Cinta telah mempersatukan dua insan yang masih sangat muda. Lusi baru berumur tujuh belas tahun dan suaminya yang bernama Yudi berumur dua puluh tiga tahun. Keduanya menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih selama satu tahun dan masa pacaran itu berakhir di pelaminan yang sangat sederhana dengan sebuah pernikahan yang sah baik secara agama juga sah sebagai warga negara Indonesia. Waktu itu umur tujuh belas bagi seorang perempuan sudah dinyatakan dewasa dan bisa membangun sebuah rumah tangga.
Ada beberapa anggota keluarga dari pihak Lusi yang kurang setuju dengan pernikahan itu karena dianggap terlalu dini terutama kakak perempuannya yang bernama Yani.
"Saya mau, Lusi tetap sekolah dan rencana kalau dia sudah tamat SMA, saya siap untuk menyekolahkan sampai menjadi seorang sarjana!" kata Yani dengan tegas ketika ia baru mendengar kabar dari orang tuanya bahwa Lusi akan menikah.
"Bapak dan ibu juga berpikir seperti itu, Nak, tapi kita tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Adikmu sudah berbadan dua," ucap ibu Maria dengan suara serak pada sambungan telepon membuat Yani diam seribu bahasa. Tubuhnya terasa kaku dan ia menjatuhkan diri di sofa air mata berderaian.
Yani adalah kakak pertama dari tiga bersaudara. Setelah tamat SMA ia pergi ke Makassar mencari pekerjaan karena cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi harus ia kubur dalam-dalam. Kedua orang tuanya tidak mampu untuk membiayai. Biaya selama masih di SMA saja kadang selalu menunggak hingga beberapa bulan, apalagi untuk biaya kuliah yang tidak sedikit.
Yani diterima di sebuah toko elektronik dan bekerja sebagai kasir. Gajinya cukup lumayan bagi orang susah seperti mereka bahkan sudah dua tahun terakhir ini ia sudah bisa mengirim sebagian penghasilannya kepada orang tuanya di kampung termasuk pembayaran SPP Lusi yang waktu itu masih duduk di bangku SMA.
Harapannya sirna seketika karena ia punya prinsip 'kalau saya tidak bisa kuliah, berarti saya harus menyekolahkan Lusi'.
Arman, yang merupakan anak ke dua dari pasangan pak Tono dan ibu Maria hanya tamat SMP. Dia sendiri yang memilih untuk tidak sekolah karena faktor otak, padahal sebenarnya ia juga tergolong siswa yang tidak bodoh dan tidak pintar. Mungkin faktor otak hanya dijadikan sebagai alasan karena mengingat keadaan orang tuanya yang hidup pas-pasan bahkan kadang kekurangan. Kini ia sedang berada di rantau orang dan bekerja sebagai buruh bangunan.
Ketika Arman mendengar kabar dari kakaknya tentang rencana pernikahan Lusi, ia juga syok karena keduanya sudah sepakat untuk menyekolahkan Lusi. Tanpa disadari, ia pun menangis karena merasa sangat kecewa.
Wajah Yani dan Lusi itu mirip. Bedanya hanya warna kulit. Warna kulit Yani putih sedangkan Lusi berkulit sawo matang.
Di sekolah, Lusi adalah siswa yang terpandai di kelasnya. Ia sangat periang dan mudah bergaul. Wajahnya cantik dengan hidung mancung serta bibir tipis yang selalu berwarna merah alami membuat banyak teman-temannya merasa iri.
Rambutnya yang panjang selalu diikat rapi menambah kecantikannya apalagi didukung dengan body yang aduhai bak gitar spanyol.
Sejak Lusi masuk SMA, penampilannya berubah drastis jika dibanding ketika masih duduk di bangku SMP. Dulu ia sering diejek oleh teman-temannya karena dianggap sangat miskin tapi ia tetap sabar. Kedua kakaknya yang sudah bekerja telah merubah penampilan adiknya.
Yani dan Arman tidak ingin melihat adiknya dibuly terus oleh teman-temannya dan hal itu pulalah yang membuat keduanya semangat untuk bekerja. Itulah sebabnya kabar tentang rencana pernikahan Lusi menjadi berita buruk bagi mereka.
