NovelToon NovelToon

Naksir Berat Bos Ganteng, Yang Sakit Asma

Bab 1 Tidak Sengaja Bertemu Bos

Pagi itu, jalanan masih lengang saat aku pergi ke tempat kerja. Lalu lalang masih sepi. Aku Sensi Vera (24 tahun) bekerja di salah satu perusahaan percetakan kertas ternama di kotaku.

PT. Kertassindo Gemilang, merupakan perusahaan tempat aku bekerja empat tahun yang lalu sampai sekarang, sebagai staff administrasi.

Hari ini Leader timku, Kak Tari, menyuruhku datang lebih awal. Entah apa alasannya aku tidak mengerti. Daripada dia ngomel, alangkah baiknya aku turuti perintah Leaderku yang agak bawel itu.

Karena keadaan masih lengang, aku menjalankan motor maticku dengan kecepatan diatas rata-rata. Kendaraan lalu lalang masih jarang. Tidak ada hambatan yang berarti. Namun secara tiba-tiba kejadian mengejutkan membuyarkan fokusku.

"Cekittttt!"

Bunyi ban motor maticku bergesekan dengan aspal membuat telinga seakan pekak saat aku menghentikan secara mendadak laju motorku.

"Hah ... hah .... " Aku mengatur nafas yang tersengal, berlomba-lomba dengan decitan rem dadakanku.

Aku panik dan merasa dihentikan mendadak. Rupanya di depan, kurang lebih tiga meter dari jarak aku menghentikan motor, ada seseorang yang sengaja melambai-lambai tangan menghentikanku.

Heran dan sedikit kaget, aku turun dari motor dan menghampiri orang itu. "*Siapa ya? Kenapa* *menghentikanku, jahat nggak sih orangnya? Ihhhh* *serem*!" Hatiku bertanya-tanya penuh rasa penasaran dan takut. Ketika jarakku kurang lebih satu meter, aku terperanjat dibuatnya. "Pak Rangka!" pekikku tidak menyangka. Rupanya orang yang menghentikanku adalah Pak Rangka Bos di tempat aku bekerja.

"Pak Rangka, Bapak kenapa?" tanyaku pada lelaki berumur 35 tahun itu sambil meneliti keadaan yang sebenarnya. Lelaki dewasa yang tampan dan wangi itu seperti orang kepayahan. Wangi parfum dan wajah tampan mirip Lee Min Jo itu seketika mampu menghipnotisku. Aku menyesap wanginya sampai menyuruk lubang hidungku.

"Hac hemmmm." Tiba-tiba aku bersin saking asik menghirup wangi parfum milik pria tampan di hadapanku itu.

"Ka-kamu, to-tolong saya, hah, hah, belikan ini ke apotek terdekat, hah, hah, cepat!" ucapnya terbata dan tersengal, suaranya lemah dan nafasnya pendek cepat, memberikan sebuah cangkang sepertinya cangkang obat inhaler.

Aku yang masih belum fokus spontan meraih cangkang obat bersama tangannya Pak Rangka yang secara tidak sadar ikut tertarik.

"Ehhh, waduh ... maaf Pak!" ucapku tersadar sembari melepas jemari Pak Rangka yang halus itu kembali ke pemiliknya. Sesaat aku terpana dengan sentuhan halus di telapak tangannya, yang jika dibandingkan denganku jauh beda.

Aku diam sejenak, panik dan bingung. Sebetulnya aku ingin membawanya ke RS atau klinik terdekat supaya sakitnya Pak Rangka bisa ditangani.

"Sa-saya minta tolong, belikan inhaler itu ke apotek terdekat. Cepattt, saya tidak kuat!" ulangnya lemah dengan nafas yang sesak dan tersengal.

"Ba-baik Pak, akan saya laksanakan. Bapak tunggu, ya, bapak tahan sakitnya, saya akan mencari inhaler yang bapak maksud," sahutku setuju dengan keadaan yang tidak kalah panik.

