Luna baru saja menyelesaikan ceritanya malam itu pada Caca, putrinya, namun Caca masih belum dapat memejamkan matanya.
Luna sudah menyiapkan mentalnya untuk menjawab pertanyaan Caca, seperti malam-malam sebelumnya.
"Ayah pulang malam lagi ya Bun?" tanya Caca.
"Iya Ca, Caca bobo duluan saja, bunda akan temani Caca di sini sampai Caca bobo!" jawab Luna.
Caca, gadis mungil yang berumur 9 tahun yang baru duduk di kelas 3 SD itu, nampak menghembuskan nafasnya dengan wajah cemberut, lagi-lagi ada kekecewaan yang tersirat dari wajah mungilnya itu.
Luna juga tidak bisa melakukan banyak hal untuk Caca, dia hanya bisa menemani Caca, sampai Caca benar-benar tertidur.
"Teman-temanku sering cerita, kalau ayah mereka sering pulang cepat, dan membawakan makanan, juga mengajak mereka jalan-jalan, sedangkan ayah, sudah lama tidak pernah mengajak kita jalan-jalan lagi!" gumam Caca sambil memeluk gulingnya.
"Maafkan ayah Ca, mungkin Ayah sedang sibuk, ya sudah sekarang Caca bobok, besok pulang sekolah Bunda ajak jalan-jalan ke mall ya, diantar oleh Bang Juna!" ujar Luna.
Caca hanya menganggukkan kepalanya, meskipun kekecewaan masih terpancar di wajahnya, gadis mungil itu kemudian berusaha untuk memejamkan matanya, karena dia sadar besok pagi dia harus bangun pagi-pagi untuk berangkat ke sekolah.
Setelah menunggu beberapa saat lamanya, Caca benar-benar sudah nampak tertidur, saat itulah Luna mulai beranjak dari tempat tidur Caca, kemudian dengan perlahan menutup pintu kamar Putri semata wayangnya itu.
Luna berjalan ke arah ruang makan, di meja makan itu masih ada makanan bekas makan malam tadi, dulu makan malam selalu habis tanpa sisa, namun setahun belakangan ini, semuanya berubah, tidak ada lagi makan malam bersama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Luna menarik nafas panjang membayangkan dulu, Ivan suaminya selalu pulang sore, membawakan makanan kesukaannya atau mainan-mainan untuk Putri kecil mereka, di awal-awal pernikahan rasanya mereka begitu bahagia.
Namun ternyata, kebahagiaan itu tidaklah bertahan lama, apalagi sejak Ivan mulai sering pulang terlambat, dan lama-kelamaan hampir setiap malam Ivan selalu pulang larut malam, dia baru akan pulang di atas jam 12.00 malam, dan keesokan harinya dia sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, begitu seterusnya.
Pernah suatu ketika Luna menanyakan hal itu pada rekan-rekan di kantornya, dan Luna harus menerima kenyataan, bahwa Ivan sudah mulai tergoda oleh wanita lain, dan itu menyebabkan suaminya itu sering pulang larut malam.
Luna bisa saja marah ataupun menggugat Ivan, namun dia teringat akan Caca, demi Caca Luna terpaksa harus diam dan menyimpan semuanya di dalam hatinya.
Beberapa kali Luna pernah menegur Ivan dan mengajaknya bicara dari hati ke hati, Namun sepertinya Ivan sedang mengalami masa di mana dia kembali jatuh cinta pada orang lain, dan Luna berusaha menutupi semuanya itu dari Caca, Luna tidak ingin hati Caca terluka.
Akhirnya Luna membiarkan saja Ivan pulang sesukanya, dan dia tetap menjalankan peran seorang istri seperti biasanya, meskipun kini hatinya sudah terasa sangat hambar dan hampa, seolah sudah tidak ada lagi cahaya di dalam rumah ini.
Hanya Caca lah harapan satu-satunya Luna untuk bisa terus bertahan.
Untuk menyibukkan diri dan supaya tidak terlalu berlarut-larut dalam situasi rumah tangga yang sedang tidak baik-baik saja ini, Luna membuat beraneka macam kue melalui pesanan online, sehingga Luna bisa sejenak melupakan apa yang dirasakannya.
