NovelToon NovelToon

Aku Membencimu Tuan CEO

Taruhan

Livia Kaira, gadis manis itu menarik nafasnya dalam, sembari menatap bangunan megah yang menjulang tinggi dihadapannya. Satu kalimat syukur gadis itu rapalkan dalam hati. Dia yang hanya seorang lulusan SMK, bisa diterima bekerja di perusahaan sekelas Aditama Grup. Perusahaan yang bergerak di bidang properti.

Gadis itu masuk setelah menunjukkan kartu identitasnya. Livia menunduk pada beberapa orang yang dia temui. Sadar kalau dirinya masih baru. Dia di sini bekerja sebagai sekretaris CEO Aditama Grup. Sebuah posisi yang diinginkan banyak orang di luar sana. Tapi dirinya yang bisa mendapatkannya.

Livia cukup gemetar ketika asisten pribadi sang CEO, mengantarkan Livia bertemu atasannya. Seorang pria tampan berwajah oriental. Jantung Livia berdebar karena gugup. Baru kali ini bertemu dengan pria yang orang zaman now menyebutnya memiliki ketampanan tingkat dewa.

Begitupun dengan Lendra, pria itu cukup terpana pada kecantikan alami Livia. Untuk sesaat keduanya saling pandang. Hingga Livia yang lebih dulu memutus kontak mata mereka.

Mulai hari itu, Livia belajar soal semua hal yang harus dia kerjakan sebagai sekretaria Lendra, CEO yang akhir-akhir ini Livia ketahui ternyata sangat dingin dan ketus. Tapi itu tidak jadi masalah bagi Livia, yang penting dia bisa bekerja.

Waktu berlalu dengan cepat, tiga bulan Livia sudah bekerja di tempat itu. Dalam waktu tiga bulan itu, kemampuan Livia berkembang pesat. Dia berubah menjadi wanita yang mampu menghandle semua pekerjaan yang diberikan padanya. Satu hal yang membuat Lendra cukup terkesan.

Semua berjalan lancar, hingga suatu petang. Sang atasan mengungkapkan sebuah kalimat yang membuat hati Livia berbunga-bunga. Lendra, si CEO dingin mengatakan kalau dia ingin berpacaran dengan Livia. Lendra mengungkapkan kalau dia jatuh cinta pada sang sekretaris.

"Aku ingin berkencan denganmu."

Satu kalimat dari Lendra membuat Livia bergeming antara percaya dan tidak. Livia perlu beberapa hari untuk memutuskan soal perkataan Lendra. Hingga gadis itu memutuskan untuk menerima Lendra sebagai kekasihnya.

Keduanya resmi berpacaran mulai hari itu. Sebagai gadis polos yang belum pernah berpacaran, hati Livia benar-benar dipenuhi bunga cinta. Terlebih Lendra benar-benar memperlakukannya dengan penuh cinta. Hubungan keduanya berjalan lancar. Mereka tetap profesional saat bekerja. Lendra dan Livia akan menunjukkan kemesraannya di luar jam kantor.

"Via, bisa tidak jika nanti kamu datang ke apartemen. Aku perlu bantuanmu untuk mengerjakan proposal dengan perusahaan X."

Suara baritone Lendra memecah keheningan dalam mobil tersebut. Lendra, Livia dan Bian, asisten pribadi Lendra sedang dalam perjalanan setelah meeting dengan klien mereka. Tanpa menaruh rasa curiga, Livia mengangguk.

Sore itu sepulang kantor, Livia langsung menghala ke apartemen Lendra. Sesuai perkataan Lendra, keduanya memang benar-benar bekerja. Membahas ini dan itu soal proposal yang harus mereka ajukan pada perusahaan X. Saking asyiknya bekerja, mereka tidak menyadari malam mulai merayap naik.

Lendra mencegah Livia yang ingin pulang karena hari sudah malam. Pria itu sendiri beralasan lelah, jika harus mengantarkan Livia pulang.

