NovelToon NovelToon

Puberty: Deketin Cewek Jutek Itu

Awalan

~

Kukira kita asam dan garam

Dan kita bertemu di belanga

Kisah yang ternyata tak

seindah itu

Kukira kita akan bersama

Sudah coba berbagai cara

Agar kita tetap bersama

Yang tersisa dari kisah ini

Hanya kau takut kuhilang

~

Tara Aditya, laki-laki yang memiliki bentuk mata bulat dan senyuman lebar, visualnya menawan bak pangeran dari Negeri gingseng. Dia vokalis utama dari band kafe yang beranggotakan dirinya dan empat teman dari kelompok anak komplek perumahan, juga satu sahabat karibnya. Band kafe ini beranggotakan enam laki-laki muda dengan rentang usia yang tidak cukup jauh, hanya berbeda satu tahun saja, tetapi pertemanan yang terjalin cukup baik dan tidak ada kata senioritas di dalamnya sejauh ini.

Tara Aditya, sekali lagi, laki-laki yang memiliki bentuk mata bulat, senyuman lebar, dan suara merdu ini sudah menjatuhkan valensi psikologi terhadap seorang gadis berdarah dingin, irit bicara, dan tentunya cantik di matanya. Mata adalah jendela hati, makanya Tara dibuat jatuh hati—lebih tepatnya jatuh cinta—oleh senyuman menawan, tawa merdu, dan teriakan nyalang gadis itu. Tara Aditya menjatuhkan hatinya kepada gadis itu untuk kali pertamanya. Sebut saja gadis itu adalah cinta pertama seorang Tara Aditya.

Ya, anggap saja seperti itu biar lebih mudah.

Rasanya selalu ada kupu-kupu yang beterbangan di perutnya kala melihat gadis itu tersenyum ramah, meskipun bukan tertuju untuk Tara, tidak apa-apa. Asalkan Tara bisa melihat gadis itu tersenyum, tertawa, dan mendengar suara imutnya kala berbicara, itu sudah cukup bagi Tara. Rasa itu … ah, jatuh cinta itu seperti inikah rasanya?

Oh, inikah cinta? Cinta pada pandang pertama yang sering dinyayikan orang dewasa.

Namun sayang, sepertinya Tara harus mundur bahkan sebelum ia memulai langkah maju ke arah gadis itu.

Tara harus menerima kenyataan jika gadis itu tidak pernah dekat dengan siapa pun di sekolah, tetapi dia sangat lengket dengan satu orang. Perlu Tara beritahukan tentang gadis itu: dia selalu dijauhi dan dibiarkan bersendirian di sekolah. Hal itu membuat Tara ingin sekali melancarkan satu langkah maju ke arah gadis itu saat si empu selalu duduk sendirian sambil menuduk menatap lembar buku yang entah apa isinya.

Tara selalu ingin, tetapi bolehkah Tara mengatakan apabila ia iri terhadap seseorang yang bahkan tidak mengenalnya itu? Tentunya Fanya. Tara iri kepada orang yang berani mecuri langkahnya ke arah Fanya.

Tara iri, tentu saja ia mesti iri sebab ia merasa kalah saing. Akan tetapi, kata Mama, “Dek, kamu itu masih kecil. Masa udah cinta-cintaan? Kebanyakan lihat FTV sama sinetron yang sering kakak tonton, ya? Makanya jadi begini, haduh. Papa, ini anaknya udah tau cinta-cintaan, nih! Cinta monyet, Pa.”

Cinta monyet, ya?

Baiklah, Tara tunjukkan mengapa ia iri. Gadis yang disukainya itu benar-benar tidak kedapatan dekat dengan siapa pun, kecuali dengan orang itu. Ironinya, orang itu ialah temannya sendiri. Ingat: teman Tara sendiri.

Orang itu—tentu saja laki-laki—bernama Revano Aji Pratama, dan Tara Aditya iri kepada Revano yang mudah sekali dekat dengan gadis itu. Revano benar-benar telah membuat Tara iri setengah mati dengan mudah berbicara santai kepada gadis yang disukainya, padahal gadis itu tidak mudah dekat dengan siapa pun.

