Di sudut kota, suasana di jalanan bak dibanjiri oleh manusia. Pukul tujuh pagi para penduduk sudah ramai menuju tempat beraktivitasnya. Ada yang bekerja, ada yang berdagang dan ada juga yang sekolah. Mereka sibuk dengan tugas hariannya. Menuju tempat beraktivitasnya masing-masing.
Di sebuah rumah kecil yang ada di pinggir kota, tampak seorang gadis masih tertidur pulas di bawah selimutnya. Sampai-sampai sang sepupunya membangunkan secara paksa.
Brushhh!
Ia menyiram air ke seorang gadis yang masih terlelap dalam tidur. Sontak sang gadis pun bangun dengan raut wajah terkejut.
"Banjir! Banjirr!" Ia berteriak kencang dengan posisi belum sadar sempurna. Sang sepupu pun menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Astaga ...." Sepupu gadis itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Karen?" Sang gadis pun melihat siapa gerangan yang berdiri di hadapannya.
Ialah Karen, sepupu dari Naura. Mereka tinggal bersama di sebuah rumah kecil yang ada di pinggir kota. Rumah sepetak yang lebih mirip seperti kos-kosan atau bedengan. Namun, rumah kecil itu cukup untuk mereka tinggal. Ya, walaupun luas kamarnya kurang memadai. Tapi mereka bersyukur karena bisa mendapatkan tempat tinggal secara gratis.
"Kau ini. Lihat! Sudah jam tujuh lewat! Aku mau berangkat kuliah sekarang. Takut telat!" Karen menunjukkan jam di dinding lalu pergi meninggalkan Naura.
Astaga! Aku telat lagi?!
Naura pun segera tersadar. Ia lekas bergegas. Ia harus pergi ke kantor hari ini. Dengan cepat ia melepas selimut lalu pergi ke kamar mandi. Menggosok gigi lalu mandi. Ia pun lekas-lekas mengenakan pakaian kerjanya.
Aku harus cepat!
Dan hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja ia sudah siap untuk berangkat bekerja. Ia keluar rumah, mengunci pintu lalu berlari cepat ke halte bis. Naura akan menaiki bis menuju kantornya.
Naura adalah sosok gadis cantik dan imut. Namun, ia selalu saja bangun kesiangan di setiap harinya. Pekerjaannya adalah seorang penulis di majalah kota. Dan karena hal itulah membuatnya seringkali lembur di rumah. Namun, Naura seorang pekerja keras. Ia tidak pernah putus asa dari segala macam masalah yang menimpa. Termasuk dimarahi oleh bosnya.
Sesampainya di kantor redaksi...
Naura segera masuk ke ruangan rapat. "Maaf, Pak. Saya telat," ucapnya seraya terengah-engah.
Pagi ini Naura mempunyai jadwal rapat bersama karyawan dan bos redaksinya. Tapi ternyata gadis itu datang terlambat sehingga membuat sang bos tidak menghiraukannya. Naura pun mencoba mengatur ulang napasnya. Ia berusaha bersikap netral. Lambat laun sang bos pun melihat ke arahnya. Bos dari Naura itu mengibaskan tangannya, memberi kode kepada Naura agar segera keluar dari ruangan rapat.
Aduuh ... bos marah lagi. Aku juga sudah lima kali telat dalam satu bulan ini. Bisa-bisa aku dipecatnya.
Naura menyadari kesalahannya. Ia pun berjalan lemas menuju ruangan sehabis diusir oleh bosnya dari ruangan rapat. Ia segera menyiapkan bahan untuk pekerjaannya. Mencoba menerima konsekuensi yang akan ia dapatkan nanti.
Dua jam kemudian...
"Naura, kau dipanggil pimpinan ke ruangannya."
Teman satu ruangan Naura memberi tahu. Ia adalah Ina, sesama penulis yang bekerja di kantor redaksi. Namun, Ina adalah seorang penulis artikel pecinta alam. Berbeda dengan Naura yang menulis tentang roman percintaan. Tapi walaupun begitu keduanya berteman dekat. Sudah setahun lebih mereka bersahabat.
"Em, baik."
Tanpa perlawanan Naura pun segera beranjak meninggalkan ruangannya. Ia melangkahkan kaki menuju ruangan bos yang ada di sana. Dengan hati cemas, dengan lutut yang bergetar. Naura berjalan menuju ruang bosnya.