"Tidur saja di kamar tamu. Bukankah besok Sabtu, kita bisa berangkat agak siang atau libur sekalian." Kata Lendra ambigu.

Lagi-lagi Livia dengan bodohnya menuruti perkataan Lendra. Malam itu mereka habiskan dengan menonton film. Livia jadi salah tingkah saat film mulai menayangkan adegan romantis. Gadis itu bersandar di dada bidang Lendra.

"Via...."

Panggil Lendra. Gadis itu mendongak. Saat itulah dua bibir itu saling bertemu. Lendra dan Livia bukannya belum pernah berciuman. Tapi malam itu entah kenapa terasa berbeda. Suasana yang dingin dengan rintik hujan yang mengguyur bumi, seolah mendukung setiap sentuhan yang Lendra berikan.

Livia gadis yang polos, berbeda dengan Lendra yang memang sudah pro soal wanita. Pria itu terkenal sebagai playboy, penakhluk wanita dan sebagainya. Livia sendiri sering mendengar kalau dirinya hanya dijadikan pelampiasan oleh Lendra karena sang pacar tidak ada di sini. Tapi Livia tidak percaya. Yang dia tahu, Lendra sangat mencintai dirinya.

Malam itu hubungan terlarang itu terjadi. Dalam sekali hentakan, Lendra berhasil merenggut mahkota Livia. Seringai puas terukir di bibir tipis Lendra. Terlebih setelah dia tahu kalau dirinya adalah yang pertama untuk Livia. Keduanya hanyut dalam permainan panas yang berlangsung hampir dua jam.

*

*

Keresahan melanda Livia, sejak pagi tadi dia tidak berhenti muntah. Awalnya dia pikir hanya masuk angin biasa. Tapi gadis itu teringat kalau siklus bulanannya belum datang sejak dia dan Lendra menghabiskan malam bersama hari itu. Sepolosnya Livia dia tahu kalau sehabis bercinta bisa saja terjadi kehamilan. Dan wanita itu mulai merasa takut.

Hari itu dia tidak bisa bertemu Lendra karena pria itu tengah berada di Australia, tempat sang nenek tinggal. Jadi dia belum bisa bicara pada Lendra. Livia pikir akan memastikan keadaan dirinya dulu.

Klontang, terdengar bunyi benda jatuh. Itu adalah test pack yang menunjukkan kalau Livia hamil. Tubuh wanita itu merosot ke lantai. Tangisnya mulai pecah. Dia menyesal telah terhanyut rayuan Lendra. Untuk beberapa waktu, Livia menangis. Menumpahkan segala rasa yang menyesakkan dadanya. Dia gagal menjaga dirinya.

Setelah beberapa waktu berlalu, Livia mulai bisa menguasai dirinya. Kepalanya mulai bisa berpikir jernih. Dia bertekad akan minta tanggungjawab pada Lendra. Ya, besok dia akan bicara pada sang atasan.

Keesokan harinya, Livia berjalan gontai masuk ke kantornya. Wajahnya tampak pucat. Beberapa kali Livia muntah pagi ini. Wanita itu tidak menghiraukan sapaan dari beberapa temannya. Di depan pintu ruangan Lendra, Livia berhenti. Wanita itu menarik nafasnya dalam. Lantas perlahan membuka pintu.

Livia pikir tidak ada tamu, tapi wanita itu mendengar suara seorang pria dan wanita tengah berbincang dengan Lendra. Suara wanita itu sedikit mengganggu di telinga Lendra, sebab terdengar menggoda di telinga Livia.

"Jadi kapan kau akan mengganti kepemilikannya?"

Terdengar suara Lendra yang bicara.

"Minggu depan sudah selesai. Aku baru saja menghubungi pengacaraku. Dia akan mengubahnya menjadi namamu. Aku salut padamu, Ndra. Kau bisa mendapatkannya dalam tiga bulan. Plus kegadisannya. Hebat."

