Bab. 1
"Nggak! Dilla nggak mau nikah, Pa!" sentak seorang wanita muda dengan pakaian yang begitu seksi.
"Mau sampai kapan kamu kayak gini terus, Dilla?" geram pria paruh baya yang tengah duduk di kursi kerjanya. "Kamu anak Papa satu-satunya. Kamu harus segera menikah, agar keluarga Atmadja mempunyai penerus. Usiamu juga sudah dua puluh dua tahun, Dilla. Mau sampai kapan lagi?"
Wanita yang bernama Adilla itu menggelengkan kepala. "Nggak. Aku nggak mau hidup penuh dengan aturan dan tekanan dari orang lain. Papa tahu itu!"
Adilla benar-benar tidak mau mengikat hubungan dengan seseorang. Wanita itu menikmati hidupnya yang seperti ini.
"Nggak! Papa nggak akan biarkan kamu tetap tidak jelas seperti ini, Dilla. Kamu anak gadis. Bukan anak cowok!" sentak tuan Atmadja.
"Nggak ada bedanya cowok sama cewek, Pa. Semua sama saja. Kalau memang Papa menginginkan seorang keturunan, baik, akan Dilla kabulkan. Tetapi Dilla nggak mau menikah. Titik!" tekan Dilla mengenai rencananya.
Setelah mengatakan hal itu, Dilla pergi melangkah keluar dari ruang kerja papanya. Tidak lupa wanita itu menutup pintu dengan sangat keras. Sampai-sampai menimbulkan dentuman yang cukup mengagetkan bagi orang yang berada di sekitarnya.
Tuan Atmadja hanya bisa mengelus dadanya melihat sikap putrinya yang begitu keras kepala.
"Nggak semua pernikahan itu mengerikan, Dilla," gumam tuan Atmadja merasa bersalah. Karena sikap Dilla yang seperti ini juga terjadi karena dirinya.
***
Adilla Atmadja tidak percaya akan sebuah hubungan pernikahan. Dia tidak mau hidup dengan dijerat oleh satu pria.
Dilla, sapaan akrab wanita itu lebih memilih untuk hidup bebas dengan banyak pria yang dia kencani. Bukan tanpa alasan Adilla bertingkah seperti ini.
Semua itu ada penyebab yang tuan Atmadja sendiri tidak bisa mengatasinya. Ya. Semua ini berawal dari pernikahan kedua orang tuanya sendiri. Pernikahan mereka tidak seperti pernikahan normal pada umumnya.
Setelah pergi dari kantor papanya, Dilla segera menghubungi sahabatnya yang bernama Amira.
"Halo, Mir? Lo ada waktu nggak? Kalau ada, yuk kita pergi ke tempat biasanya!" ajak Dilla setelah panggilan teleponnya di angkat oleh wanita yang bernama Amira tersebut.
'Kenapa lagi lo? Marahan sama bokap lo? Ini masih sore loh, Dill!' sahut wanita yang memiliki suara merdu. Karena memang Amira merupakan seorang penyanyi di sebuah cafe paling terkenal di kota ini.
"Biasalah. Ributin cucu." balas Dilla dengan nada malas.
Dilla menghidupkan mesin mobil lalu mulai melajukannya. Tidak lupa wanita itu menekan tombol loudspeaker yang ada di layar ponselnya lalu menaruhnya di atas dashboard.
'Lagian lo tuh udah enak. Kalau mau nikah, bola lo tinggal tunjuk pria mana yang lo suka. Beres, kan? Kenapa lo buat ribet sih, Dill?' cecar Amira yang semakin membuat Dilla begitu kesal.
"Lo tahu nggak sih arti dari pernikahan yang sesungguhnya?" bukannya menjawab cercaan yang di layangkan oleh Amira, Dilla justru melemparkan pertanyaan lain pada sahabatnya tersebut. "Nggak cuma bisa ahem ahem setiap saat, Merkonah. Tapi juga kudu sabar menerima kekurangan pasangan kita. Terus belum lagi aturan-aturan yang akan ngekang lo. Lo juga harus nurut sama dia. Sih, ogah banget lah gue!"
Membayangkan saja sudah membuat Dilla mual. "Lebih baik gue main sama anak-anak sampai puas. Nggak ada yang ngekang atau ngatur gue." imbuh Dilla dengan begitu yakin.
Terdengar suara decakan dari seberang sana.
'Ck! Terserah lo lah maunya apa,' ujar Amira yang tampak pasrah. 'Terus ini jadinya kek apa? Tetep mau ngajak ke sana? Sore-sore gini?' tanya Amira memastikan kembali tujuan Dilla menelpon dirinya.
