"Kamu mau jalan ke mana malam ini?" tanya Faiz saat menghampiri ruangan kerja Safia yang sudah lumayan sepi karena beberapa karyawan bagian keuangan telah pulang.
Safia masih sibuk menatap layar komputer. Perhitungannya salah besar siang ini, padahal ia sudah bersusah payah untuk bisa mengerjakannya dengan teliti.
Faiz menarik kursi milik teman Safia yang sudah pulang, duduk tenang sambil menatap kekasihnya. "Sayang, kamu nggak dengar aku?" Suara manja layaknya seorang anak kecil dilakukan Faiz. Kebiasaan. Untung saja di ruangan ini hanya ada tiga orang karyawan lagi, termasuk Safia. Faiz meraih tangan kiri Safia. "Aku ini kekasihmu, Sayang."
Safia terpaksa menoleh, sekali pun sedang harus mengejar revisi. "Maaf, Sayang, aku belum bisa fokus. Pekerjaanku masih banyak." Wajah Safia ditekuk lutut, tampak jelas raut wajah kelelahan dari perempuan itu. Ia butuh istirahat, tetapi sang kekasih seolah merajuk untuk minta ditemani.
Faiz mengukir senyum kecil. Memberikan ketenangan pada Safia, walaupun hatinya sedikit kecewa. "Ya sudah, aku tunggu kamu sampai selesai. Ini malam Sabtu, harusnya kita kencan."
Safia paham. Mereka memang sudah setuju untuk kencan di malam Sabtu, sekadar menonton fim di bioskop setelah pulang. Hal ini dilakukan karena Faiz harus pulang kampung besok pagi untuk menemui orang tuanya. "Aku janji, setelah ini pasti kita kencan." Membalas senyum. Berharap sang kekasih bisa menunggu dengan sabar.
Faiz mengangkat satu alis. "Ok. Demi kamu, apa sih yang nggak untuk kamu." Tangan kanan Faiz bergerak ke atas, mengusap rambut panjang hitam milik Safia. Harum dan lembut, itu yang bisa Faiz definisikan dari rambut perempuan tersebut.
"Jangan ganggu, ya. Aku mau fokus." Satria mengedipkan mata kanan.
"Ok, Sayang." Faiz menurut. Mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memutuskan berselancar di dunia maya saja. Tentunya dengan mencari lebih banyak kabar tentang pertandingan bola dalam negeri. Barangkali klub favoritnya masuk final.
Safia kembali mengerjakan tugas. Ratusan angka yang dilihatnya terasa membuat kepala sakit. Namun, inilah yang perlu dilakukan. Bekerja itu penting karena dirinya harus mampu menopang sendiri. Sedikit kejam memang dunia ini.
Satu per-satu teman sekantor Safia pamit pulang karena sudah menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh empat menit. Tinggal beberapa menit lagi azan, tetapi Safia masih belum selesai. Sebentar lagi.
Faiz mulai bosan, ingin segera keluar dari ruangan bercat putih dengan banyak bangku dan kursi juga komputer. Udara malam yang segar dan dingin akan segera datang. Memang akan sangat menusuk tulang, tetapi itu lebih baik daripada terkurung di ruangan putih ini. Menurut Faiz.
"Sayang, kamu masih belum selesai?" Faiz bertanya lagi. Sesekali melirik komputer Safia, masih saja menyala. "Aku bosan, nih."
Safia memahami itu. "Sebentar lagi, Sayang. Kalau kamu bosan, bisa tunggu aku di parkiran. Tapi, sepertinya sebentar lagi masuk waktu Magrib, aku harus salat dulu."
Faiz menekuk wajah, menyimpan ponsel di saku celana lagi. Melipat kedua tangan di meja. "Kamu mau ibadah? Nanti filmnya keburu dimulai."
Film romantis yang akan mereka tonton memang dimulai pukul enam sore. Dan, waktu salat Magrib sekitar pukul lima sore lewat lima puluh enam menit, sangat dekat sekali karena keduanya harus berkendara sekitar delapan menit menuju bioskop.
Safia menghela napas kasar, menoleh ke samping kiri. "Sayang, aku nggak bisa pergi begitu saja kalau sudah waktunya ibadah. Kamu juga sama, kan?"
Faiz terdiam. Kalimat Safia menampar dirinya.
"Bukankah kita sudah berjanji untuk saling menghormati satu sama lain?" tanya Safia lagi.
Faiz tak bisa mengelak, memang itu yang pernah mereka setujui. "Iya, aku tau. Ta–."
