Hilwa Anindya saat ini sedang berada di kamar. Dia sedang berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Mencoba mencari baju dan hijab yang cocok untuknya.
Siang ini Hilwa akan kedatangan tamu, yang sudah dia tunggu-tunggu. Seorang laki-laki yang sudah 2 bulan ini menjalani komunikasi dengannya.
Laki-laki itu mengaku bernama Reno Ardinata yang awalnya dia kenal di Media sosial. Setelah melakukan pendekatan selama 2 bulan, akhirnya Reno memutuskan untuk mengunjungi rumah Hilwa.
Setelah selesai mengerjakan pekerjaannya, yaitu mengerjakan pekerjaan rumah seperti gadis pada umumnya. Hilwa bersiap-siap memakai baju yang telah dia pilih.
Dia sedikit memakai polesan di wajahnya. Serta tidak lupa memakai hijab yang senada dengan warna baju yang dia pakai.
Tok. . tok. .tok
Suara ketukan pintu depan terdengar. Hilwa menoleh dan bergegas untuk membukanya.
Hilwa terkejut, melihat sesosok laki-laki sedang berdiri di depan itu.
"Assalamu'alaikum" Laki-laki itu tersenyum dan menatapnya.
" Ka-kak Reno? apakah benar, ini ka Reno??" ucapnya yang masih ragu. karena baru kali ini bertemu secara langsung.
" Iya benar, saya Reno. Bukankah kita sudah janjian untuk bertemu?"
" Aah iya, maaf kak. Aku tidak menyangka kakak akan sepagi ini datang ke rumah "
Reno pun gelagapan. Benar, Reno memberitahu Hilwa akan berkunjung siang hari. Tapi karena dirinya sudah tidak sabar dan takut terkena macet, sehingga pagi-pagi sekali berangkat dari rumah.
Dia tidak menyangkan, akan tiba sepagi ini di rumah Hilwa. Karena jalanan yang lancar tanpa adanya kemacetan sepertinya biasanya.
" Eumm kakak, berangkat dari rumah pagi-pagi sekali, karena takut terkena macet. Tapi sepertinya jalanan pun tidak ingin menghambat niat kakak untuk segera menemui mu" Reno mengusap tengkuknya untuk menahan malu.
Hilwa pun tersenyum yang melihat tingkah Reno. Menurutnya, Reno sosok laki-laki yang humoris. Dan dia sangat menyukainya.
" Ayo duduk kak !" Hilwa yang mempersilahkan tamunya untuk duduk di teras rumah. Karena orangtuanya sedang tidak ada dan takut menimbulkan fitnah.
" Maaf ya kak, aku tidak bisa mengajak kakak untuk masuk. Sebab di rumah tidak ada siapa-siapa"
" Iya gak apa-apa, neng. Di sini lebih nyaman"
Hilwa pamit pergi ke dapur, untuk mengambil minum dan camilan.
Setelah selesai membuatnya, Hilwa kembali ke teras rumah.
" Maaf kak, hanya teh saja" Hilwa yang meletakkan cangkir teh di atas meja.
" Terimakasih neng. Kebetulan kakak sedang haus" Reno tanpa basa-basi langsung meminumnya.
Ya, Reno tipe orang yang tidak neko-neko. Bawaannya yang jujur dan humoris yang membuat Hilwa merasa nyaman telah mengenal laki-laki yang sedang duduk di sampingnya.
Awalnya Hilwa mengenal sosok Reno di media sosialnya. Reno yang meminta pertemanan dan langsung mengirimkan pesan.
Komunikasi mereka terjalin sejak saat itu. Hilwa yang awalnya ragu, tapi karena Reno terus mengirimkan pesan dan mengajaknya untuk berkenalan. Dan akhirnya, obrolan itu beralih ke jalur pribadi.
Mereka semakin intens, saling bertukar obrolan. Hingga setelah satu bulan, Reno menyatakan perasaannya, ingin lebih mengenal sosok wanita yang sudah mencuri perhatiannya, sejak pertama kali melihat foto profil di akun media sosialnya.
