Novel ini menggunakan sudut pandang POV 1 (Lydia) sehingga semua cerita diambil dari sudut pandang Lydia. Yah, bisa dibilang di sini Lydia yang sedang bercerita dengan lingkungan sekitar mereka.
Sore ini disisa senja yang keemasan, aku memutuskan menemui Bapak, untuk mengutarakan apa yang selama ini aku rencanakan. Aku juga pasti akan mengatakan alasannya kenapa mengambil keputusan ini. Karena aku tahu Bapak tidak akan mudah menyetujui dengan ideku. Yang aku akui memang akan membuat malu keluargaku.
Aku adalah Lydia, anak pertama dari empat bersaudara. Aku terlahir dari keluarga yang berkecukupan, bapaku seorang kepala desa yang disegani oleh warga. Umurku saat ini 36 tahun, tapi aku belum menikah, tiga adikku sudah menikah semua, bahkan mereka sudah memiliki anak. Inilah awal mula aku merasa rumah dan lingkungan tempat tinggal sudah membuatku tidak nyaman.
Dari gunjingan, dan perlakuan adik-adikku, aku memutuskan untuk ikut tetanggaku Bi Lastri untuk kerja di kota besar, menjadi pembantu.
"Kamu yakin Lydia mau ikut tetangga kerja di Jakarta? Jadi pembantu loh," tanya Bapak dengan wajah yang terlihat kecewa. Bapak sendiri adalah seorang kepala desa yang di segani, sehingga sangat disayangkan sekali ketika aku justru mau kerja dengan tetangga yang hanya menjadi seorang pembantu. Sedangkan Bapak juga sangat mampu untuk membiayai hidupku.
"Aku yakin Pak, Lydia sudah memikirkan hal ini dengan matang dan yakin. Lydia ingin kerja ke kota bareng Bi Lastri," jawabku dengan tegas.
Selain Bapak menjabat sebagai lurah yang sudah dua periode, Bapak juga memiliki beberapa usaha penggilingan padi dibeberapa kampung di desa kami. Belum sawah yang Bapak miliki terbentang luas. Mungkin alasan itu yang membuat Bapak kecewa ketika anak sulungnya memilih menjadi pembantu di kota besar, dari pada tinggal di kampung halaman kami, dengan jaminan kebutuhanku juga tercukupi.
Terlebih Aku juga bekerja membantu Bapak mengurus keuangan desa, tanpa aku Bapak pasti akan kesusahan mencari orang kepercayaan lagi. Aku yang memang lulusan adminitrasi selalu bisa diandalkan untuk mengurus keuangan desa.
Aku menunduk, selama ini aku sendiri sudah berusaha menahan diri agar tidak ke luar dari rumah atau lingkungan keluargaku. Namun, rasanya itu tidak ada perubahanya semakin hari dan semakin tahun gunjingan akan diriku tidak pernah surut. Justru aku semakin tidak kerasan tinggal di rumah orang tuaku.
Kampung halaman dan keluarga yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, justru menjadi tempat yang membuat aku tertekan. Itu semua karena warga yang seolah senang sekali memperolokku. Belum ketiga adikku juga seperti memusuhiku hanya karena aku belum menikah.
"Perawan tua, tumben ke luar rumah."
"Kasihan yah padahal cantik, tapi nggak laku."
"Gimana yah calon suaminya nikah sama adiknya sendiri."
"Itu karena kualat, pernah nolak lamaran dari calon suami."
"Itu karena guna-guna, kasihan. Pasti ada laki-laki yang sakit hati jadi dia diguna-guna, jodohnya ditutup."
Itu adalah sedikit gunjingan yang aku dengar kemarin, ketika aku mengikuti kegiatan ibu-ibu untuk melakukan sosialisasi program desa yang Bapak adakan. Sebagai seorang anak yang memiliki orang tua terlibat dalam pembangunan daerah, tentu aku mau tidak mau harus sering terlibat kegiatan semacam ini. Apalagi aku adalah anak pertama.