"Kalau memang kamu nggak bisa nunggu, aku nggak mau kencan malam ini." Satria langsung memotong kalimat Faiz. Marah dan kembali fokus ke depan.
Faiz kini yang menghela napas kasar. Perempuan akan sulit untuk dirayu ketika marah. Oleh sebab itu, ia pun harus bisa mengalah. "Ya sudah, maaf. Aku khilap."
Safia diam. Pekerjaannya akan segera selesai dalam dua puluh menit dan masih ada waktu untuk membereskan meja sebelum pulang.
Faiz mengalah, menunggu Safia selesai dengan pekerjaan serta ibadahnya. Jangan sampai hanya karena masalah sepele, semua berakhir begitu saja. Hubungan yang sudah dijalani sekitar lima bulan tersebut.
Waktu terus berlalu sampai akhirnya azan Magrib pun berkumandang. Safia sudah selesai lima menit sebelumnya. Bergegas membereskan meja dan pergi dari ruangan itu dengan Faiz. Keduanya turun ke lantai bawah dan berjalan ke arah mushola kantor.
Faiz sendiri cukup menunggu di depan mushola, sedangkan Safia langsung melaksanakan kewajibannya terhadap Yang Maha Kuasa seperti orang muslim pada umumnya.
Dengan tenang dan khusus, Safia melaksanakan salat. Setelah selesai, ia kembali menemui Faiz. "Ayo, kita pergi, Sayang." Berdiri setelah memakai sepatu pantofel kesayangan berwarna hitam. Rambut panjang Safia masih sangat baik, perempuan itu merawatnya dengan cermat dan selalu ke salon. "Kita mau langsung ke bioskop atau makan dulu? Soalnya film incaran kita mungkin udah mulai, jadi sebaiknya ganti yang lain saja."
Faiz masih sedikit kesal, tetapi berusaha sabar. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu pun berdiri tegak di depan Safia. "Aku lapar, Sayang. Lebih baik kita makan aja dulu, baru nonton film lainnya. Mungkin ada yang jauh lebih bagus dari yang itu." Faiz langsung berbalik badan, Safia peka. "Sayang, kamu marah, ya?" Merangkul lengan kanan Faiz agar bisa membujuknya. "Aku minta maaf karena kita gagal nonton film incaran, tapi lain waktu bisa nonton lagi."
Faiz diam, kesalnya sampai turun ke ulu hati. Pria itu mendengus kesal. "Padahal aku sudah mengincar dari lama, tapi mau gimana lagi. Minggu depan mungkin masih ada."
Safia menoleh ke samping kanan sambil berjalan pelan dengan Faiz. Lelaki yang baru dikencaninya ini tampak lebih manis saat merajuk. Namun, hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri. "Duh, pacarku, kok, malah merajuk. Jangan dong! Nanti aku sedih." Dengan wajah dibuat seimut mungkin juga nada bicara yang sedih, biasanya bisa membuat Faiz luluh.
Faiz sontak menoleh ke arah Safia. Tidak bisa menolak keimutan yang diberikan gadis berusia dua puluh empat tahun ini. Usianya mungkin sudah lumayan, tetapi aura lucu dan imut itu masih ada di wajah Safia. Siapa yang sanggup menolak, pastinya akan cepat luluh. "Kamu memang paling bisa buat aku jatuh cinta. Imutnya." Faiz mencubit hidung Safia sambil terus berjalan.
Perusahaan ini memang memperbolehkan karyawannya untuk menjalin asmara satu sama lain, asalkan tidak sampai mengganggu aktivitas bekerja. Istilahnya, bekerja dan masalah pribadi itu dua hal yang berbeda dan harus tahu tempat.
Faiz dan Safia keluar gedung. Mereka sempat bertemu dengan satpam kantor yang sudah mengetahui hubungan keduanya. Satpam itu menggoda keduanya sebentar, semana biasanya.
Faiz dan Safia menggunakan kendaraan masing-masing, itu dilakukan karena keduanya membawa mobil dari rumah. Hanya saling beriringan selama berkendara agar tidak berpisah.
Perjalanan dari kantor ke bioskop memakan waktu sekitar delapan menit. Begitu sampai, baik Faiz ataupun Safia memarkirkan di tempat yang sama dan saling berdampingan.
Faiz keluar mobil lebih dahulu. "Sayang, kamu mau makan apa?" Faiz langsung menghampiri Safia yang baru saja turun dari mobil.