Wanita yang duduk di sebelah Lendra mencebik kesal. "Apa kamu bersenang-senang selama aku pergi?"

Tanya si wanita itu manja. Sementara si pria di hadapan Lendra tampak menatap penuh minat, pada sebuah rekaman di ponselnya. Ternyata itu rekaman percintaan Lendra dan Livia malam itu. Benar-benar brengsek si Lendra ini.

Lendra menatap penuh cinta pada wanita yang senantiasa bergelayut manja di lengannya. "Bukankah sudah aku bilang. Kalau aku hanya bermain-main dengannya. Dia hanyalah bagian dari taruhan yang aku dan Pasha lakukan. Lagipula villa ini akan jadi hadiah pernikahan kita."

Si wanita langsung menyunggingkan senyum manisnya. Sementara Livia seketika memundurkan langkahnya. "Taruhan?"

Apa dia tidak salah dengar. Sang atasan memacarinya hanya karena sebuah taruhan. Livia menutup mulutnya. Saat bulir bening itu mulai menuruni pipinya.

"Dia akan sakit hati jika tahu kau hanya bermain-main dengannya."

Lendra tersenyum smirk. Sejak awal memang dia tertarik pada Livia tapi untuk serius dengan wanita itu, nanti dulu.

"Aku tidak ada rasa padanya. Kau tahu benar kan kalau tujuanku pacaran dengannya hanyalah untuk menang taruhan ini."

Duarrr, jantung Livia seolah merosot dari tempatnya. Dia hanyalah bahan taruhan, dia hanya dijadikan mainan oleh sang atasan. Kali ini tangis Livia tidak terbendung lagi. Sembari menutup mulutnya, wanita itu keluar dari sana. Menangis dengan jutaan rasa pilu di hati.

***

Karya baru author, semoga suka....

Ritual jempolnya jangan lupa...

****

Rencana

Livia berjalan tak tentu arah. Pikirannya kosong, hatinya sakit. Perkataan Lendra soal dia yang hanya memacarinya agar menang taruhan berputar di kepala Livia. Sebegitu bodohkah Livia, hingga bisa jatuh dalam perangkap Lendra. Wanita itu memukul kepalanya sendiri. Menyalahkan dirinya sendiri, yang terlalu mengikuti kata hati tanpa mendengarkan akal sehatnya.

Lihat, apa yang dia dapat sekarang. Penyesalan, penderitaan dan sakit hati. Beberapa kali Livia mengusap kasar air mata yang turun di pipinya. Tubuhnya berkali-kali bersenggolan dengan pejalan kaki yang lain. Tapi dia tidak peduli. Hingga akhirnya Livia terduduk lemas, di salah satu bangku di sudut jalan. Tangisnya kembali pecah.

Wanita itu tidak peduli pada pandangan orang yang berlalu lalang di sekitarnya, yang menatap aneh dan kepo padanya. Untuk beberapa waktu Livia membiarkan dirinya terhanyut dalam rasa sakit dan sesal yang memenuhi relung hatinya. Hingga bunyi ponsel yang ada di saku bajunya membuyarkan penyesalannya.

Nama Bian tertera di sana. Tapi dia tidak berniat mengangkatnya. Dia akan berhenti bekerja di tempat itu. Hatinya terlalu sakit, tiap kali teringat ucapan Lendra. Beberapa waktu berlalu, dan ponsel Livia terus berdering. Wanita itu geram, ingin sekali dia membanting ponselnya. Sampai kemudian dia teringat. Kalau dia masih memerlukan ponsel itu untuk menghubunĝi sang ibu.

Akal sehatnya masih bisa diajak berpikir. Jika Livia tidak lagi bekerja di tempat Lendra. Berarti dia harus mencari pekerjaan baru. Dan dia harus berhemat, karena dia baru saja mengirimkan separuh gajinya untuk ibunya di kampung.

