Naya Kazani, seorang gadis muda berdarah asli Rusia. Lahir dari pasangan Kazani yang berimigrasi ke salah satu negara Eropa.
Naya saat ini masih berusia delapan belas tahun. Ia sedang sekolah menengah di tingkat akhir. Ia memiliki seorang adik laki-laki yang terpaut lima tahun di bawahnya.
Mereka menjalani hidup yang sederhana. Ayah dan Ibunya menjalankan sebuah restoran kecil di tengah kota.
Meski memiliki restoran kecil, pendapatan mereka tidak sebesar yang diperkirakan oleh orang lain. Mereka adalah imigran di negara ini, tentu harus membayar pajak yang cukup besar dibandingkan warga lokal di sana. Untuk mendapatkan izin tinggal di negara ini saja, Ayahnya sudah susah payah dahulu.
Hari ini di sebuah sekolah swasta terkenal, Naya mulai belajar seperti biasa. Naya adalah siswa terbaik dengan berbagai prestasi yang dia raih. Hal itulah yang membuat ia bertahan di sekolah elit yang rata-rata siswanya adalah anak orang kaya.
Naya mendapatkan beasiswa di sana dan juga mendapat beberapa keistimewaan dari orang tua para murid. Meski berasal dari keluarga sederhana, Naya tidak pernah mendapat perlakuan buruk dari teman-tan maupun gurunya.
Sekolah itu adalah sekolah terbaik di negara tersebut, tentu mereka unggul dari segi akhlak maupun prestasi. Jadi, tidak ada yang namanya perundungan di sana.
Bel pulang sekolah berbunyi, siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas. Naya masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang harganya tidak main-main.
Tentu saja bukan mobil miliknya atau pun orang tuanya. Naya diajak oleh temannya ke rumahnya sepulang sekolah.
"Apakah Mommymu di rumah Joy?" tanya Naya pada teman yang cukup akrab dengannya, Joyceline, yang biasa dipanggil Joy.
"Sepertinya iya. Mom janji akan memasak untukku. Makanya aku mengajakmu ke rumah." jawab gadis berambut pirang itu.
Joy adalah salah satu teman baik Naya, merupakan anak konglomerat, dan pamannya adalah salah satu menteri di negara itu. Naya sering bermain ke rumahnya, membuatnya akrab dengan beberapa anggota keluarganya.
Seperti biasa, Naya dan Joy menghabiskan sore hari dengan menyenangkan. Saat waktu menjelang malam supir keluarga Joy akan mengantar Naya pulang. Sampai di rumah Naya mandi dan membantu orang tuanya menutup restoran.
Biasanya ia membantu mengangkat sampah-sampah ke tempat sampah hang berada lima puluh meter dari restoran.
Setelah selesai, saat perjalanan pulang, Naya melihat kejadian yang cukup menarik perhatian. Sebuah mobil hitam berhenti dan menurunkan seseorang di atas kursi roda. Setelah itu, sosok misterius memakai topi masuk ke dalam mobil dan meninggalkan orang di atas kursi roda begitu saja.
Naya penasaran dan memperhatikan sosok itu dari tempatnya berdiri. Tidak ada tanda-tanda orang datang untuk menjemputnya. Pikiran Naya berperang, hati nuraninya membawa langkahnya mendekati sosok itu.
"Halo." sapa Naya saat mendekat. Ternyata seorang wanita tua yang lumpuh, tengah berurai air mata ketika mereka saling berpandangan.
Naya terkejut, ia pikir orang tadi telah membuang nenek ini. Naya bersimpuh di depan wanita tua tersebut. "Nenek, kemana orang tadi pergi? Kenapa dia meninggalkanmu?" tanya Naya pelan.
Wanita itu tidak menjawab, ia melihat Naya seolah ingin menjelaskan sesuatu, namun mulutnya sulit digerakkan. Beberapa pertanyaan Naya tanyakan tapi tak satu pun terjawab.
Pada akhirnya, Naya mengambil keputusan membawa Nenek itu ke rumahnya. Kedua orang tuanya terkejut dan iba ketika Naya menjelaskan pada orang tuanya.
"Bagaimana ini Ayah? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ibu Naya.
"Untuk sementara kita rawat saja Ibu ini, Ayah akan pergi ke kantor polisi untuk mencari keluarganya." jawab Ayah Naya.
Tidak ada yang keberatan akan keputusan itu, karena mereka semua juga merasa iba kepada wanita tua tersebut.
