“Lepaskan saya, Tuan.”
“Diam! Kau hanyalah seorang pelayan di sini. Jadi, pekerjaanmu hanyalah harus mengikuti semua yang aku katakan!”
Seorang pria paruh baya masih berusaha untuk memegang gadis yang kini berada di hadapannya. Dengan tatapan mesum dia berusaha mengendus aroma tubuh sang gadis yang terus memberontak dan berusaha melepaskan diri dari cengkramannya. Namun, hasrat serta keinginan untuk bertindak lebih, seolah sudah membuang akal dan pikiran pria itu. Membayangkan sang gadis cantik meraung di bawah kungkungannya, menyebabkan dia berulang kali menelan ludah sendiri dengan tatapan buas nan lapar.
Seketika bulu roma sang gadis tersebut merinding saat itu juga, akibat kalimat menjijikkan yang dia terima dari majikannya. “Tuan, saya mohon biarkan saya kembali bekerja.” Dia masih tidak menyerah untuk melepaskan diri.
“Siapa bilang aku tidak memberimu pekerjaan? Aku saat ini sedang memberikan pekerjaan paling menyenangkan di sini, yaitu melayaniku,” bisik pria paruh baya yang usianya mungkin lebih tua dari ayah sang gadis tersebut dengan begitu sensual.
“Saya bukan pelacur!” Sekuat tenaga gadis itu mencoba melepaskan diri. Niat hati hanya ingin mengantarkan kopi, tetapi tidak menyangka malah mendapatkan pelecehan dari majikannya seperti ini.
Hingga tidak lama kemudian, suara pintu terbuka seolah membawa angin segar baginya. Akan tetapi, ternyata sama saja. Bukan ibu peri yang datang membawa bahagia, melainkan singa betina yang juga bersiap menerkamnya kapan saja.
“Apa yang sedang kalian lakukan, hah?” Seorang wanita yang tidak lain merupakan istri lelaki tua di depannya tampak melangkah dengan wajah berang ke arah mereka. Sebuah tamparan sontak mendarat dengan keras di pipi pelayan itu, sedangkan suaminya tampak gelapan karena tidak menyangka apa yang dia lakukan akan di pergoki oleh sang istri. Padahal wanita itu sudah berpamitan untuk arisan bersama teman-temannya.
“Ma, dia berusaha merayu Papa,” kilah sang pria berusaha menyelamatkan diri dengan mendorong tubuh sang gadis ke lantai sangat kasar. Padahal hanya tinggal sebentar lagi pasti sudah menjadi miliknya, kenapa pula istrinya bisa tiba-tiba datang begitu saja.
“Apa? Berani-beraninya kau menggoda suamiku! Dasar wanita ******! Sudah bagus aku mau menampungmu di sini. Kau malah dengan lancangnya mau merayu suamiku. Sini kau!” Amarah yang menggebu membuat wanita itu gelap mata. Dia menarik rambut pelayan yang tersungkur tersebut dan menyeretnya keluar dari ruangan. Di hempaskannya tubuh mungil itu ke lantai dengan sangat kasar, dan berulang kali sang majikan menghajarnya dengan membabi buta. “Dasar bocah sialan! Seharusnya aku tidak pernah membawamu ke mari!”
Serangan brutal bertubi-tubi wanita itu berikan. Dia tidak peduli dengan sang gadis yang kini sudah babak belur akibat ulahnya, sedangkan pera pelayan lainnya di kediaman tersebut hanya bisa diam dan menyaksikan adegan tersebut tanpa berani untuk melerai. Semua orang di kediaman itu tahu, bagaimana temperamennya kedua majikan mereka. Dari pada menjadi sasaran amukan selanjutnya, lebih baik mereka bersembunyi di balik dinding seolah tidak meyadari apa yang terjadi.
"Ampun, Nyonya ampun! Saya tidak pernah merayu Tuan. Beliau yang—" Belum sempat gadis itu membela diri, sebuah tamparan keras lagi-lagi mendarat di pipinya yang kini sudah merah. Bukan hanya sakit dan perih yang dia rasakan tetapi juga tak berdaya karena dia harus berakhir dengan kepala yang menghantam sudut meja.