'Ck! Terserah lo lah maunya apa,' ujar Amira yang tampak pasrah. 'Terus ini jadinya kek apa? Tetep mau ngajak ke sana? Sore-sore gini?' tanya Amira memastikan kembali tujuan Dilla menelpon dirinya.
"Jadi dong. Gue udah jalan ke rumah lo, ini!" sahut Dilla sambil menambah laju mobilnya.
'Sialan! Percuma lo nelpon gue kalau ujug-ujug juga datang ke sini!' balas Amira penuh geram.
Suara tawa terdengar begitu menggema di dalam mobil Dilla. Wanita itu senang sekali mendengar Amira mengumpat seperti itu.
Dilla semakin menambah kecepatan laju mobilnya setelah sambungan di antara mereka selesai. Dia ingin segera sampai ke rumah kontrakan Amira dan segera menuju tempat di mana bisa menghilangkan beban yang Dilla rasa saat ini.
Tidak hanya satu kali atau dua kali perdebatan itu terjadi antara dirinya dan sang papa. Entah, Dilla sendiri juga tidak tahu mengapa akhir-akhir ini papanya sangat kerap sekali mengungkit masalah cucu.
Padahal Dilla belum pernah mengalami jatuh cinta pada seseorang. Dia selama ini hanya melakukan hubungan suka sama suka, walau hanya sekedar hang out bareng. Tidak lebih dari itu.
Sesampainya di depan rumah kontrakan Amira, Dilla tidak serta merta turun dari mobilnya. Wanita itu lebih memilih untuk menekan klakson hingga sang penghuni keluar dari.rumah dengan wajah yang tampak seperti seekor singa yang lapar. Membuat Dilla tertawa senang di dalam hati. Paling tidak, ia mempunyai hiburan saat ini.
Sesuai apa yang terlihat. Amira mendekat ke arah mobilnya dengan kotak box kecil di tangan serta baju yang tersampir di lengan satunya lagi, dengan mulut yang tidak berhenti mengomel.
"Sudah gue bilang, jangan lakuin itu, Nona Muda! Nanti gue dilempar panci sama tetangga gimana? Hah?" sarkas Amira langsung tanpa mengucap salam lebih dulu.
Dilla tertawa namun juga membantu Amira menaruh baju gantinya di jok belakang.
"Kan lo yang dilempar panci. Bukan gue." sahut Dilla terdengar begitu menyebalkan di telinga Amira.
"Tau, ah! Ngeselin emang lo!"
"Iya, iya ... gue ngeselin. Ya udah, gue bawa lo happy happy sekarang," ujar Dilla sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Dih! Orang situ yang butuh happy happy. Ngapain jadi gue?" protes Amira tidak terima. "Lagian, kenapa lo nggak nyanyi lagi sih? Itu Manager nyariin lo terus, tau!"
Dilla memang sempat menyanyi di tempat kerja Amira sekarang ini. Namun, wanita itu memutuskan untuk berhenti setelah suatu insiden terjadi di cafe tersebut.
"Lo niat mau ratain itu cafe, kalau gue balik lagi? Hmm? Mau tanggung jawab?"
Bukannya Dilla tidak mau nyanyi lagi di sana. Akan tetapi, papanya sudah mulai turun tangan mengenai apa yang ia kerjakan sekarang ini.
Amira menggeleng seraya meringis.
"Enggak juga, sih," balasnya cepat. "Lagian siapa yang berani ngelawan bokap lo sih, Dill? Lagian, kenapa sih Nona Muda kayak lo malah masuk ke dunia yang seperti ini?"
Berteman dengan Dilla selama satu tahun belakangan ini, tentu Amira tidak tahu terlalu dalam mengenai kehidupan Dilla yang sesungguhnya. Selain suka minum dan bergonta ganti pasangan kencan di club maupun pesta.
Dilla tersenyum hambar. "Udahlah, lo nggak perlu tahu masa kelam gue, Ra. Daripada lo nanti ilfil." lirihnya.
Mendengar jawaban Dilla yang seperti itu, membuat Amira tidak lagi bertanya lebih jauh lagi. Kemudian mereka membahas hal yang menyenangkan menurut mereka. Seperti rasa ciuman dengan pria yang berbeda, misalnya.
"Lo yakin mau cari itu bibit aja?" tanya Amira dengan mata menatap tidak percaya.
Mendengar cerita serta rencana yang baru saja Dilla katakan, membuat Amira menggeleng kepala. Bisa-bisanya temannya ini membuat konsep yang menurutnya di luar batas. Bahkan bisa dikatakan di luar kepala juga.
