Dua alam berdampingan
Di sebuah kota yang dahulu pernah berkembang pesat menyimpan cerita mistis sampai saat ini menjadi momok menakutkan. Kebanyakan orang menutup mulut rapat-rapat, tidak memperbincangkan segala tragedi yang terjadi. Di kota itu terdapat sebuah kerajaan ghaib yang di pimpin oleh seorang ratu yang bernama Singkasa. Ratu kejam yang berparas cantik, berkulit kuning langsat, bermata coklat, berambut pirang. Dia selalu di damping para dayang kemanapun dia berada.
Tidak terkecuali hari ini, di balik kecantikannya itu menyimpan sebuah kisah hitam. Sang ratu menggunakan persembahan para wanita perawan sebagai ritual kecantikan dan keabadiannya. Hari ini di bulan purnama merah ketiga yang berwarna merah darah, dia memerintahkan para algojo untuk membawa tujuh para gadis perawan sebagai persembahan ritual di kolam raksasa rahasia. Ada sebuah patung setan yang berdiri di tengah-tengahnya. Kota ghaib terbengkalai setelah berbagai teror dan kejadian, hanya beberapa para wisatawan atau pengunjung yang singgah.
Mimpi sang ratu
Dia menangis tersedu-sedu meraih sapu tangan untuk menyeka air matanya. Singkasa mengira mimpi buruknya tadi sudah selesai. Tapi berlanjut ketika dia memulai tidurnya kembali, sambungan mimpi sosok makhluk halus mencekik dirinya. Kamar kebesarannya berubah menjadi sebuah tempat yang mengerikan. Dari dinding keluar sosok, kepala tengkorak berjatuhan bergerak mendekati. Tidak terkecuali sosok makhluk berbaju putih yang sebelumnya mencekik dirinya
“Siapa kau! Mau apa kau?” tanya sang ratu.
Dia tertawa menyeringai, melemparkan kepala tengkorak . Amarah terlihat dari goresan mata, jemarinya yang panjang, kuku hitam sesekali mendekat menyayat tubuhnya.
“Ratu, kejahatan mu telah di saksikan oleh langit. Di suatu masa kerajaan mu akan runtuh, jiwa mu akan melayang dan leher mu akan di tebas pendekar wanita dari kota terpencil” gema suara wanita itu lalu menghilang di udara.
......................
“Ada apa ratu? Apakah ada yang kurang dari ritual ini?” tanya sang dayang pendamping.
“Tidak, cepat jalan kan ritualnya!” bentak sang ratu mendongakkan dagu berjalan duduk di depan kolam.
Seorang penyihir tua mengetuk tongkat ular sebanyak tujuh kali. Satu persatu gadis perawan persembahan di masukkan ke dalam air. Leher mereka di tebas dengan keadaan sadar, suara tangis bercampur jeritan tidak berhenti terdengar di ruangan besar itu. Tidak ada kata kasihan ataupun rasa iba, sang ratu malah tertawa, dia sudah tidak sabar untuk mempercantik wajah dan keabadiannya.
Sudah terhitung enam gadis masuk ke dalam kolam sampai lah pada gadis ke tujuh. Tanpa di sangka-sangka rembulan merah tiba-tiba tertutup awan pekat hitam. Sang penyihir kebingungan mendongakkan kepala menoleh ke atas langit. Tidak seperti biasanya fenomena alam terjadi seperti ini. Para makhluk bergentayangan dan raja setan perlahan menghilang. Patung raksasa merah yang sempat menyalakan mata kini kembali seperti semula.
“Apa yang terjadi?” tanya sang ratu.
Penyihir menutup mata, melanjutkan membaca mantra berharap rembulan merah kembali bersinar dan awan berselimut kabut hitam pekat memudar. Dalam benak sang ratu berkecamuk, dia mengingat lagi mimpi yang baru saja di alami. Tanpa menunggu bulan purnama merah memperlihatkan sinarnya, dia merampas pedang dari tangan sang algojo. Seperti sudah kerasukan setan, sang ratu menebas leher gadis terakhir sampai kepalanya yang terlepas terhempas keras di ubin.