Yudi, anak orang yang tergolong kaya di desa itu juga tak luput dari penampilan Lusi yang sangat menggoda. Selain cantik, Lusi yang murah senyum dan berteman dengan siapa saja tanpa memilih-milih membuatnya kagum dan langsung jatuh cinta.
Penampilan Yudi biasa saja meskipun ia terlahir dari keluarga yang berada. Wajahnya memang tampan dan tatapan matanya yang tajam telah meruntuhkan hati seorang gadis cantik. Tatapan mata itu mampu menimbulkan getaran dan membuat jatung Lusi berdegup tak karuan.
Yudi hanya tamat SMA saja. Ia tidak mau melanjutkan lagi pendidikannya meskipun kedua orang tuanya sudah membujuk dengan berbagai cara tapi Yudi memang anak yang tergolong keras kepala sehingga ia lebih memilih untuk mencari pekerjaan di luar kota. Katanya mau cari pengalaman.
Tidak cukup setahun bekerja di kota, ia pulang ke kampung karena ibunya selalu menelepon. Ia sangat merindukan anaknya karena ke-empat kakak dari Yudi sudah berkeluarga dan masing-masing sudah punya tempat tinggal.
Dari teman-teman ia mendengar kabar tentang kecantikan dan kebaikan Lusi membuat ia penasaran sehingga tanpa rasa malu ia memberanikan diri untuk menemui Lusi di gerbang sekolah.
Sejak pandangan pertama, Lusi selalu merasa gelisah dan selalu ingin bertemu dengan Yudi walau hanya sekedar saling melempar senyum. Hal yang sama juga dirasakan oleh Yudi hingga tiba pada suatu saat, Yudi mengajak Lusi untuk singgah di rumahnya setelah pulang dari sekolah karena kebetulan hujan deras dan anehnya, Lusi tidak menolak ketika Yudi membawanya ke kamar.
Mendapat respon dari Lusi, akhirnya Yudi tak mau kehilangan. Ia tahu, banyak laki-laki yang mengincar Lusi agar bisa menjadi teman dekat dan hal inilah yang membuat ia nekat untuk melakukan hubungan terlarang sebelum nikah secara sah.
Arman dan Yani sangat menyayangkan pernikahan Lusi yang begitu cepat. Tinggal beberapa bulan lagi teman-temannya akan mengikuti Ujian Nasional sementara adiknya akan menjadi seorang ibu.
Dengan tatapan sedih, kedua kakak-beradik itu menyaksikan pesta pernikahan sang adik yang kini duduk di pelaminan. Sebenarnya mereka enggan pulang kampung untuk menghadiri pernikahan adiknya tapi kedua orang tuanya memohon dengan sangat sehingga pada akhirnya keduanya datang juga.
Lusi menunduk dengan sedih melihat tatapan kedua kakaknya yang seolah menembus jantung hatinya. Ia mengaku salah karena telah mengecewakan kakaknya yang hendak menyekolahkan hingga menjadi seorang sarjana namun kenyataan berkata lain. Seorang pria tampan kini duduk di sampingnya dan akan menjadi suaminya.
Setelah acara pernikahan Lusi selesai, Arman dan Yani segera berkemas dan kembali ke kota untuk melanjutkan pekerjaannya. Ada rasa iba melihat tetesan air mata yang mengalir di pipi sang adik ketika keduanya berpamitan. Lusi menangis dan meminta maaf karena telah membuat kedua kakaknya merasa kecewa.
"Saya juga minta maaf, Kak, ini semua karena salahku dan saya janji akan membahagiakan Lusi!" ucap Yudi dengan serius.
Arman dan Yani hanya mengangguk dan berlalu tanpa sepata kata. Hatinya menangis namun mereka tidak mau terlihat sedih di hadapan kedua orang tuanya. Yani berjalan tergesa mengikuti langkah Arman yang sudah lebih dulu keluar dari pekarangan rumah.
Setelah para tamu pulang satu per satu, pengantin baru itu masuk ke kamar untuk berganti pakaian karena Sejak dari tadi Lusi merasa kurang nyaman dengan pakaian pengantin yang ia kenakan membuat nafasnya terasa sesak. Dengan memakai baju santai ia duduk di tepi ranjang dan air matanya kembali tidak dapat dibendung.