Tara pernah bertanya kepada Revano: “Vano, lo suka sama Fanya Fransiska?”

Kemudian, laki-laki yang memiliki hidung bangir itu menjawab, “Dih, najis! Vano cuman kasihan aja dia nggak pernah ada yang mau temenin, ya. Inget, dia itukan selalu sendirian. Kasian aja. Jadi, Vano gangguin biar dia ada temennya. Vano baik, kan?”

Dan kini, Tara Aditya tersenyum mengingat ucapan laki-laki itu saat usia mereka masih muda dan polos. Terkadang anak-anak itu akan mengatakan hal jujur tentang apa pun itu, kan?

Ya, Tara Aditya tengah mengingat momen tak terlupakan dari empat tahun lalu mengenai cinta monyetnya, mengenai rasa iri kepada teman karibnya sendiri, dan mengenai perasaan membuncah yang menghadirkan ribuan kupu-kupu di perutnya.

“Vano nggak pernah suka sama lo, Fanya. Ini semua gara-gara gua yang nggak berani bilang ke lo kalo selama ini gua suka sama lo. Vano juga terpaksa ikut taruhan gila itu cuman buat nguji keberanian gua. Ini semua dimulai dari gua, maka gua yang bakalan akhiri ini dengan membuat lo mengetahui hal yang sebenarnya.”

Tara curhat kepada kawannya, Bams, mengenai gadis jutek yang disukainya yang malah dekat dengan sahabatnya sendiri. Kemudian Bams, Hendra, Kaisar dan Surya menyarankan Tara untuk melayangkan taruhan kepada Revano. Jelas Tara tidak terima, sebab yang menyukai gadis itu hanya dirinya, Revano tidak pernah menyukai gadis itu.

Sebuah percakapan dalam ruang grup pesan hari itu benar-benar membawakan kabar yang sangat mengejutkan bagi Tara dan Revano. Tara akui ketika Tara melihat sang pujaan hati di toko buku megah di Bandung telah membuat gejolak membara yang aneh setelahnya. Padahal Tara tidak bertegur sapa dengan si dia, tetapi sensasi membaranya begitu terasa sampai dia menceritakannya kepada Bams. Sejenak, Tara dilanda kedamaian.

Namun, hal yang selanjutnya terjadi adalah sebuah petaka bagi Tara Aditya.

Band TXT [amin] (6)

Dwi Hendra R. : Kalau beneran niat bikin band, sementara kita aja nggak punya vokalis tetap. Kumaha jadinya ini baraya?

V. Kaisar Hermawan : Kayak band enam hari dong, mereka punya posisi tetap walaupun sebenernya mereka multitalenan

Ranggana A. Surya :Emang ada band enam hari?

Dwi Hendra R. : Day6 yang debut tahun kapan dah. Mereka sempet jadi perbincangan baik di twit cewek-cewek karena penampilan mereka pas konser di Jakarta kemaren

Dwi Hendra R. :Jadi, gimana? Mau nggak konsepnya kek band enam hari?

Bhrams Jovaniel: Ayo, ikut tantangan! Siapa yang menang bakalan jadi vokalis utama band TXT.

Ranggana A. Surya : Aing gamau jadi vokalis utama, basist atau vokal biasa aing mau

V. Kaisar Hermawan : Awas aja kalo ada yang mau nyalip gua jadi drummer!

Revano Aji P.: Ayo, siapa takut? @Bhrams Jovaniel

Dwi Hendra R.: Tantangan apa nih? @Bhrams Jovaniel

Tara Aditya: Bang, lo yakin? @Bhrams Jovaniel

Ranggana A. Surya : Geng kita ini udah sering diundang di kafe-kafe, sekalian aja kita resmikan geng ini jadi band.

Bhrams Jovaniel : Tantangannya adalah … siapa yang berhasil PDKT dan bikin cewek terjutek dari SMP Margayu jatuh cinta sama dia, dia yang jadi vokalis utama. Gua bertaruh seharga manggung kita terakhir kali.