Safia turun. Berdiam diri sejenak, memikirkan makanan yang sangat diinginkan. "Mungkin steak, Sayang."
Faiz diam. "Bagus juga." Lelaki itu setuju. Mendekati Safia dan merangkul tangan kanannya. "Ayo, kita makan. Aku lapar. Malam ini kamu yang traktir, ya?" Mengajak Safia berjalan.
Sejenak Safia tertegun, tetapi langsung sadar. "Ah, iya." Sedikit ragu menjawab. Namun, kembali menyadari jika dalam satu hubungan tidak harus selalu lelaki yang membayar. Bisa masing-masing atau mentraktir bergantian.
Safia dan Faiz menonton film yang tersisa saja. Sebuah drama yang diangkat dari kisah nyata dan prosedurnya juga terkenal dengan film yang menarik. Tentu saja film ini mengisahkan kisah cinta dua sejoli yang tak mendapatkan restu dari kedua orang tua masing-masing. Memperjuangkan cinta keduanya agar tetap bisa berjaya sesuai keinginan. Supaya bisa mengibarkan bendera di puncak gunung tertinggi ketika berhasil. Cukup menarik.
"Sayang, kamu mau makan nggak?" tanya Faiz ketika sudah keluar dari bioskop.
Safia diam sejenak. Uang yang ada di dompetnya tidak terlalu banyak. Mengingat ini tanggal tua dan ia harus bertahan sampai waktunya gajian.
"Sayang." Faiz berhenti. Otomatis Safia pun melakukan hal yang sama. "Kamu kenapa?"
Safia tersadar. "Kenapa, Sayang?" Tatapannya sedikit bingung. Harga dua tiket tadi dengan popcorn pun lumayan menguras isi dompet, sekitar seratus dua puluh lima ribu.
Faiz mencubit hidung Safia, gemas. "Kamu kenapa, sih, Sayang? Ada yang lagi dipikirkan?" Sekali lagi Faiz bertanya untuk memastikan.
Kening Safia berkerut kencang. Kurang paham. "Nggak, Sayang. Aku cuma lagi lapar saja." Safia berbohong.
Faiz tertawa kecil, semakin gemas pada Safia. "Kamu memang lucu. Duh, kalau nggak ada orang sudah aku makan."
Safia bergeser ke kanan. "Makan?" Perempuan itu berteriak kencang sampai beberapa pengunjung lantai empat tempat perbelanjaan itu memperhatikan mereka.
Faiz membungkam mulut Safia dengan telapak tangan kanannya sambil bergeser ke kanan juga. "Jangan kenceng-kenceng, Sayang. Kamu mau orang lain salah paham?"
Safia terdiam. Kedua ekor mata gadis itu mengamati sekitar, benar saja.
Faiz melepaskan bungkaman di mulut Safia, lalu berkata, "Aku cuma bercanda. Kamu itu bukan makanan juga." Tawa kecil keluar dari mulut Faiz begitu saja, tanpa beban. "Kita sebaiknya makan aja, ya. Aku lapar juga."
Safia ingin protes lagi, tetapi berusaha untuk diam. "Ya sudah. Aku juga lapar."
Faiz menggandeng tangan kanan Safia untuk berjalan bersama. Film romantis yang mereka tonton beberapa menit lalu memang cukup banyak pelajaran tentang hubungan, terutama bagaimana menjaga sebuah hubungan agar tetap baik dan terus bertahan dihantaman badai paling mengerikan sekali pun.
Safia dan Faiz memutuskan untuk makan di sebuah tempat yang bisa dikatakan cukup terkenal sebagai penjual ayam goreng paling enak. Tentu saja tempat itu pun populer dari kalangan anak muda maupun tua, apalagi anak-anak. Sebagai pecinta ayam goreng, Safia memang sangat senang bisa di sini. Ya, memang untuk harganya cukup ramah di kantong.
"Semua ini kamu yang bayar dulu, ya. Aku gantian di kencan berikutnya," kata Faiz sambil tersenyum ketika mereka sudah duduk di meja paling pojok dekat dengan kaca.
Safia membalas senyuman. "Ya, Sayang. Janji, ya." Sedikit ragu karena merasa uang di dompet akan terkuras, padahal waktu gajian lumayan lama lagi.
"Tenang, Sayang. Aku ini bukan lelaki perhitungan." Faiz mengambil ayam bagiannya.
