NovelToon NovelToon

You Are Mine

Sang putra 1

Sesuatu yang terlebih dahulu sudah tertanam, Alena, salah satu wanita yang kini berusia 27 tahun, seorang gadis yang berkarir, kini sudah enam tahun menjabat sebagai sekretaris.

Alena adalah seorang sekretaris yang cekatan, bersama bos nya yang kini sudah hampir berumur 55 tahun, bos nya bernama Alexander Rexford. Alena cukup berhubungan baik dengan keluarga bos nya, terlebih ibu bos nya, yang bernama Elisa Rexford.

(Visualnya, biar makin halu)

Kini Alena sedang menyeimbangkan langkah kakinya dengan tuan Alexander, meeting dengan klien ini cukup penting, mereka tidak ingin terlambat sedikit pun.

"Alena, semuanya sudah siap? setelah berada di ruang meeting, tolong cek angka nol, aku tidak mau jika nol nya lebih. Kau mengerti?" Alena mengangguk dengan terus berjalan mengikuti bos nya.

Mereka akhirnya datang, setelah itu duduk di kursi masing-masing, sebagai sekretaris, Alena lebih dari sekretaris, karena semua perusahaan ini dia yang melakukannya, bos nya hanya pergi jika Alena menyuruhnya untuk melakukan pertemuan bisnis.

"Bagaimana? semuanya sudah siap?" tanya Alexander pada yang lainnya, mereka di bagian bisnis dan juga departemen lainnya.

Seseorang masuk ke dalam bersama seorang asistennya juga, pria bertubuh kekar nan tampan bagai dewa Yunani. Mereka berdiri menyambut kedatangan orang itu. Pria yang bernama Alex, tuan Alex Maxwell.

Alena menyambut kedatangannya, tersenyum dan dengan hormat membungkuk. Alexandre menjabat tangan kliennya.

Beberapa jam sudah mendiskusikan tentang rencana kerja sama, Alexander akan bersiap-siap untuk menjalankan semuanya, kini barang 500pcs sudah di pesan, dengan syarat harus menerima barang yang bagus, tentu Alexander menjanjikan hal tersebut.

Setelah pertemuan itu, Alexander dan beberapa orang lain pergi keluar untuk merayakannya. Alena juga ikut ke restoran tempat mereka akan makan bersama di sana.

"Bagus, Alena. Semua yang kau lakukan tidak pernah gagal sekalipun." puji Alexander. Alena ikut tersenyum, beberapa orang juga bahagia karena barang mereka akan langsung di antar ke negara tetangga.

Beni, menepuk pundak Alena, memberikan pujian padanya.

"Tidak salah lagi, tuan Alexander memang tidak salah merekrut mu, Alena." ujar Beni terkekeh.

"Ya ya ya, itu biasa saja. Aku Alena, Ben, jangan main-main, oke?" sombong Alena. Alexandre terkekeh mendengarnya, meskipun pintar dan cerdas, Alena tipe orang yang ceria dan memiliki sifat sombong.

"Bos, jangan lupa bonus dan uang lembur ku ya." Alena tersenyum imut pada bos-nya, lalu di hadiah kekehan oleh Alexander, begitu juga dengan Alisa, teman Alena melayangkan tinju kecil pada bagian lengan Alena.

"Tenang saja, kau dan kalian akan mendapatkan bonus." jawab Alexander.

"Tapi, untuk uang lembur mu Alena, aku tidak bisa sepertinya." lanjut Alexander menampilkan wajah di buat seolah sedih, Alena menautkan alisnya.

"Bos, tidak ada alasan apa-apa lagi, uang lembur dan bonus, sedang ku tunggu!" sergah Alena. Alexandre tertawa keras dengan gelengan kepalanya.

"Bos, sepertinya Alena ingin di usir dari perusahaan, apa ada seorang sekretaris meminta bonus tambahan dan uang lembur secara langsung seperti ini?" Goda Rendi yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Alena.