Dengan tergesa aku menghampiri motorku dan menyalakannya. Motor pun melaju menyusuri jalanan yang masih lengang, dengan kecepatan di atas rata-rata. Rasa khawatir begitu besar dalam dada, Pak Rangka yang merupakan pemilik PT. Kertassindo Gemilang itu memang santer diberitakan memiliki penyakit. Dan aku baru yakin, hari ini menyaksikan Pak Rangka sedang kesakitan.

"Duhh, bagaimana ini? Semoga Pak Rangka kuat dan di depan sana ada apotek 24 jam yang buka," harapku. Setelah 15 menit menyusuri jalanan, akhirnya aku menemukan apotek yang sudah buka. Kebetulan letak apotek itu bersebelahan dengan klinik. Segera aku menghampiri apotek itu dan langsung menunjukkan kemasan inhaler yang diberikan Pak Rangka tadi.

"Permisi, Bu, saya cari ini," tunjukku pada botol yang kubawa.

"Ohhh, sebentar ya," sahutnya sembari beranjak. Tidak lama Ibu tadi menghampiriku, menunjukkan inhaler yang sama dengan kemasan yang aku berikan tadi.

"Maaf, ini inhaler yang sama seperti yang saya bawa, kan, Bu?" tanyaku penasaran.

"Iya betul, Mbak, ini kemasan baru," jelasnya.

"Ohhh, begitu ya, Bu? Minta air mineralnya juga satu, ya, Bu!" pintaku.

"Baik, tunggu sebentar, ya!" jawab Ibu Apoteker itu ramah.

Tidak lama dari itu, Ibu tadi menghampiri dan memberikan satu botol air mineral. "Berapa?"

"Sembilan belas ribu," sahutnya. Aku segera memberikan uang hijau satu lembar tanpa menunggu kembalian.

"Kembaliannya, Mbak!"

"Tidak usah, Bu, terimakasih," ucapku dan beranjak menghampiri motor yang segera aku nyalakan.

Motor menyusuri jalanan tadi, menuju Pak Rangka berada. Aku berharap Pak Rangka bisa bertahan sampai obat ini bisa diminumnya. Dengan kecepatan yang tinggi aku jalankan motorku. Cukup lima menit akhirnya aku sampai di tempat Pak Rangka menunggu.

Aku segera memarkirkan motorku di tepi jalan, lalu turun dan tergesa menghampiri Pak Rangka yang kini tengah berada dalam mobil dengan kaki menjuntai ke bawah. Posisinya sungguh memprihatinkan, Pak Rangka memegangi dadanya dengan nafas yang sulit diatur.

"Ini Pak, ini inhalernya," sodorku gugup ke tangan Pak Rangka. Pak Rangka meraih inhaler yang tadi telah aku buka segelnya dengan tangan bergetar. Melihat hal itu aku berinisiatif membantu memegangi inhaler yang sudah dipegang Pak Rangka.

Pak Rangka menerima bantuanku dengan pasrah. Saat ini jarak aku dengan Pak Rangka begitu dekat, sehingga wangi parfum itu langsung menyuruk lubang hidungku.

"Srot, srot." Bunyi inhaler disemprotkan ke dalam mulut Pak Rangka. Rupanya ini jenis inhaler semprot, bukan isap.

Dengan keadaan kami yang sedekat ini, jantungku sungguh tidak bisa diajak kompromi, dia malah berdetak sangat kencang. Otomatis suara detak jantungku terdengar oleh Pak Rangka. Duhhhh malunya. Belum lagi pemandangan yang tepat di depan mata, wajah Pak Rangka rupanya dari jarak dekat sungguh luar biasa tampannya tanpa cacat dan komedo atau pori-pori besar. Aku sungguh menikmati wajah tampan mulus yang tidak kalah dengan Le Min Jo artis Korea itu. Sehingga tanpa sadar aku memejamkan mata saking terpesona akan ketampanan wajah Pak Rangka.