"Lho Bunda Luna masih duduk di sini? belum tidur toh Bun?" tanya Ijah, asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah ini sejak Luna menikah.
"Sebentar lagi juga tidur Jah, Oh ya bahan-bahan buat kue besok sudah siap belum? kebetulan ada pesanan di komplek sebelah!" sahut Luna.
"Sudah siap Bun, Pokoknya besok tinggal buat saja, saya juga sudah bilang kok sama Bang Juna Untuk mengantarkan Bunda Luna, jadi besok pagi-pagi sekali Bang Juna sudah sampai rumah!" kata Ijah.
"Oh iya, sampai lupa, besok kan hari Senin ya, waktunya Bang Juna pulang ke sini, Aku sampai lupa hari!" gumam Luna.
"Iya Bun, lagi pula kan seminggu sekali Bang Juna memang pulang ke kampung, karena dia di sana ada istrinya, tapi kan cuman satu hari saja, habis itu dia balik lagi ke sini!" sahut Ijah.
"Ya sudah Jah, kamu boleh tidur, sebentar lagi aku juga mau masuk kamar kok, sudah mengantuk!" ujar Luna yang kemudian bangkit dan melangkah ke arah kamarnya.
Setelah sampai di kamarnya, Luna kemudian menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya, lagi-lagi malam ini dia sendiri di tempat tidurnya, entah jam berapa Ivan akan kembali, kini Luna sudah tidak peduli lagi.
Waktu sudah menunjukkan jam 12.00 malam, biasanya Ivan sudah pulang dan kemudian langsung tidur, tapi malam ini sepertinya Ivan belum pulang karena tidak terdengar tanda-tanda dia pulang.
Hingga setelah beberapa saat lamanya, barulah terdengar suara deru mesin mobil dari arah luar, itu adalah mobil Ivan, setelah memarkir mobilnya, Ivan pun nampak masuk ke dalam rumah dan berjalan langsung menuju ke kamarnya.
Seperti biasanya, setelah sampai di kamar Ivan pun langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, sementara Luna masih terlihat berbaring, seolah tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Ivan, karena Luna merasa dia sudah capek.
Setelah itu Luna merasa tempat tidurnya seperti bergoyang, ternyata Ivan sudah mulai berbaring di sampingnya, meskipun belakangan ini mereka jarang sekali berkomunikasi, namun mereka masih tidur dalam satu ranjang, dan di depan orang-orang hubungan mereka seolah baik-baik saja.
"Caca sudah tidur?" tanya Ivan.
"Ini sudah jam berapa ya? Tentu saja Caca sudah tidur, masa iya dia menunggumu sampai jam segini!" jawab Luna.
"Kapan-kapan aku akan mengajak Caca jalan-jalan!" kata Ivan yang kini mulai mengeluarkan ponselnya, dan bermain-main di sana, sementara Luna masih berbaring membelakangi Ivan.
"Sudah berapa kali Ayah mengucapkan janji itu pada Caca, tapi belum sekalipun Ayah memenuhi janji itu, Ayah boleh mengabaikan Bunda tapi jangan Caca!" cetus Luna.
"Maaf Bun, tapi besok ayah akan berusaha untuk memenuhi janji kepada Caca!" ujar Ivan.
Tiba-tiba Luna membalikkan tubuhnya, kemudian duduk di atas tempat tidurnya Itu sambil menatap ke arah Ivan suaminya, yang masih berbaring santai sambil memegang ponselnya.
"Kalau ayah tidak mampu untuk memenuhi janji pada Caca, lebih baik ayah tidak usah berjanji sekalian, Apakah Ayah sadar kalau Ayah telah melukai hati Caca? Ayah boleh melukai hati Bunda, tapi jangan Caca!" seru Luna yang sudah sejak tadi menahan keinginannya untuk berbicara pada Ivan.
"Bunda! Apa begitu cara berbicara dengan suami?" tanya Ivan yang kemudian ikut duduk di atas tempat tidur di hadapan Luna.
"Apakah masih ada penghargaan di antara kita? Apakah Ayah masih menganggap Bunda sebagai istri ayah?" seru Luna yang kini sudah diambang batas kesabarannya.