Mengingat hal itu, Livia segera mengangkat wajahnya. Tanpa sadar, dia mengusap perutnya. Ada kehidupan yang harus dia jaga sekarang. Bagaimanapun bayi yang ada dalam kandungannya tidak bersalah. Dia yang bersalah dalam hal ini.

Air mata lagi-lagi mengalir di pipi Livia. Apa yang akan dikatakan oleh sang ibu jika beliau tahu. Kalau Livia sudah hancur. Kaki Livia kembali terayun gontai. Untuk hari ini dia akan kembali ke kontrakannya lebih dulu.

Sementara itu, Lendra langsung mengerutkan dahinya mendengar Bian melapor kalau Livia tidak ada di mejanya. Tas wanita itu ada, tapi orangnya tidak ada. Dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Lendra menarik nafasnya gusar. Ada apa dengan Livia. Bukankah kemarin wanita itu baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda sakit atau bagaimana.

Pria itu menatap Bian yang kembali menghubungi Livia dan...nihil. Nomor ponsel Livia bahkan sekarang tidak aktif. Sebab wanita itu sudah mematahkan sim cardnya.

"Ke mana dia?"

Dua hari berlalu, dan emosi Lendra mencapai puncaknya. Livia sama sekali tidak kembali bekerja dan tidak meninggalkan kabar apapun. Pekerjaan mereka jelas berantakan, meski beberapa proposal penting sudah diselesaikan Livia tanpa sepengetahuan Lendra. Kepala Lendra bertambah pusing ketika sebuah telepon mengabarkan kalau pertunangannya dengan Natalie, kekasihnya akan dihelat dua minggu lagi.

"Kenapa mereka ini tidak sabaran sih."

Umpat Lendra yang terlihat tampan dengan setelan formal hitamnya.

Kredit Pinterest.com

Syailendra Yue Aditama,

Dia mencintai Natalie, tapi untuk mengarah ke hal yang lebih serius, nanti dulu. Ini pasti semua ulah Natalie yang mendesak sang mama untuk segera mengumumkan pertunangan mereka. Padahal Lendra sudah berpesan pada Lana, sang mama, untuk tidak menyetujui keinginan Natalie.

Haahh, Lendra mengusap kasar wajahnya. Masalah menghilangnya Livia belum selesai, sekarang muncul masalah soal Natalie. Pria itu semakin kesal dibuatnya.

Sementara itu, orang yang tengah dicari Lendra tengah mengepel di lantai toilet sebuah kamar, di sebuah hotel berbintang. Menghindari bertemu Lendra, Livia memilih bekerja sebagai OB. Dia pikir, akan pergi dari Lendra sejauh mungkin. Selain benci pada pria itu, Livia sadar diri. Lendra mungkin tidak mau mengakui keberadaannya.

Pemikiran sempit sepihak yang Livia simpulkan, tanpa bicara dulu pada Lendra ataupun sekedar bertemu dengan pria itu. Dia sudah terlanjur memutuskan mempercayai apa yang dia dengar tanpa bertanya dulu pada Lendra. Dia hanyalah umpan taruhan.

Dengan bantuan Retno, teman satu kontrakannya. Livia berhasil bekerja di hotel itu. Retno tidak banyak bertanya kenapa Livia berhenti dari pekerjaannya yang lama, padahal Retno tahu, gaji Livia besar. Biarlah itu menjadi urusan Livia, Retno pikir dia tidak ingin mencampuri urusan Livia.

Dan yang lebih hebat lagi adalah tidak seorangpun tahu tentang kehamilan Livia. Wanita itu mengalami muntah hanya setelah bangun tidur. Setelahnya Livia adalah wanita biasa yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Terlebih usia kandungan yang masih muda.

Hari-hari Livia lalui dengan bekerja. Seminggu berlalu, Pasha yang merupakan pemilik hotel tersebut tanpa sengaja melihat Livia yang tengah membersihkan bagian lobi hotelnya. Pria itu mengerutkan dahinya. Dia tidak salah lihat kan, itu adalah Livia, sekretaris Lendra yang cukup menarik perhatiannya.