“Ratu, apa yang telah kau lakukan?” ucap sang penyihir.
“Cepat selesaikan ritualnya!” teriak sang ratu.
Setelah membunuh gadis persembahan terakhir, sinar rembulan merah menampakkan cahayanya kembali. Mata setan di balik patung menyala tajam menerbangkan arwah gentayangan masuk ke dalam kolam yang sudah bersimbah darah. Harum aroma darah membuat para iblis dan setan kegirangan. Terutama raja iblis langsung mengabulkan semua permintaan sang ratu. Para sukma gadis yang telah mati itu dia rantai di dalam kurungan neraka iblis. Salah satu sukma yang masih sulit dia raih akibat kejadian bulan merah yang tertutup.
Sang iblis mencari cara, memaksa merampas sukma yang masih menangis di sudut kolam. Di sisi lain, sang ratu memakai gaun putih yang berjalan masuk ke dalam kolam darah. Membasuh wajah, menenggelamkan tubuh mendengar suara mantra si penyihir yang bercampur teriakan makhluk halus.
“Hahaha! Akulah ratu tercantik di negeri ini!” ucap suara keras Singkasa.
...💀...
...----------------...
Kebanyakan kaum hawa mengira bahwa kecantikan dapat menjadi daya tarik dan pemikat kaum adam ataupun menjadi sebuah kebanggaan pada dirinya sendiri. Persepsi, hawa nafsu berlebihan ingin terlihat berbeda dan segalanya di mata khalayak ramai. Menggunakan berbagai cara yang di tempuh hingga melupakan kodrat yang seharusnya menua sampai batas usia yang tidak di tentukan.
Apa yang kita tanam, itulah hari esok yang akan kita tuai. Segala sebab akibat, perbuatan tingkah laku dan cara yang menyalahi aturan hidup akan terganti dan terbayar sesuai takdir dan nasib manusia. Putri Singkasa semakin menyombongkan diri, hari demi hari para bangsawan hingga sampai ke seluruh penjuru memuja kecantikannya.
Pagi hari di cuaca yang mendung, dari kejauhan sang penjaga pintu gerbang istana mendengar ramai suara tapak kuda berlari. Dia menggunakan teropong melihat sinyal bendera hitam lambang matahari memasuki wilayah batas kerajaan. Dia begitu terkejut sampai menjatuhkan teropong lalu berlari mencari panglima.
“Cepat bersiap-siap untuk menyambut mereka” perintah sang panglima.
Di dalam ruangan sang ratu
Dayang pendamping tanpa mengetuk pintu langsung masuk ke dalam ruangan. Hampir saja pelipisnya terkena lemparan tusuk konde ukuran kalajengking milik sang ratu.
“Rasma! Berani sekali kau masuk tanpa mengetuk pintu!” bentak sang ratu.
Sang dayang membungkuk dan berkata: “Maafkan hamba yang mulia, ada penguasa bendera matahari menuju ke sini.”
“Apa? Bukankah simbol matahari adalah milik penguasa terkaya di negeri ini?” gumamnya.
“Cepat bantu aku bersiap menyambut mereka” perintah Singkasa.
Suara pukulan tabu bersahutan, bunyi sofhar dan para prajurit berbaris menyambut pangeran Eden memasuki halaman istana. Dia turun dari kuda hitam berdiri melihat kedatangan sang ratu. Pandangan tidak bisa terlepas mengamati wajah wanita yang membuat dirinya begitu penasaran.
“Ternyata benar kabar angin yang membawa ku kesini. Kau adalah ratu tercantik dari seluruh penjuru negeri” ucap pangeran Eden sambil menyodorkan tangan ke Singkasa.
“Terimakasih atas pujian mu wahai pangeran terkuat dari seluruh penjuru negeri” balas sang ratu.
“Hahaha! wahai ratu, engkau bisa juga bergurau pada ku.”