Safia tertegun sebentar. Mendadak ekor matanya melihat dua orang wanita berhijab yang duduk di depan mereka, tertawa kecil sambil menikmati makanan. Rasanya terlihat nyaman dan tenang. Ia pun mengamati diri, melihat rambut yang tergerai hitam panjang. Tidak ada yang salah memang dengan penampilannya, tetapi akhir-akhir ini merasa ada sesuatu yang aneh.
"Sayang, kamu kenapa?" Faiz menoleh ke belakang, tak ada yang menarik. Kembali memfokuskan pandangan ke depan. "Kamu lagi perhatikan apa, sih?"
Safia masih saja terkagum. Merasakan aura kedamaian yang terpancar dari kedua perempuan itu. Gamis terurai sampai ke bawah lutut dengan jilbab menutup dada, penampilan keduanya yang anggun bisa menghipnotis siapa pun.
"Sayang!" Faiz mulai kesal. Mood makan menurun drastis, ia berdiri. Dan, barulah Safia sadar, menatapnya dalam. "Kalau kamu memang merasa nggak mau kencan hari ini, harusnya bilang dari tadi!"
Kedua bola mata Safia membulat sempurna. "Sayang, maksud kamu apa?" Menarik lengan kiri Faiz agar turun. Akan tetapi, lelaki itu masih bertahan di tempatnya. "Maaf, tadi aku lagi merhatiin kedua perempuan berhijab itu, manis sekali."
Faiz terlanjur marah. "Sebaiknya kita pulang saja!" Lelaki itu menghempaskan tangan Safia, berjalan ke arah depan meninggalkan makanan yang sudah dipesan.
Safia kaget, ikut menyusul Faiz tanpa mempedulikan apa pun. Tidak memikirkan bahwa makanan yang sudah mereka pesan itu mubazir. "Sayang!" Safia terus mengejar, padahal banyak pelanggan yang memperhatikan mereka. Akhirnya perempuan itu berhasil mengambil tangan kanan Faiz. "Sayang, kamu jangan marah. Aku minta maaf."
Faiz berhenti di dekat eskalator.
"Aku bukan bermaksud nggak mendengarkanmu, tapi aku tadi cuma kagum," lanjut Safia.
Usia mereka memang hanya terpaut satu tahun, lebih tua Faiz. Namun, justru Faiz yang lebih terlihat kekanak-kanakan. "Mood makanku turun, kita pulang saja!" Masih dalam mode kesal.
Safia berusaha mengimbangi. Rasa cintanya pada Faiz sangat tinggi. "Ya, sudah. Kita pulang aja." Safia tersenyum manis, bertingkah manja layaknya pada kekasih.
Faiz dan Safia turun dari lantai empat menuju parkiran. Setiap hari keduanya memang berangkat bersama karena Faiz selalu menjemput. Otomatis, sekarang pun mereka satu mobil. Sesampainya di dalam mobil, Safia langsung memakai sabuk pengaman. Namun, tidak dengan Faiz.
"Sayang, aku besok sepertinya berangkat pagi-pagi banget karena ada manajer baru. Kamu nggak perlu jemput, takut kamu kepagian banget." Safia membereskan rambut yang berantakan.
Hening, Faiz seolah tenggelam bersama kesepian area parkir. Arloji di tangan kanan Safia baru saja menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Tentunya area parkir sepi karena penghuni pusat perbelanjaan belum keluar, masih ingin bermain-main di sana.
Safia penasaran, menoleh ke samping kanan dan menatap Faiz. "Sayang, kamu kenapa?" Keningnya berkerut.
Faiz terdiam. Perlahan, tetapi pasti wajah lelaki itu mendekat bersamaan dengan kedua tangannya merangkul pinggang Safia. "Kita ini sudah sama-sama dewasa, kan? Harusnya kamu paham."
Dua pupil mata Safia membesar, dadanya berdegup. Tubuh Faiz semakin mendekat, bahkan kini tidak berjarak.
"Jangan bergerak, Sayang. Kita harus sepakat kalau ini atas dasar cinta," pinta Faiz dengan suara pelan. Membujuk Safia dengan rayuan maut agar wanita itu bisa memahami.
Safia menelan ludah. Keadaan ini tidak pernah dibayangkannya. Apalagi harus terjadi. Mulut Safia ingin berteriak, tetapi suara itu sulit keluar. Ini salah! Jelas sangat salah. Maka dari itu, ia harus bertindak cepat. Hanya saja kenyataan di lapangan justru berbeda, Safia belum bisa melakukan apa pun.