Bersambung ...
****
Ivan kemudian berdiri dari tempat tidurnya, wajahnya kelihatan kesal, kemudian dia menatap tajam ke arah Luna istrinya yang masih duduk di tempat tidur.
"Ayah baru pulang Bun! Seharusnya Bunda Buatkan kopi kek, teh kek, bukan malah menyerang seperti ini!" sungut Ivan.
"Kalau Ayah seperti suami-suami yang lain, tidak pulang larut malam terus, tentunya dengan senang hati Bunda akan buatkan ayah minuman, makanan atau apapun!" sahut Luna.
"Sudahlah! Ayah pusing! Selalu saja pulang ke rumah ditanya ini itu, bikin orang tidak betah saja!" cetus Ivan.
"Seharusnya Ayah sadar! Sudah berapa lama Ayah tidak pernah bertemu atau berbicara pada Caca? dia selalu menanyakanmu ayah!" ujar Luna yang kini ikut berdiri dari tempat tidurnya.
"Selalu saja Caca yang dijadikan alasan! Selama ini kan Ayah sudah mencukupi semua kebutuhan kalian! Apa itu kurang? Sudahlah, semakin lama di rumah ini ayah semakin pusing!" seru Ivan yang kemudian mulai kembali berjalan ke arah pintu Kemudian menutup pintunya dengan keras.
Seperti biasa, jika Luna menegur Ivan, Ivan pasti akan marah dan dia memilih pergi entah ke mana.
Ini bukan hanya sekali dua kali dilakukannya, namun seringkali, saat ini Luna hanya pasrah saja, sambil mengusap matanya yang kini mulai basah.
Untuk mengejar Ivan, rasanya Luna sudah enggan, percuma rasanya, Ivan tidak akan pernah bisa diajak untuk bicara, belakangan ini dia selalu emosional, Ivan selalu menutupi setiap pertanyaan Luna dengan kemarahan dan kemarahan.
Malam itu Luna kembali menangis sendirian di kamarnya, entah berapa kali Ivan melukai hatinya, terlebih lagi Dia teringat akan Caca putrinya, yang saat ini sedang membutuhkan figur Ayah dan Luna tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapi pertanyaan-pertanyaan Caca yang terus saja menanyakan Ayahnya.
Hingga tanpa terasa, hari sudah menjelang subuh, Luna kemudian bangkit dan membasuh tubuhnya di kamar mandi, setelah itu dia kemudian keluar kamar untuk mulai bersiap membuat kue pesanan.
Ijah sudah nampak terlebih dahulu berada di dapur dan menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue.
"Lho, Bunda sudah bangun, tapi kenapa wajahnya pucat Bun? semalam sepertinya Ayah Ivan pulang, apa dia masih tidur Bun?" tanya Ijah.
"Dia sudah pergi lagi Jah, Sudahlah, tidak usah tanya-tanya soal Ayah Ivan, sekarang kita fokus aja bikin kue, supaya nanti jam 06.00 semua sudah siap, biar bisa diantar, sekalian antar Caca ke sekolah!" jawab Luna.
Ijah hanya menganggukkan kepalanya tanpa berani untuk bertanya lagi, mereka pun kemudian nampak membuat kue bolu pesanan ibu-ibu Komplek sebelah untuk acara PKK.
Tiba-tiba terdengar suara motor yang berhenti tepat di depan rumah, Ijah buru-buru ke depan untuk membawakan gerbang, sementara Luna melanjutkan pekerjaan yang sebentar lagi hampir selesai.
Caca nampak baru keluar dari kamarnya dengan sudah rapi menggunakan seragam, gadis mungil kelas 3 SD itu sudah bisa mandiri, mandi sendiri dan berpakaian sendiri. Luna tersenyum menatapnya.
"Anak bunda sudah rapi, kita sarapan yuk, Bunda juga Sebentar lagi selesai!" sapa Luna.
"Iya Bun!" sahut Caca yang kemudian langsung duduk di ruang makan, ada hidangan nasi goreng yang sudah disiapkan oleh Luna sebelumnya.