"Kamu kenapa?"

Tiba-tiba suara ngebass ciri khas Pak Rangka terdengar begitu jelas dan tegas. Sepertinya Pak Rangka telah kembali pulih dari sakit sesak nafasnya tadi. Seketika aku kaget dan terperanjat saat Pak Rangka menyadarkan aku dari imajinasi liar akan keterpesonaanku atas ketampanan wajah Pak Rangka.

"Eh, oh ... i-ini Pak, saya sedang menikmati udara segar di pagi ini. Selain masih segar, rupanya sangat mempesona alamnya. Karena masih pagi dan belum banyak pencemarannya," jawabku asal dan gugup.

Bersamaan dengan itu Pak Rangka mencoba memindai tubuhku dari atas ke bawah, seakan mencoba mengingat-ingat sesuatu yang ada dalam diriku.

"Apakah kamu kerja di PT. Kertassindo Gemilang?" Pak Rangka tiba-tiba bertanya dengan raut wajah kaget.

"I-iya, Pak!" jawabku pendek juga terbata.

"Nama kamu siapa?" tanyanya lagi dengan nada yang tegas, tidak seperti tadi sebelum menyemprotkan inhaler.

Tokoh-tokoh:

Rangka Baja (35)\= Pemilik Perusahaan Kertassindo Gemilang

Sensi Vera (24) \= Gadis cantik, muda, baperan, jomblo, dan sedikit kocak.

Cakar Besi (34) \= Asisten si jomblo akut

Koral (28) \= Sekretaris Pak Rangka

Catly Baja \= Gadis kecil anak Pak Rangka

Bab 2 Nama yang Unik

"Nama kamu siapa?" ulangnya lagi seraya menatapku dari atas sampai bawah seakan meneliti. Aku menjadi gugup saat Pak Rangka menatapku dari atas ke bawah.

"Memangnya ada yang salah, ya?" tanyaku dalam hati insecure.

"Kenapa bengong, saya dari tadi bertanya, nama kamu siapa? Apakah kamu tidak punya nama?" gertaknya lagi menyadarkan lamunanku.

"Eh, i-iya, Pak, nama saya Sensi Vera. Saya biasa dipanggil Sensi," jawabku sedikit terbata diawal sebab merasa terkejut. Seketika Pak Rangka malah tertawa setelah mendengar aku menyebutkan nama.

"Sensi Vera? Bukan janda bolong?" Pak Rangka balik bertanya disertai tawa kecil yang sedikit bikin aku menjadi geli.

"Bukan, Pak, saya belum bolong?" jawabku spontan dengan wajah datar. Seketika Pak Rangka tertawa terbahak-bahak, kali ini dia begitu happy seakan sedang melihat tontonan doger monyet.

"Hahahahah, kamu ini sangat lucu dan membuat saya terpingkal-pingkal. Kamu cantik tapi kocak, hahahaha," ceplosnya sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa. Ucapan Pak Rangka barusan sontak membuat aku berubah jadi merasa malu sekaligus tersanjung, dipuji cantik sama pria tampan dan wangi, siapa yang tidak senang. Spontan aku mesem-mesem bahagia.

"Kamu tidak sedang kesambet, kan?" tanyanya menyadarkan aku yang tersanjung.

"Tidak, Pak!" sahutku cepat, sambil menunduk tersipu malu.

"Sudahlah, perihal nama kamu yang unik jangan dibahas lagi, sekarang saya ingin bertanya di bagian mana kamu bekerja?"

"Bagian administrasi, Pak!" jawabku menatap balik Pak Rangka penuh pesona.

"Kenapa kamu menatap saya, kamu terpesona dengan ketampanan saya?" tanyanya percaya diri. Sontak aku menunduk karena merasa ketahuan menatap.

"Iya, Pak, ehh tidak, Pak, saya hanya memastikan kalau Bapak sudah baik-baik saja," alasanku membelot, malunya tidak ketulungan saat sadar sudah keceplosan lagi.