Alena dan ke empat temannya sudah di anggap sebagai anak sendiri. Alena lah yang paling dekat dengan keluarga Alexander, Alena wanita yang baik, namun sayang Alexander tidak bisa menjodohkan sekretarisnya dengan sang putra karena Alena sudah memiliki anak.

Mereka semua mulai makan, Alena menatap satu-persatu, pikirannya kini sedang memikirkan putranya yang sudah berusia 7 tahun. Alena merindukannya, putranya itu seorang hacker, kecil-kecil cabe rawit, itulah nama yang biasa Alena gunakan untuk putranya.

Bukan hanya itu, tapi putranya sudah mengerti tentang bisnis, Alena hanya menghela nafas kasar saat dirinya bertemu dengan putranya, ini semua karena pamannya Alena yang mengajarkan tentang bisnis pada putranya.

"Alena, ada apa?" tanya Alisa menepuk bahunya. Alena tersadar.

"Aku merindukan putraku, dia masih belum memberi sinyal." gumam Alena sedih. Alexandre segera meletakkan sendok dan garfunya.

"Alena, kau ingin perusahaan di bajak oleh putramu lagi? sudah cukup para IT di perusahaan ku kebingungan saat perusahaan mengalami kebobolan!" Alexandre berkata dengan serius, namun raut wajahnya tidak, malah seperti sedang bercanda.

"Bagaimana ya bos, namanya anak jenius, aku bahkan jengkel jika dia sudah melakukan itu, sudah berkali-kali aku menasehatinya untuk menelpon jika merindukan ku, tapi anak itu benar-benar nakal!" cibir Alena pada putranya sendiri.

Alexandre terkekeh geli, bersaman itu, Alisa, Beni, Karina dan Rendi ikut tertawa mendengar celotehan bos mereka.

"Sudahlah, nanti telpon saja -"

Drrtt.... drtttt.... ponsel Alexander berdering, dengan cepat mengangkat telponnya.

"Ya, ada apa?" tanya Alexander.

"Apaaa?!" pekik Alexander. Tubuhnya yang berdiri secara spontan langsung ia duduki kembali, memijit kepalanya.

"Lihatlah, baru saja putramu melakukan pembobolan lagi!" celetuk Alexander.

"Boleh saya pulang, bos?" tanya Alena meminta izin. Alexandre hanya mengangguk, hanya dengan ini lah perusahaannya akan kembali normal.

"Bagaimana dengan bonus ku?" tanya Alena sebelum pergi dari sana.

"Asisten ku akan mengirimkannya, kau tenang saja, kau menagihnya seakan aku orang yang tidak menepati janjiku!" cibir Alexander. Alena terkekeh geli, sebelum pergi ia meminum jusnya, lalu pergi dengan cepat.

Alena menunggu di bandara, putranya pasti sudah menunggunya lama. Suara lengkingan terdengar, Alena menoleh ke arah putranya yang sedang berlari.

Alena merentangkan tangannya, lalu menangkap tubuh putranya.

"Kabir!!!!!" teriak Alena.

"Mommy!" grep! Alena segera menangkap tubuh putranya dan bangkit lagi. seorang pria paruh baya mendekat ke arah mereka.

"Paman, bagaimana kabar mu?" tanya Alena, cukup senang karena pamannya juga ikut.

"Allah menjagaku, bagaimana kabarmu, Alen?" tanya pamannya yang bernama Aditya.

"Aku baik, Allah ada di samping ku." jawab Alena tersenyum. Aditya mengusap rambut Alena dengan senang.

"Ayok kita pulang, ini sudah sore." ajak Alena pada keduanya. Mereka berjalan keluar dari bandara, lalu pergi menaiki taxi.

"Alena, kenapa kau masih belum membeli mobil? bukankah kau bekerja sebagai sekretaris? kenapa masih belum membelinya?" tanya Aditya melirik pada ponakannya.