Tak lama Ijah kembali masuk dan kembali membantu Luna untuk mengangkat kue dari oven.
"Bang Juna sudah datang Bun, sekarang dia lagi cuci mobil!" lapor Ijah.
"Lho kok langsung cuci mobil, suruh sarapan dulu lah Jah, kan namanya dari perjalanan!" kata Luna.
"Tadi saya sudah bilang Bun, tapi Biasalah, Bang Juna itu kalau bukan Bunda yang suruh dia tidak akan mau!" sahut Ijah.
"Ya sudah, kamu sekarang tolong siapkan kardus buat taruh kuenya, kalau sudah selesai diikat dan ditumpuk saja ya, aku mau temani Caca sarapan dulu!" ujar Luna yang kemudian langsung mencuci tangannya dan melangkah ke arah ruang makan, di mana Caca sudah menunggunya.
"Ayo Ca, sarapan yang banyak, susunya dihabiskan ya, supaya Caca sehat dan pintar!" kata Luna yang kemudian langsung memberikan nasi goreng di piring yang sudah ada di hadapannya itu. Mereka kemudian sarapan pagi bersama.
"Bun, minggu depan kan ada acara pentas seni di sekolah, Pasti ayah tidak bisa datang kan!" ucap Caca sambil terus menyantap nasi gorengnya.
"Nanti Bunda bilang pada Ayah, siapa tahu Ayah punya waktu buat datang!" jawab Luna.
"Kayaknya Ayah juga tidak akan bisa datang Bun, Sudah yuk Bun, aku mau cepat-cepat sampai di sekolah, Soalnya hari ini aku piket!" ujar Caca yang kemudian langsung menyantap habis makanannya itu.
Luna hanya dapat menganggukkan kepalanya dan juga cepat-cepat menghabiskan makanan nya, dia melihat ada raut kesedihan di wajah putrinya itu, namun Caca sepertinya sudah paham, dan dia tidak menunjukkan rasa sedih dan kecewanya pada bundanya.
Caca yang sudah siap kemudian langsung berjalan keluar untuk menunggu Luna di atas mobil, Yang sudah disiapkan oleh Juna, supir mereka.
Setelah sedikit momoles wajahnya, Luna kemudian mulai menyusul Caca sambil membawakan bungkusan makanan untuk Juna.
"Bang Juna pasti belum sarapan, ini dimakan dulu deh bang, soalnya Caca juga lagi buru-buru mau piket!" kata Luna sambil menyodorkan bungkusan nasi goreng itu pada Juna.
"Saya belum terlalu lapar Bun, nanti saja saya makannya kalau sudah selesai mengantar!" tukas Juna.
"Lho, nanti keburu siang lho Bang, nanti setelah dari sekolahan Caca kan aku masih mau mengantar kue ke Komplek tempat ibu-ibu PKK!" sergah Luna.
"Tidak apa-apa bun, kan nanti saya bisa makan sambil menunggu, sekarang kalau sudah siap, mari saya antar!" kata Juna yang kemudian langsung membukakan pintu mobil yang sudah siap itu.
Luna kemudian naik, lalu Juna mulai menyalakan mesin mobilnya itu dan keluar dari gerbang rumah Luna dan melajukannya perlahan menuju ke sekolah Caca.
Selama ini Juna lah yang selalu mengantarkan Luna kemanapun, dari mengantar jemput sekolah, mengantarkan pesanan, ke pasar, bahkan saat Luna mengajak Caca jalan-jalan pun selalu Juna yang mengantarnya.
Juna belum lama bekerja di rumah Luna, dulu Ivan yang selalu mengantar jemput mereka, namun sejak Ivan mulai pulang larut malam, dan hubungan Ivan dan Luna merenggang, akhirnya Ivan mengambil sopir untuk menggantikan dirinya mengantarkan Luna dan Caca.
Juna adalah seorang pribadi yang sopan dan tidak terlalu banyak bicara, namun dia selalu memberikan pelayanan terbaik, tidak pernah sekalipun terlambat, datang tepat waktu dan tutur katanya juga lembut.
Akhirnya mereka sampai di sekolah Caca, Caca kemudian turun di depan gerbang sekolahnya itu.