“Masih berani kau mengelak?" ucap sang majikan menatap nyalang. "Buang dia ke jalan!” Setelah puas melihat pelayannya terkapar tidak berdaya dengan tubuh penuh luka, wanita tersebut baru menghentikan aksinya. Dia meminta sang asisten rumah tangga untuk membuang pelayan yang baru saja di ambilnya satu minggu itu.
Mau tidak mau, sang pelayan hanya bisa menuruti perintah majikannya. Dengan terpaksa dia membawa tubuh penuh luka itu ke sebuah jalan yang cukup sepi. “Maafkan aku,” ucap pelayan tersebut sambil meletakkan beberapa lembar uang ke dalam saku rekannya.
“Jangan tinggalkan aku!” batin sang gadis, tetapi tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya. Entah berapa banyak buliran hangat yang sedari tadi keluar membasahi pipinya.
Dia menangis tanpa suara karena memang tidak mendapatkan sedikit pun kesempatan untuk membela diri. Suara isakan bahkan tak mampu keluar dari mulutnya. Hanya sebuah ketidakberdayaan akan keadaan yang kini harus gadis malang itu rasakan.
Dia merupakan seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Dia berusaha untuk mencoba peruntungan dengan menjadi seorang tenaga kerja wanita, di negara Viropa. Berbekal keyakinan, gadis itu berhasil keluar dari zona nyaman, meninggalkan kampung halamannya di Visea dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun sayangnya, setibanya di Viropa dia malah mendapatkan majikan yang tidak berperasaan. Baru satu minggu lamanya dia bekerja di kediaman itu, tetapi sudah banyak hal yang harus wanita tersebut terima bak siksaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Sayangnya nasib baik sepertinya belum mau menyambut gadis itu. Dia yang berusaha bangkit dari kesakitan itu dengan susah payah, tiba-tiba saja kembali ditabrak oleh seseorang yang tidak dikenalnya.
“Sial. Di mana matamu, hah?” suara bentakan seorang pria terdengar cukup jelas di telinganya. Sayangnya dia tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah pria itu.
“Apa kau juga salah satu dari rencana mereka untuk menjebakku?” tanyanya sambil mengumpat. Pria tersebut tidak menyadari siapa dan apa yang terjadi pada gadis yang kini tergeletak lemas di hadapannya karena cahaya di jalan tersebut sangatlah minim dan dia sendiri berada di bawah pengaruh alkohol yang cukup kuat, sehingga dia tidak menyadari jika wanita di hadapannya sebetulnya sedang terluka dan memerlukan bantuan.
Ketika pria tersebut hendak melangkah pergi dan mengabaikan sang gadis. Tiba-tiba sebuah tangan menghentikan langkah kakinya.
“Tolong aku,” ucap gadis itu dengan nada sangat lirih. Suaranya bahkan tidak sampai ke telinga pria itu dengan benar dan hanya membuatnya semakin mengumpat kesal.
“Mereka benar-benar menjebakku ke dalam situasi yang menyebalkan. Sial aku sudah tidak tahan lagi!”
Bukannya membantu gadis yang tengah terluka, pria yang kini berada di bawah pengaruh obat dan alkohol secara bersamaan akibat jebakan seseorang itu malah melepaskan hasrat yang tidak mampu lagi ditahannya kepada sang gadis.
Bak sudah jatuh tertimpa tangga, gadis yang sejak awal sudah terluka hanya bisa berharap kematian segera mendatanginya saja. Dia tidak menyangka, meskipun keluar dari kediaman terkutuk itu, dia masih harus menjadi korban pria hidung belang lainnya yang baru saja ditemui di jalan.
Buliran hangat semakin deras mengalir di pipi sang gadis. Kedua tangannya terkepal dengan sangat kuat, menatap nanar langkah pria yang sudah puas menikmati tubuhnya itu melangkah menjauh begitu saja meninggalkannya, tanpa dia tahu wajah pria itu karena minimnya cahaya. Entah karma atau hukuman yang kini dia alami. Takdir terasa begitu kejam mengambil sesuatu yang paling berharga bagi seorang wanita di saat dia sendiri tengah tersiksa. Dengan amarah yang membara gadis tersebut hanya bisa berharap agar Tuhan mengambil nyawanya saja, sebelum akhirnya dia terkapar tidak sadarkan diri di tempat tersebut.
"Jangan lari!"