Tidak jarang juga ada yang menuduh aku dijadikan tumbal pesugihan oleh orang tuaku, yang telah menikahkan aku dengan bangsa jin untuk mendapatkan kekayaan bapakku. Di daerah kami memang masih ada keyakinan semacam itu, tetapi aku yakin bahkan jodohku sudah tertulis di Lauhul Mahfudz sebelum aku lahir. Jadi aku tetap percaya akan takdir Allah, dan menyingkirkan dugaan yang tidak berdasar.
Sejak kejadian tiga tahun silam aku yang gagal nikah dengan calon suamiku, ternyata dia sudah menghamili adikku. Aku pun memutuskan untuk mengurung diri di rumah, tetapi bukan aku tidak ada kegiatan, justru aku selalu disibukan dengan laporan-laporan keuangan, pekerjaan Bapak.
Perihal menolak lamaran, siapa yang mau di lamar oleh laki-laki untuk dijadikan istri ketiga? Aku mending jadi prawan tua dari pada harus menikah dengan laki-laki beristri. Itu adalah prinsip yang aku anut, lebih baik jomblo, dari pada jadi duri dalam pernikahan orang lain.
"Lydia sudah sepakat dengan Bi Lastri kalau kita bilang akan kerja di kantoran," jawabku dengan wajah yang masih menunduk. Aku memang selama ini tidak berani untuk melawan Bapak.
"Tapi, kalau orang-orang kampung kita tahu kamu hanya berbohong malah semakin malu bapakmu ini Lydia," protes Bapak, ingin tetap aku tinggal di rumah mereka.
"Pak, tolong ngertiin perasaan Lydia, sudah tiga tahun Lydia tahan tetap tinggal di rumah ini, tetapi tidak sedikit pun yang mereka tahu akan perasaan Lydia. Gunjingan itu tidak akan pernah hilang. Terlebih Lydia dan Lyra masih tinggal dalam satu rumah. Belum Lydia dan Lyra juga selama tiga tahun ini tidak pernah saling tegor, Lysa, dan Lyka juga sama. Lydia capek loh Pak jalani hidup kayak gini. Lydia pengin pikirannya tenang meskipun itu jadi pembantu, tapi kalau pikiran tenang tidak akan bisa didapatkan dengan setumpuk harta."
Baru kali ini aku berani memohon dengan sangat pada Bapak. Selama ini aku adalah gadis yang sangat penurut. Apa yang dikatakan oleh Bapak tidak pernah aku bantah sekalipun, tetapi dalam hatiku semakin sesak. Awalnya yang aku pikir akan membaik seiring berjalanya waktu. Namun, angan tinggalah angan dan tidak menemukan harapan itu, justru hatiku semakin sakit, aku semakin tidak kerasan tinggal di kampung halamanku.
Ku yakini, keputusanku, dapat membasuh luka, dari segala cemooh dan hinaan. Membebat, dan mengobati lukaku, hingga sembuh. Sebelum aku mengambil keputusan ini, aku sudah beberapa kali meminta petunjuk dari Allah, dan atas petunjuk-Nya aku yakin ini adalah jalan terbaik untukku.
Bapak menghirup nafas dalam dan membuangnya perlahan, hal yang sama pun aku lakukan, aku tahu tindakanku terlalu bodoh, tetapi mengamankan kesehatan pikiran, dan perasaanku adalah hal yang paling utama. Kesehatan mental mahal harganya.
"Kalau kamu bicara seperti itu dan itu adalah sudah menjadi keputusan terbaik untuk kamu. Bapak hanya bisa mendoakan agar kamu betah di sama dan mendapatkan majikan yang baik. Bapak dengar kamu akan mendapatkan majikan laki-laki duda, bapak takut kamu terjadi apa-apa." Suara yang lirih, bisa aku rasakan kalau Bapak masih berat untuk merelakan aku merantau ke Jakarta, terlebih pekerjaan aku nantinya hanyalah pembantu. Yang sebagian orang nilai bahwa pembantu adalah pekerjaan paling rendah.