"Sayang, semangat belajarnya ya! nanti bunda jemput lagi!" seru Luna sambil melambaikan tangannya dari kaca jendela mobilnya yang terbuka.
"Iya Bun, dah Bunda!" sahut Caca sambil melambaikan tangannya kemudian berlari-lari kecil menuju ke lobby sekolah.
Setelah itu Juna kembali melajukan mobilnya untuk mengantar Luna ke Komplek ibu-ibu PKK yang memesan kuenya.
"Bang Juna sebaiknya berhenti sebentar, Bang Juna makan dulu, nanti nasi gorengnya keburu dingin, kan jadi tidak enak!" kata Luna.
"Tapi bun, kan harus mengantar pesanan sekarang!" tukas Juna.
"Masih banyak waktu Bang, lagian kompleknya kan dekat, Bang Juna makan saja dulu!" sahut Luna.
Juna kemudian langsung menepikan Mobilnya di pinggir jalan itu, untuk memakan nasi goreng yang sudah disiapkan Luna sebelumnya.
Sementara Luna di belakang kemudi duduk melamun, memikirkan Ivan yang semalam pulang, namun kini pergi lagi entah ke mana.
"Bunda jangan melamun, kata orang dulu, tidak baik pagi-pagi bengong!" kata Juna.
"Eh iya bang, tidak melamun kok!" tukas Luna.
"Saya tahu bunda sedang sedih, Maaf Bun, kelihatan matanya sembab, pasti semalam Bunda Habis menangis lagi ya!" ucap Juna sambil menyantap nasi gorengnya.
"Iya Bang, Sudahlah, tidak usah dipikirkan, sudah biasa kan!" sahut Luna yang kini berusaha untuk tersenyum.
"Saya tidak suka Bunda sedih, hidup itu hanya sekali Bun, jadi harus dinikmati, seperti saya menikmati nasi goreng buatan Bunda ini!" kata Juna.
"Bang Juna selalu bisa saja membuat aku tertawa, sepertinya hidup Bang Juna kelihatan damai, seolah tidak ada beban, enak ya jadi bang Juna!" ucap Luna.
"Siapa bilang jadi saya enak bun, saya semua serba terbatas, tapi Ya disyukuri saja, yang penting masih bisa hidup dan menemani Bunda ke manapun!" jawab Juna.
Luna tersenyum, ada rasa hangat yang dirasakan di dalam hatinya, Juna selalu saja bisa membuatnya tertawa dan terhibur, seolah dia lupa akan kesedihannya, setidaknya kehadiran Juna selama ini membuat Luna sedikit lebih bersemangat.
Bersambung ....
****
Siang itu seperti biasa di siang-siang sebelumnya, Luna akan menjemput Caca ke sekolah diantar oleh Juna.
Luna turun dari mobil yang telah diparkir oleh Juna di parkiran sekolah, kemudian Luna berjalan ke arah lobby, di mana anak-anak menunggu jemputan.
Belum sampai di lobby, Caca nampak berlari-lari kecil sambil Melambaikan tangannya ke arah Luna, Luna pun tersenyum kemudian setelah sampai Luna memeluk Caca dengan erat seperti yang biasa dilakukannya.
"Kita jadi ke mall kan Bun?" tanya Caca.
"Iya dong Ca, kan Bunda sudah janji sama Caca, nanti Caca boleh makan apa saja yang Caca suka!" jawab Luna.
"Yes! Tidak apa-apa lah tidak ada ayah, bisa jalan sama Bunda saja aku sudah senang kok!" kata Caca yang kemudian menggandeng tangan Bundanya itu menuju ke mobil yang sudah menunggunya di parkiran.
Luna dan Caca kemudian langsung naik ke atas mobil Yang mesin mobilnya memang sudah dinyalakan oleh Juna, supaya tetap terasa sejuk.
"Kita jadi langsung ke mall Bun?" tanya Juna.
"Iya Bang, kita langsung ke mall saja ya, lagi pula aku sudah membawakan Caca baju ganti kok!" jawab Luna.
"Siap bunda!" jawab Juna yang kemudian langsung melajukan mobilnya itu keluar dari parkiran sekolah.