...Naura...
.........
Sesampainya di ruangan Pak Bos...
Ruangan 4x4 itu menjadi saksi akan kedatangan Naura yang menghadap bosnya pagi ini. Naura pun menyapa sang bos dengan hati-hati. Maklum Hari Senin, hari yang katanya tidak disukai karena harus beraktivitas lagi.
"Permisi, Pak." Naura pun masuk ke dalam ruangan bosnya.
Bosnya melirik ke arah Naura yang datang. "Duduk!" katanya meminta Naura duduk.
Naura pun berjalan menuju kursi yang ada di hadapan bosnya. Seorang bos yang belum pantas untuk dipanggil dengan sebutan Pak. Maklum, bos Naura ini masih sangat muda. Sorang pria yang baru saja berusia tiga puluh tiga tahun bulan ini. Ialah Hata, penerus pimpinan dari kantor redaksi ini.
"Naura, bulan ini kau sudah telat sebanyak lima kali. Katakan apa yang kau mau? Mau kuberi sangsi atau dispensasi?" tanya Hata ke Naura.
Tentu saja Naura merasa malu akan sikapnya. "Maaf, Pak. Jika Bapak tidak keberatan, aku ingin dispensasi, Pak," jawab Naura dengan suara yang pelan.
Hata menghela napasnya. Dahinya berkerut, pertanda kesal terhadap karyawannya yang satu ini. Tapi, ini adalah bulan lahirnya. Ia tidak ingin marah-marah. Ia ingin bersuka cita di bulan ini. Sebagaimana suka cita kedua orang tuanya saat menyambut kelahirannya.
"Baiklah, aku akan memberikanmu dispensasi. Tapi dengan syarat!" Sang bos memberikan syarat kepada Naura. Naura pun menunggunya. "Kau harus mencari berita di luar sana dan menuliskan kejadian nyata. Selama itu juga harus tetap mengisi absen tanpa terlambat. Jika terlambat lagi, kau harus menandatangani surat pengunduran diri."
Begitulah yang diucapkan Hata kepada Naura. Sontak Naura pun menelan ludahnya. Ia tak menyangka jika sang bos akan mewujudkan pikirannya. Memecatnya jika sampai telat datang lagi.
"Ba-baik, Pak. Terima kasih."
Pada akhirnya Naura pun menerima peringatan yang diberikan bosnya itu. Ia tidak mempunyai alasan untuk menolaknya. Mau tak mau ia pun harus bekerja di luar selama beberapa hari ini. Sedang musim panas telah datang, yang pastinya akan membuat kulitnya terbakar. Naura pun menerima konsekuensi atas keterlambatannya itu.
Setengah jam kemudian...
Naura berjalan-jalan keluar kantor dengan membawa tas berisi laptop dan alat kosmetiknya. Ia menyusuri jalanan ruko lalu beristirahat di bangku taman yang tak jauh dari kantornya. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan yang keras. Naura pun segera bergegas menuju asal suara.
Suara siapa itu?!
Naura berlari. Ia ingin tahu apa yang terjadi. Tak lagi pedulikan rok setinggi lutut yang ia pakai. Sepatu pantofel hitam pun tampak menemani langkah kakinya yang tergesa-gesa. Hingga akhirnya...
"Astaga!"
Ia melihat kecelakaan yang terjadi di depan matanya. Seorang nenek harus menerima luka-luka akibat ditabrak lari oleh seorang pengendara motor. Naura pun lekas-lekas mendekati tempat kejadian perkara. Namun, tiba-tiba saja pandangan matanya tertuju kepada sosok pria yang membantu nenek itu masuk ke dalam mobil ambulance. Seorang pria yang menarik perhatiannya.
Tampannya...
Di tengah keadaan itu ia masih sempat-sempatnya berbisik di dalam hati walau keadaan tengah ricuh akibat insiden tabrak lari. Usai sang nenek dibawa ke dalam mobil ambulance, sosok pria yang menolong nenek itu pun berdiri di sampingnya. Saat itu juga hatinya berdebar, seolah ingin menyapa sang pria. Tapi sayang, pria itu terburu pergi dari sisinya.
"Bodohnya kau, Naura! Saat seperti ini masih sempat-sempatnya memikirkan seorang pria. Dasar gatel!" Ia berbicara pada dirinya sendiri.