Bagaimana tidak, alih-alih memilih untuk menikah dan mempunyai pasangan yang jelas dan benar. Dilla justru mengusung konsep lebih baik membayar bibit dari seorang pria, daripada harus terjerat dengan sebuah pernikahan.
"Yakinlah! Nggak ribet kan nanti malahan." sahut Dilla dengan begitu santainya.
Amira yang masih waras dan belum terkena efek samping alkohol yang mereka minum sore-sore seperti sekarang ini, lantas menempelkan tangannya di kening sahabatnya tersebut.
"Nggak panas," ujar Amira setelah menempelkan telapak tangannya di kening Dilla, dan langsung di tepis oleh wanita itu.
"Gue sehat wal afiat, Amira Almahiraa!" teriak Dilla dengan raut muka yang begitu kesal.
Membuat Amira yang ada di depannya pun tertawa.
"Ya lagian lo, sih! Make kepikiran rencana gila kek begitu. Di mana-mana orang tuh ya, pasti nggak akan mau hamil duluan sebelum nikah, walaupun mereka udah lakuin enak enak begitu. Nah, lo? Malah milih hamil sebelum nikah. Mana belum pernah lakuin enak enak, eh, sekalinya mau coba, malah pingin langsung hamil. Aneh lo, Dill!" ujar Amira panjang lebar dan penuh dengan emosi akibat wacana yang di buat oleh Dilla barusan.
Dilla tertawa. "Pfftt ... ya gimana lagi, Mir, orang aku nggak mau nikah malah di minta cucu. Ya udah, aku kabulin lah."
"Memangnya lo mau buat sama siapa? Sama para lelaki buaya lo itu?" tanya Amira malas.
Entah, ini otak Dilla yang kongslet atau emang dirinya yang sangat kuper sekali. Bisa-bisanya doa berpikiran seperti itu.
Dilla tampak termenung sebentar. Sepertinya dia tengah berpikir siapa yang akan dia ajak melakukan hubungan satu malam dengannya.
Dilla sendiri juga bingung untuk memutuskan mana yang ia pilih. Namun, jika diingat kembali para pasangan lelakinya itu semua buaya. Bagi mereka tidak ada hati tanpa bercocok tanam. Dilla tidak mau anaknya dari bibit seseorang yang seperti itu.
Walaupun Dilla sadar betul kalau dirinya juga bukan perempuan baik-baik, namun untuk generasi penerus, apalagi nanti jelas menjadi penerus perusahaan keluarga Atmadja, Dilla Tidak boleh sembarang memilih orang yang bakalan nanti ia beli bibitnya.
"Nggak, ah! Gue nggak mau sama mereka."
Dilla menggelengkan kepala. Ngeri juga kalau sampai salah satu di antara mereka menjadi bapak dari anaknya kelak. Mana tidak ada yang bener kelakuannya.
"Terus? Mau siapa yang lo korbanin?" cecar Amira.
Dengan entengnya Dilla menaikkan bahunya. "Nggak tau. Liat aja nanti. Yang pasti harus pria baik-baik, body-nya oke, terus tampan, hidungnya juga mancung, dan harus putih." jelas Dilla kemudian.
Helaan napas terdengar dari Amira. Wanita itu sungguh jengah sekali menghadapi cara berpikir temannya ini. Namun, mau bagaimana lagi. Cuma Dilla juga yang mau mengerti profesi dirinya dan tidak memandang rendah pekerjaannya saat ini. Walau banyak di luaran sana yang menganggap dirinya sebagai cewek BO.
"Terserah lo lah, Dill. Orang lo yang jalani. Asal lo bahagia, ya gue dukung. Tapi kalau lo sedang kena masalah nantinya, jangan kenal sama gue, ya!"
Akibat perkataan Amira barusan, Dilla pun melayangkan pukulan ke lengan temannya itu.
"Udahlah, mending kita nikmati ini dulu. Baru nanti kita cari pemilik bibit calon anakku di jalan," ujar Dilla yang mulai ngelantur. Di mana wanita itu mendapat cubitan dari Amira di bibirnya.
"Enak saja kalau ngomong. Dikabulin beneran sama Tuhan, biar tahu rasa lo ntar!" sarkas Amira yang begitu geram.
"Asal dia oke, gue mah nggak masalah. Orang yang gue butuhin bibit Pertamax dia. Bukan orangnya." sahut Dilla seolah tidak ada yang salah dengan perkataannya.
Amira semakin di buat geleng kepala oleh wanita abnormal tersebut. Pikirannya sudah seperti orang tidak waras.
"Iya deh, iya ... serah lo dah."
Hanya itu yang bisa Amira katakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!