Naya memperhatikan ketika Ibunya mencoba bicara pada Nenek itu. Pakaian yang dipakai wanita itu bermerk dan mahal, sama seperti yang dikenakan oleh teman-temannya.
"Bibi, maaf kami tidak bisa mencari keluargamu malam ini. Suamiku akan mencari keluargamu besok, dan untuk sementara kau tidur di rumah kami." ujar Ibu Naya dengan sopan.
Naya membantu Ibunya mengangkat Nenek itu ke atas tempat tidurnya. Mau tidak mau Nenek itu tidur di kamar Naya, karena tidak ada kamar tamu di rumah mereka.
Naya dan keluarganya memperlakukan wanita itu dengan baik. Wanita itu memperhatikan satu per satu keluarga itu. Matanya seolah menyampaikan rasa terima kasihnya.
Naya akhirnya tidur di sofa yang ada di ruang tamu. Ia tidak keberatan tidur di sana, ia lebih kasihan kepada wanita tua tersebut.
Saat pagi hari menjelang, Naya sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ia ke meja makan dan menemukan Ayah, Ibu, adiknya dan tak terkecuali Nenek yang ia temukan tadi malam.
"Selamat pagi Nenek." sapanya meski tidak di jawab.
Ibu Naya menyuapi Nenek itu makan sementara yang lainnya sarapan.
"Ayah akan ke kantor polisi pagi ini, panggil Loly membantumu hari ini." ujar Ayah Naya.
Satu minggu berlalu, ada sedikit perubahan dalam keluarga Naya. Saat ini anggota keluarga mereka bertambah. Tentu saja wanita tua yang ia temukan malam itu. Ayah Naya tidak berhasil menemukan keluarga wanita tersebut.
Wanita itu tidak memegang sesuatu yang berhubungan dengan data dirinya atau apapun yang berkaitan dengan keluarganya. Dia juga bisu dan tidak ada petunjuk apapun, sehingga Ayah Naya tidak tahu harus mencari kemana.
Pada akhirnya, hati nurani mereka tergerak merawat wanita tersebut. Sebenarnya bisa saja mereka menitipkan wanita itu di panti jompo, tetapi mereka harus melewati banyak prosedur yang merepotkan. Lagi pula mereka masih berharap keluarganya ditemukan.
Naya dan adiknya memanggilnya Nenek, sementara orang tuanya memanggil wanita itu dengan panggilan Bibi.
Nenek juga tidak terlalu merepotkan mereka, ia hanya bisa duduk diam di kursi roda, memperhatikan Ibu Naya bekerja. Ibu Naya juga tidak keberatan mengurusnya.
Sementara di sebuah rumah megah nan mewah, satu keluarga tengah diliputi oleh suasana tegang. Mereka berkumpul di sebuah ruang keluarga dengan beberapa orang yang tertunduk ketakutan kepada sosok yang duduk di sofa single.
"Pokoknya, saya tidak mau tahu, Ibu harus ditemukan. Kalau tidak, jangan harap kalian lepas dariku!" sentak seorang pria paruh baya berbadan besar dan berwajah tegas.
Kemarahan jelas terukir jelas di wajahnya, membuat yang lain tak berani berkutik.
"Cheryn, kau yang terakhir bersama Nenek." tuding seorang wanita paruh baya. Wajahnya sembab oleh air mata dan kesedihan juga terukir di wajahnya.
Sementara orang yang ditunjuk menunjukkan wajah takut, ia menggeleng cepat, "Ti..tidak. Cheryn memang bersama Nenek saat Bibi pergi, tapi aku juga langsung pergi setelahnya. Bibi bisa menanyakan pada pelayan Okta." gadis cantik itu terbata-bata sambil menunjuk seorang pelayan yang berdiri di antara puluhan pelayan lainnya.
Pelayan yang ditunjuk juga terkejut, ia melihat Cheryn dan seketika ia mengangguk, "Benar Nyonya, Nona Cheryn langsung pergi setelah Anda pergi." jawabnya gugup.
Tidak ada alasan lain untuk menuduh Cheryn, gadis yang tidak pernah akur dengan wanita tua yang merupakan Nenek di rumah ini. Wanita berwajah sembab tadi, yang merupakan menantu dari Nenek yang hilang, yakin bahwa Cheryn adalah pelakunya. Tetapi mereka tidak punya buktinya.
Cheryn adalah kekasih putra semata wayangnya. Seorang gadis cantik berasal dari keluarga kaya, tetapi tidak lebih kaya dari keluarga Allen, keluarga terkaya di negara tersebut.