" Neng, memang bapa dan ibu pergi kemana?" Reno berbasa-basi
" Bapak pergi bekerja dan ibu sedang mengantar Alif ke sekolah"
" Kakak jam berapa berangkat dari rumah?"
" eummm habis sarapan kakak langsung berangkat, neng"
" Neng, bagaimana kelanjutan hubungan kita selanjutnya?" Reno yang menyudahi basa-basi nya.
" Hilwa terserah kakak saja, bagaimana baiknya"
" Bagaimana kalau secepatnya kakak melamar mu?" Reno yang to the point
Deg. . .
Ada perasaan bahagia di hati Hilwa. Tapi apakah dia sudah yakin dengan laki-laki yang ada di hadapannya itu?
Sepertinya untuk menuju ke jenjang yang lebih serius, Hilwa perlu mempertimbangkannya. Dia tidak ingin tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
Apalagi untuk menikah di usia muda, dia perlu mempersiapkan mentalnya.
Ya, Hilwa yang sebentar lagi akan menginjak usia yang ke 21 tahun. Sedangkan Reno berusia 25 tahun. Memang usia mereka sudah layak untuk menikah, tetapi kembali lagi dengan persiapan mental yang harus mereka persiapkan sebelumnya.
" Aku perlu bertanya terlebih dahulu sama bapak dan ibu, kak" Hilwa yang tidak ingin mengambil keputusan tanpa meminta persetujuan dari orangtuanya.
" Baiklah kalau begitu. Kakak akan menunggu jawaban kamu" Reno yang akhirnya memahami perasaan Hilwa.
Mereka terus asyik mengobrol selama beberapa jam. Sampai akhirnya ibunya Hilwa pulang ke rumah.
Bu Tini sedikit terkejut mendapati seorang laki-laki sedang duduk di teras bersama putrinya. dia yang baru saja mengantarkan putranya bersekolah dan mampir ke pasar untuk membeli sayuran.
Reno yang melihat ibunya Hilwa pulang, dia langsung berdiri dan menyalami Bu Tini.
" Selamat pagi, Bu? ibu habis dari mana??" tanya Reno basa-basi
" eummm anu, ibu habis dari sekolah mengantarkan adiknya Hilwa"
" Ibu kok bawa sayuran?" Hilwa yang menyudahi percakapan ibunya dan Reno
" Iya, ini ibu langsung mampir dulu ke pasar. sekalian beli sayuran untuk sore masak"
" Kok, tamunya gak di jamu sih neng. Maaf ya nak, di sini tidak ada makanan apa-apa"
" gak apa-apa Bu, ini sudah lebih dari cukup. dan sebenarnya saya, sudah mau izin pulang Bu"
" Lho kok buru-buru nak, ini masih pagi. Tunggu dulu, biar ibu masak dulu"
" Terimakasih Bu, saya sudah sarapan. maaf ya Bu, kalau saya mengganggu aktifitas putri ibu"
" nggak kok nak, tidak menggangu sama sekali"
" Kalau begitu, saya pamit dulu Bu " Reno yang menyalami kembali tangan Bu Tini dan mencium telapak tangannya.
" Neng, kakak pamit pulang dulu ya? Insyaallah kakak akan berkunjung lagi ke sini ". Reno yang bergegas menuju sepeda motornya.
Hilwa menatap kepergian Reno dengan sedikit kecemasan. Apakah perkataannya tepat, saat Reno berbicara ingin melamarnya?
Dia berharap Reno tidak akan kecewa dan tetap akan melanjutkan hubungannya. Sebab, Hilwa pun sudah menyukai Reno saat mereka bertukar obrolan di akun media sosialnya.
" Neng, apakah itu pemuda yang bernama Reno?" Bu Tini yang sudah mengetahui kedekatan putrinya dengan seseorang.