"Kok, nangis terus?" tanya Yudi yang mendapati istrinya sedang sesegukan.
Tak ada jawaban. Malah tangis Lusi semakin menjadi-jadi membuat suaminya bingung. Ia pun ikut duduk di samping istrinya dan berharap tangisan itu segera reda.
Sudah hampir setengah jam kedua pengantin itu duduk tanpa suara, hanya air mata yang terus mengalis di pipi sang istri.
"Apa kau menyesal menikah denganku?" tanya Yudi dengan tegas karena ia mulai kesal.
Lusi hanya mampu menggeleng kepala untuk merespon pertanyaan suaminya.
"Atau kamu punya kekasih lain yang membuat hatimu sedih karena kenyataannya sayalah yang jadi suamimu. Suami yang tidak berpendidikan. Suami yang hanya bermodalkan cinta. Tapi... saya rasa apa yang terjadi saat ini bukan hanya kemauan saya.Intinya, kita sama-sama mau. Jadi tak ada yang perlu disesali lagi. Harusnya malam ini kita bersenang-senang karena tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi dan merasa takut untuk berduaan tapi kamu malah menangis tiada henti." Perkataan Yudi semakin membuat hati Lusi semakin sedih.
Awalnya ia hanya bersedih ketika mengingat semangat kedua kakaknya yang sirna dan juga sedih karena harusnya malam ini ia akan mempersembahkan mahkotanya kepada orang yang ia cintai tapi semua sudah berlalu. Walaupun kesucian itu direnggut sendiri oleh Yudi namun tetap saja menimbulkan penyesalan. Kini, di hari yang berbahagia ini, Yudi menorehkan luka baru dengan perkataannya yang seolah menuduh bahwa dirinya punya kekasih lain.
Dengan kesal, Yudi berlalu dan keluar dari kamar meninggalkan istrinya yang masih terisak. Ia ingin menenangkan diri dengan menyulut sebatang rokok.
"Pengantin baru nie," goda salah seorang kerabat yang masih tinggal membantu keluarga pak Tono.
"Ahh, kamu... " sahut Yudi sambil tersenyum dengan sebatang rokok yang sudah berasap di bibirnya. Ia tidak mau menampakkan kekesalannya di hadapan keluarga sang istri karena ini adalah momen pertama berada di tengah-tengah keluarga mertua.
"Ehh, Nak Yudi, mari kita makan bersama!" ajak ibu mertua yang datang menghampirinya.
"Ohh, iya Bu. Saya panggil Lusi dulu!" jawab Yudi. Perutnya memang sudah keroncongan.
Ada rasa iba ketika tiba di kamar dan mendapati istrinya sudah tertidur dengan mata sembab. Perlahan ia menyentuh bahunya dan menggoncang dengan lembut hingga Lusi terbangun.
"Kita sudah ditunggu di meja makan, Sayang!" ucapnya dengan lembut sambil tangan kekarnya mengelus perut yang sudah buncit milik istrinya. Di dalamnya ada janin yang bergerak seolah merespon elusan sang ayah membuat Yudi tersenyum karena merasakan gerakan bayinya.Ia pun mencium perut itu dengan lembut.
Lusi merasa geli mendapat perlakuan dari suaminya. Sikap romantisnya inilah yang membuat Lusi selalu merindukan kehadirannya. Persoalan tadi sudah terlupakan. Ia memegang tangan suaminya dan tersenyum.
"Nah, gitu dong... tambah cantik kalau tersenyum," kata Yudi.
"Cepat, sana cuci muka biar kelihatan segar! Ayah dan Ibu sudah nunggu kita loh!" sambungnya lagi.
Lusi beranjak dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Gerakannya agak lamban karena usia kandungannya sudah memasuki bulan ke-enam.
Yudi memapah istrinya menuju ruang makan dengan mesra. Semua pasang mata yang berada di ruangan tersebut tertuju kepada mereka. Di situ masih agak ramai karena ada beberapa keluarga dekat dan para tetangga yang masih menyempatkan diri untuk membantu membenahi segala sesuatunya.