Gaun indah berlapis sutra dan emas membungkus tubuh sang ratu, aksesoris, mahkota dan perhiasan lengkap menghiasi tubuhnya. Pertemuan keduanya di gelar di alun istana, sang pangeran masih tidak henti melihat sang ratu. Di depannya telah di hidangkan minuman, makanan dan buah-buahan begitupun jamuan untuk seluruh para prajurit yang dia bawa. Sang ratu hanya sesekali membalas tatapannya kemudian meneguk segelas minuman sampai habis.
“Pangeran Eden harus menjadi milik ku! Dengan memperluas kekuasaan, aku bisa sangat mudah mendapatkan para gadis perawan sebagai persembahan kecantikan ku” gumam Singkasa.
Iringan musik dan tarian khas melambai indah di nikmati oleh para prajurit negeri matahari. Sang pangeran meraih pisau hendak memotong apel hijau di hadapannya. Tatapan mata masih memperhatikan sang ratu. Tanpa sadar, Eden memotong ujung kulitnya sendiri, darah keluar deras membuat pengawal pendampingnya panik.
“Pangeran hentikan, ujung jari mu sudah terluka!” ucap sang pengawal menyadarkan lamunannya.
Ratu hanya tertawa melihat tingkah Eden, hal itu membuat sang pangeran semakin penasaran. Dia hanya menutup luka dengan sapu tangan lalu berjalan mendekati sang ratu. Menunduk menyodorkan sebuah simbol matahari tanda kepemilikan dirinya. Melihat hal itu semua mata terperangah kepada mereka.
“Jika mengetahui hal ini maka raja matahari akan sangat marah dengan kita” bisik sang prajurit.
Kepulangan pangeran Eden dan pasukannya di antar sampai di depan pintu gerbang. Pangeran meninggalkan beberapa peti dan bahan sutra untuk sang ratu. Dia berjanji akan kembali lagi dan langsung meminta sang ratu agar mau menjadi istrinya. Namun, keinginan sang pangeran di tentang oleh raja. Raja Matahari murka hingga dia meminta eden memilih dirinya atau sang putri. Pangeran sangat kecewa dengan sang raja. Setelah hari itu, kedekatan antara ayah dan anak semakin renggang.
Malam berganti, mimpi buruk ratu Singkasa tidak pernah berhenti menggangu. Tidur tidak nyenyak dan kondisi kesehatannya menjadi menurun. Para tabib sibuk memeriksa, ramuan dan obat yang di racik masih enggan di minum olehnya.
“Wahai ratu, bagaimana engkau bisa sembuh jika semua obat ini tidak engkau sentuh sedikitpun?”ucap dayang pendampingnya.
“Diam lah jangan mengganggu ku! Tinggalkan aku sendiri” bentak sang ratu.
Tubuh lemah, lesu dan lunglai. Sang ratu memakai gaun tidur menyelimuti tubuhnya rapat-rapat berusaha memejamkan mata. Di dalam alam bawah sadar, ratu berdiri di atas kolam berdarah. Dia melihat para gadis yang telah menjadi tumbal untuk kecantikannya sedang melepaskan kulit mereka. Tatapan tajam melihat Singakasa, sebagian ada yang memegang kaki dan tubuhnya sambil menangis kesakitan.
“Hei, tolong aku. Kembalikan tubuh ku!” jerit gadis berambut pirang.
“Ratu! Kembalikan darah ku! Aku belum mau mati!” teriak gadis lainnya.
Alam manusia
Suara jeritan Empuni membangunkan seisi penghuni rumah. Pintu kamar di ketuk keras, panggilan ibu Aida sontak menyadarkannya. Sudah satu minggu wanita itu pulang ke rumah orang tuanya setelah pertengkaran hebat dengan Toton. Dia sudah mengalami tiga kali keguguran hingga akhirnya meminta ijin agar Toton memperbolehkannya melakukan operasi tutup pada rahimnya.
Pertengkaran hebat, adu mulut sampai tanpa sengaja tangannya menampar pipi Aida. Wanita itu langsung mengemasi pakaian membawa dua koper pergi meninggalkan rumah. Kedatangan Toton menjemput Aida pulang malah di sambut lemparan asbak rokok dari pak Amran.