" Iya Bu, dia kak Reno yang sudah Hilwa ceritakan sama ibu"
" Sepertinya dia pemuda yang baik dan sopan. Apakah kalian serius menjalaninya?"
" Iya Bu, bahkan kak Reno berniat melamar Hilwa secepatnya"
" Bagaimana menurut ibu?" Hilwa yang meminta saran ibunya. apa yang harus dia putuskan .
" Ibu sih terserah kamu aja neng, kamu kan yang akan menjalaninya. Tapi sebaiknya kamu pikirkan dulu baik-baik. Coba kamu beristikharah dulu, meminta petunjuk sama yang Maha Kuasa" Bu Tini yang memberi nasihat kepada putrinya.
" Baik Bu, insyaallah Hilwa akan bangun tengah malam. dan meminta petunjuk, apa yang terbaik untuk Hilwa ke depannya "
Bu Tini tersenyum, dia tidak menyangka bahwa putrinya ternyata sudah besar, bahkan sebentar lagi akan ada seseorang yang melamarnya.
Benar saja, Hilwa sengaja bangun tengah malam untuk meminta petunjuk dari Sang Maha Pencipta di sepertiga malam.
Disaat semua orang sedang terlelap. Hilwa bangun dari tidurnya, karena seperti seseorang sudah membangunkannya. Mungkin karena memiliki niat, jadi alam bawah sadarnya yang mengingatkan.
Hilwa bergegas ke kamar mandi yang berada di kamarnya untuk berwudhu.
Malam yang dingin menelisik sampai ke kulit. Suasana di luar sangat sepi, Hilwa menggelar sajadahnya di samping tempat tidur.
Mengerjakan sholat istikharah untuk meminta petunjuk, agar dia merasa yakin tentang keputusan yang akan dia ambil.
Setelah selesai, Hilwa mencurahkan isi hatinya. Menumpahkan segala keraguan, agar jalan yang dia ambil adalah yang terbaik untuk kehidupannya.
Setelah beberapa saat, Hilwa membacakan amalan-amalan yang dia hapal. sampai akhirnya, dia tertidur di atas sajadah yang masih terbuka.
Waktu sudah memasuki subuh, suara adzan sebentar lagi berkumandang. Hilwa tiba-tiba terbangun dari tidurnya.
Dia telah bermimpi, menaiki perahu dengan seorang laki-laki yang dia kenal. Memakai pakaian putih yang senada, mendayung di atas permukaan danau yang tenang.
Sungguh indah, pemandangan di dalam mimpi itu. Dia berharap ini adalah sebuah pertanda baik yang dia terima.
Dan benar saja suara adzan sudah berkumandang, Hilwa masuk ke kamar mandi lagi dan mengambil wudhu. Melakukan sholat wajib 2 raka'at.
Hilwa sedikit termenung duduk di tempat tidur, berusaha mengingat semua mimpinya. Benar, mimpi itu sangat jelas dan seperti nyata.
Sepertinya orangtuanya pun sudah bangun, dia keluar dari kamar. Hendak menghampiri ibunya.
Bu Tini baru selesai melaksanakan sholat wajib. Dia melihat putrinya menghampiri dirinya. "Neng, bagaimana, apa kamu sudah melaksanakannya?"
" Sudah Bu. Hilwa langsung bermimpi bertemu kak Reno" ucapnya, setelah duduk di samping ibunya.
" Bagaimana nak Reno dalam mimpi kamu?"
Hilwa mencoba menarik nafas sebelum menceritakan kejadian di dalam mimpi. Dia sangat antusias berbicara kepada ibunya " Begitu Bu, yang Hilwa alami di mimpi tadi" Setelah selesai dia bercerita.
" Itu benar-benar sebuah petunjuk baik untuk kamu, nak. Sekarang janganlah ragu, untuk menerima pinangan dari nak Reno "
" Iya Bu, insyaallah kali ini Hilwa yakin untuk menjadi istri kak Reno"
* * *
Setelah malam itu, Hilwa memberitahu Reno bahwa ia sudah siap untuk menerima lamarannya.