Pasha semakin bingung saat dia menghubungi Bian, pria itu mengatakan kalau Livia tiba-tiba berhenti bekerja. Seringai jahat terukir di bibir Pasha. Dia sudah lama tertarik pada Livia. Jika Lendra sudah melepaskan Livia berarti dia bisa memiliki gadis itu.

"Via...dipanggil ke ruang pak dirut."

Seorang teman memberitahu Livia. Alis Livia berkerut. Dia memang baru saja membersihkan ruangan dirut. Apa ada masalah soal pekerjaannya. Pertanyaan itu mengiringi langkah Livia masuk ke ruangan di lantai sepuluh.

"Masuk."

Satu suara membuat tubuh Livia gemetar. Perlahan wanita itu masuk ke ruangan yang dicat warna pastel. Dilihatnya seorang pria yang tengah duduk dibalik meja kerjanya.

"Ada apa ya, Pak?"

Pasha mengangkat wajahnya. Pria itu langsung terpesona pada wajah natural Livia. Tanpa make up berlebihan seperti yang dia lihat saat menjadi sekretaris Lendra. Pasha tahu Livia, tapi Livia tidak pernah bertemu Pasha.

"Kamu lupa membersihkan kamar pribadiku."

Ha? Livia melongo. Kamar pribadi? Emang ada. La...dijobsheetnya tidak ada kamar pribadi. Mana Livia tahu kalau harus dibersihkan.

"Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau ada kamar pribadi. Kalau begitu saya bersihkan sekarang. Saya tadi membawa alat-alat pembersih saya."

Pasha menarik sudut bibirnya. Dia bisa menilai kalau Livia wanita polos.

"Besok saja. Hanya saja bisa tidak saya minta bantuan kamu."

Dahi Livia kembali berkerut. Apalagi sekarang. Livia mulai malas berurusan dengan pria-pria kalangan atas. CEO-lah, dirut-lah. Dia tidak suka. Terlebih yang berlabel CEO, Livia membencinya.

"Besok saya bantuin buat bersihin kamarnya, Pak."

Pasha mengulas senyum tipisnya. Pantas saja Lendra dengan mudah bisa menipu Livia. Wanita itu sama sekali tidak peka dengan perkataan yang dia dengar.

"Bukan itu yang saya minta."

"Lalu?"

*

Livia menutup pintu ruangan dirutnya dengan perasaan bingung. Meninggalkan Pasha yang melihat punggung Livia menghilang di balik pintu. Pria itu langsung menarik nafasnya.

"Kamu akan terkejut melihat siapa yang aku bawa besok."

Seringai itu kembali muncul di bibir Pasha. Sebuah rencana tersusun di kepala Pasha.

****

Upp lagi guys, ritual jempolnya jan lupa..

****

Sepaket

Livia lagi-lagi terdiam, permintaan pak dirutnya masih terngiang di telinga. Pria itu meminta dirinya, untuk menemani pergi ke sebuah acara pertunangan akhir minggu depan. Dahi Livia berkerut. Kenapa dirinya? Itulah pertanyaan yang langsung terlontar dari bibir Livia, begitu Pasha menyelesaikan ucapannya.

Alis Livia saling bertaut begitu mendengar jawaban Pasha. "Saya ingin mengajakmu. Saya juga ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang."

Livia berusaha menolak. Dia pikir, sikap Pasha sangatlah aneh. Dia seperti menangkap ada hal yang disembunyikan pria itu darinya. Livia menggeram kesal, ketika pada akhirnya, Pasha mengancam akan memecatnya jika dia tidak mau membantunya. Kepala Livia serasa mau pecah. Dia sangat memerlukan pekerjaan ini. Dia perlu uang, karena sang ibu sedang sakit di kampung.

"Pikirkan saja dulu. Saya tidak minta jawaban sekarang."