Pak Rangka mesem, sepertinya dia percaya diri dengan apa yang aku katakan barusan. Aku jadi benar-benar malu setengah mati.

"Baiklah kalau begitu, Pak. Saya permisi duluan, sebab Leader saya memerintahkan saya untuk datang lebih awal, ini hampir mau jam tujuh, saya takut telat," kataku segera beranjak, sebab jam di tangan sudah menunjukkan pukul 6.45 menit, sedangkan Kak Tari menyuruhku datang jam 6.30, kalau aku telat alamat aku dimarahi Kak Tari yang bawel itu.

"Tunggu dulu!" tahannya, seketika aku menoleh heran.

"Kamu bareng saya saja, temani saya sarapan dulu!" ujarnya seperti sebuah perintah. Aku tidak menjawab karena merasa bingung harus pilih yang mana, menolak atau menerima ajakannya. Kalau aku terima ajakannya maka jika dilihat sama orang kantor, niscaya akan jadi gosip besar dan heboh. Sebab Pak Rangka merupakan seorang duda tampan dan mapan beranak satu, yang ditinggal selingkuh oleh mantan istrinya.

Terus kalau aku ikut Pak Rangka, bagaimana dengan motorku, siapa yang akan membawanya? Bagai si malakama, pilih bapak mati ibu, pilih ibu malah mati bapak, dua-duanya membingungkan.

"Kenapa, kamu bingung?" tanyanya mengejutkan.

"Anu, Pak, kalau saya bareng sama Bapak, bagaimana dengan motor saya? Dan kalau saya naik mobil Bapak, terus yang nyetir siapa? Bapak kan tadi sakit?" sahutku khawatir.

"Saya sudah baik-baik saja. Dengan minum obat tadi, sesak nafas saya langsung sembuh," akunya terlihat lega. "Bagaimana, mau?"

"Tapi, kalau saya ikut Bapak saya tidak enak, Pak. Saya takut muncul gosip yang tidak-tidak tentang saya dan Bapak," ujarku menolak secara halus.

"Tidak usah takut, saya tidak masalah dengan gosip. Apabila ada yang bergosip, maka akan saya singkirkan," ucapnya dengan nada mengancam.

"Tapi, Pak, kalau saya naik mobil Bapak, saya takut telat, sebab Kak Tari bisa marah kalau saya telat," alasanku.

"Kamu ini, dari tadi tapi-tapi. Bos kamu ini saya bukan Tari, dia cuma Leader kamu, kan?" tanya Pak Rangka sedikit menyentak membuat aku menjadi takut. Akhirnya dengan perasaan yang bercabang aku ikut naik mobil Pak Rangka, urusan dimarah Kak Tari itu belakangan, toh telat tidak telat Kak Tari tetap marah juga.

"Tapi, motor saya bagaimana, Pak?" tanyaku khawatir pada motor cantik kesayanganku satu-satunya.

"Jangan khawatir, saya akan hubungi Asisten saya untuk membawanya ke kantor," jawab Pak Rangka cukup menenangkanku. "Ayo masuk, jangan planga plongo dan bingung begitu," selanya lagi. Akhirnya aku mengikuti kemauan Pak Rangka dan kami menaiki mobil Pajiranya yang nyaman dan wangi persis pemiliknya. Aku terkagum-kagum dibuatnya.

"Pakai sabuknya!" perintahnya sambil menatap ke arah sabuk. Duhh, tadinya aku pikir. Pak Rangka akan menatap ke arahku, tapi nyatanya malah sabuk yang jadi pusat perhatiannya. Cepat-cepat aku gunakan sabuk itu, akan tetapi susahnya minta ampun. Itu karena aku belum pernah naik mobil mewah milik siapapun. Malunya takut dikatain kuno atau primitif. Kan tahu sendiri peradaban jaman primitif tidak mengenal kendaraan, jadi wajar jaman itu tidak tidak ada mobil. Pikirku.