Reno dengan tidak sabar, langsung membawa orangtuanya ke rumah Hilwa.
Singkat cerita mereka sudah melakukan pernikahan. Sebulan setelah acara lamaran.
Karena Reno tidak ingin menunda, untuk meminang sang pujaan hati.
Usia yang cukup matang dan mempunyai pekerjaan yang tetap. Menjadikan tekad Reno untuk segera membangun rumahtangga.
Untuk beberapa bulan, pengantin baru itu, tinggal di rumah orangtua Hilwa. Reno yang bekerja di perusahaan bank swasta, harus bolak balik ke tempat bekerja, menggunakan sepeda motor dengan jarak yang lumayan jauh.
Tidak ada yang berbeda dari kehidupan mereka saat berada di rumah orangtua Hilwa. Reno yang selalu di layani istrinya dan diperlakukan baik oleh orangtua Hilwa.
Orangtua Hilwa, sangat menghormati menantunya. Baik ayah atau ibunya, mereka sudah menganggap Reno sebagai anaknya sendiri. Karena Reno merupakan menantu pertama di keluarga Hilwa.
Ya, Hilwa hanya memiliki seorang adik lalaki yang masih duduk di bangku SD. Ayah Hilwa, bekerja sebagai guru di sekolah dasar Negeri. Sedangkan ibunya, hanya ibu rumahtangga biasa.
Saat pulang bekerja, Reno selalu mengeluh. Dia merasa cape, harus menempuh perjalanan yang jauh setiap hari untuk bekerja.
Akhirnya Reno membujuk istrinya, untuk pindah ke rumah orangtuanya.
Saat mereka sudah berada di tempat tidur, dengan di selimuti hawa dingin dan malam yang sepi, Reno memberitahukan niatnya.
" Neng, apakah kamu mau pindah ke rumah orangtua kakak? Ucap Reno yang berhati-hati.
" Kenapa kak, apa kakak tidak betah berada di sini?"
" Bukan begitu neng, kakak sangat betah tinggal di sini. Ibu dan bapak sangat baik. Tapi kakak cape kalau setiap kali kakak pulang bekerja. kamu tahu kan, tempat kerja kakak lumayan jauh dari sini" ucap Reno panjang lebar.
Hilwa mencoba memahami perkataan suaminya. " Kakak harap kamu bisa memahami situasi kakak, dan mau ikut pindah ke rumah orangtua kakak".
Setelah menimbang-nimbang baik buruknya, akhirnya Hilwa bersedia menuruti keinginan suaminya.
" Baiklah kak, jika itu yang kakak inginkan. aku akan mencoba mengalah untuk kebaikan kita bersama".
Reno pun tersenyum. Dia selalu bangga pada istrinya, Hilwa seorang istri yang penurut dan bijaksana. Walaupun usianya masih muda, tapi dia mempunyai kedewasaan dan sikap yang baik dalam kehidupannya sehari-hari.
Pagi ini Reno dan ayahnya Hilwa sedang berada di rumah. Karena ini akhir pekan, jadi mereka gunakan sebagai waktu beristirahat saja di dalam rumah.
Orangtua Hilwa sedang duduk di teras, mereka bersantai sambil menikmati suasana sejuk di sekitar rumah. mereka bercengkrama, sesekali matanya menatap ke arah halaman rumah yang di penuhi berbagai macam tumbuhan dan bunga.
Melihat orangtuanya yang sedang bersantai, Hilwa dan Reno mencoba menghampiri mereka.
" Eh neng, nak Reno. ayo duduk di sini !" ajak ayahnya Hilwa menunjuk kursi yang masih kosong.
Mereka pun duduk berhadapan dengan orangtua Hilwa. " eummm pak, Bu. sebelumnya saya mau berterimakasih kepada bapak dan ibu sudah mau membiarkan kami tinggal di sini" Reno yang membuka pembicaraan.