Livia menghempaskan tubuhnya ke kasur busa murah miliknya. Pikirannya lelah, tubuhnya apalagi. Wanita itu mengusap perutnya. Benar-benar bersyukur karena si jabang bayi tidak membuat masalah. Baru saja akan memejamkan mata. Suara ketukan pintu terdengar. Livia waspada, sebab dua hari ini, teman satu kontrakannya memberitahu kalau ada dua pria yang mencarinya. Pria tampan dan terlihat kaya.

Livia setengah mengendap-endap. Mengintip dari balik gorden yang sengaja belum dia buka. Matanya membulat melihat siapa yang ada di depan pintu kontrakannya. Lendra dan Bian, apa yang mereka lakukan di sini? Kepanikan melanda Livia. Dia tidak mau bertemu dua orang itu. Terlebih Lendra, hati Livia kembali sakit mengingat setiap ucapan mantan atasannya.

Beberapa kali Bian mengetuk pintu, dan Livia semakin merapatkan tubuhnya ke dinding. Berharap dua pria itu tidak melihatnya dari luar.

"Sepertinya dia tidak ada."

Terdengar gumaman Bian. Lendra mendesah kesal. Dia sudah rela datang ke sini. Tapi yang dicari tidak ada. Lendra jadi gusar dibuatnya. Tak berapa lama, tetangga kontrakan Livia lewat dan menyapa Lendra serta Bian.

"Sudah titipkan saja. Kau tahu aku harus menjemput Nenek. Aku harus membujuknya."

Terdengar suara Lendra memberi perintah pada Bian. Tak berapa lama, Livia menarik nafasnya pelan. Melihat mobil mewah Lendra menjauh dari kontrakan Livia.

"Jadi berhenti nih kita nyari Livia?"

Tanya Bian. Pria itu melihat Lendra melalui spion tengah mobil tersebut. Bukannya menjawab, Lendra malah memijat pelan pelipisnya. Kenapa ada yang aneh, yang dia rasakan di hati. Saat Livia tiba-tiba menghilang tanpa kabar dari hidupnya. Kepergian Livia menyisakan kehampaan di hati Lendra.

Tiga bulan menjalin "kasih" dengan Livia. Lendra tahu kalau Livia gadis baik. Tulus, penyabar dan tidak banyak tingkah. Tipe yang mulai susah dicari di era modern ini. Sifat Livia berbanding terbalik dengan Natalie, sang kekasih. Natalie banyak menuntut pada Lendra. Harus ini, harus begitu. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Terkadang Lendra pusing dengan tingkah kekanakan Natalie.

Lendra dikelilingi banyak wanita dalam hidupnya. Hal itu membuat dia mengenal berbagai karakter wanita. Natalie mungkin bukan pilihan tepat. Tapi pria itu sudah mengenal Natalie dari kecil. Boleh dikatakan jika Natalie adalah wanita tahan banting yang mampu menghadapi segala kebrengsekan Lendra saat berhubungan dengan urusan wanita.

Seperti urusan Livia. Natalie tidak terlalu ambil pusing. Meski Natalie tahu kalau Lendra dan Livia pernah bercinta. Dia menganggap hal itu wajar dan Natalie tidak mempermasalahkannya. Dia menganggap Lendra hanya bermain-main dengan Livia, tidak serius.

Livia menghembuskan nafasnya kasar. Merasa lega ketika melihat Lendra dan Bian pergi dari kontrakannya. Mau apalagi mereka, pikir Livia. Setelah memastikan dua orang itu jauh, Livia membuka pintu kontrakannya.

"Loh, mbak Via sudah pulang to."

Sapa tetangga Via.

"Sudah, Mbak. Tadi tidur bentar."

"Oh pantes. Mbak Via tidak denger ada yang datang."

"Siapa?"