Kira-kira 30 menit perjalanan, mereka sampailah di sebuah mall yang cukup besar yang tidak jauh dari sekolah Caca.
Juna kemudian langsung masuk ke dalam mall untuk memarkirkan mobilnya, dan berhubung hari masih siang, mereka mendapatkan parkir tepat di depan mall tersebut.
"Saya tunggu di sini saja Bun! Biar Bunda dan Caca saja yang masuk ke mall!" kata Juna.
"Bang Juna ikut lah, ngapain tunggu di parkiran, kita makan sama-sama saja bang, ayo Bang!" ujar Luna.
"Iya Om Juna, Om Juna ikut saja! Lagian kita cuma berdua saja kok, biar rame gitu!" Timpal Caca.
"Tapi Bun, saya jadi tidak enak nih, tugas saya kan hanya mengantarkan sampai sini saja, tidak enak ikut makan sama bunda dan Caca!" tukas Juna sungkan.
"Bang Juna apaan sih, kita kan cuman makan bareng saja Bang, sekalian belanja bulanan juga, Ayolah Bang ikut sekalian!" bujuk Luna.
"Kalau begitu, baiklah Bun, saya ikut, Saya hanya menemani Bunda dan Caca saja, tidak ikut makan juga Tidak apa-apa kok!" kata Juna yang kemudian mulai mematikan mesin mobilnya dan keluar dari mobil.
Luna tersenyum, beberapa kali Luna memang sering kali mengajak Juna untuk ikut serta kalau dia dan Caca sedang jalan-jalan, tapi sepertinya Juna terlalu sungkan, baru kali ini Juna mau ikut diajak olehnya.
"Caca mau makan apa?" tanya Luna yang sedari tadi tak lepas menggandeng tangan Caca.
"Aku mau makan Bento saja Bun, lagi pengen!" jawab Caca.
"Oke deh, yuk kita naik sekali lagi, restorannya kan ada di atas!" ujar Luna.
Mereka kemudian berjalan kembali dan naik eskalator menuju ke atas Juna mengikuti di belakangnya.
Hingga mereka sampai di restoran yang diinginkan Caca, baru saja Luna mencari tempat untuk duduk, tiba-tiba matanya tertuju pada seseorang yang duduk di sudut restoran itu, dan dia mengenal Siapa orang itu.
Itu adalah Ivan, suaminya, yang sedang duduk makan bersama dengan seorang wanita.
"Bun, itu kan ayah!" seru Caca sambil menunjuk orang yang tadi dilihat oleh Luna.
Luna tidak bisa menyembunyikannya lagi, Ivan nampak sedang makan bersama dengan seorang wanita, tadinya dia mau buru-buru pergi meninggalkan restoran itu sebelum Caca melihatnya, namun ternyata Caca juga suda melihatnya.
"Ca, kita cari tempat lain saja ya, jangan makan di sini!" kata Luna.
"Itu Ayah sama siapa Bun? Kenapa tidak kita datangi saja Ayah? Lagian Sudah lama aku tidak bertemu ayah!" ucap Caca sambil menatap ke arah Luna.
"Tidak! Caca tidak boleh menemui ayah! Ayo kita keluar dari sini! Caca tidak mengerti apa yang dilakukan Ayah di sana!" sergah Luna yang kemudian langsung menarik tangan Caca keluar dari restoran itu. Dia terus berjalan sambil menarik tangan Caca.
"Bunda kenapa? Kenapa ayah dan bunda selalu musuhan? Memangnya kenapa kalau kita samperin Ayah ke sana? kenapa Bunda malah ajak aku keluar?" tanya Caca tak mengerti.
"Caca! kali ini Caca harus menurut Bunda! Kita tidak boleh bertemu ayah dalam situasi seperti ini, Ayah lagi bersenang-senang di sana, kita tidak boleh mengganggu dia!" jawab Luna yang matanya kini mulai memerah menahan genangan air yang hendak tumpah sedari tadi.
Tiba-tiba Juna yang sadari tadi mengikuti mereka mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, kemudian Juna langsung mengusap wajah Luna yang kini mulai meneteskan air mata itu dengan sapu tangannya.