Beberapa pria berpakaian serba hitam, diikuti seorang wanita, tampak tengah berjalan cepat memburu sesosok wanita lainnya. Pandangan dan langkah mereka berpencar ke segala arah, agar tidak sampai kehilangan jejak. Meskipun sedang berbadan dua, ternyata tidak membuat mereka mudah menangkap wanita tersebut.
"Kau harus kuat, Nak," ucap wanita hamil yang tengah dikejar segerombolan orang dengan napas terengah-engah sembari mengelus perutnya yang sudah sangat membuncit. Sementara itu, tangan satunya digunakan sebagai tumpuan pada tembok di sepanjang gang-gang kecil yang ditelusurinya.
Tangan dan kaki wanita tersebut semakin bergetar seiring dengan rasa nyeri luar biasa yang semakin menjalar ke seluruh tubuh hingga tembus ke ubun-ubun kepala. Sesekali dia berhenti sembari memejamkan mata, sekadar ingin meredam rasa sakit di area inti tubuhnya, serta mengumpulkan sisa tenaga dan juga keberanian yang dia punya untuk tetap melangkah meski bahaya tengah mengejar persis di belakangnya.
"Aku tidak kuat berjalan lagi. Sebaiknya aku bersembunyi. Mereka tidak boleh menemukanku." Wanita itu bermonolog sambil menoleh ke kanan dan kiri. Napasnya semakin terasa berat. Namun, tidak ada seorang pun yang bisa dimintai tolong saat itu.
Wajahnya yang pucat pasi berkeringat dingin tertutup cahaya remang dan sunyi malam itu. Wanita tersebut duduk di sebuah sudut menahan sekuat tenaga kesadarannya agar tetap pada tempatnya. "Aku tidak boleh menyerah begitu saja," batinnya dengan segunung buliran hangat yang sudah terbendung di pelupuk mata.
Remuk redam sudah rasanya seluruh tulang di tubuhnya. Dia menekuk kedua lutut dan sedikit membukanya. Sesuatu yang mendesak di perut sejak tadi menyiksa, kini sudah terasa semakin ingin keluar dari tempatnya.
Darah segar pun mulai mengalir sejak tadi secara perlahan. Seluruh tulangnya serasa dipatahkan secara bersamaan saat itu juga.
Dia memejamkan mata, menahan semua rasa tersebut seorang diri. Saat seperti ini, seharusnya dia berada rumah sakit dan menyambut perjuangan melahirkan sang buah hati bersama suaminya.
Namun, sepertinya takdir berkehendak lain. Sang janin tampaknya sudah tidak sabar untuk melihat dunia luar dan keluar dari zona nyaman, meskipun saat ini mereka tengah dalam pengejaran orang lain.
Wanita tersebut meringis kesakitan, tanpa bimbingan, sesekali dia mulai menghirup oksigen dan mengembuskannya perlahan.
"Kau harus kuat, Nak. Kita tidak boleh menyerah," gumam wanita tersebut memberikan semangat pada diri sendiri dan bayinya yang masih di dalam.
Kenyataan jika dirinya hendak dipisahkan dengan sang buah hati, menyebabkan dia nekat melarikan diri.
Tak kuasa lagi menahan semua rasa itu. Wanita tersebut mulai menumpukkan kekuatan di perutnya. Dia berusaha mengejan, dan mendorong sang bayi yang masih berada di dalam kandungan agar segera keluar.
Sesaat dia berhenti untuk mengambil napas, kemudian kembali mengigit pakaiannya sendiri dengan kedua tangan yang mengepal kuat seolah seluruh tubuhnya sedang berjuang bersama demi satu tujuan, tetapi tanpa bimbingan. Hingga tidak lama kemudian, sesuatu terasa berhasil keluar dari inti tubuh wanita tersebut dan tidak butuh waktu terdengarlah tangis seorang bayi.
Baru hendak bernapas lega, meskipun tubuhnya terasa terkoyak, suara tangisan bayi tersebut berhasil mengundang orang-orang yang mengejar mereka.
"Jadi kau sudah melahirkan? Hebat juga masih bisa bertahan meskipun tanpa bantuan," sindir seorang wanita pemimpin segerombolan orang itu. "Ambil bayinya!" Perintah wanita itu pada anak buahnya.