Cheryn dan putranya Edward Allen sudah lama menjalin hubungan dan beberapa kali akan mencoba menikah. Tetapi ibu mertuanya, Nyonya Allen tidak memberikan restu. Hal itulah yang membuat Cheryn selalu bersitegang dengan ibu mertuanya setiap datang ke rumah ini.
Melihat pembelaan diri yang dilakukan oleh Cheryn, Tuan Scott Allen putra dari Nyonya Allen yang hilang, mengangkat tangannya. Pertanda ia tidak ingin mendengarkan perdebatan apapun.
"Saya masih memberikan kalian kesempatan. Dua kali dua puluh empat jam, saya ingin ibuku harus kembali ke rumah ini. Jika tidak, kalian yang paling tahu konsekuensinya!" tegasnya.
Scott Allen meninggalkan orang-orang itu, diikuti oleh istrinya yang sebelumnya melayangkan tatapan kecewa.
Sepeninggal pasangan suami istri itu, Cheryn berhambur menuju sosok pria yang duduk di sebelah Scott Allen sebelumnya.
"Edward, lihat Ibumu, dia menuduhku." wajahnya dibuat semenyedihkan mungkin. "Kau percaya apa yang dikatakan Ibumu? Kau mempercayaiku kan?" cecarnya.
Edward, si pria dingin dengan tatapan tajam sama seperti ayahnya, hanya berwajah datar.
"Jangan marah pada Ibuku, dia masih syok karena Nenek hilang." tersirat kepercayaan kepada kekasihnya. "Tapi aku harap kau bisa membuktikan kau tidak bersalah. Aku masih ingin menjadikanmu istriku." ujar laki-laki yang bisa berubah menjadi hangat hanya kepada dua wanita saja, yaitu Ibu dan kekasihnya, Cheryn.
Cheryn tersenyum puas, ia terang-terangan memeluk Edward di depan puluhan pelayan. Tentunya pemandangan itu tidak lepas dari mata sang Ibu yang berdiri di ujung tangga.
Cheryn bermanja-manja di bahu Edward setelah ia membubarkan pelayan yang baru saja diintrogasi.
"Kau mau kuantar pulang?" tanya Edward. Sejak tadi Cheryn mengeluh pening, sehingga membuatnya menunda mencari Neneknya.
Cheryn menggeleng, "Bisakah aku menginap di sini?" ucapnya dengan nada manja. Ia sudah terbiasa seperti itu.
Edward berpikir sejenak, lalu mengangguk, "Tentu saja."
"Di kamarmu."
Edward cukup lama menjawab tetapi pada akhirnya mengiyakan permintaan kekasihnya.
Edward mengantar Cheryn ke kamarnya, ketika ia berniat keluar, gadis itu menahannya.
"Temani aku Edward." maniknya menghiba. Tentu saja Edward tidak tahan melihatnya, tetapi ia memiliki tugas penting malam ini.
"Maaf sayang. Aku harus mencari Nenek." wajah wanita itu langsung lesu. Edward membelai pipinya, "Maaf sayang, bersabarlah sampai kita menikah. Kau tahu sendiri bagaimana tradisi keluargaku." ujar pria dingin itu lembut.
Meski tidak peka, pada akhirnya ia membiarkan Edward pergi. Bukan Edward tidak tahu maksud dari Cheryn, tetapi ia terlahir dalam keluarga yang ketat akan **** bebas.
Meski mereka tinggal dan merupakan keturunan asli Eropa, tetapi keluarga mereka tidak menjalankan kehidupan yang bebas seperti orang-orang di sana.
Semua itu karena Nyonya Allen yang berasal dari salah satu negara Asia yang mengharamkan pergaulan bebas. Nyonya Allen menikah dengan seorang pria Eropa yang meninggal tiga tahun lalu. Dan ia menerapkan tradisinya di dalam keluarganya. Scott maupun Edward menjalankan tradisi tersebut. Bahkan ibu Edward menikah dengan Ayahnya hanya setelah pertemuan beberapa bulan.
Tapi bagi Edward, ia tidak mau melakukan hal yang lebih jauh dengan Cheryn bukan hanya tradisi, tetapi juga karena prinsip yang tertanam dalam dirinya. Ia hanya akan menyentuh wanita saat sudah menjadi istrinya. Ia memang mencintai Cheryn, tetapi prinsipnya lebih kuat.
"Kau yakin akan menikahi Cheryn Nak?" tanya Marry, ibu Edward. Saat ini mereka ada di ruang kerja sang Ayah, Scott. Anak dan Ibu itu bicara ketika Scott sedang gundah akan kehilangan sang ibunda.