"Kalian memang pasangan yang serasi,"
"Iya, tampan dan cantik,"
"Romantis bangat,"
"Semoga jadi pasangan yang awet!"
Itulah beberapa kalimat yang sempat dilontarkan oleh orang-orang yang berada di ruangan tersebut.
"Amin, terima kasih semuanya!" ucap Yudi dan Lusi hampir barengan.
Setelah pak Tono membaca doa, mereka menikmati makanan yang sudah tersaji lengkap di meja dengan sangat lahap. Masih terdengar sesekali gurauan dari mereka untuk menggoda pengantin baru.
Yudi sangat terkesan dengan kebersamaan dan keakraban yang terjalin di keluarga yang di dalamnya dia juga sudah menjadi bagian. Ada canda tawa yang membuat Yudi merasa berbahagia. Sangat berbeda dengan keadaan keluarganya yang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Ketika ada momen kebersamaan, mereka selalu tampak serius dan hal inilah yang membuat Yudi merasa bosan tinggal di rumahnya.
Pak Arman, mantan pak Lurah di salah satu kelurahan yang ada di kecamatan tempat tinggal mereka adalah ayah Yudi. Orangnya berwibawa dan sangat tegas. Sedangkan ibu Dina, istri pak Anis , orangnya pendiam dan sangat tertutup. Sementara ke-empat kakaknya, dua laki-laki dan dua perempuan, mereka semua punya karakter masing-masing dan tidak jauh beda dengan sifat kedua orang tuanya.
Kakak pertama dan ketiga bekerja sebagai pedagang dan kakak kedua dan keempat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Di keluarga barunya, Yudi menyaksikan keakraban antara orang tua dan anak dan semuanya pandai membuat lelucon yang mengundang gelak tawa. yang menambah suasana semakin akrab.
Pak Tono dan ibu Maria hidup sederhana. Rumah yang ditinggali juga sangat sederhana. Dinding papan dan lantai tembok yang kasar dengan tiga buah kamar ukuran kecil. Walaupun sangat sederhana tapi membuat suasana nyaman bagi penghuninya. Semua perabotan tersusun dengan rapi dan bersih karena masing-masing merasa bertanggung jawab untuk membersihkan. Tidak ada kamus saling mengharap dalam melakukan pekerjaan apalagi kalau hanya menyangkut pekerjaan di dalam rumah dan di pekarangan sekitarnya.
Di dalam kamar dengan ukuran yang kecil, Yudi dan Lusi meluruskan badan setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan, terutama bagi Lusi sebagai calon seorang ibu.
"Saya minta maaf, kalau tadi sempat menyakitimu! Kamu harus tahu bahwa saya ini sangat mencintaimu dan karena hal itu pulalah sehingga menikahimu di usia yang masih belia. Kamu juga harus tahu kalau saya takut jika ada laki-laki yang akan mendahuluiku untuk melamarmu!" kata Yudi sambil mengelus kepala istrinya dengan penuh cinta hingga sang istri terlelap. Yudi tidak mau mengganggu lagi istrinya karena ia tahu ibu hamil harus istirahat yang cukup. Perlahan ia kecup bibir tipis milik istrinya.
Malam semakin merangkak namun Yudi mata Yudi masih melek. Ia berharap, kelak ia bisa membuktikan bahwa ia adalah suami yang dapat dipercaya dan bisa diandalkan, terutama kepada kedua kakak iparnya, yakni Arman dan Yani. Juga kepada warga masyrakat yang ada di sekitar yang selama ini menganggapnya sebagai anak manja yang tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan ketika ia naik ke pelaminan tadi siang, telinganya masih sempat mendengar suara sumbang dari orang-orang di sekitarnya yang mengatakan, (dia itu menikah dengan mengandalkan harta kedua orang tuanya. Seandainya tidak, dari mana ia akan menafkahi istrinya? Mau makan tanah atau batu?).
Mengingat hal itu membuat semangat Yudi bangkit. Ia ingin membangun sebuah usaha dan ia bertekad untuk bekerja keras demi istri tercinta dan calon buah hatinya.