"Iya mom, jika ibu mempunyai mobil, pasti akan lebih bagus dan kita bisa berjalan-jalan tanpa harus menunggu mobil taxi!" timpal sang anak dengan serius. Alena mengerutkan alisnya, lalu mencubit hidung putranya.

"Jika mau jalan-jalan menaiki mobil, tunggu saja nanti saat ibu mempunyai banyak uang. Kita akan jalan-jalan sepuasnya." jawab Alena.

"Paman, apa selama di sana, Kabir melakukan kesalahan?" tanya Alena.

"Tidak, Kabir bahkan membantuku, pekerjaan ku banyak, sehingga Kabir membantuku dengan cekatan, aku tidak tahu otak apa yang di buatkan oleh Tuhan sehingga Kabir memiliki otak yang lancar?" Aditya bingung dengan keponakan kecilnya.

"Paman, aku adalah putra ibu, jadi sudah pasti kepintaran mommy turun ke padaku!" balas Kabir dengan baik. Alena tertawa kencang mendengarnya, sejak kapan Alena pintar? dia bahkan bingung karena tiba-tiba pintar seperti ini.

"Ingatlah Kabir, jangan mengatakan hal-hal yang aneh jika berada di perusahaan ibumu." tegur Aditya. "Alena akan menendang mu jika kau melakukan kesalahan!" lanjut Aditya dengan kekehannya.

Kabir berdehem, tidak ada niat untuk membalas ucapan pamannya.

Setelah sampai, Aditya pamit pergi, sedangkan Kabir berasa di sini untuk waktu yang lama. Sebentar lagi akan tahun baru, Kabir tentu saja ingin menggunakan waktu sebaik mungkin bersama mommynya.

Nenek Gayung 2

"Kau sedang apa Kabir?" tanya Alena duduk di sisi ranjang putranya. Kabir menampilkan sesuatu, menyerahkan tablet yang berisi tentang data-data perusahaan.

"Milik siapa?" tanya Alena penasaran.

"Milik paman mu, Mom." jawab Kabir. Alena menutup mulutnya dengan satu tangan.

"Kau jahil sekali, Kabir! Apa paman tahu ini?" Kabir mengangguk sebagai jawaban.

"Ahhh... kau pintar sekali, Kabir ku sangat tampak dan manis, anak jenius." puji Alena dengan memeluk Kabir.

"Mom, berhenti untuk memujiku, telingaku akan gatal jika mommy memberikan pujian padaku!" Alena melebarkan mulutnya membentuk huruf O. Putra lain akan senang jika di puji, tapi tidak dengan putranya.

"Kau ini Kabir! hentikan sikap tidak sopan mu itu!" cibir Alena bangkit dari duduknya.

"Apa ibu bisa menghentikan sikap sombong mu? ku jawab pasti tidak bisa, ini sudah keturunan dari keluarga kita." jawaban telak. Alena memutar matanya kesal.

Baginya, Kabir seperti musuh, bukan seperti putranya.

"Terserah kau saja Kabir! selamat malam!" ucap Alena kemudian mematikan lampu kamar putranya. Kabir mulai menyimpan iPad nya, lalu memejamkan matanya untuk segera tidur.

Beberapa menit kemudian, Kabir tertidur, Alena masuk ke dalam kamar putranya, lalu tidur di samping Kabir. Alena mengelus rambut Kabir dengan lembut, perasaan bahagia membuncah dalam hatinya, ia sudah merindukan putranya. Alena menutup matanya, lalu ikut tertidur.

Pagi hari, matahari sudah keluar, Alena terbangun dari tidurnya, sedangkan putranya sudah mandi dan memakai baju.

"Oh, mom, jika putramu bukan aku, sudah pasti putramu itu akan mengeluh karena memiliki ibu yang bangun di jam delapan!" sindir Kabir dengan memakai jas kecilnya.