Naura baru saja beranjak dua puluh dua tahun bulan kemarin. Dan ya, ia sudah cukup dewasa untuk jatuh cinta. Tapi kehausan di hatinya tidak bisa ditutupi kala melihat seorang pria mendekati kriteria. Naura merasa deg-degan yang entah mengapa. Padahal pria yang berada di dekatnya tidak berbuat apa-apa. Apakah ini reaksi biologis dari dalam tubuhnya?
Malam harinya...
Naura baru saja pulang kuliah. Ia mengambil ekstensi untuk mendapat gelar sarjana. Dan ya, sepupunya itu tampak sudah menunggunya. Tetapi bukan Karen, melainkan Nara. Nara pun berteriak dari kejauhan. Ia memanggil Naura.
"Naura, aku di sini!"
Nara adalah seorang pria yang selama ini dekat dengan Naura. Mereka masih satu garis keturunan dari jalur ayah. Sedangkan Karen dari jalur ibu Naura. Rumah yang ditempati Naura pun adalah rumah ayah Nara yang dititipkan ke Naura. Sehingga karena hal itulah Naura banyak berutang budi kepada keluarga Nara.
Tapi walaupun begitu, Nara tidak pernah mengungkit pemberian ayahnya. Ia menyayangi Naura bak saudara kandungnya. Sedang Naura kadang keenakan sendiri. Ia seringkali meminta bantuan Nara. Termasuk menjemputnya kuliah.
Naura menghampiri Nara. "Kau sudah lama ya menungguku?" tanya Naura yang sudah sampai di depan Nara. Gadis berblus pink itu terlihat lelah.
"Tentu saja sudah lama. Cepat masuk! Aku punya kerjaan malam ini."
Nara pun meminta Naura masuk ke dalam mobilnya. Naura juga memenuhinya. Nara kemudian segera melajukan mobilnya.
"Nara, aku ingin minta tolong padamu," ucap Naura saat keluar dari parkiran universitasnya.
Nara hanya tersenyum kecil. Di dalam hatinya ia berkata, pasti dia baik padaku karena ada maunya. Atau kalau tidak, minta aku temaninya mencari ilham. Atau kalau tidak lagi pasti mau pinjam uang.
Naura menepuk bahu Nara. "Hei, aku sedang bicara padamu." Naura mengingatkan.
"Eh, iya. Kau mau minta tolong apa?" Nara bertanya dengan raut wajah pura-pura terkejut.
Naura tersenyum dengan mata yang berbinar. "Besok temani aku ke taman ya. Aku ada tugas," rayu Naura.
Nara menghela napasnya. "Hhh ... besok aku kerja, Naura. Kau kan tau sendiri aku pulangnya pukul enam sore." Nara menolak halus ajakan Naura.
"Bukan sore, Nara, tapi malamnya. Besok aku tidak ada mata kuliah. Jadi mau ya temani aku mencari ilham untuk tulisanku," pinta Naura dengan mata memelas.
Saat melihatnya, saat itu juga Nara seperti tidak dapat menolak ajakan Naura. Pada akhirnya ia hanya bisa mengiyakan saja.
Wanita memang merepotkan!
Tapi walaupun begitu, Nara tetap menyayangi Naura. Karena bagaimanapun mereka memiliki ikatan darah yang kuat. Walau hanya sebatas sepupu, Nara dan Naura bak saudara kandung yang dilahirkan dari rahim yang sama.
Esok harinya..
Hari ini Naura kembali menjalani aktivitasnya sebagai seorang penulis artikel majalah ibu kota. Setelah absen di kantor, ia pun merapikan pekerjaan hariannya. Dan pada saat pukul sepuluh pagi, Naura keluar dari kantornya. Menjalankan tugas sebagai bentuk hukuman untuk yang sering datang telat ke kantor. Dan ya, Naura pun berjalan menuju taman yang kemarin. Ia melepas blazer dan menenteng tasnya lalu duduk di kursi taman.
"Panasnya hari ini." Naura mengelap keringatnya sendiri.
Tanpa Naura sadari di ujung kursi yang sama terdapat seorang pemuda tengah membaca surat kabar. Pemuda itu kemudian melihat ke arah Naura dari lembaran surat kabarnya. Pemuda berkaus putih dengan setelan gaya yang kasual. Ia pun seperti mengingat Naura.
Wanita itu ...?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!