Dua bulan telah berlalu dan Yudi merasa senang tinggal di rumah mertuanya. Ia ikut membantu mengerjakan apa saja yang dikerjakan oleh ayah mertua seperti membajak sawah dan ladang. Mertuanya sangat senang karena ada yang membantunya.
Sore ini, ia baru saja selesai mandi dan ponselnya bergetar di atas meja.
"Halo, Bu!" sapa Yudi dengan sopan. Rupanya yang menelepon adalah ibunya.
"Halo, Nak! Kok kamu nggak pernah jenguk ibu? Ayah dan ibu sangat merindukan kalian. Ke sini yah, sekalian ajak istrimu! Kami tunggu sekarang!" suara ibu di seberang sana terdengar memelas.
Sejak Yudi menikah, ia baru dua kali mengunjungi orang tuanya, pada hal jaraknya tidak terlalu jauh karena hanya butuh waktu empat puluh menit dengan kendaraan motor.
"Oh, iya, Bu," ujar Yudi membuat ibunya sangat senang. Di antara ke-lima anaknya, hanya Yudi yang sangat mengerti dengan perasaannya.
"Ok, ibu akan masak makanan kesukaanmu!" ucap ibu Dina. Suaranya sudah berubah dan kali ini terdengar riang membuat Yudi tersenyum.
Dengan bersiul-siul ia menemui istrinya yang sedang memasak di dapur dan memeluknya dari belakang. Lusi dapat merasakan hembusan nafas yang hangat tepat di leher bagian belakangnya.
"Sudah lapar, Sayang?" tanya Lusi sambil mengaduk-aduk ikan teri sambal di atas wajan.
"Belum, Sayang. Saya hanya mau mengajakmu ke rumah ibu soalnya mereka sangat mengharapkan kedatangan kita,"
"Kapan kita mau ke sana?"
"Sekarang, Sayang,"
Lusi segera menyelesaikan pekerjaannya di dapur lalu bergegas ke kamar untuk bersiap-siap. Tidak lama kemudian ia sudah keluar dengan jaket tebal melekat di tubuhnya dan sebuah tas dengan ukuran sedang di tangannya.
"Kami berangkat dulu, Pak, Bu!" pamitnya kepada ayah dan ibunya.
"Iya, Nak, salam sama orang tuamu!" ujar ibu Maria.
"Iya, Bu, akan saya sampaikan salamnya," sahut Yudi.
"Hati-hati di jalan dan jangan ngebut-ngebut. Ingat cucuku yang ada di perut!" seru pak Tono sambil terkekeh.
"Siap, Pak!" balas Yudi penuh semangat.
Ia menyalahkan mesin motornya dan perlahan meninggalkan rumah mertuanya. Ia berkendara dengan sangat hati-hati mengingat istri tercinta sedang berbadan dua.
Sudah hampir magrib ketika mereka tiba di rumah orang tuanya. Kedatangannya disambut hangat oleh kedua orang tuanya di teras depan.
Yudi dan Lusi langsung menyalami dan memeluk orang tuanya secara bergantian.
"Kami sangat merindukan kalian," ucap ibu Dina sambil meneteskan air mata haru.
"Kami juga merindukan ayah dan ibu tapi baru kali ini ada kesempatan soalnya kami sedang menggarap sawah," ujar Yudi membuat kedua orang tuanya termangu tak percaya.
"Yang benar? Kamu ikut kerja sawah?" tanya ibu Dina.
"Iya, Bu, Kak Yudi sangat rajin membantu ayah di sawah juga di kebun," jawab Lusi membenarkan pernyataan suaminya.
"Itu yang Bapak harapkan karena hidup ini penuh perjuangan," kata pak Arman dengan wibawanya.
"Iya, Ayah," sahut Yudi penuh hormat.
Ibu Dina kembali memeluk putranya. Ia bersyukur karena anak manjanya sudah mau bekerja dan cara bicaranya juga sangat sopan. Dalam hati ibu Maria memuji anak mantunya karena ia yakin, Yudi bisa berubah karena pengaruh dari istrinya.
"Yuk kita ke dalam!" ajak ibu Maria dengan senang.
Rumah yang besar namun penghuninya hanya dua orang. Jadi wajar saja kalau mereka sangat merindukan anaknya.