Alena tertawa kencang mendengarnya, baginya sindiran itu sudah menjadi makanan sehari-hari.

"Ya, Kabir. Jika saja putraku bukan dirimu, aku sudah sangat berterima kasih pada yang menciptakan mu!" timpal Alena terkekeh geli.

Tepat jam sembilan, Alena menekan alat yang akan melaporkan jika dirinya mengabsen. Semua orang yang ada di dekat Alena langsung saja mendekat dan satu-persatu mencubit hidung atau pipi Kabir.

"Hai, Kabir. Bagaimana jalan-jalan mu dengan paman mu?" tanya Santi yang memang sering mengajak Kabir bermain.

"Bibi, senang bertemu denganmu." ujar Kabir sopan. Santi yang di panggil bibi membulatkan mulut dan matanya.

"Tidak sayang, jangan panggil bibi ya, tapi panggil kakak." ralat Santi dengan senyum manisnya. Kabir dan Alena menahan tawa mereka saat Santi tersenyum seperti itu.

"Santi, jangan sampai nanti Kabir mengatakan padaku jika dia trauma melihatmu." ledek Rendi yang di timpali kekehan oleh mereka berdua.

"Rendi, sang manager, maaf maaf nih ya, tapi saya tuh emang cantik." sombong Santi dengan menggunakan bahasa Indonesia.

"San, jangan halu deh, udah halu nya, gue takut luh ke sambet nenek gayung." ejek Rendi lagi.

"Loh tuh ya, sebagai teman gue, harusnya dukung gue biar bisa jadi menantunya mama Alena, ya gak yank?" ujar Santi, matanya mengedip pada Kabir, lalu berkedip kembali pada Alena.

"Ih, amit-amit San. Yang ada nanti, anak gue baru umur 15, loh udah nenek-nenek." jawab Alena bergidik. Rendi mengacungkan jempolnya pada Alena yang mengatakan dengan jujur.

"Mommy, bukan kah ke sini untuk bekerja? Ayok kita bekerja." tegur Kabir pada mommy. Rendi dan Santi tertawa mendengarnya, mereka terkikik saat wajah Alena di tekuk.

"Bagus, son. Uncle suka sama kamu." Rendi mengacak-acak rambut Kabir.

"Yaudah, gue masuk dulu ya. Takut anak gue kecantol nenek-nenek." kekeh Alena tertawa meninggalkan mereka.

"Yehhh... gue masih cantik juga!" protes Santi.

"Udah lah, gue mau kerja dulu, bye, San." pamit Rendi sekarang.

Santi hanya mengedikkan bahunya, lalu kembali ke kursinya lagi.

Alena masuk ke dalam ruangannya, mulai mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda. Beberapa jam sudah berkutat dengan pekerjaannya, Alena menatap ke arah Kabir yang masih fokus pada iPad nya, Alena sudah menduga, jika bukan tentang sekolah, pasti anak itu sedang melakukan pengecekkan data-data perusahaan dan juga melihat bisnis yang pamannya jalankan.

Saat jam 12 siang, bos Alexander sudah pasti memanggil Alena untuk ke ruangannya, menanyakan semua pertemuannya dengan klien dan meeting penting, jadwal yang padat membuat tuan Alexander keteteran, itu sudah pasti, karena di sini bukan hanya mengurus satu perusahaan, tapi di luar Alena dan pak Alexander harus mengurus satu perusahaan lagi.

"Alena, lihat data-data perusahaan kita." pak Alexander menyerahkan iPad nya pada Alena, dengan cermat Alena melihat dan menghitungnya.

"Pak, apa ada masalah?" tanya Alena melirik ke arah bosnya. Bos menggeleng, itu semakin membuat Alena bingung, jika bukan karena masalah, lalu untuk apa bos nya memperlihatkan data-data perusahaan?