"Kamu sayang aku, kan?" Faiz bertanya lagi. Kali ini tangan kirinya hendak meraih pipi kiri Safia. Tertahan karena melihat kegugupan perempuan itu. "Seperti yang aku bilang kalau kita sudah sama-sama dewasa, tau konsekuensi. Jangan takut, Sayang."
Kedua tangan Safia bergerak mendorong tubuh Faiz sambil berkata, "Sayang, ini nggak baik!" Keberanian perempuan itu keluar ketika kehormatannya terancam. "Kamu harus sadar!" Safia hendak kabur, membuka sabuk pengaman.
Faiz kesal, emosinya meningkat tajam. Langsung meraih kembali tubuh Safia sampai perempuan itu meringis kesakitan dengan berteriak kecil. Kini tangan kiri Faiz pun membungkam mulut perempuan tersebut. "Kamu mau menolakku?" Suara Faiz naik satu oktaf ketika penolakan itu diterimanya. "Seharusnya kamu sudah paham kalau wanita dan pria dewasa berpacaran itu tentunya ada tujuan tersendiri, bukan sekadar cinta-cintaan semata!"
Safia memberontak, berusaha sebisa mungkin. "Em." Mencoba berteriak sebisanya agar segera lepas dari lelaki ini.
"Diam dan jangan bergerak!" Faiz murka. Tangan kanannya meraih sapu tangan di dekat kaca, hendak mengikat kedua tangan pacarnya tersebut. Namun, aksinya ini tak berbuah manis. Safia lebih gesit daripada yang dipikirkan, perempuan itu menggunakan kedua kakinya yang terangkat ke atas untuk mendorong tubuh Faiz. "Jangan!" teriaknya begitu kencang. Faiz tersungkur ke jok samping.
Melihat itu, Safia langsung membuka sabuk pengaman. Meraih tas dan keluar mobil. Berlarian secepat mungkin, meminta pertolongan. Hal yang tak pernah terpikirkan pun terjadi, Faiz berubah seperti singa buas saat kesempatan itu datang.
Safia keluar parkiran, menghampiri pos penjagaan kendaraan dan menemukan dua petugas di sana. Mereka kaget, terlebih melihat kondisi Safia dengan rambut yang berantakan karena terus memberontak.
"Mbak, ada apa?" Salah satu penjaga bertanya.
Safia berdiri di depan pos penjagaan. Pandangan matanya memudar, kemudian tubuh perempuan itu merosot ke bawah. Pingsan. Sontak saja kedua penjaga lelaki itu kaget dan langsung menghampiri Safia.
Melihat kondisi Safia yang pingsan, kedua pegawai itu pun berinisiatif membawa perempuan itu ke rumah sakit terdekat. Mengabarkan pada teman lainnya supaya bisa bergantian shift berjaga.
Safia tak sadarkan diri sampai ke rumah sakit. Perempuan itu diberikan penangan pertama agar segera sadar dan bisa diberikan pertanyaan. Kedua penjaga yang mengantarkannya pun tidak bisa pulang sebelum perempuan itu sadar diri.
Sekitar satu jam di rumah sakit, Safia baru sadar. Kedua mata perempuan itu mengamati sekitar yang cukup berisik, melihat langit-langit berwarna putih dan menoleh ke samping. "Saya di mana?" tanyanya pada suster perempuan.
Suster itu tersenyum kecil. "Mbak, ada di rumah sakit sekarang. Dua orang petugas mall membawa Mbak dalam keadaan pingsan. Apa Mbak sudah merasa baik-baik saja? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Layaknya seorang anak kecil yang sedang terluka dan ditanya kenapa, Safia menangis.
Suster itu panik, ia meraih tangan kanan Safia dan berkata, "Tidak pa-pa. Mbak, mungkin sudah melewati hari yang buruk. Silakan menangis."
Tangis Safia beranak sungai, rasanya menyesakkan mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari seorang lelaki yang dicintainya. Tentu saja dipercayai juga. Padahal jelas-jelas Safia sangat menggantungkan harapan pada sosok Faiz yang satu tahun lebih tua darinya untuk menjaga dirinya dari segala kejahatan. Justru Faiz yang menjadi orang kejam dalam melakukan itu.
"Maaf, Mbak." Safia tak tahu harus berkata apa. Ingin bercerita banyak pun, tidak mungkin. Tak ada keluarga di sini, seorang diri merantau ke kota besar dengan harapan bisa meraih jenjang karir yang lebih baik di sini. "Saya menangis."