V. Kaisar Hermawan : Kalo kalah?

Bhrams Jovaniel : Nggak gimana-gimana, tetap jadi bagian dari TXT. Cuman … kalo kalah, dia harus bayar seharga taruhan.

Ranggana A. Surya : Anjir itu nyampe enam digit!

Dwi Hendra R. : Yaps! Gua gamau ikut, bisa rugi bandar

Revano Aji P. : Hm, boleh juga.

Bhrams Jovaniel : Kalo gitu, Vano jadi orang pertama yang harus bikin Fanya Fransiska jatuh cinta.

Revano Aji P. : Apa? Fanya … Fanya Fransiska yang jutek?

Tara Aditya : Bang!

Dwi Hendra R. : Gua semakin nggak mau ikutan.

Ranggana A. Surya : Gua juga nggak.

V. Kaisar Hermawan : Gua apalagi, nggak mau gua!

Bhrams Jovaniel : Gimana, Van?

Revano Aji P. : Menarik, gua deket sama dia. Urusan bikin dia jatuh cinta mah gampang, tapi gua khawatir Bunda bakalan marah.

V. Kaisar Hermawan : Nyerah sebelum mulai nih?

Bhrams Jovaniel : Karena Hendra, Surya, dan Kaisar nggak ikut, gua, lo, sama Tara yang bakal ikut. Kalau lo menang, lo dapat 642 ribu dari gua dan Tara. Begitu juga sebaliknya.

Tara Aditya : Bang, gua

V. Kaisar Hermawan : Tara, lo udah jadi vokalis TXT berapa kali? Harusnya lo jangan bikin posisi lo direbut dong!

Revano Aji P. : Oke, gua terima taruhannya dan gua bakalan menang.

Tara Aditya: Gua … terima taruhannya, dan gua pastikan gua yang menang.

Sejujurnya, Tara Aditya ini bukanlah pemeran utama.

Lho, terus siapa?

Lanjut baca, yuk?

01. Ramalan Dilan

Apa yang bisa dibanggakan dari seorang gadis yang memiliki perangai buruk, tidak memiliki teman dekat, dan bahkan nyaris menjadi seorang terbelakang yang dikucilkan karena tidak memiliki regu pertemanan?

Bukan cuman itu saja, sih. Akan tetapi, beberapa kategori sebelumnya itu sudah menjabarkan karakter seseorang yang memang pantas dikucilkan. Etika sosialnya mendapatkan predikat minus. Wah, sangat disayangkan sekali bukan?

Hei, tunggu dulu! Masih ada yang harus dijelaskan tentang gadis satu ini. Ya, walau sepertinya akan sedikit membosankan dan memuakkan batinmu kala membacanya.

Memang sih kategori tersebut tidak patut dijadikan sebagai contoh berperilaku, tetapi masih ada predikat plusnya kok. Dia memiliki senyuman lebar yang cenderung manis dengan kadar kehangatan bagaikan mentari pagi. Kalau dia adalah sejenis minuman, sudah dapat dipastikan jika dia adalah caramel macchiato.

Mengapa? Karena rasanya yang cenderung manis dengan kadar kopi yang tidak terlalu banyak. Ah, selain itu masih ada predikat plus lainnya. Gadis ini cukup andal di bidang akademik, dia menyandang gelar sebagai juara dua paralel dalam empat semester terakhir, itu setara dengan dua tahun ajar. Dia memiliki gelar kehormatan: Ratu Paralel II, setelah sekian lama SMP PGRI Margayu memiliki kandidat ratu paralel sejak lima tahun terakhir.

Namun sayang, predikat plus yang dimilikinya ini tak jua dapat melerai predikat minus yang ada pada dirinya sendiri. Penyebabnya adalah perangai buruk dan sikapnya yang tidak mencerminkan sang Ratu Paralel SMP PGRI Margayu.

Gadis ini selalu kedapatan tertidur di kelas, bahkan ketika jam pelajaran tengah berlangsung. Saat jam istirahat dia malah terbangun dan kemudian bertempur dengan buku-buku serta para soal yang ada di bab selanjutnya. Terkadang teman sekelasnya dibuat terheran, gadis ini seakan-akan memiliki kecerdasan di atas rata-rata dengan berusaha sekeras mungkin di akademik, tetapi dia tidak pernah bisa mengalahkan sang juara satu paralel. Sang raja yang selalu disandingkan dengannya, sang raja yang—mari bahas sang raja di lain waktu saja.