"Setelah tahun baru nanti, kau yang mengurus semuanya, aku ingin beristirahat di rumah bersama istriku. Oh, kau juga akan di bantu oleh putraku, dia akan pulang ke sini, sudah tanggung jawabnya, mau atau tidak, dia tetap harus di sini!" ujar Alexander dengan penuh penekanan.

Alena sendiri bingung, dia bahkan belum pernah bertemu dengan putra bos nya yang pertama. Entahlah, lagi pula Alena tidak pernah penasaran sedikit pun, pekerjaan adalah yang utama baginya, apalagi dirinya tidak mau jika harus mencampuri urusan yang tidak penting.

"Putra Anda, tuan Steven?" tanya Alena dengan hati-hati.

"Bukan, tapi Aryan. Dia putra sulung ku, setelah tahun baru ini, dia yang akan menjalankan tugas ku." jawab Alexander. Pria paruh baya itu menyandarkan tubuhnya ke kursi kebanggaan, seperti kelelahan karena harus mengurus berkas-berkas yang harus dirinya baca sebelum menandatanganinya.

"Oh," balas Alena, ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Kau akan di tugaskan bersamanya nanti." ujar Alexander. Alena menautkan aksinya.

"Tapi saya sekretaris Anda, pak." kilah Alena.

"Memangnya kenapa? apa kau takut dengan putraku?" Alena terkekeh mendengarnya, untuk apa takut, bersama putranya Steven saja dia berani.

"Dia sedikit temperamen, aku bahkan sampai pusing jika harus berdebat dengannya." keluh Alexander.

"Bos, untuk apa berdebat dengan putra sendiri? Akan lebih bagus diam dari pada suasana lebih buruk."

"Itu adalah dirimu, Alena. Bukan aku!" jawab Alexander tegas.

"Tapi sama saja, dari pada Anda bertengkar dengan putra Anda, lebih baik berbaikan, itu lebih baik." jawab Alena lagi. Alexander menghela nafas, sekretarisnya bukan hanya bagus dalam pekerjaan tapi dalam hal berdebat dengannya juga.

"Oh iya, tahun baru seminggu lagi kan? Setelah pulang dari sini, ke rumah lah, sepertinya istriku merindukan putramu." titah Alexander. Alena hanya mengangguk.

"Bos, Anda harus melakukan meeting dengan dewan direksi jam dua, lalu keluar untuk bertemu dengan klien." ujar Alena memberitahu.

"Kau ikut Alena?" Alena menggeleng.

"Pekerjaan di sini banyak, bos. Jika keluar dalam waktu satu jam atau dua jam, akan membuang waktu saja." ucap Alena.

"Baiklah, tolong foto copy berkas ini ya, setelah itu kau kemari kan." Alena mengambilnya, lalu pergi keluar dari ruangan bosnya.

Nyonya Elly 3

"Baiklah, tolong foto copy berkas ini ya, setelah itu kau kemari kan." Alena mengambilnya, lalu pergi keluar dari ruangan bosnya.

Di depan pintu, ibu bos sudah berdiri di sana, syukurlah Alena tidak memiliki riwayat jantungan.

"Apa Anda ingin bertemu dengan bos, Nyonya?" tanya Alena. Wanita paruh baya itu menggeleng.

"Aku ingin menemui putramu, aku merindukan nya, kenapa kemarin kau tidak ke rumah? suami ku bilang kau menjemput Kabir di bandara?" ujarnya panjang lebar. Wanita itu bernama Elly, Elisa Elly Rexford. Alena tersenyum kecil, lalu berjalan ke arah ruangannya dengan di ikuti oleh Elly.

"Kabir, siapa yang datang..." ucap Alena memberikan kejutan. Kabir menoleh, senyumnya mengembang saat melihat bos wanita datang.

"Grandma!!!" teriak Kabir yang langsung melempar iPad nya ke sofa. Alena hampir jantungan melihat iPad di lempar begitu saja.