Livia berpura-pura tidak tahu. Hingga tetangga Livia itu menjelaskan kedatangan Lendra dan Bian. Sembari menyerahkan tas miliknya. Livia gamang saat menerima tasnya kembali.

"Pacar mbak Via yang mana? Dua-duanya ganteng lo."

Ehhhh? Livia terdiam mendengar celotehan tetangganya yang berjalan menjauhi dirinya. Pacar? Pacar pura-pura? Livia membatin kesal dalam hati.

*

*

"Kemarin dipanggil pak dirut suruh ngapain?"

Seorang teman Livia bertanya di sela-sela pekerjaannya mereka membersihkan kaca jendela di lobi hotel.

"Lupa gak bersihiin kamar pak dirut. Aku mana tahu di ruangan itu ada kamarnya."

Teman Livia selanjutnya malah mengoceh soal Pasha, sang dirut yang pacarnya banyak. Sang teman beberapa kali melihat atasan mereka itu membawa perempuan berbeda masuk ke ruangannya. Hal itu membuat Livia mengerutkan alisnya.

"Kalau pacarnya banyak kenapa minta bantuanku untuk menemaninya?"

Batin Livia bingung. Sang teman masih terus bercerita, hingga satu nama kembali menarik perhatian Livia. Kata sang teman. Dirut mereka berteman dengan CEO dari Aditama Grup. CEO Aditama Grup? Lendra kah itu. Kalau iya, alangkah sempitnya dunia. Lepas dari Lendra, malah kerja dengan teman mantan atasan brengseknya.

"Teman pak dirut juga ganteng lo Via. Kamu bisa suka sama dia kalau lihat wajahnya. Gak kalah sama pak Pasha."

Livia hanya diam sambil mengelap kaca, selama sang teman mengoceh ke sana kemari. Hingga senggolan keras di bahu Livia membuat wanita itu menghentikan pekerjaannya.

"Astaga, Via...itu...itu..pak bos dari Aditama Grup."

Livia langsung menoleh, mengikuti arah pandang sang teman. Jantungnya langsung berdebar, matanya mulai berkaca-kaca. Livia buru-buru menundukkan wajahnya. Berharap Lendra tidak melihat wajahnya. Pria itu berjalan santai dengan seorang wanita yang bergelayut manja di lengannya. Wajah Livia seketika memanas. Melihat Lendra yang nampak tampan dengan kemeja putihnya.

Kredit Pinterest.com

Tiba-tiba saja perutnya bergejolak. Livia berusaha menahan rasa mualnya. Ada apa dengan dirinya. Kenapa perutnya menjadi tidak nyaman begini. Livia menyusut tubuhnya ke sudut ruangan. Berpura-pura membersihkan kaca di bagian itu.

Sementara mata tajam Lendra mulai menangkap pergerakan aneh dari Livia. Tidak melihat wajah Livia, tapi Lendra merasa tidak asing dengan gesture tubuh seorang OB yang tengah membersihkan kaca. Lendra kepo, karena perasaannya mengatakan kalau Livia ada di tempat itu. Tapi dia tidak mungkin mencari tahu saat Natalie terus menempel padanya.

Hembusan nafas kasar terdengar dari bibir Livia. Hampir saja dia bertemu dengan Lendra. Setelah Lendra menghilang dari pandangan Livia, wanita itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Tapi tak lama dia dikejutkan dengan panggilan dari arah belakang.

"Via...ngapain kamu di sini?"

Mata Livia membulat melihat siapa orang yang memanggilnya dari pantulan kaca yang tengah dia bersihkan.

"Astaga....kenapa juga harus ada dia di sini juga."

Livia membatin kesal. Dia pikir sudah bisa menghindari Lendra. Dia lupa kalau Lendra sepaket dengan orang ini. Tidak bisa dipisahkan, ke mana-mana berdua. Seperti surat dan prangko. Seperti sendok dan garpu.

"Sialnya hariku."

Tambah Livia dalam hati. Sementara teman Livia terus menarik ujung uniform Livia.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!