“Dasar menantu biadab! Aku memberi mu amanah untuk menjaga anak perempuan ku tapi kau malah menyakitinya!”
......................
Empuni memeluk Aida erat, mimpi mengerikan terbayang jelas kematian bayi-bayi kecilnya berlanjut pada kematian Toton. Menyadari hanya mimpi belaka, sengugukan dia menerima segelas air dari tangan ibunya.
“Terimakasih bu.”
Kedatangan Ranti bersama anaknya Prem. Dia buru-buru melangkah masuk ke kamar melihat raut wajah Empuni berantakan di samping ibunya. Berita pertengkaran sampai keputusan empuni meminta cerai membuat kakaknya itu khawatir.
“Bu, apa sebaiknya perceraian ini di batalkan. Pertengkaran rumah tangga adalah hal lumrah. Aku tidak mau adik ku secepat ini menjadi janda.”
“Ranti, jika pria sudah berani main tangan maka harus di ambil tindakan keras. Kalau tidak di larang ibu mi sudah bapak penjarakan si Toton!” ucap pak Amran.
“Bu_"
“Kita tinggalkan kakak mu istirahat. Biar dia yang memutuskan sendiri.”
Di sore hari, Ranti masuk ke kamar membujuk dan menasehati Empuni. Dia paham sekali rasa sakit yang di derita adiknya itu, tapi keadaan sudah jauh berbeda. Suara bel berbunyi, terdengar seperti suara Toton. Ranti membujuk kembali Empuni, dia mendandani adiknya itu. Menyisir rambut, mempoles tipis bedak di wajah, memberi lipstick tipis dan membantu berganti baju berwarna biru lengkap dengan aksesori kalung dan anting yang senada.
“Kakak mohon dengarkan kakak sekali ini saja.”
Berjalan menuruni tangga, Toton berdiri menyambut sang istri memperlihatkan senyuman berjalan memeluknya. Toton meminta maaf dan meminta dia agar kembali. Amran melotot bergerak di tahan Aida sambil menggeleng kepala.
Mereka meninggalkan keduanya, obrolan panjang di sela adu otot terdengar sampai Toton membenturkan dahinya sendiri ke lantai sambil bersujud pada Empuni.
“Ku mohon maafkan lah aku."
Keputusan rujuk kembali setelah Empuni puas plong melihat ketulusan pada suaminya itu. Tapi dia tetap mengingat tamparan yang masih membekas di hatinya itu. Mereka berpamitan kepada bu Aida dan pak Amran. Kepergian keduanya di lihat mereka dari depan pintu.
“Sejujurnya perasaan bapak masih tidak terima dengan menantu bejat dan bangsat itu, Bapak sudah mengetahui tingkah binalnya bu. Bapak sudah mengumpulkan semua buktinya.”
“Pak. Sekuat apapun kita memisahkan kalau Empuni masih mencintai Toton tidak akan pernah bisa kita melepaskan mereka.”
......................
Setelah peperangan kemarin, Toton bernisiatif membawa Empuni berlibur ke salah satu objek wisata negara kapur putih dekat rumah orang tuanya yang jaraknya menempuh satu hari satu malam menaiki pesawat terbang.
Menimbang sang mertua perempuan yang tidak menyukainya, wajah Empuni berubah masam. Tapi dia tidka mau pertikaian kembali muncul. Dia terpaksa mengangguk setuju, tangan sebelah Toton merangkul berlanjut usapan pelan dan kecupan.
Mereka mengemasi barang-barang yang di perlukan disana. Toton juga membawa alat kerja, berkas penting dan laptop. Dia sekaligus melakukan kerjasama dengan perusahaan lain di tempat itu. Dering ponsel Toton menyala tertulis nama bu Lili.
“Halo, ya ma kami sedang menuju bandara. Kira-kira besok sampai pada pukul tujuh WIB.”
“Oh ya sudah, hati-hati di jalan. Kabari kalau sudah take off ya biar papi dan mami jemput kalian. Mana Empuni, mama mau bicara sama dia.”
“Ini ada di samping ku Ma.”