Fanya Fransiska, juara dua paralel dan menjadi salah satu primadona SMP PGRI Margayu, sang ratu yang posisinya selalu menemani dan bertarung langsung di medan tempur olimpiade, bersama raja dan prajurit sekolah.

Gadis yang kelihatan sangar sebab sikap pendiam, dan yang paling ikonik ialah dengusan pelan dan suara yang tertahan di mulutnya kala dia benar-benar sedang kesal, atau tidak suka dengan seseorang—bahkan mungkin dia memang membenci orang-orang, makanya dia bersikap dingin kayak gitu.

Fanya itu sebenarnya sudah cantik bak visual grup idola, manis persis kayak caramel macchiato, bersikap dingin karena dia benar-benar mengekspresikan dirinya yang tidak mau berurusan dengan banyak orang, dalam artian: dia menolak secara halus orang-orang yang hendak dekat dengan dia. Ya, menolaknya dengan cara bersikap dingin sebab dia mengaku bisa mengetahui sikap orang lain hanya dari sorot mata dan gestur tubuh seseorang.

Namun, dia bukan indigo. Dia benar-benar seorang remaja perempuan yang kebetulan tidak pandai berkomunikasi dengan baik kepada orang-orang. Dia memiliki impian layaknya remaja perempuan pada umumnya. Mati-matian fokus di akademik demi mengejar nilai suatu mata pelajaran yang bisa membawanya naik ke jenjang yang dia impikan beberapa waktu terakhir.

Dia ingin menjadi seorang desainer dengan memenuhi nilai matematika, bahasa Indonesia, bahasa asing, dan keterampilan adalah target seorang Fanya untuk saat ini. Menjadi juara dua? Tidak masalah. Menjadi juara tidak ada dalam daftar targetnya selama ini, bisa dikatakan predikat juara adalah apresiasi dan hadiah yang patut dia terima dengan suka cita atas perjuangannya.

Semua tentang gadis ini, Fanya Fransiska, memang membingungkan. Lihatlah kali ini, dia melakukannya lagi, lagi, dan lagi selama tiga hari terakhir selepas libur panjang per semester, ralat, libur kenaikan kelas yang panjang.

Di pojok kiri ruangan yang jauh dari pintu masuk kelas, terdapat dua gadis yang duduk bersama dengan posisi berbeda. Mereka sama-sama termenung dalam posisinya sendiri namun juga mereka tidak terganggu sama sekali dengan hal lain. Sampai beberapa saat kemudian, salah satu di antaranya—dia seorang gadis dengan rambut dikepang dua menjuntai sebatas dadanya—dia memecahkan kenyamanan hening yang menyelimuti mereka berdua.

"Fanya, bangun woi!" perintah seorang gadis yang tengah duduk di sebelahnya.

Mulai terusik karena kegiatan memejamkan matanya telah diganggu, ia mengeluarkan suara yang tertahan di mulutnya. “Ganggu banget! Udah bagus cari kursi lain, malah ngotot duduk di sini dengan geser kursi lain ke sini!”

Tempat duduknya berada di barisan paling belakang. Meskipun begitu, tidak membuatnya terganggu sama sekali. Nyaman, ungkapnya begitu.

Gadis ini mulai kesal oleh suara benda yang mengganggu indera pendengarannya sedari tadi. “Aku masih bisa denger loh!” peringatnya. “CK! Itu henpon di kolong meja kamu berisik tau!” Mencoba memberitahukan teman sebangkunya itu, Fanya.

Gadis ini sengaja membuat Fanya kesal dengan mengungkit sebuah ponsel yang diletakkan di kolong meja, padahal ada suara nyaring lainnya yang lebih menganggu. Suara tawa dan teriakkan membahana dari teman sekelas mereka yang lain.