Edward bisa melihat keraguan di mata sang Ibu kepada kekasihnya. Padahal dulu Marry telah merestui hubungan mereka.
"Ibu? Kau meragukan Cheryn?" tanya Edward perlahan. Bagaimana pun ia adalah sosok pria dewasa. Ia tidak ingin hubungannya dengan kedua belah pihak pecah hanya karena kebodohannya.
Marry menghela nafas, "Entahlah sikap Cheryn akhir-akhir ini berbeda. Ibu tidak bisa menjelaskannya, karena dia akan tiba-tiba berubah sikap ketika kau datang." ujar Marry.
Edward diam, dia tidak menyanggah sang Ibu, karena tidak mungkin Marry berbohong padanya. Tetapi ia juga sulit percaya sang kekasih bermain-main di belakangnya.
"Ibu, maafkan Cheryn kalau memang dia bersikap buruk. Mungkin saja dia kesal karena sampai saat ini Nenek tidak merestui kami." Edward menjawab dengan hati-hati.
Dia tidak ingin menyalahkan salah satu, karena ia menyayangi keduanya.
Marry mengangguk, ia tahu putranya sangat mencintai wanita itu. Mana mungkin hal seperti itu langsung membuat Edward membencinya.
"Kau benar, Ibu rasa dia stres karena belum juga mendapat restu Nenekmu." Marry mengangguk.
Sebagai orang tua, Marry tidak ingin terlalu mencampuri dengan perempuan mana putranya berhubungan. Karena yang akan menjalani adalah putranya. Dia hanya bisa memberi wejangan mana kala ada sesuatu yang kurang.
Berbeda dengan ibu mertuanya, Nyonya besar Allen, yang sangat memperhatikan bibit bebet dan bobot calon menantunya. Sama seperti ketika pertama kali diperkenalkan oleh Scott, jantungnya berdebar hanya karena sorotan matanya. Tetapi hanya sementara saja, sebenarnya beliau baik.
Sudah satu minggu berlalu, Nyonya Allen belum juga ditemukan. Selebaran dan pamflet raksasa dipinggir jalan sudah dipasang, tidak hanya itu, Edward bahkan memasang iklan di televisi dengan imbalan uang yang sangat besar bagi siapapun yang menemukan Nyonya Allen.
Tentu saja, berita kehilangan itu telah sampai ke telinga keluarga Naya. Malam itu, mereka sedang menonton televisi, serta Nenek Han, panggilan yang mereka berikan untuk wanita tua, itu juga ada di sana.
Ayah dan Ibu saling memandang, kemudian melihat Nenek Han. Wajah orang hilang yang ada di televisi dan wanita yang saat ini ada di rumah mereka sangat mirip.
"Nyonya Allen? Jadi Bibi adalah orang tua dari Tuan Scott?" cecar Ayah. Tentu saja ia mengenal Scott Allen, bisnisman itu selalu wara-wiri di malah bisnis dan televisi.
"Syukurlah kita sudah menemukan keluarga Nenek." Ibu Naya dan anak-anaknya tersenyum. "Catat nomor teleponnya Wil, supaya Nyonya Allen dijemput." ujar Ibu.
Entah keajaiban apa yang terjadi, suara dari wanita itu mengejutkan mereka. "Jangan!" cegat Nyonya Allen.
Satu keluarga itu tercengang dibuatnya. "Nyonya... kau sudah bisa..."
"Jangan biarkan aku kembali di rumah itu. Aku ingin tinggal di sini." tidak peduli akan wajah kaget mereka, Nyonya Allen bicara dengan santai. Dalam sekejap wanita yang terlihat lemah tak berdaya itu kini nampak sehat dan tidak sakit sedikit pun.
"Kenapa Nyonya?" tanya Ayah.
"Jangan panggil aku Nyonya. Panggil aku dengan panggilan sebelumnya." nada bicara wanita itu terdengar angkuh, tapi Ibu bisa melihat sifat baik dalam dirinya.
"Baiklah. Kenapa Bibi tidak mau kembali ke rumah keluargamu?" tanya Ayah sekali lagi.
"Ceritanya panjang. Bibi akan menceritakannya besok, karena sekarang sudah waktunya jam tidurku." ucap sang Nenek, dia tidak peduli rasa penasaran keluarga itu.
"Siapa namamu?" ia bertanya pada Ibu.