Saat susah payah memasang sabuk pengaman, Pak Rangka tiba-tiba nyosor menghampiriku. Wajahnya hampir menyentuh dadaku, seketika jantungku yang sejak tadi ku tahan untuk tidak berdetak kencang, kini detakannya malah sengaja ingin mempermalukanku, begitu kencang dan cepat. "Ya Robbi," gumanku dalam hati.

Pak Rangka mendongak lalu menatapku sejenak. "Sudah," ujarnya. Aku tersenyum dan kikuk dan salah tingkah.

"Terimakasih, Pak!" Pak Rangka tidak menjawab dia hanya tersenyum simpul seraya mulai menghidupkan mesin mobil, dan mobil pun bergerak meninggalkan tempat itu.

"Apakah setiap berdekatan dengan cowok, jantung kamu selalu deg-degan kencang seperti tadi?" Tiba-tiba Pak Rangka memulai obrolan, yang obrolannya itu malah mengungkit detakan jantungku saat membenarkan sabuk pengaman tadi. Aku seketika kikuk dan fiks aku salah tingkah.

"Ti-tidak, Pak. Itu hanya sama Bapak saja, uppsss .... " merasa keceplosan aku langsung menutup mulutku rapat. Pak Rangka menyadari kelakuanku dan dia tersenyum tipis terlihat dari sudut bibirnya yang sedikit terangkat.

Sampai di sini aku merasa sudah sangat gerah duduk berada di dalam mobil mewah milik Pak Rangka, bagaimana tidak? Sejak tadi tingkah konyolku selalu ketahuan Pak Rangka, tengsin sudah pasti. Sebab aku kelihatan banget mengagumi sosok tampan pemilik perusahaan Kertassindo Gemilang ini.

Aku mulai mengatur nafasku dalam-dalam, kemudian melepaskan semua hantaman sesak ini perlahan-lahan.

"Nama kamu tadi siapa?" tanyanya sambil menatapku sejenak dan kembali fokus ke kemudi. Sepertinya Pak Rangka lupa akan namaku tadi. Aku jadi ragu menyebutkan namaku kembali, merasa trauma apabila Pak Rangka mengatakan janda bolong lagi.

"Sensi Vera, Pak, umur 24 tahun," sahutku lengkap dengan usia.

"Nama kamu unik ya, mirip tumbuhan yang sedang naik daun itu dikalangan pecinta bunga," ujarnya sembari terus menyetir.

"I-iya, Pak. Tapi, nama saya diberikan oleh orang tua saya jauh hari sebelum tumbuhan itu naik daun, umur saya saja sudah 24 tahun." Aku memberi alasan.

"Bagus dan unik dan tidak banyak orang lain memakainya," ujarnya memberi penilaian. Aku diam dan tidak menimpali lagi sebab merasa sangat malu.

Bab 3 Sarapan Bersama

"Sensi, kamu tidak malu jalan dengan saya yang penyakitan?" tanyanya membuka obrolan yang bagiku sangat mengejutkan.

"Oh, eh, apa Pak, bagaimana, Pak?" tanyaku gelagapan minta diulang. Aku merasa tidak fokus sampai tidak mendengar jelas apa yang dikatakan Pak Rangka.

"Kamu itu rupanya tidak fokus dengan pertanyaan saya. Saya barusan bertanya apakah kamu tidak malu jalan dengan saya yang penyakitan ini?" ulang Pak Rangka memperjelas.

"Oh itu Pak, nggak kok Pak, saya tidak malu jalan sama Bapak, apalagi Bapak keren dan tampan seperti ini, wangi lagi, uppsss .... " Aku menutup mulut lagi yang kali ini benar-benar kurang ajar sebab sudah sangat keterlaluan keceplosannya. Pak Rangka seketika tersenyum penuh makna, mungkin menertawakan kebodohanku yang ceplas-ceplos.

