdebar kencang, apalagi ini akan melihat sesuatu yang tersembunyi di balik kemeja dan jas yang dia kenakan.
"Aku sudah sekarang giliran mu." ucap pria itu yang membuat Kanaya melotot karena tiba-tiba pria itu menurunkan tali gaun yang dia pakai dari pundaknya.
"T-tuan."
.
.
Kanaya berjalan tidak nyaman di lorong rumah sakit, jam yang sudah menjelang pagi membuat lorong rumah sakit begitu sepi sehingga tidak membuat Kanaya merasa risih ataupun malu saat semua orang melihat cara jalanya.
"Em.. kenapa rasanya seperti ini setelahnya." Gumamnya sambil mengigit bibir bawahnya, Tangannya merambat di tembok untuk berpegangan agar dirinya sampai di ruang inap Fikri.
Untung saja tadi Kanaya langsung mendapatkan uang saat keluar kamar. Karena ternyata Alex menunggunya dan mentransfer uang yang Kanaya dapatkan setelah mendapatkan kesepakan.
"Good job Kay, kau bisa membuatnya lepas perjaka."
Ucapan Alex masih terngiang di kepala Kanaya. Jadi pria bernama Arfiano itu sama sekali tidak pernah melakukannya. Ada rasa aneh yang menjalar dalam hati Kanaya, tapi kembali lagi Kanaya tidak ingin memikirkan hal itu setelah dirinya mendapatkan uang. Karena dirinya sadar jika apa yang dia lakukan hanya semata-mata karena uang bukan yang lain.
Ceklek
Kanaya masuk keruangan adiknya, posisinya masih sama, Fikri terbaring di atas ranjang dengan selang infus yang menempel.
Bibir Kanaya tertarik keatas untuk tersenyum, meksipun hatinya merasakan perih yang luar biasa.
"Kamu pasti sembuh Fik, kakak akan berusaha sekeras mungkin untuk membuatmu sembuh." Ucapanya dengan air mata yang mengalir dan hati yang tercabik-cabik.
Sosok seorang ayah yang seharusnya mereka banggakan malah bersenang-senang diluar sana, bahkan sama sekali tidak memperdulikan keadaan mereka sekarang.
"Maafin kakak Fik, kakak akan berusaha membuat hidupmu lebih bahagia, meskipun tanpa bapak. Percayalah semua yang kakak lakukan untuk kamu."
.
.
Like.. Komen jangan lupa sayang 😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!