Orangtua Hilwa sedikit terkejut dengan perkataan menantunya. tapi mereka membiarkan Reno untuk menyelesaikan perkataannya.
" Saya mau meminta izin, untuk membawa Hilwa ikut ke rumah orangtua saya"
deg. . .
" Ada apa nak, kenapa tiba-tiba ingin pindah ke dari sini?" ibu Hilwa yang cemas dengan niat menantunya. Apakah dia telah membuat kesalahan atau pernah menyinggung menantunya tanpa sengaja.
" Tidak ada apa-apa Bu, kak Reno hanya cape kalau harus bolak-balik berangkat kerja dari sini. ibu kan tahu, tempat kerja kak Reno lumayan jauh" Hilwa yang ikut menjelaskan
Orangtua Hilwa diam sesaat, mereka berpikir apa tidak apa-apa mereka tinggal di rumah orangtua Reno?
" Baiklah kalau itu niat kalian. Bapak dan ibu tidak bisa mencegahnya. Kalian mempunyai hak, untuk memutuskan di mana kalian akan tinggal" Setelah mereka berpikir akhirnya mereka harus mengalah.
" Terimakasih pak, Bu" ucap Reno yang bahagia.
" Tapi bapak titip, putri bapak ya nak. Jaga dan sayangi dia. walaupun bapak sangat berat hati untuk berjauhan dengan putri bapak, tapi bapak sudah tidak mempunyai hak atas Hilwa. Bapak sudah menyerahkan Hilwa sama kamu, jangan pernah kamu sakiti hatinya. Jika suatu saat, kamu sudah tidak mencintai putri bapak, jangan pernah sakiti dia, kembalikanlah Hilwa kepada bapak. Bapak akan menerimanya kembali. jika bapak masih di berikan umur yang panjang " Ayah Hilwa memberikan nasihat kepada menantunya dengan mata yang mengembun. beliau sudah mencurahkan isi hatinya.
" Insyaallah pak, saya akan mengingat nasihat bapak. dan saya berjanji akan selalu menjaga dan menyayangi Hilwa" Reno yang bersungguh-sungguh.
Setelah mendapatkan izin dari orangtua Hilwa. Reno akan membawa Hilwa sore ini. Dia sudah pernah membicarakan ini kepada kedua orangtuanya, dan mereka pun menyetujui keinginan putranya.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya mereka tiba di rumah orangtua Reno.
Reno masuk dengan membawa dua buah tas. Sedangkan Hilwa membawa buah tangan, yang mereka beli di tengah perjalanan. Mereka sempat mampir ke toko kue.
"Assalamu'alaikum, Bu" Reno yang mengetuk pintu.
Tidak ada sahutan dari dalam. " Ayo kita masuk neng, mungkin ibu sedang tidur di dalam".
Mereka masuk ke dalam, keadaan rumah memang sepi. Penghuni rumah sepertinya tidak ada di dalam.
Hilwa duduk di kursi ruang tamu, sedangkan Reno pergi ke dapur mengambil air untuk Hilwa.
Suara pintu depan terbuka, ternyata ibu mertuanya sudah pulang. "Bu" Hilwa yang menghampiri ibu mertuanya dan mencium tangannya.
"Kapan, kamu sampai neng?" tanya Bu Tika ibunya Reno.
"Baru saja Bu, ibu habis dari mana?"
" Ibu habis dari kondangan, ada tetangga yang hajatan".
Reno pun kembali dari dapur dengan membawakan nampan berisikan gelas minum. "Lho kok kamu yang ambil minum sih Ren, bukannya istri kamu?"
"Tidak apa-apa Bu, Hilwa kan belum tahu letak dapur dan perabotannya" Reno mencoba membela istrinya.
Deg. . .
Belum apa-apa ibu mertuanya sudah mengkritik hal sekecil itu. Hilwa hanya bisa tersenyum.
"Ya sudah, ibu mau ke kamar dulu, mau istirahat. Kalau kalian mau makan, ambil saja di dapur" Bu Tika yang berlalu pergi ke kamarnya.