"Kamu ini, apakah setiap bertemu lelaki seperti saya ini kamu akan kaku dan ceplas-ceplos seperti itu?"

"Eh, ti-tidak, Pak. Itu hanya pada Bapak saja. Ini pertama kali." Aduhhh kali ini aku nyeplos lagi dengan segala kejujuranku, malu aku benar-benar malu sama Pak Rangka, mulut ini harusnya tetap disumpal saja.

"Kenapa mulut kamu ditutup, bukankah itu gunanya untuk bicara?" Pak Rangka menatapku sembari tersenyum.

"Tidak Pak, tadi saya hanya akan bilang bahwa saya tidak malu jalan sama Bapak, apalagi Bapak ini atasan saya. Saya justru bukan malu karena jalan dengan Bapak yang penyakit--, eh yang sedang sakit. Tapi saya hanya panik saja," kelitku, hampir saja keceplosan lagi bilang bahwa Pak Rangka penyakitan.

"Kok panik, panik kenapa? Terus tadi kata-katanya kenapa tidak kamu lanjutkan saja toh saya memang penyakitan?" ujarnya membuat aku serasa masuk jurang, saat Pak Rangka membahas kata-kataku yang bilang penyakitan yang tidak dilanjutkan.

"Itu, Pak, saya panik, eu, eu, jika tiba-tiba sakit sesak nafas Bapak kambuh lagi," ujarku gelagapan.

"Kenapa harus panik? Tidak usah panik! Jika obat ini masih ada, Insya Allah sakit sesak nafas saya bisa segera diatasi," timpalnya membuatku sedikit lega karena gelagapan tadi.

"Kamu sudah sarapan?" tanya Pak Rangka mengalihkan kekagetanku.

"Belum sempat Pak, sebab tadi saya dari rumah pagi banget perginya, saya hanya bawa bekal dari rumah yang sudah disiapkan Ibu saya tadi," sahutku jujur.

"Oh ya, kamu selalu bawa bekal? Apakah nanti tidak dingin saat dimakan?" heran Pak Rangka.

"Oh tidak, Pak, saya sudah biasa makan yang dingin-dingin. Kata Ibu saya, makan nasi dingin justru akan kuat," jawabku seadanya.

"Benarkah?"

"Iya, Pak, setidaknya itu yang Ibu saya bilang ke saya," jawabku lagi yang sontak disenyumin Pak Rangka. Dikiranya lucu mungkin, padahal aku benar-benar mendapatkan info itu dari Ibu aku.

"Ya, sudah, kalau begitu kita sarapan dulu!" ajaknya dengan nada perintah.

"Tidak usah, Pak. Saya tidak akan sarapan!" ucapku langsung menolak.

"Ini perintah, kamu ikuti saja!" ucapnya tegas membuat aku sedikit ngeri. Akhirnya aku mengikuti apa kemauan Pak Rangka, padahal sebetulnya aku malu bukan tidak mau.

Mobil berhenti di pelataran parkir sebuah restoran mewah. Kami sama-sama turun dari mobil. Langkahku menjadi ragu untuk memasuki restoran mewah itu, mungkin karena tidak biasa. Tiba-tiba Pak Rangka meraih lenganku dan menuntunnya, menarik langkahku ke restoran mewah itu. Aku terkejut dibuatnya, tapi dalam hati merasa senang. Kami berjalan ke dalam restoran berdampingan layaknya seorang kekasih. Padahal itu kemauan aku.

Pak Rangka memilih tempat duduk di ujung dekat jendela. Suasana restoran nampak mewah dengan sentuhan romantis. Entah kebetulan atau bagaimana, Pak Rangka memilih tempat ini seolah ingin membangun keromantisan sepasang kekasih. Suasananya mendukung untuk sepasang kekasih padahal ini hanya sarapan pagi biasa, dan aku bukan kekasihnya.

"Kamu pernah ke tempat ini?" tanya Pak Rangka menyadarkan lamunanku.