"Kabir, sudah mommy bilang jangan asal melempar iPad!" tegur Alena dengan mengambil iPad putranya, lalu menaruh benda itu ke meja.

"Maaf, mommy." cicit Kabir. Elly tersenyum, ia mencubit pipi anak kecil di hadapannya.

"Kau sudah sangat besar, Kabir. Bagaimana jika kita jalan-jalan?" usul nyonya Elly mengajak Kabir.

"Jika tidak keberatan, Grandma." jawab Kabir tersenyum lebar. Elly menatap pada Alena, seolah meminta izin padanya, dengan sekali anggukan, Elly berterima kasih lalu pergi dengan putranya.

"Kabir tidak ada di sini, aku harus menyelesaikan pekerjaan ku sebelum dia kembali." gumam Alena, ia menatap berkas yang dia pegang dari tadi, baru ingat jika bosnya menyuruhnya untuk memfotokopi berkas itu.

Alena melakukannya, menunggu hasil foto copy. Seseorang mengetuk punggung Alena.

"Ada apa, Beni?" tanya Alena yang sudah hafal orangnya. Beni terkekeh, lalu berjalan ke samping Alena.

"Nyonya membawa Kabir lagi?"

"Hemm..." jawab Alena. Beni tersenyum kecut, lalu menyenderkan punggungnya ke tempat foto copy.

"Aku bingung, Len. Kenapa nyonya bisa begitu akrab dengan putramu? Padahal mereka berdua tidak memiliki aliran darah yang sama." ujar Benni mengetuk dagunya seolah berpikir.

"Entahlah, tapi aku beruntung karena nyonya memperlakukan Kabir seperti itu, kau tahu Ben, Kabir begitu bahagia saat melihat nyonya Elly kemari."

"Len, aku sebenarnya tidak ingin menyakiti hatimu, tapi, aku masih penasaran, siapa suami mu?" tanya Benni dengan hati-hati.

Alena menunduk sedih, namun tangannya masih bergerak melakukan pekerjaannya.

"Benni, jika kau bertanya tentang suamiku siapa padaku, aku akan menjawab jika aku tidak tahu, bukankah sudah ku bilang, jika aku belum menikah. Ben, setelah ini lupakan pertanyaan-pertanyaan yang akan menyakiti hati Kabir, ku mohon." pinta Alena. Wanita itu melenggang pergi setelah pamit dengan Benni.

Benni menatap Alena dengan tatapan sedih, Benni ingin tahu siapa suami Alena, namun siapa sangka jika Alena belum pernah menikah sama sekali. Hampir semua orang yang ada di perusahaan tahu tentang masa lalu Alena, kecuali anak baru yang magang atau yang baru bekerja 2 tahun.

Alena mengetuk pintu ruangan bos nya, Alexander menyuruhnya untuk masuk.

"Bos, sudah ku foto copy, ada yang harus ku lakukan?" tanya Alena.

"Tidak, kau pergi saja untuk makan siang, ini sudah jam setengah satu." titah Alexander, Alena mengangguk patuh dan pamit.

"Kok ngelamun, neng?" tanya Santi yang sedari tadi duduk di kantin bersama Alena.

"Lagi mikirin masa depan." jawab Alena.

"Alah! masa depan apaan?! pacar aja belum punya Luh!" timpal Alisa dengan mendorong pelan tubuh Alena.

"Kek gue dong,mau nikah ama ayank bebep." pamer Alisa. "Loh tuh ya Lis, ngomong terus mau nikah tapi kaga jadi-jadi, heran gue!" balas Santi dengan kesal.

"Santai dong bepz, ini gue lagi nyari." balas Alisa tersenyum manis.

"Btw, kata si Rendi, bentar lagi perusahaan ini mau di ambil alih sama anaknya pak bos ya? kapan, Len?" tanya Alisa menatap intens pada Alena.