Bohong kalau hatiku tidak hancur, saking hancurnya aku sampai tidak bisa berbicara apa-apa. Sakitnya sudah sangat dalam. Hingga aku sendiri merasa hilang arah, bahkan aku seperti orang gila, hanya kerja dan kerja yang bisa mengalikan perasaanku yang bisa sedikit mengobati rasa sakit hatiku, terutama karena penghianatan adik bungsuku dengan calon suamiku.
"Bapak tenang saja. Aku bisa jaga diri, lagian di sana nanti kan satu rumah dengan Bi Lastri," ucapku, berusaha menyakinkan Bapak agar beliau tidak sedih.
"Terserah kamu ajah Mbak, kamu sudah gede sudah bisa pilih jalan hidup kamu. Pesan bapak ingat selalu bapakmu itu orang terpandang, jangan sampai membuat malu bapakmu di kampung." Bapak dengan suara tegas akhirnya mengizinkan aku untuk ikut kerja bersama tetangga yang memang sedang pulang kampung untuk cuti.
Aku sendiri memejamkan mata dengan kuat. Beginilah derita menjadi orang yang penting dengan kedudukannya, harus bisa membawa diri. Salah pergaulan yang malu keluarga, bahkan tidak jarang di luaran sana ada yang mengalami karir orang tua hancur hanya karena kelakukan anak-anaknya.
"Bapak tenang saja. Lydia tahu kok, konsekuensinya kalau jadi anak orang penting," jawabku dengan tegas. Aku lebih menuruni sifat Bapak tegas, tetapi aku juga menuruni sifat Ibu yang sabar dan tidak tegaan. Mungkin itu yang membuat aku selama tiga tahu ini bertahan, padahal aku sudah tidak kerasan di rumah ini, itu karena aku tidak tega melihat Bapak dan Ibu sedih
"Memang seperti itu, terlebih kamu adalah anak pertama, adik-adik kamu mencontoh kelakukan kakaknya." Bapak mengingatkan kembali akan hal itu.
Deg!!
Jantungku semakin sesak ketika Bapak selalu mengucapkan itu sebagai jurus andalannya. Semua kesalahan adikku, aku harus bisa memaafkannya, termasuk Lyra yang hamil di luar nikah dengan calon suamiku membuat aku juga harus mengalah.
Aku harus bersikap semuanya baik-baik saja, dan tidak jarang juga aku yang harus menegur adikku lebih dulu. Meskipun aku tahu kalau Lyra itu juga cemburu denganku. Padahal aku sendiri tidak pernah terlibat obrolan dengan suami adik-adikku.
Bagiku hubunganku dengan mantan calon suami sudah selesai, semenjak ia mengakui bahwa laki-laki itu memang menghamili adikku sendiri. Bahkan untuk sekedar papasan di rumah pun aku selalu berusaha menghindar.
Sebelumnya hubunganku dengan ketiga adikku baik-baik saja, tetapi sejak kejadian pernikahan yang gagal, tepatnya tiga tahun lalu, aku seperti dimusuhi oleh ketiga adik kandungku. Mereka sering menuduh aku akan merebut suami mereka.
Ya Tuhan, sangat menyakitkan hati, ketika aku merasa wanita baik-baik, secara tidak langsung dituduh menggoda suami orang, terlebih adikku sendiri. Lamaran dari pria beristri saja aku tolak, tetapi kenapa ketiga adikku malah menuduhku ingin merebut suaminya? Siapa yang akan betah dengan lingkungan rumah seperti ini?
...****************...
#Selamat datang calon pembaca setia, sebelumnya salam kenal dari Author, semoga kalian suka dengan novel ini. Apabila ada kritikan dan saran, silakan tinggalkan di kolom komentar. Dengan senang hati othor akan perbaik untuk lebih baik lagi. Masukan dari kalian adalah ilmu yang berharga. 🙏
Jangan lupa tinggalkan dukungan dengan Like, komen, Favorit, beri vote biar makin semangat, tabur mawar, kopi atau tonton iklan boleh banget di tebar yang banyak yah. 🙏
Yang mau kenalan dengan others boleh follow yuk ig-nya.