"Eh, emm, belum pernah, Pak," jawabku jujur. Pak Rangka tidak merespon jawabanku, dia hanya tersenyum sekilas. Kemudian Pak Rangka melambaikan tangannya ke arah Pelayan restoran. Pelayan restoran yang kebetulan laki-laki itu dengan segera menghampiri dan memberikan sebuah buku menu.

"Nasi goreng spesial jangan lupa kasih sayuran dan teh hangat pahit." Pak Rangka segera memesan pesanannya. "Kamu pesan apa, Sen?" tanyanya padaku. Aku malah bingung mau pesan apa ditanya sama Pak Rangka dengan wajah menatap lurus ke wajahku.

"Sama saja, Pak. Teh hangat pahitnya juga sama."

"Kok, sama? Apa kamu tidak mau mencoba sensasi yang lain gitu, misalnya nasi goreng spesial pete?" Ditanya seperti itu aku jadi tersipu malu. Pak Rangka seperti tahu saja kalau aku suka nasi goreng campur pete.

"Tidak, Pak, kali ini tidak pakai pete. Saya takut bau karena lagi bekerja," jawabku memberi alasan.

"Ohhh, berarti kalau tidak bekerja kamu suka makan pete, ya?" tanyanya sulit dibantah.

"I-iya sih,Pak, kalau kebetulan ada petenya. Kalau tidak saya tidak makan," jawabku membuat Pak Rangka terkekeh.

"Kamu benar-benar unik ya, saya suka," ujarnya membuat hatiku berbunga saat Pak Rangka mengatakan 'suka'. Aku senyum malu-malu.

"Sudah berapa lama kamu bekerja di bagian administrasi?" tanya Pak Rangka penasaran.

"Mau dua tahun, Pak," jawabku.

"Kamu itu Sensi yang sering diomeli oleh Tari, Leader kamu, kan?" tanyanya mencoba meyakinkan. Rupanya berita aku sering diomel Kak Tari sampai juga di telinga Pak Rangka, rasanya aku jadi malu. Ketahuan deh aku pegawai yang tidak pintar.

Belum sampai kujawab, pesanan kami akhirnya datang juga, seakan menyelamatkan aku dari rasa malu dan gugup atas pertanyaan Pak Rangka tadi.

"Silahkan Mas, Mbak, hidangannya dinikmati!" sapa Pelayan itu ramah sembari menyodorkan piring yang sudah berisi nasi goreng pesanan kami ke hadapan kami masing-masing. Aku mengangguk, Pak Rangkapun demikian seraya mengucapkan terimakasih.

"Terimakasih, Mas!" ucap Pak Rangka berterimakasih.

Selama sarapan hampir tidak ada yang kami obrolkan. Pak Rangka fokus dengan sarapannya. Aku juga fokus dengan nasi goreng spesial yang super nikmat ini. Namanya juga restoran mewah, jadi makanan sekelas nasi goreng saja mewah dan enak, apalagi kalau ditambah pete, tambah nikmat.

Selesai sarapan, Pak Rangka segera mengajakku pergi dan memasuki mobilnya yang tadi diparkir. Tumben Pak Rangka tiba-tiba membukakan pintu untukku, membuat aku merasa tersanjung sekaligus malu.

"Ayo masuk!" perintahnya yang melihat aku bengong. Aku buru-buru masuk dengan perasaan yang tidak menentu.

"Terimakasih, Pak!" ucapku setelah berada di dalam mobil.

"Untuk apa?"

"Untuk sarapan pagi dan dibukakan pintu mobilnya," ujarku malu-malu.

"Tidak masalah," jawabnya seraya mulai menghidupkan mesin mobil dan memundurkan mobil keluar dari area parkir.

Mobilpun melaju menuju kantor Pak Rangka. Tiba di depan kantor, aku segera turun dari mobil dan langsung menghambur ke arah kantor tanpa mengucapkan terimakasih pada Pak Rangka. Aku benar-benar lupa saat itu saking buru-buru dan gugupnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!