Suster itu cukup tersenyum simpul. Tak ada pertanyaan lagi ataupun perkataan yang keluar dari mulutnya. Mereka sama-sama wanita, merasakan posisi.
***
Di rumah berlantai dua dengan kamar empat dan dua kamar mandi serta ruangan keluarga juga ruangan tamu dan beberapa fasilitas lainnya, seorang lelaki muda sedang mempersiapkan diri di kamar utama. Ia memperhatikan penampilannya di depan cermin, sudah baik. "Aku rasa ini jauh lebih baik daripada setelan jas yang warna abu-abu tadi." Sudah empat kali lelaki itu mengganti pakaiannya, tetap saja pilihan lelaki itu jatuh pada setelan jas hitam dengan kemeja putih. Memang cocok di badan. "Aku harus turun dan pamit pada Ibu. Ini hari pertama kerjaku di kota besar ini."
Akhmar, namanya. Lelaki berusia dua puluh sembilan tahun ini baru saja ditarik dari kantor cabang di kota sebelah untuk ditempatkan di kantor pusat sebagai manajer baru. Jelas Akhmar sangat gugup dan lumayan cemas. Sebab, akan bertemu dengan orang-orang baru yang akan menjadi bawahannya juga.
Akhmar sendiri sebelumnya adalah manajer di kantor cabang, sudah menjabat sekitar dua tahun dan pengalamannya jelas sangat banyak dan beragam. Ia menempuh karir dengan penuh perjuangan sampai berada di titik seperti ini, tentu itu berkat doa dan dukungan ibunya yang tiada henti. Akhmar cukup beruntung perihal itu.
Akhmar keluar kamar, menuruni anak tangga dan mendapat ibunya yang sedang memasak di dapur. Pria itu langsung menghampiri dan berkata, "Kenapa Ibu memasak? Bukannya ada Bi Inah?" Ekor matanya mengamati sekitar, mencari sosok wanita yang setengah paruh baya yang biasanya ada di sekitar dapur sepagi ini. "Bi Inah ke mana memang, Bu?"
Bu Kartini, perempuan berusia empat puluh delapan tahun ini adalah seorang Ibu dari lelaki muda itu. Ia sedang memasak nasi goreng. "Bibi lagi ke minimarket sebentar. Tadi Ibu suruh beli keperluan yang kurang, Nak." Tanpa ingin menoleh ke belakang karena sedang tak mungkin, Bu Kartini menjawab pertanyaan anaknya.
Akhmar paham. Mereka memang sudah pindah satu minggu sebelum Akhmar bekerja di kantor baru. Hal ini dilakukan agar keluarganya bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Mengingat ada tiga orang yang dibawa Akhmar, termasuk satpam dan pembantu rumah tangga yang sudah seperti ibu kandung juga. "Seperti itu." Lelaki itu berdiri di samping sang Ibu. "Biarkan Akhmar saja yang masak. Ibu, duduk saja di kursi." Hendak mengambil alih cutik di tangan sang Ibu.
"Nggak apa-apa, Nak. Ibu lebih suka kamu sarapan dengan masakan Ibu sendiri. Pasti semangatmu juga bertambah."
"Tapi, Ibu nggak boleh kecapean." Akhmar tak ingin sampai terjadi sesuatu pada ibunya. "Ibu harus banyak beristirahat."
Bu Kartini mematikan kompor. Nasi goreng siap, barulah ia menoleh ke samping kanan. Menatap anaknya yang sudah tumbuh dewasa. "Bagi seorang Ibu, rasa capek itu sudah biasa. Kami lebih senang kalau anaknya bisa menikmati masakan buatan kami dengan lahap di pagi hari. Jadi, secape apa pun, Ibu ingin kamu sarapan buatan Ibu."
Akhmar terharu. Mendekap tubuh ibunya dan berkata, "Akhmar mungkin belum bisa memberikan kebahagiaan untuk Ibu. Semoga suatu saat Akhmar bisa."
Bu Kartini menyambut pelukan hangat itu. Tak ada anggota keluarga lain di sini karena sang suami sudah pergi menghadap Yang Maha Kuasa dua tahun lalu, sedangkan dirinya hanya memiliki anak satu saja. "Kebahagiaan Ibu itu cuma kamu. Melihatmu bahagia saja, Ibu sudah sangat bersyukur. Apalagi bisa diberi kesempatan untuk melihatmu menikah. Semoga saja masih ada umur Ibu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!