Ig : Onasih_Aenta
Fb: Ci Osyih Onasih Aenta
Terima kasih, Happy Reading
Pagi hari yang cerah menyapa, aku sudah berkemas untuk merantau, meninggalkan kampung halaman, keluarga dan juga segala kenangan buruk. Membawa setinggi gunung harapan aku bisa mendapatkan kebahagiaan. Mendapatkan rasa yang sudah lama menghilang dari perasaan ini. Arti keluarga yang baru, dan aku pun sedikit mengharapkan Allah mempertemukan aku dengan jodohku. Meskipun aku tidak berani berharap banyak karena umurku yang sudah tidak muda lagi, aku juga tidak mau berharap lebih karena takut sakit hati nantinya apabila Allah tidak juga mempertemukan jodohku.
Atau Allah ingin sampai ajal menjemput aku tetap suci, karena Allah sudah mempersiapkan aku jodoh terbaik di surga-Nya?
"Kamu yakin Mbak, mau ikut Bi Lastri kerja di Jakarta. Jadi pembantu loh Mbak apa nggak kerja kantoran saja Bapak kamu bisa mencarikan kerja kantoran kalau kamu mau." Ibu kembali bertanya soal ini padaku. Padahal sebelumnya aku sudah bahas kalau aku tidak mau kerja kantoran. Alasanku pengin tetap di rumah, seperti ada rasa trauma ketika banyak orang menatapku, mereka seperti tengah menguliti tubuhku. Sama seperti orang-orang di kampung menatapku seperti aku seorang pezina.
Dilihat dari ujung kaki hingga ujung kepala, setelah itu berbisik-bisik dengan temanya. Ada yang bilang kalau aku ini kena guna-guna jadi laki-laki melihat wajah dan tubuh aku menyerupai nenek-nenek, itu sebabnya aku tidak menikah juga, sedangkan tiga adikku sudah menikah semua bahkan sudah punya anak semua. Hanya aku yang masih menyandang status perawan, yah perawan tua, itu yang mereka sebut padaku.
"Bu, Pak, Lydia sudah yakin, dan Lydia tidak akan menyesal, juga tidak akan membuat Bapak dan Ibu malu, dengan pekerjaan ini. Pembantu juga halal toh Bu, Pak," balasku sekali lagi, dengan memberikan senyum terbaik ku.
Memiliki sifat sabar dan legowo ternyata tidak selalu bisa dihargai oleh orang lain, itu yang aku rasakan, justru seolah aku dimanfaatkan dengan ketidakberdayaan ini. Terutama dengan Lyra, andai bukan karena Bapak dan Ibu tidak akan aku bertahan di rumah itu sampai tiga tahun paska kejadian gagal nikahku.
Tidak jarang hari-hariku bersitegang dengan Lyra karena dia yang menuduh aku keganjenan dengan suaminya, padahal aku sendiri sebenarnya kalau berpapasan sangat malas lebih baik menghindar dari pada berpapasan di dalam rumah kami, itu sebabnya selama hampir tiga tahun aku mengurung diri hanya kerja yang jadi hiburanku.
"Ya udah kalau itu sudah jadi keputusanmu Mbak, Ibu dan Bapak bisa apa, tapi ini beneran kamu nggak mau diantar sampai Jakarta saja dengan mobil pribadi dari pada naik bus, bau dan juga kurang nyaman." Ibu lagi-lagi selalu lebih heboh, beda dengan Bapak. Bapak lebih nerima apa keputusanku, meskipun awalnya sepat nolak juga, tetapi setelah aku jelaskan Bapak akhirnya dukung juga keinginan aku. 'Semua demi kebaikan kamu.' Itu jawaban Bapak, yang membuat aku senang.
"Tidak apa-apa Bu, Lydia naik bis saja," jawabku dengan mantap. Ibu dan Bapak pun tidak protes, dan bisa nerima keputusanku.
Berat? Pasti aku juga merasakan sangat berat terutama meninggalkan kedua orang tuaku.