"Tapi, Nyonya—" Melihat bayi yang masih berlumuran darah dan tali pusat yang masih terhubung dengan ibunya. Tentu saja pria itu merasa sedikit ngeri, tetapi tatapan tajam wanita di sampingnya, terasa lebih mengerikan.
"Jangan ambil bayiku!" ucap wanita tersebut dengan susah payah. Habis sudah tenaganya untuk berjuang sendirian, tidak menyangka malah akan ditemukan dengan begitu mudahnya.
"Pergi saja kau ke alam baka! Tenang saja, aku akan merawatnya dengan sangat baik." Setelah mengucapkan hal itu, wanita tersebut meraih pistol milik anak buahnya. Dia dengan tega menembak seorang ibu yang baru saja melahirkan anaknya tersebut dan meninggalkannya begitu saja.
"Aku tidak boleh mati seperti ini," batin wanita yang terluka menatap nanar orang-orang yang mengambil buah hatinya, di sisa kesadaran yang dia miliki. Hingga akhirnya tubuh wanita tersebut terkulai lemas tidak berdaya, dengan nyawa yang tidak lagi terselamatkan.
Seorang wanita di atas ranjang seketika duduk dari posisinya. Dia menghirup napas panjang dengan kedua mata yang terbuka lebar. Dia meraba seluruh tubuhnya sendiri. Tidak ada luka tembak, tidak ada perut buncit seperti sebelumnya. "Apa yang terjadi padaku," gumamnya bingung.
"Kau sudah sadar?" tanya seorang wanita lain memasuki kamar tempat dia di rawat.
Malam itu, apa yang terjadi dengan gadis malang korban pemerkaosan, di saksikan oleh seorang wanita lainnya. Meskipun kehadirannya sangat terlambat karena tersangkanya sudah pergi, tetapi wanita tersebut memilih untuk membantu korban, dibandingkan dengan mengejar pelaku.
Melihat sang gadis sudah terkapar tidak berdaya dan segera membutuhkan pertolongan medis. Wanita tersebut lantas membawa sang gadis ke rumah sakit. Kondisi sang gadis yang terluka parah, menyebabkan dia tidak sadarkan diri selama tiga hari. Namun, hal yang tidak dia ketahui, meskipun tubuh gadis itu masih ada, tetapi jiwa di dalamnya bukanlah lagi milik gadis itu.
"Di mana aku?" tanya sang gadis bingung. Sebelumnya dia sedang melahirkan sang buah hati di sebuah gang gelap. Kenapa kini jadi di kamar rumah sakit.
"Kau di rumah sakit. Aku yang membawamu kemari malam itu. Namaku Luna. Ngomong-ngomong siapa namamu? Aku tidak menemukan identitas apa pun di tubuhmu, jadi aku kesulitan menghubungi keluargamu."
"Rebecca," jawabnya lirih. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Sesaat kemudian, Rebecca memegang kepalanya yang terasa berdenyut nyeri dengan sangat hebat. Dia meringis kesakitan di kala sebuah memori tiba-tiba menghantam ingatannya.
Gadis yang bernasib malang tersebut sebelumnya bernama Stefany sedangkan Rebecca merupakan jiwa baru yang masuk ke dalam tubuhnya, entah bagaimana caranya. Namun, kejadian yang dialami oleh Stefany terakhir kali, kini kembali menyapa dalam ingatan Becca.
"Kau kenapa?" Melihat Becca yang kesakitan, wanita penyelamat lantas mencoba menenangkan. Dia menekan tombol interkom agar tenaga medis segera datang.
"Tunggu, ingatan siapa ini?" Batin Rebecca setelah rasa sakitnya sedikit mereda. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Hingga akhirnya menatap sosok di pantulan kaca di sampingnya. Kedua tangan Becca meraba wajahnya sendiri, seolah tak percaya dengan apa yang di alami. "Ini aku? Aku masih hidup? Apa ini semua hanya mimpi? Tapi, wajah siapa ini?” Batinnya.
Sejenak Becca terdiam. Dia mulai mencerna apa yang tengah terjadi saat ini. "Tunggu, tanggal berapa sekarang?"
"Tanggal sembilan, bulan dua belas," jawab Luna.