“Mami mau bicara sama kamu” bisik Toton.
“Katakan saja aku tidur. Kepala ku sakit sekali.”
“Ma, si empuni tampak tidur pulas. Tunggu biar aku membangunkannya.”
“Tidak usah, katakan saja pesan Mami ke dia supaya segera melakukan program kehamilan kembali.”
Empuni mendengar jelas perkataan mertuanya itu. Dia baru saja mengalami keguguran tapi di tuntut menjadi sosok menantu yang baik. Keinginannya tidak sabar menimang cucu, bahkan kabar duka kegugurannya Cuma di anggap enteng.
Dia tidak ingin mendengar kabar keguguran itu lagi. Dia malah sibuk mempersiapkan ramuan dan pil subur dan vitamin lainnya untuknya. Di sepanjang perjalanan Empuni memikirkan perkataan apalagi yang akan di keluhkan mertuanya itu.
......................
Di bandara mereka sudah di tunggu kedua mertuanya. Lambaian tangan, tebaran senyum merangkul keduanya. Satu mobil yang sengaja di pesan oleh Toton sebagai antar jemput selama mereka berada disana mengikuti mereka dari belakang. Toton dan Empuni satu mobil dengan bu Lili dan pak Deno.
“Empu, bagaimana progam kehadiran cucu ku? Apakah sudah ada tanda-tandanya?”
“Kami masih berusaha semaksimal Mah, berhenti menggoda menantu mu itu” ucap Toton.
“Hey kenapa kau yang menjawabnya. Apakah menantu ku tidak membawa mulutnya? Huh.”
“Ma, maaf badan ku sedang kurang sehat” jawab empuni singkat.
“Benar yang di ucapkan anak kita Toton bu, jangan menggoda menantu kita. Empuni tidur saja nanti Papi dan Mami yang bangunkan kamu."
“Terimakasih pi."
Kata-kata kasar mertua perempuan membuat dia risih, menambah beban pikiran setelah pertengkaran besar akibat ulah anaknya. Empuni mencoba bersabar, dia mengusap dadanya sendiri lalu memejamkan mata menanti sampai tiba di tempat tujuan.
Tiba-tiba saat memasuki pintu masuk ke kota, asap tebal menyelimuti tempat itu. Pak mengerem mendadak terkejut seperti baru menabrak seseorang di depan.
“Ada apa pi?”
“Sepertinya ada orang tertabrak, sebentar biar bapak periksa bu.”
“Tidak biar aku saja pi” ucap Toton.
“Hati-hati mas” ucap Empuni yang sudah terbangun.
Toton memeriksa di sekeliling mobi, begitu pula pada bagian depan. Tidak ada bekas darah setetes pun. Kabut putih semakin tebal menyelimuti sekitar. Empuni khawatir Toton tidak kunjung kembali menyusul lalu memintanya segera masuk.
“Tidak ada apapun pi.”
“Baiklah. Ayo kita lanjutkan perjalanan kembali anak-anak.”
Iringan suara musik yang keras, mereka bersenda gurau menikmati perjalanan. Karena kabut menghalangi pandangan, Toton meminta agar mereka menginap di dekat hotel yang berada di kota itu. Hotel Kalangga yang bersebelahan di Ukraina dekat kota Gestar tempat tinggal kedua orang tuanya.
“Berapa jam lagi kita sampai di hotel itu pi?” tanya Lili.
“Kira-kira satu jam lagi Mami, tapi karena kabut yang menghalangi kemungkinan dua tau tiga jam lagi.”
“Huh lama sekali, seharusnya aku tidak ikut menjemput mereka tadi. Menantu ku yang sombong itu juga seperti enggan berbicara pada ku” umpat Lili di dalam hati.
“Tolong! Arghh!” teriakan seorang wanita di depan pintu rumahnya.
“Ada ada bu Kamba?”