Bagaimana dengan adik-adikku? Entah aku melihat setelah Ibu dan Bapak memberitahukan niat kerja ke Jakarta mereka justru biasa saja dan seolah mereka sangat senang kalau aku pergi dari rumah itu. Terutama Lyra aku melihat dia adalah yang paling senang dan setuju dengan keputusan aku. Sehingga aku pun sudah yakin bahwa keputusan ini yang terbaik.
Aku melambaikan tangan dari atas bus, ketika bus sudah mulai melaju dengan pelan. Terlihat wajah kedua orang tuaku yang nampak sedih. Tanpa terasa aku juga merasakan pipiku menghangat.
"Ndok, kalau kamu ragu nggak apa-apa kamu balik lagi, dari pada nanti di sana tidak betah. Kerjaan jadi pembantu itu berat loh," Bi Lastri mengagetkan aku yang sedang melamun sedih, apalagi ini adalah kali pertama aku merantau pergi jauh dari orang tua untuk bekerja sebelumnya selama tiga puluh enam tahun aku tidak pernah pergi jauh, kuliah pun aku ambil jarak yang dekat agar bisa pulang pergi setiap hari.
Aku menggelengkan kepala dengan kuat. "Tidak Bi, Lydia nangis karena nggak tega ninggalin Ibu dan Bapak, kalau soal kerjaan Lydia sudah yakin," balasku dengan suara yang meyakinkan Bi Lastri.
Lebih baik jadi pembantu, tetapi pikiranku tenang, dari pada tinggal di rumah orang tua sendiri, tapi nggak kerasan. Yang ada makan hati, itu yang aku rasakan, hampir setiap hari kalau kumpul pasti ada saja sindiran-sindiran dari adik-adikku. Belum warga yang seolah menganggap kalau aku ini sampah masyarakat. Keputusanku udah bulat. Aku tidak akan menyesal. Itu yang ada dalam hatiku saat ini.
"Tapi nanti Bibi dan kamu kerjanya beda Ndok, apa kamu nggak keberatan. Bibi kerja di majikan Bibi alias rumah orang tuanya Den Aarav sedangkan Ndok kerja di rumah Den Aarav yang bibi sudah ceritakan kalau dia itu duda," ucapnya sekali lagi, padahal kemarin Bi Lastri sudah menjabarkannya pada aku dan aku juga tidak masalah dengan hal ini.
"Tidak apa-apa Bi, insyaallah Lydia bisa jaga diri," balasku meyakinkan Bi Lastri, dan beliau pun terus menceritakan kerjaan aku nanti. Di mana pertama-tama aku pasti akan training dulu di rumah Bi Lastri kerja yaitu Nyonyah besar, setelah aku siap dan bisa kerja sesuai apa yang anaknya mau maka aku akan pindah ke rumah majikan yang disebut-sebut dengan nama Den Aarav yang berstatus duda itu.
Sebenarnya ada rasa takut, ketika Bi Lastri bilang kalau pembantu di rumah itu hanya ada aku, tetapi setidaknya aku yakin tidak akan terjadi apa-apa karena di rumah itu ada security yang menjaga rumah itu. Kerjaan aku sendiri selain beres-beres rumah, masak, tapi itu pun kalau majikan aku mau, kalau tidak maka aku tidak diwajibkan untuk memasak, jadi kerjaan utama hanya untuk beres-beres. Hal yang gampang bagiku, aku sudah biasa melakukan hal seperti itu di rumah.
Bahkan aku juga pandai memasak, aku dari kecil sudah tertarik dengan tata boga. Setelah menempuh perjalanan hampir dua belas jam, akhirnya aku sampai di terminal kampung rambutan. Aku edarkan pandanganku menyusuri tempat sekitar, tidak jauh berbeda dengan terminal di kampung, hanya di sini lebih ramai. Iya lah terminal kampung rambutan adalah terminal tersibuk di kota Jakarta.