"Tanggal sembilan? Bukankah itu saat di mana aku dibunuh?" Batin Becca. Dia melihat waktu yang tertera di jam dinding, hampir pukul sembilan malam. Itu artinya saat ini dirinya seharusnya tengah melarikan diri dari kejaran wanita gila itu.
"Aku harus pergi!" Dengan tergesa-gesa, Becca menyibakkan selimut yang menutup tubuh dan mencabut jarum infus yang masih melekat di pergelangan tangannya. Dia segera berlari keluar, meninggalkan Luna yang juga bingung seorang diri. Lebih baik memikirkan situasi membingungkan ini nanti. Dia tidak ingin buah hatinya jatuh ke tangan wanita lintah darat itu, seperti apa yang dia alami terakhir kali.
Becca berlari menuju gang di mana dirinya berada saat itu. Meskipun tidak yakin apakah yang dia alami saat ini benar-benar nyata. Namun, dia sungguh berharap jika Tuhan memang masih memberikan kesempatan kedua untuknya. Meskipun dengan cara yang tidak bisa dipercaya oleh akal pikiran manusia.
Beruntung rumah sakit tempat dia di rawat sebelumnya tidak begitu jauh dari lokasi. Dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut jalan dengan napas yang terengah-engah. Ternyata benar, sosok dirinya yang masih hidup saat itu masih berada di sana, seperti sebelumnya.
Becca segera berlari mendekati wanita hamil yang tidak lain adalah dirinya sendiri sebelum mati. "Kau masih hidup?" tanya Becca.
Wanita di hadapannya sontak terkejut dengan kehadiran gadis di depannya. "Siapa kau?" tanyanya sedikit takut.
"Tenang saja. Aku bukan orang jahat. Aku akan membawamu ke rumah sakit." Darah segar mulai mengalir di antara kedua kaki wanita itu.
Becca hendak menyelamatkan wanita yang tak lain adalah dirinya sendiri itu. Namun, dia malah menolaknya, dengan menahan tangan Becca. Apa yang ada di dalam sudah tidak memiliki waktu untuk pergi lebih jauh dan ingin segera keluar.
"Sudah tidak ada waktu lagi. Mereka bisa menemukanku nanti."
“Tapi-” Memang benar apa yang wanita itu katakan. Akan tetapi, jika tetap di sini tentu saja hanya kematian yang akan terjadi. Sama seperti sebelumnya.
"Isshh." Wanita itu mendesis kesakitan. Dia memegang tangan Becca dengan sangat kuat sambil mengejan, mencoba mengeluarkan bayi dalam perutnya saat itu juga.
Tidak butuh waktu lama, sang buah hati pun terlahir ke dunia dengan tangisan yang kuat seperti apa yang di alami Becca sebelumnya.
“Aku mohon jagalah bayiku! Jangan sampai mereka membawanya pergi. Rawatlah dia dengan baik,” ucap wanita itu setelah melahirkan anaknya.
Meskipun dia tidak mengenal siapa gadis yang ada di hadapannya saat ini. Namun, hal itu mungkin lebih baik di bandingkan dengan membiarkan bayinya tetap di sini bersamanya.
Bagaimana pun juga. Bayi itu juga anak dari Rebecca, meskipun tubuh dalam dirinya sudah berubah dan entah milik siapa. Akan tetapi, kasih sayang seorang ibu yang menantikan buah hatinya tentu saja masih sama seperti sebelumnya.
“Cepat pergi! Sebelum mereka segera datang.” Wanita tersebut segera mendorong tubuh Becca agar segera menjauh. Dalam hati, tentu saja Becca sangat bingung. Dia ingin menyelamatkan keduanya. Sayang, dia tidak boleh tamak, sepertinya dia hanya bisa menyelamatkan anaknya saja.
Hingga tidak lama kemudian, suara langkah kaki di kejauhan mulai terdengar, membuat Becca segera mengambil keputusan.
“Aku akan menjaganya dengan baik, seperti anakku sendiri.” Setelah mengatakan hal itu, Becca mendekap bayi dalam pelukannya dengan sangat erat. Dia mulai melangkah pergi. Sekali dia menoleh ke belakang. Mungkin takdirnya untuk mati malam ini memang tidak dapat di ubah, tapi setidaknya dia berhasil membawa sang buah hati bersamanya dan tidak jatuh ke tangan mereka.