"Mau langsung makan atau ibu buatkan minuman hangat dulu!" tawar ibu Dina dengan semangat.
"Terserah tuan rumah aja," Yudi bercanda membuat ibunya tersenyum.
Diam-diam, pak Arman memperhatikan sikap anaknya dari balik kaca mata yang bertengger di hidungnya. Ia juga bangga melihat sikap anaknya yang banyak berubah.
Secara fisik, ia juga berubah. Dulu, sebelum menikah, ia mempunyai kuku yang panjang dan bersih tapi sekarang kuku itu sudah hilang, bahkan telapak tangannya sangat kasar.
Cara ngomongnya kepada orang tua juga sudah berbeda membuat ayah dan ibunya bahagia.
"Terima kasih, Nak Lusi, sudah membuat anak kami berubah seratus delapan puluh derajat," kata pak Arman kepada Lusi ketika Yudi masuk ke toilet.
"Ah, itu semua berkat doa dari Ayah dan Ibu," ucap Lusi dengan lembut.
"Iya, Nak. Dulu, sebelum Yudi kenal sama kamu ia sangat kasar ketika berbicara dan sangat malas untuk bekerja tapi sekarang... ia sudah sangat berubah. Ibu bangga sama kamu, Nak," kata ibu Maria dengan tulus.
Lusi hanya tersenyum mendengar pernyataan dari ibu mertuanya. Tak lama kemudian, Yudi sudah datang dan kembali bergabung di meja makan.
Lusi membantu ibu mertuanya untuk menata makanan di atas meja. Sate ayam dan sayur bening kesukaan Yudi juga sudah disiapkan olen ibunya. Aromanya membuat Yudi ingin segera melahapnya namun ia menahan keinginannya karena mereka belum baca doa seperti kebiasaan di rumah keluarga Lusi.
"Kok, masakan Ibu banyak sekali?" tanya Yudi dengan heran karena melihat makanan yang penuh di meja, sementara mereka yang akan makan hanya ber-empat. Yudi juga sudah terbiasa makan seadanya di kampung. Makan ikan kering dan sayur yang segar. Selama dua bulan tinggal di rumah orang tua Lusi, mereka sangat jarang makan daging tapi suasana rumah yang hangat membuat segala makanan jadi enak. Apa pun yang disajikan di meja makan akan selalu terasa enak.
"Ibu sengaja, Nak, biar kalian dapat makan sepuasnya. Jarang-jarang loh, kalian ke sini," sahut ibu Dina sambil menyendok nasi ke piring dan di letakkan di hadapan suaminya.
"Mana mungkin kita bisa menghabiskan makanan sebanyak ini? Ini pemborosan loh, Bu!" sanggah Yudi dengan serius.
"Nggak apa-apa, Nak, kalau tidak habis, tinggal kita simpan di lemari pendingin," ucap ibu Dina.
Anaknya memang sudah berubah. Dulu, ia selalu protes jika ibunya menyiapkan makanan karena selalu dianggap kurang tapi sekarang ia malah protes dan menganggap bahwa itu adalah pemborosan. Ada juga sisi baiknya ia tinggal bersama dengan mertuanya di kecamatan tetangga.
"Ayo, kita makan!" ajak pak Arman.
"Baca doa dulu dong!" timpal Yudi membuat ayah dan ibunya kembali saling berpandangan.
Pak Arman lalu membacakan doa dan setelah itu mereka menikmati makanan dengan lahap. Lusi dan Yudi masih ingin menikmati makanan itu tapi perutnya sudah terasa penuh.
"Masakan Ibu memang selalu terbaik!" puji Yudi sambil membersihkan mulutnya dengan tisyu.
"Terima kasih, Nak atas pujiannya tapi Ibu yakin masakan istri kamu jauh lebih enak, iya kan?" tanya ibu Dina ingin tahu.
"Dua-duanya, Bu," jawab Yudi sambil tersenyum.
Lusi dan ibu mertua membersihkan meja makan sedangkan Yudi bersama sang ayah berpindah tempat ke ruang keluarga.
Ibu Dina melarang anak mantunya untuk mencuci perabotan tetapi Lusi tetap mengerjakannya dengan iklas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!