Setelah dari kampung rambutan aku naik angkutan kota menuju sebuah komplek rumah yang mewah, meskipun aku adalah anak kepala desa dan keluargaku pun termasuk kelurga berkecukupan di kampungku, tetapi aku juga sempat kaget dan kagum dengan rumah majikan Bi Lastri yang gede banget, bahkan rumahnya terdiri dari tiga lantai, udah gitu pembantu di rumah itu banyak, kata Bi Lastri ada empat pembantu termasuk dirinya.
"Kamu letakan pakaian di kamar dulu Ndok. Setelah itu kita temui Nyoya Misel," titah Bi Lastri padaku, aku pun mengikutinya, dan setelah itu Bi Lastri mengajak aku menemui majikan di perpustakaan, sebelumnya aku juga diperkenalkan dengan ketiga pembantu di rumah mewah ini.
"Sore Nyah." Bi Lastri masuk ke dalam perpustakaan setelah mengetuk pintu sedangkan aku mengekor di belakang beliau. Jantungku bergemuruh hebat manakala pertama kali ketemu dengan majikan Bi Lastri, yang itu juga jadi majikan aku juga.
"Gimana Bi, apa ini yang akan kerja di rumah Aarav," ucapnya seraya pandangan mata tertuju padaku, seulas senyum terbaik dan juga anggukan kepala sebagai salam pertemuan aku berikan.
"Betul Nyah," balas Bi Lastri dengan suara yang sopan.
"Baiklah nama kamu siapa? Udah nikah?" tanyanya, dari suaranya yang lembut dan terlihat ramah, aku bisa menyimpulkan kalau majikanku orang yang baik. Iya, itu sebabnya Bi Lastri sudah kerja di rumah ini sampai belasan tahun.
"Nama saya Lydia, saya belum menikah," jawabku dengan jujur.
"Belum menikah? Tapi apa tidak keberatan mengurus anak saya, yang keras dan juga galak. Anak saya juga duda," jelasnya sekali lagi.
"Siap Nyah, saya siap apapun itu kerjaannya, Bi Lastri juga sebelumya sudah memberi tahu semuanya," jawabku dengan yakin.
"Kalau begitu kamu minta ajarkan pekerjaan apa saja pada Bi Lastri, untuk sementara kamu kerja di sini dulu sampai benar-benar bisa untuk dilepaskan mengurus anak saya, soalnya dia kalau ada pekerja yang kerjanya tidak benar akan marah-marah, jadi usahakan kamu kerja yang benar. Sudah ada lima orang yang keluar masuk kerja dengan kami karena tidak sesuai dengan kemauan anak saya," jelasnya dengan detail.
"Baik Nyoya, saya akan berusaha sebaik mungkin," jawabku dengan yakin.
Hatiku lega ketika pertama kali bertemu dengan majikan semuanya lancar, terutama bayanganku kalau majikan galak tidak aku rasakan. Yang ada majikan aku orang yang sopan, ramah dan tidak semena-mena terhadap pekerjanya, sekali pun pada pembantu.
Akankah aku merasakan arti keluarga di rumah mewah ini?
Bersambung...
...****************...
Setelah aku berkenalan dengan Nyonya besar di rumah ini, dan juga para pekerja lain, Bi Lastri langsung menjabarkan apa saja yang nanti aku harus lakukan selama menjadi pembantu di rumah bosku sesungguhnya, yaitu Den Aarav.
Sungguh pertama kali mengetahui pekerjaanku cukup kaget, di mana perkerjaan seharian hampir tidak ada istrirahatnya, tetapi aku masih bersyukur, setidaknya soal masak hanya menunggu perintah dari majikan aku nantinya, sehingga aku lebih difokuskan untuk menjaga rumah dan beres-beres rumah saja.
Bi Lastri pun memberi tahu kalau rumah majikan aku nanti tidak sebesar rumah orang tuanya, aku merasa sedikit lega. Setidaknya aku tidak terlalu cape untuk membersihkanya. Bayangkan kalau rumahnya sama dengan rumah orang tuanya dengan tiga lantai aku yang membersihkan semuanya. Yang ada nanti aku nggak bisa istirahat.
Sudah seminggu aku bekerja di rumah orang tua dari majikanku nanti. Sejauh ini Nyonya Misel puas dengan pekerjaanku.