Becca segera berlari menyusuri gang kecil menjauh dari lokasi untuk bersembunyi. Rasa penasaran membuat langkahnya terhenti dan bersembunyi di kegelapan. Hingga tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki beberapa orang seperti mendekati wanita itu seperti sebelumnya.
"Apa yang kalian inginkan?" Suara teriakan wanita itu masih terdengar jelas di telinga Becca. Dia menelan ludahnya sendiri dengan susah payah, bersamaan jantung yang berdetak tidak karuan bak baru saja menaiki wahana ekstrem di taman hiburan yang dia suka. Dialah yang berada di posisi itu sebelumnya. Namun, masih saja penasaran dengan apa yang kan terjadi selanjutnya.
"Oh, sepertinya baru saja melahirkan bayimu! Di mana kau menyembunyikan dia?” Suara seorang wanita terdengar begitu jelas di telinga Becca. Namun, tampaknya ibu dari bayi tersebut tidak menjawab sama sekali hingga membuat mereka semakin murka. “Wanita sialan! Pergilah ke alam baka." Tanpa aba-aba wanita yang baru datang tersebut mengeluarkan pistol dari belakang dan menarik pelatuknya tepat di kepala ibu sang bayi tersebut, hingga membuatnya tewas seketika.
Suara keras tembakan membuat bayi di tangan Becca terkejut dan langsung menangis cukup kuat. Hal itu, tentu saja membuat mereka menyadari jika apa yang dicari masih berada di sekitar sini.
"Cepat cari bocah itu sampai dapat!"
Becca tidak kalah terkejutnya dengan situasi yang terjadi sekarang, nyawa mereka dalam bahaya jika tidak segera pergi. "Sstt, tenanglah, Sayang! Jangan menangis! Kita harus segera pergi dari sini. Mama masih bersamamu."
Dengan perasaan takut, Becca segera berlari, menjauh dari kegelapan menyusuri gang kecil. Dia berlari sambil mendekap erat bayi itu dalam pelukannya. Dia terus melangkah mencoba mencari tempat yang ramai untuk menyamarkan keberadaannya. Sayangnya, suara tembakan melesat tepat di dinding sampingnya membuat Becca mengumpat kesal. "Sial!"
Mereka berhasil menyusul di belakang Becca dengan menodongkan senjata api yang terus mengarah kepadanya. "Hei berhenti!"
Segerombolan orang itu terus mengejar langkah Becca, hingga membuat wanita tersebut selalu berbelok di jalan kecil lain demi menghindari tembakan yang bertubi-tubi melesat ke arahnya. Dia terus berlari dengan napas yang terengah-engah. Beruntungnya sang bayi seperti mengetahui jika nyawa mereka sedang dalam bahaya sehingga dia terdiam dan tidak menangis lagi.
"Hei berhenti!"
Suara teriakan dan juga tembakan mereka dari belakang tidak membuat Becca menghentikan langkahnya.
"Tenang, Sayang. Kita tidak akan mati hari ini." Becca terus berlari sambil menendang benda apa pun di depannya ke belakang untuk menghalangi langkah mereka dan menggunakan barang apa pun demi menghalau musuh di belakang. Hingga tidak lama kemudian, Becca melihat seorang pria tampak masuk ke sebuah mobil hitam, dan dia pun langsung ikut masuk begitu saja. “Tuan, aku mohon berikan aku tumpangan! Mereka hendak merampokku,” ucap Becca mencoba mencari alasan.
Pria di kursi kemudi tampak mengernyitkan dahi melihat wanita yang berlumuran darah, dengan lancang duduk di sampingnya begitu saja. Namun, ketika dia menoleh ke arah spion dan melihat beberapa pria yang sepertinya mengejarnya, pria itu pun mulai menyalakan mesin dan bergerak menjauh dari lokasi tanpa banyak bertanya.
Sesekali Becca menoleh ke belakang, dia bernapas lega di saat masih ada orang baik yang mau menolongnya dari mara bahaya. “Terima kasih,” ucap Becca sambil membungkukkan tubuh di saat pria itu menghentikan laju kendaraannya.
Namun, di saat Becca hendak membuka pintu, pria tersebut malah menahan tangannya. “Siapa bilang kau boleh pergi?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!