Terpaksa ia merogoh ke dalam kolong meja dengan kepala yang masih bersandar mesra pada meja berwarna hijau itu. Perlahan, ia membuka matanya dengan kerutan di antara alis yang menukik tajam. Dengan tatapan mata tajam, menyipit, serta bibir yang mengerucut cemberut. Dia mendelikkan matanya dan beralih menatap ke objek yang duduk di sampingnya. Objeknya itu tengah menatap heran ke arahnya dan dia langsung memancarkan aura suram di sekitarnya.

“Siapa yang telepon? Tadi bergetar terus-terusan takutnya penting, makanya aku bangunin kamu,” ucap gadis kepang dua sedikit menjelaskan.

Fanya terdiam sambil menatap tepat kepada manik mata objeknya itu. “Hanalya.”

Hanalya Putri Suherman, putri sulung pasangan Brigadir Polisi dan seorang Psikolog Anak. Hanalya adalah salah satu teman Fanya yang bisa disebut sebagai penyelamat gadis jutek itu. Hanalya memaksa berteman kepada Fanya pada tahun lalu saat kenaikan kelas delapan. Hanalya adalah gadis yang kelihatan sarkas padahal dia begitu ceria, meskipun dia agak naif. “Iya, Neng?”

“Kita baru berteman selama dua belas bulan, kan?”

“Iya, itu pencapaian pertemanan yang baik buat aku karena nggak bikin temenku menjauh. Kenapa?”

Benar, Hanalya dan sifatnya yang ceria dan sedikit naif itu membuat siapa saja yang menjadi teman barunya perlahan akan menjauhinya. Bukan hanya naif, Hanalya terlalu mudah membicarakan kebahagiaan dan kesedihannya sebagai seorang anak dari Brigadir Polisi yang erapkali menyambangi sekolah manapun di sekitar Margayu.

Salah satu alasannya adalah karena takut kenakalan mereka akan diadukan Hanalya kepada sang ayah, dan salah duanya adalah sadar diri akan menjuruskan Hanalya ke arah pergaulan yang menyenangkan suatu hari, tetapi bagi keluarga Hanalya malah dipandang tidak menyenangkan dan dicap sebaliknya.

Hanya seorang Fanya yang tidak sama dengan teman-teman baru Hanalya lainnya. Di saat yang lain takut akan tersudutkan oleh kedudukan ayah dari Hanalya, Fanya tidak. Di saat yang lain asik melakukan tindakan non-disiplin, dan takut akan diadukan Hanalya lalu berakhir di meja BK, Fanya dengan santai melakukan tindakan non-disiplin itu di hadapan Hanalya bahkan mengakuinya di hadapan ayah dari gadis naif ini.

“Kamu kasih nomorku ke siapa lagi kali ini?”

“Nggak banyak … selain si Bule dan Nunu kemarin, aku cuman kasih ke Jia dan yang paling terbaru itu aku baru kasih ke—”

“Oke. Berarti kamu pelakunya!”

Hanalya tertegun. “Apa? Pelaku?” Lebih tepatnya dia kebingungan. “Kamu masih melindur, ya?” Hanalya melebarkan matanya sambil menarik senyuman miring seolah meremehkan sekaligus memaklumi ucapan Fanya. Akan tetapi, Hanalya termenung saat Fanya menunjukkan layar ponsel kepadanya. “I–Itu … itu siapa, ya? Kok iseng banget sih?”

[WhatsApp]

+62 839-xxxx-0143

Blokir | Tambah

| Hai, sayang!

| Eh, maaf keceplosan

| Aku ramal kamu bakalan jadi sayangnya aku kok, suer

| Apa kabar, Aya?

| Aku ramal kita bakalan ketemu secepatnya!]

“Itu pasti si Bule!” tuduh Hanalya. “Atau mungkin Nunu? Secara dia, kan, deket sama si Bule yang isengnya melebihi Gian dan Suneo,” tambahnya.

Si Bule ialah sebutan dari Hanalya untuk seorang laki-laki berparas oriental yang memiliki bentuk mata sipit, dia tampan dan keren, tetapi di mata Hanalya dia itu jelek dan menyebalkan. Laki-laki itu bernama Mikel. Sementara itu, Nunu adalah nama panggilan seorang laki-laki yang mana memiliki adik kembar yang menjadi teman dekat Hanalya. Nama laki-laki itu adalah Wisnu, sedangkan teman Hanalya yang merupakan adik kembar Wisnu adalah Jia.