“Tolong Surmi menghilang! Padahal dia baru saja dari kamarnya”
Kabar mengejutkan itu menggemparkan masyarakat. Kasus pertama kali yang di tangani oleh petugas kerajaan di pimpin oleh penjaga istana Yeti. Dia memeriksa kamar Surmi, semua rapi tidak ada tanda-tanda pelaku masuk ke dalamnya. Kamba menangis meraung-raung, suaminya sedang bekerja di luar wilayah, jika pun harus memberi kabar dengan surat lalu menunggu balasan selama berhari-hari.
“Siapapun orangnya tolong anak ku! Hiks.”
Teriakan selanjutnya mengabarkan anak perempuannya yang hari ini menginjak usia tujuh belas tahun menghilang di dalam kamar pula. Jeritan beruntun di satu malam yang sama.
Beberapa jam lalu
Surmi tidak bisa tidur selama seminggu, dia juga sering melihat hal-hal ganjil mengganggunya. Setiap malam, dia di ganggu sosok wanita tua yang memakai tongkat ular. Kantung matanya bengkak di bagian bawah kehitaman terlihat sangat nyata. Kamba meminta anak gadisnya itu untuk tidur lebih cepat, setelah makan malam keduanya saling tersenyum. Kali ini ada yang berbeda dari Surmi, dia memeluk ibunya lebih erat sampai Kamba menyudahi anaknya untuk segera tidur.
Surmi di curi para pelayan ratu Singkasa melalui sosok Usiga dan Gentra. Mereka menjelma menjadi asap hitam menyusup masuk ke kamar Surmi melalu sela-sela ventilasi udara. Tubuhnya di tutup kain hitam, perempuan itu menghilang menuju penjara kerajaan.
Sebuah tempat berukuran kecil , sempit dan dingin. Ketika tersadar, dia berdiri di balik jeruji besi melihat lorong-lorong panjang gelap gulita. Dari ujung seorang wanita membawa lilin panjang, di belakangnya di susul dua pria bertubuh besar. Mereka membuka pintu, tangan Surmi di ikat dan mulutnya di tutup.
“Mimpi ku yang nyata, sekarang kematian akan datang menjemput ku” gumam Surmi.
“Lepaskan aku!” suara yang tidak bisa di ucap dengan jelas.
Salah satu dari pria besar menampar wajahnya saat dia melakukan pemberontakan. Amarah pria kedua kesakitan, salah satu bola matanya di tusuk Surmi menggunakan tusuk sanggul kayu yang menggulung sanggulnya. Hampir saja kedua pria itu lepas kendali membunuhnya sampai salah seorang dayang istana mengingatkan.
“Cukup atau aku akan menghukum kalian!” ucap dayang kepercayaan sang Ratu.
Melewati sebuah kuil kerajaan, di belakangnya dan jembatan penghubung ke sebuah patung raksasa berwujud mengerikan. Kedua pria itu berhenti, sang dayang menarik Sumurni masuk ke salah satu pintu rahasia bawah tanah dekat patung. Dia terkejut melihat sebuah kolam raksasa di tengah-tengahnya terdapat patung yang mirip dengan patung dekat pintu masuk.
Di bagian tepi kolam, ada seorang wanita tua yang mirip di mimpinya sedang mengasah sebuah pisau. Kakinya di pukul di paksa berlutut menyambut Seorang wanita memakai gaun panjang yang sangat indah, wajahnya tidak menunjukkan kejahatan. Perhiasan memenuhi lehernya yang jenjang dan jemarinya yang lentik.
Satu persatu para gadis lain ikut bersujud pada wanita yang tersenyum di kursi kebesarannya. Wanita tua memakai tongkat menghentakkan tongkatnya ke tepi kolam. Suara aneh menggema di ruangan, satu persatu para gadis di tarik algojo, dia menebas leher mereka dengan senjata tajamnya lalu memasukkan ke dalam kolam. Suara jeritan, rasa sakit mengerang di balas senyuman menyeringai sang ratu.
Wanita berkedudukan penguasa negeri Piramid itu bermandikan darah perawan, membasuh muka hingga meneguk darah seperti meminum air yang sangat manis. Dia tidak memperdulikan mayat-mayat yang mengapung di atas permukaan air.