"Lydia... Lydia." Nyonya Misel memanggiku.
Gegas aku langsung menghampirinya. "Nyonyah panggil saya," jawabku dengan sopan.
"Kamu hari ini masak dan bersiap yah, anak Mamih akan datang ke sini. Dan Mamih lihat kerjaan kamu sudah bagus, jadi kamu mulai besok bekerja di rumah Aarav," jelasnya nada bicaranya yang sopan membuat aku dan yang lainya nyaman memiliki majikan seperti beliau.
"Baik Nyonya, apa ada masakan khusus yang ingin saya masakan untuk Anda?" tanyaku, agar aku tidak kebingungan memilih menu olahan nantinya.
"Kamu masak yang simpel ajah kayak kemarin ayam mentega dengan tumis jagung muda atau apa kemarin kamu masak enak Lyd."
Aku sangat bersyukur, karena ternyata masakan aku bisa diterima oleh mereka. Malah selama seminggu aku bekerja di sini. Lebih banyak aku yang masak itu karena Nyonya yang ternyata cocok dengan olahan hasil tanganku.
"Baik Nyonya, saya pamit dulu." Aku buru-buru menyiapkan bahan-bahan yang akan aku masak, bukan hanya karena Nyonya besar yang menyukai masakan aku, tetapi aku juga senang karena ternyata seharusnya aku di rumah ini paling cepat dua minggu, tetapi justru baru satu minggu aku sudah di pindahkan ke rumah majikan aku yang sesungguhnya.
Ada senang dan juga aku deg-degan karena menurut Bi Lastri, Den Aarav ini sedikit rese orangnya harus sempurna, sudah banyak asisten rumah tangga yang keluar masuk karena sang majikan tidak suka dengan cara kerjanya. Padahal mereka kerja sudah sangat baik.
"Ndok, kata Nyoyah mau pindah sekarang?" Tiba-tiba suara Bi Lastri mengagetkan aku dan aku pun langsung membalikan badan dan menyunggingkan senyumku.
"Iya Bi, alhamdulillah. Lydia pikir paling cepat dua minggu," jawabku, tak henti-hentinya aku mengucapkan rasa syukurku, karena ternyata kerja menjadi pembantu tidak se-horor yang Bapak katakan, yang majikan galak dan kerja cape, belum teman-teman yang saling tidak akur. Justru aku seperti menemukan keluarga baru yang care dengan aku, dari pada di rumahku sendiri. Tinggal satu atap, tapi saling diam, sekalinya berbicara hanya ketika butuh saja.
"Alhamdulillah, Bibi juga ikut senang dengarnya, dan Bibi akui kamu memang anak yang rajin, kerja kamu baik dan pastas kamu cepat pindah ke rumah Den Aarav, tapi kalau nanti sudah di sana kerjanya yang bagus yah Ndok," nasihat Bi Lastri.
Bi Lastri memang tetanggaku, dari kecil beliau tinggal ikut dengan si Mbah, karena orang tuanya sudah meninggal dunia, jadi beliau sudah keluargaku anggap seperti sodara kandung, makanya kami sedekat ini.
"Baik Bi, Lydia tidak akan buat Bi Lastri malu, Lydia akan bikin bangga sama Bibi," jawabku, dengan semangat.
Sejak tinggal di keluarga ini, aku benar-benar merasakan kalau hidupku berwarna lagi, aku seperti terlahir kembali ke dunia ini.
Setelah hampir satu jam memasak aku pun sudah selesai dan menyiapkan hasil olahanku di atas meja makan.
"Mih... Mamih..." Suara yang berat terdengar dari pintu depan. Laki-laki tampan yang sebelumnya tidak aku kenal. Dari sudut mataku aku melihat kalau laki-laki itu datang menghampiriku. Namun aku tetap mencoba tenang, sibuk dengan pekerjaanku menahan diri agar tidak melihat kearah laki-laki tampan itu.
"Mamih di mana?" suara berat, dan terdengar sangat dekat, aku mengangkat wajah. Oh ya Tuhan dia ada di sampingku jaraknya sangat dekat, dan wanginya mengganggu pikiranku.