"Neng, kalau ibu mengatakan sesuatu yang menyinggung mu, jangan di ambil hati ya !"
"Beliau orangnya baik, cuma omongannya saja yang kadang nyakitin hati orang" Reno mencoba mengingatkan watak ibunya.
"Iya gak apa-apa kak, Hilwa akan mencoba memakluminya".
Setelah itu mereka memasuki kamar, untuk beristirahat. Udara di luar pun cukup panas, mereka akan tidur siang sebentar, setelah melakukan sholat wajib.
Hilwa dan Reno tidur cukup lama, mungkin karena kecapekan di perjalanan.
Setelah mandi, Hilwa pergi ke dapur. Melihat ibu mertuanya sedang memasak "Ibu sedang memasak apa?" Hilwa yang berbasa-basi.
"Ya, beginilah neng. Seadanya !" Bu Tika yang sedang memotong sayuran.
"Kalau masih cape, istirahat saja di kamar. Hari ini biar ibu yang masak, tapi besok-besok kamu harus gantiin ibu masak ya. Kamu bisa masak kan?"
"Insyaallah bisa, Bu" Hilwa tetap diam di dapur membantu ibu mertuanya.
Setelah selesai memasak, mereka menyiapkan makanan di meja. Ayah mertuanya pun sudah kembali dari luar.
Ayah Reno sudah tidak bekerja. Dulu pekerjaan ayah Reno pun sama dengan Reno, tapi sekarang beliau sudah pensiun. Sekarang beliau mengurus peternakan ikan.
Keluarga Reno cukup terpandang di sana. Ayah Reno yang dulu, pegawai Bank swasta dan sekarang menjadi juragan Empang.
Mereka juga memiliki beberapa perkebunan yang di percayakan kepada orang lain.
"Eh neng, kamu sudah sampai? mana Reno??" pak Dedi yang melihat menantunya sudah ada di rumah.
"Tadi siang, yah. Kak Reno masih mandi di kamar" Hilwa yang menyalami ayah mertuanya.
"Ya sudah, bapak juga mandi dulu. Habis ini kita sama-sama makan ya !".
Itulah keseharian Hilwa ke depannya. Dia akan tinggal di rumah mertuanya, sampai mereka mempunyai rezeki untuk bisa membangun rumah sendiri.
Setiap hari dia melayani suami dan mertuanya. Memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Meski ibu mertuanya cerewet, tapi dia mempunyai ayah mertua yang baik.
Sebenarnya dulu saat Reno menyampaikan niatnya untuk menikahi Hilwa. Ibu Reno tidak menyetujuinya, dia menginginkan menantu yang sederajat dengan keluarga mereka.
Tapi karena Reno kekeh dan terus membujuk ibunya, akhirnya beliau pun luluh. Di rumah itu, tidak ada yang bisa membantah keinginan Reno. Dia yang merupakan putra satu-satunya, karena pak Dedi hanya memiliki dua orang anak.
Kakak perempuan Reno pun sudah menikah, dan ikut bersama suaminya ke luar kota.
Sejak kecil Reno selalu di manja dan apa-apa selalu di layani ibunya. Reno sudah terbiasa hidup berkecukupan dan segala keinginannya harus terpenuhi.
Sedangkan ayah Reno, tidak mempermasalahkannya. Asal calon menantunya mempunyai akhlak yang baik dan menyayangi putranya, itu sudah lebih dari cukup.
Hari dan bulan terus berganti, akhirnya pernikahan Reno sudah memasuki tahun yang ke-2.
Hilwa yang belum juga di berikan keturunan, membuat dirinya kurang memiliki kepercayaan diri lagi.
Ibu mertuanya yang terus-terusan membicarakannya, membuat Hilwa merasa rendah diri.
Hidupnya seakan tertekan, dengan omongan mertua dan orang-orang sekitar.