Nafsunya mempercantik bahkan harus terlihat semakin cantik jelita. Kini setiap malam dia mendambakan pernikahan dengan sang pangeran Eden. Namun pada bisikan malam selanjutnya mengatakan hal yang menggoyahkan pikirannya.
“Engkau adalah ratu tercantik penguasa negeri, seluruh penjuru memuja mu. Apakah hanya pria bergelar pangeran saja yang akan kau dapatkan? Kenapa engkau tidak menempatkan posisi sebagai ratu matahari terkuat dan terhebat?”
Bisikan sosok setan yang terselubung di tengah-tengah kolam. Singkasa memikirkan hal itu berulang kali, dia mendapat pesan kabar burung mengenai sang raja matahari yang terkuat berusia abadi seratus tahun memimpin kerajaan. Usianya terbilang abadi, tubuhnya masih kekar dan wajahnya tidak keriput, namun ketampanan pangeran Eden menandingi wajah sang ayah.
“Jadi mana yang akan aku pilih? Mengapa tidak keduanya! Ahahah.”
Sang penyihir membaca mantra, arwah-arwah para gadis yang keluar dari tubuhnya di cabut paksa di makan oleh para setan yang bertebaran dari dalam patung bermata merah.
“Arghhh!”
......................
Pada hari panjang di dalam gangguan para iblis dan setan. Alam dunia tidak terlepas dari gangguan ghaib. Mereka memainkan peran dalam tipuan. Menembus kota misteri di balik cerita kerajaan ghaib. Di dalam kabut pekat gangguan tidak berhenti sampai jeritan seisi mobil terkejut melihat burung-burung mati membentur kaca jendela mobil.
“Argggh!”
“Pi, kenapa hewan-hewan itu mati tepat di mobil kita?”
“Mas firasat ku tidak baik.”
“Empuni kau tenang saja. Aku akan selalu menjaga mu.”
Panggilan telepon dari rekan perusahaan yang sudah menunggunya di ruang rapat. Toton meminta waktu satu jam lagi untuk sampai kesana. Toton dan Empuni pindah ke mobil pak supir yang dia sewa. Mereka menunda perjalanan bersama pulang ke rumah orang tuanya.
“Ayah, ibu, untuk sementara waktu kami menginap di hotel dekat sini. Setelah pekerjaan ku selesai dan kabutnya menghilang maka aku dan Empuni segera pulang ke rumah” ucap Toton melambaikan tangannya.
“Hati-hati.”
Pak supir menurunkan Empuni ke salah satu hotel yang berada di tempat itu. Kemudian laju mobil meninggalkannya, Toton melambaikan tangan. Di berjanji secepatnya akan segera pulang. Hotel Kalangga yang terletak di kota Gestar.Hotel berlantai tujuh dari luar bangunan itu bernuansa klasik kemodernan. Di dalam kabut putih memudar memperlihatkan suasana di sekeliling bagai kota mati. Tidak ada tanda-tanda kehidupan orang-orang berlalu lalang.
Suara burung hantu jelas terdengar padahal malam belum berganti. Sarwa di ufuk timur masih melayang di sela kilauan silau terik cahayanya. Kecemasan berlanjut, angin seolah bersuara berbisik keanehan pada tempat itu. Wilayah yang cukup luas sejauh mata pemandang perkotaan itu terbilang cukup menjaga kebersihan. Empuni memegang gagang pintu masuk ke dalam, pandangan manik mata tidak bisa terlepas melihat suasana di luar sana.
Dia memesan sebuah kamar yang berada di lantai paling atas, selain agar bisa menikmati pemandangan dari dalam gedung dan mendapat kelas VIP agar mendapatkan fasilitas terbaik. Dia memasuki ruangan,, melihat kabut kembali datang. Dia terkejut melihat banyak burung-burung gagak hitam mati membentuk kaca jendelanya.
“Arrhhh!”
Kejadian ini mirip sekali ketika dia bersama Toton dan orang tuanya saat melakukan perjalanan memasuki kota ini. Dia curiga keganjilan hingga suara bunyi bel mengejutkannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!