"Nyo... Nyoya biasanya ada di perpustakaan Den..." jawabku dengan suara terbata dan gerogi, tanpa terasa sekujur tubuhku bergetar, seolah aku baru saja melakukan sebuah kesalahan.
"Panggilkan sekarang, bilang Aarav sudah datang!" titahnya.
"Baik Den." Gegas aku pun langsung menuju ke tempat favorit nyonyah menghabiskan waktunya. Yang aku tahu beliau memang tidak suka keramaian dan hari-harinya lebih banyak di rumah dan memang beliau lebih suka membaca.
Tiga anaknya yang lain tinggal di luar negri dan hanya satu yang tinggal di Indonesia yaitu Den Aarav. Sementara suaminya sendiri juga sibuk bekerja. Itu yang aku tahu, menurut info dari Bi Lastri.
"Nyoya, di depan ada Den Aarav, meminta saya memanggil Anda," ucapku begitu aku masuk ke ruangan yang sangat nyaman itu. Terlihat rona bahagia dari wajah cantik majikanku.
"Baiklah, terima kasih Lyd," ucap Nyonya Misel, langsung meletakkan buku yang dibacanya, dan beranjak untuk menemui putranya.
Aku mengekor di belakang majikanku untuk menemui anaknya yang tak lain dia adalah calon majikan aku.
"Hay Sayang... mamih sudah tunggu dari kemarin, kenapa baru datang sekarang?" tanyanya pada sang putra. Aku melanjutkan pekerjaanku yang tertuda. Ku lirik satu piring sudah terisi makanan yang aku masak. Nampaknya calon majikan aku yang sudah mengambilnya. Aku cukup senang karena itu tandanya beliau juga suka dengan hasil olahanku sama seperti Nyoya Misel.
"Iya Mih, biasa anak Mamih yang tampan sedang sibuk akhir-akhir ini." Aku hanya mendengarkan obrolan mereka tanpa meninggalkan pekerjaanku.
"Oh iya Rav, ini pembantu yang mamih ceritakan. Gimana kamu cocok nggak? Atau mau ganti lagi? Kerjanya sih ok, mamih sih suka dengan cara kerja dia. Masakan yang kamu makan itu hasil olahan dia, gimana enak nggak?" Nyoyah Misel memperkenalkan aku pada putranya.
"Coba dulu ajah Mih, kalau soal cocok nggaknya, Aarav belum tahu kerjaan dia, kalau rajin dan baik bisa dipertimbangkan, dan soal masakan, enak. Aarav suka bumbunya pas, tidak terlalu over tapi rasanya pas," pujinya, dan tubuhnku serasa mau terbang.
Aku lihat sepertinya majikan aku ini orangnya baik juga, semoga saja.
"Kalau gitu, kamu rapihkan pakaian kamu Lyd, biar hari ini juga kamu ikut Aarav mulai kerja di sana. Kamu siapkan?"
Aku mengangkat wajahku dan memberikan senyum yang samar. "Siap Nyah." Tanpa menunggu lama aku pun langsung ke kamarku, dan merapihkan pakaianku, sekalian pamit dengan Bi Lastri dan teman-temanku yang sangat baik, dengan mereka meskipun baru bekerja selama tujuh hari, tapi aku sudah merasakan kalau kita itu sangat dekat.
Aku menghela nafas panjang dan dalam hatiku melafalkan doa kebaikan, karena sejatinya ini baru awal perjuanganku untuk menentukan masa depanku. Aku harus membuktikan pada Bapak, Ibu dan ketiga adikku kalau aku bisa tertawa bahagia lagi, bukan tawa yang terpaksa, seperti selama ini. Aku bisa membuktikan pada mereka bahwa menjadi pembantu juga bukan pekerjaan yang kotor dan rendah.
Bagaimana cara orang menilai pekerjaan kita itu sudah mencerminkan diri kita.
"Semoga Den Aarav bisa menjadi majikan yang baik untuk aku."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!