Hilwa dan Reno sudah melakukan berbagai cara agar bisa secepatnya mempunyai keturunan. Tapi jika Tuhan belum berkehendak, usaha apapun tidak akan membuahkan hasil.
Ibu mertuanya yang selalu memanasi mereka. Padahal beliau sudah di karuniai 2 orang cucu dari anak perempuannya.
Setiap libur kerja, Reno selalu mengantar Hilwa untuk cek ke dokter kandungan. Kata dokter semuanya baik, tidak ada masalah dengan rahim Hilwa. Hanya soal waktu saja, mereka harus terus bersabar.
Bu Tika saat itu duduk di kursi, beliau sedang menonton televisi. Melihat anak menantunya yang baru saja datang dari klinik kandungan langsung menoleh "Bagaimana, apa sudah membuahkan hasil? kalian setiap waktu selalu menghabiskan uang, tapi tidak ada hasilnya ".
Jangankan Hilwa, Reno pun sudah mulai jengah dengan perkataan ibunya. "Bu, kami kan lagi berusaha. Masalah hasil, itukan Tuhan yang nentuin Bu" sarkas Reno.
"Iya. terus bagaimana hasilnya, jangan-jangan istri kamu yang rahimnya kosong !"
Deg. . .
Hilwa terhenyak, perkataan ibu mertuanya bagaikan pisau belati yang langsung tertancap di hatinya.
"Bu, jangan bilang seperti itu. ucapan adalah doa, kami sudah berusaha melakukan berbagai cara dan kandungan Hilwa pun tidak ada masalah. Hanya tinggal waktu saja, kami masih harus terus bersabar ".
Bu Tika melengos, dia berlalu dari hadapan anak menantunya.
Reno menarik nafas berat, dia melihat Hilwa yang matanya sudah mulai mengembun. "Kamu yang sabar, ya ! jangan terlalu di pikirkan perkataan ibu".
Hilwa tidak bisa berkata apa-apa, bibirnya terasa kelu. Hanya lelehan air mata yang membasahi pipinya. tetapi dia buru-buru menghapusnya.
* * *
Reno merasa risih, jika setiap hari melihat ibunya terus-terusan menyinggung istrinya. Hingga suatu hari, ada tetangga yang ingin pindah. Mereka berniat menjual rumahnya.
Mendengar itu, Reno berinisiatif untuk membeli rumah itu. Dia meminta pendapat ayahnya yang saat itu sedang duduk di teras "Yah, katanya pak Adam mau pindahan ya? Beliau ingin menjual rumahnya. Apa boleh aku membelinya?"
Pak Dedi mengkerut mendengar perkataan putranya "Untuk apa kamu membeli rumah, toh ini juga kan akan menjadi milik kamu !"
"Tapi yah, aku dan Hilwa ingin belajar mandiri. lagian rumah itu juga, dekat dari sini".
Pak Dedi nampak berpikir "Baiklah, jika itu niat kamu. Ayah akan coba tanyakan kepada pak Adam, mengenai harga dan kelengkapan surat-surat nya".
"Terimakasih yah, ayah selalu mendukungku selama ini".
Pak Dedi tersenyum. Benar, tidak ada salahnya, jika putranya ingin mandiri dan memiliki rumah. Karena sebetulnya, seorang anak yang sudah menikah. harus bisa hidup sendiri.
Reno yang merasa risih, jika harus tinggal di rumah mertuanya. Dan Hilwa pun tidak akan mau, jika terus-terusan tinggal di rumah ini. Selain mereka harus mandiri, pak Dedi juga merasa kasihan, jika istrinya terus-menerus menyinggung menantunya.
Sebetulnya beliau tahu, tentang istrinya yang selalu membahas tentang masalah anak kepada Hilwa dan Reno. Beliau sudah coba menegur istrinya, agar jangan mencampuri urusan mereka. Tapi, watak istrinya, yang sudah dari dulu seperti itu. Pak Dedi sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Beliau berharap menantunya, bisa memakluminya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!