"Bunda jangan menangis! Bunda tidak pantas menangis di sini!" ucap Juna.
"Terima kasih Bang, Ayo kita pergi dari sini!" kata Luna yang kembali menarik tangan Caca menuruni tangga eskalator.
Luna kemudian berhenti di sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari tempat mobil mereka terparkir, entah mengapa seleranya untuk makan tiba-tiba hilang, hatinya begitu sakit saat melihat Ivan makan berdua dengan seorang wanita.
Sejak lama Luna memang sudah tahu kalau Ivan berselingkuh, apalagi belakangan ini Ivan sering pulang malam, tapi Luna mencoba berpura-pura tidak tahu dan berpura-pura tegar, hanya untuk melindungi Caca.
Namun siapa sangka, Caca juga melihat dengan mata kepalanya sendiri, Ayahnya makan bersama dengan seorang wanita, Luna bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Caca.
Mereka kemudian duduk dan entah mengapa sejak tadi wajah Caca juga kelihatan muram.
"Ca, Katanya Caca lapar? Caca silakan pesan mau makan apa?" tanya Luna.
"Aku tidak mau makan di sini bun!" sahut Caca.
"Jadi Caca mau makan di mana? Kan Caca sendirian minta mau jalan-jalan ke Mall terus makan di Mall!" ujar Luna.
"Aku tidak mau makan, kalau wajah bunda saja sedih begitu!" sahut Caca.
"Kalau begitu kita pulang saja, kita makan di rumah!" kata Luna yang kemudian langsung berdiri dan berjalan keluar lagi dari restoran itu.
Juna kemudian langsung menggandeng Caca menyusul Luna.
"Saya tahu apa yang bunda rasakan, kalau begitu kita masuk mobil yuk Bun, Sepertinya saya tahu tempat yang nyaman buat bunda, supaya di sana bunda bisa menangis!" ucap Juna yang kini berjalan di samping Luna.
Luna hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab, Kemudian mereka pun kembali masuk ke dalam mobil dan dengan cepat Juna kemudian langsung keluar dari parkiran Mall itu, hari ini mereka batal makan di mall, karena melihat Ivan yang juga makan bersama dengan seorang wanita, dan itu membuat Luna begitu sakit hati.
Juna terus melajukan mobil itu hingga mereka sampai ke satu taman kota, di situ ada danau dan ada beberapa pedagang kaki lima yang berjejer.
Meskipun cuaca panas namun di taman kota itu ditumbuhi banyak pohon rindang sehingga membuat teduh suasana
Juna kemudian memarkirkan mobilnya itu di pinggir jalan dan mengajak Luna juga Caca turun dari mobil. Mereka kemudian duduk di bangku taman.
"Bunda, di sini ada makanan Kayak bakso, siomay, cilok, ketoprak, rasanya walau kaki lima tapi enak kok, Bunda mau makan apa?" tanya Juna.
"Terserah Bang Juna saja, aku ikut apapun yang Bang Juna pesan!" jawab Luna.
"Kalau Caca mau makan apa?" tanya Juna sambil menoleh ke arah Caca.
"Aku mau makan siomay saja Om Juna!" jawab Caca.
"Baiklah, kalian tunggu sebentar ya, Saya akan pesankan makanan untuk kalian, kasihan perutnya sudah lapar kan!" ucap Juna yang kemudian langsung melangkah menuju ke tukang dagang yang berdiri berjejer tak jauh dari tempat itu.
Tak lama kemudian, Juna sudah kembali dengan membawa satu piring siomay dibantu oleh pedagang siomay, kemudian mereka makan siomay sama-sama di taman kota itu.
"Bagaimana rasanya? Enak kan?" tanya Juna.
"Iya Bang, rasanya enak sekali, aku jarang-jarang makan jajanan di pinggir jalan seperti ini!" jawab Luna.
"Iya Om, rasanya enak banget, ini aku malah mau nambah lagi!" Timpal Caca.
Juna tersenyum, setidaknya dia sudah berhasil membuat majikan dan anak majikannya itu tersenyum kembali, membayangkan betapa sedihnya wajah mereka saat berada di mall tadi.
Bersambung ....
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!