"Namaku Kenny Bibi." jawab Ibu. Nyonya Allen melihat Ayah, dengan pertanyaan yang sama.
"Joe, Joe Kazani." jawab Ayah.
Nyonya Allen mengangguk, "Baiklah. Kenny, bawa aku ke kamar. Dan anak-anak, kalian cepatlah tidur, besok kalian harus sekolah." ucapnya pada Naya dan Willy.
Keesokan harinya, saat sarapan mereka berkumpul di meja makan. Hanya ada roti dengan selai dan beberapa makanan sederhana lainnya.
Nyonya Allen tiba-tiba berhenti makan, membuat Ibu bertanya. "Bibi, ada apa? Makanannya tidak enak?"
"Aku menyukainya. Tetapi lihat kedua anakmu. Bagaimana mereka bisa tumbuh sehat dengan makanan ini?" ucapnya, gang mana membuat perasaan pasangan itu terluka.
Sebenarnya bukan tidak ingin menyediakan makanan yang lebih bergizi untuk kedua anaknya. Hanya saja itu di luar kemampuan mereka.
"Nenek, kami suka makanan ini. Lagi pula kami tidak mau menyusahkan Ayah dan Ibu untuk makanan kami. Iya kan Willy?" Naya memotong setelah melihat wajah sedih ibunya.
Nenek itu menghela nafas, ia mengambil dan meletakkan sebuah cincin berlian di depan Kenny. "Gunakan ini, sediakan makanan bergizi untuk mereka mulai besok. Setidaknya ini cukup sampai mereka lulus." ucap Nyonya Allen.
Joe maupun Kenny terkejut, keduanya menolak pemberian tersebut.
"Tidak usah Bibi, ini terlalu mahal."
"Aku tidak suka ditolak!" tegasnya dengan sorot mata tak bisa dibantah. "Dan anggap saja ini sebagai hadiah karena telah menolong dan merawatku, dan juga biaya selama aku tinggal di rumah ini." ujarnya lagi.
Ibu Naya tidak berdaya apa-apa di depan orang tua yang menumpang di rumah ya tersebut.
Di sekolah Naya juga sudah ramai dibicarakan berita kehilangan Nyonya Allen. Sungguh Naya terkejut lagi hari ini. Ternyata Nyonya Allen adalah Ketua Yayasan sekolahnya.
Melihat kegaduhan itu, rasanya bibirnya terasa gatal ingin menceritakan kepada Joy. Tetapi mengingat sifat Nyonya Allen tadi malam dan pagi tadi, dia cukup takut.
Sepulang sekolah Naya langsung mencari Nenek dan menyerbunya dengan banyak pertanyaan.
Rupanya Nenek berada di dapur restoran, membantu Ibunya memotong sayuran. Dapur tertutup, sehingga pelanggan tidak bisa melihat ada orang penting di dalam sana.
"Nenek, jadi Nenek adalah pemilik sekolahku?" tanyanya antusias.
Nenek mengangguk, sambil menjawab singkat. "Wah... keren sekali. Kenapa semuanya kebetulan?" ucap Naya seolah tidak percaya.
"Tidak ada yang kebetulan, semua yang terjadi pasti ada maknanya." timpal sang Nenek. "Sudahlah, jangan mengganggu kami bekerja. Pergilah belajar."
Naya mengangguk dan menurut.
"Tunggu dulu." Nenek memanggilnya lagi.
"Ada apa Nek?"
"Bagaimana prestasimu di sekolah?" tanyanya.
"Naya selalu mendapat peringkat pertama Nek dan juga mendapat beasiswa. Kalau tidak, mana mungkin orang seperti kami bisa menyekolahkan Naya di sekolah mahal itu?" jawab Ibu yang sedang membuat sup resep dari Nyonya Allen.
Nyonya Allen sudah menduga hal tersebut. "Berapa banyak les yang kau ikuti di luar?"
Naya menggeleng, "Tidak ada Nek. Biayanya sangat mahal. Sekolah di sekolahmu saja sudah syukur." jawab Naya dengan nada bercanda.
"Kau sudah menjual cincin itu?" kini bertanya pada Ibu.
"Sudah Bibi."
"Masih ada uangnya tersisa?"
"Ya Tuhan. Hasil dari penjualan cincin itu sangat banyak Bibi. Bagaimana mungkin habis hanya dalam satu hari."
"Hem, kalau begitu suruh suamimu mencari guru les terbaik untuk kedua anakmu. Bagaimana pun anak seusia mereka harus mendapat pendidikan terbaik."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!