"Gue gak tahu, yah palingan gue cuma jadi kolingan doang, tahu apa anaknya pas bos suka sama kerja gue apa nggak." jawaban Alena membuat keduanya bernafas kasar.

"Eh, rame-rame ada apaan nih?" tanya Benni yang ikut bergabung.

"Jangan pegang-pegang bisa gak sih!" tepis Alisa yang kesal karena Benni yang selalu menjadikan bahunya tempat sikunya bersandar.

"Ih yank, kok jahat gitu sih, jangan galak-galak napa!" protes Benni dengan wajah di buat sesedih mungkin. Ketiga wanita itu mengangkat kedua alisnya, seolah jijik mendengar kata sayang dari bibir Benni.

"Ben, meskipun Luh pas-pasan, tapi jangan norak deh!" ledek Santi mencibir.

"Maksud Loh apaan, San? Ganteng gini di bilang pas-pasan!" protes Benni menaikkan suaranya.

"Udahlah, gue laper nih, jangan debat mulu bisa gak!" tegur Alena melerai mereka.

"Dan, loh, San! Kalau cinta ngaku sama Benni, keburu di cantol ama si Alisa tuh!" goda Alena terkekeh geli. Santi dan Alisa seketika bergidik ngeri.

"Amit-amit, Len. Loh kalau ngomong di jaga lah, gak bisa gitu loh doain gue jodohnya leminelo gitu, jongkok, yang ganteng-ganteng lah!" sarkas Santi mencebik temannya.

"Tuh kan Yank, Santi kaga mau ngaku." Adu Benni pada Alena, sedangkan wanita itu tertawa pelan karena makanannya baru saja masuk ke mulutnya.

"Yank, belain apa!" protes Benni yang melihat Alena tak sedikitpun menghiraukannya. Alena melambai-lambaikan tangannya, seolah memberi kode tak ingin mengomentari.

"San...."

"Apaan sih, Ben. Gue mau makan loh ya!" ujar Santi sarkas.

"Yaudah deh, awas aja ya kalau kalian minta traktir sama gue nanti!" ancam Benni dengan melenggang pergi dari sana.

"Santi, beneran mau di tolak?" ledek Alisa dengan wajah nakal, sedangkan Santi mencabik temannya itu.

Seperti biasa, Alena akan menjemput Kabir di rumah bos nya, Alena sebenarnya tidak ingin, tapi melihat keluarga ini sangat berjasa padanya waktu dulu dan sampai sekarang, membuat Alena tidak bisa menolaknya.

"Nona Alena, ingin bertemu dengan Kabir?" tanya pelayan rumah itu saat melihat Alena datang. Alena mengangguk mengiyakan.

"Di mana, Bi?" tanya Alena. Pelayan menunjuk ke arah taman, lalu di ikuti oleh Alena yang berjalan ke sana.

Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar bangun dari duduknya dan mendekat pada Kabir. Alena menghembuskan nafasnya, lalu berjalan mendekat.

"Tuan Steven, selamat sore." sapa Alena, pria itu berbalik dan tersenyum.

"Alena, sudah datang?" tanya pria itu yang bernama Steven.

"Gak, pak. Saya ini mau pulang." jawab Alena dalam hatinya.

"Iya, pak. Baru saja datang." jawaban Alena bertolak belakang dengan hatinya.

"Sini, duduk." Steven menepuk kursi satunya, Alena dengan ragu mendekat dan duduk di sampingnya.

"Bagaimana kabarmu, Alena?" tanya Steven menatap Alena lekat, namun wanita itu menatap lurus ke arah putranya. Sesekali Kabir menoleh dan tersenyum pada ibunya.

"Baik, tuan." Jawab Alena menoleh ke arah Steven, lalu mengalihkan pandangannya lagi.

"Alena, tidak kah kau merasa pendek jika di dekat putramu? Kabir baru berumur 7 tahun, tapi tingginya seperti ingin mengalahkan mu." kekeh Steven.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!