Tidak mengindahkan ucapan dan pembelaan dari Hanalya yang menurutnya tidak ada benarnya sama sekali. Menggumam pelan sambil memalingkan kepalanya menghadap ke arah lain, dan kembali memejamkan matanya. “Udah salah, nggak mau ngaku lagi!”

Sudah dibertahukan bukan? Perangainya itu minus sekali, padahal otak dan visualnya poin plus. Memang tidak bisa disamakan dengan seorang ratu terdahulu, tetapi Fanya itu seperti seorang ratu berparas sangat cantik, tetapi ternyata dia sangat kejam. Hm, kira-kira siapakah sosok ratu itu?

Ah, selain itu, dia benar-benar seorang non-disiplin. Buktinya dia berani membawa ponsel ke sekolah, padahal di PGRI Margayu dilarang membawa benda-benda komunikasi walaupun itu sebagai alat tukar kabar kepada orang tua, tetapi tetap saja tidak diperbolehkan membawa ponsel ke sekolah. Makanya, sang Ratu Paralel II ini memang tidak ada yang bisa dibanggakan darinya selain prestasi akademik dan visualnya saja, kan?

**Halo, kamu datang dari mana?

Asal kota mana?

Aku? Nanas-imnida dari Bandung**.

02. Bukan Kebetulan

Biasanya jika sedang dalam mode dingin, banyak diamnya, dan selalu mengeluarkan suara yang tertahan di mulutnya, Fanya itu sedang kelelahan. Bisa jadi gadis itu habis maraton drama Korea semalam, atau asyik berkencan dengan materi baru untuk kelas sembilan. Anak perempuannya Dimas Ferdiansyah dan Ana Fransiska ini terlalu rajin dengan mempelajari materi baru, padahal berjumpa dengan gurunya saja belum.

Meskipun begitu, Fanya diam-diam menyukai kegemaran remaja perempuan lainnya. Dia suka maraton drama Korea, menyukai grup idola dari negeri ginseng itu, dan mengakui dirinya sebagai kekasih dari kak JK Bities. Gadis ini, dia adalah Fanya Fransiska si ratu paralel dingin yang nyaris tidak memiliki teman atau regu pertemanan selama dia bersekolah.

Namun, semua penilaian buruk itu hancur lebur dan tidak memiliki korelasinya dengan seorang Fanya. Memang benar gadis itu bersikap dingin, jutek, jarang tersenyum, dan sedikit kasar juga kepada segelintir orang, tetapi semua penilaian buruk itu hanya diambil berdasarkan kulitnya saja tau.

Buktinya, jika berada di luar sekolah dan asyik berdua dengan Hanalya atau bertiga dengan satu orang teman Hanalya yang bernama Jia itu, Fanya adalah gadis yang banyak tersenyum.

Sudah pernah dijelaskan juga senyuman yang Fanya miliki itu seperti apa, kan?

Yup! Caramel Macchiato. Dia juga memiliki lesung pipi samar dan satu tahi lalat kecil di wajahnya. Matanya yang sipit dan tajam itu seringkali menjadi bahan penilian pada kali pertama oleh orang-orang baru ketika mengenal Fanya. Ya, Fanya si sangar itu ada, tetapi Fanya yang ceria itu lebih eksis tahu!

“Aya, beneran itu bukan Nunu atau Mikel, loh. Mau Jia bantu sebar nomornya dan tanyain ke temen-temen Jia?”

“Nggak usah, Jia. Kayaknya ini sama aja kayak sebelumnya, dia iseng … dan kalo udah puas juga bakalan berhenti.”

“Udah aku bilang sama kamu, Neng. Terima pernyataannya Zico dan kalian beneran jadi pasangan King and Queen Margayu sesungguhnya! Biar apa? Biar nggak ada teror iseng macam ini lagi. Zico bisa menjamin keselamatan dan privasi kamu karena dia anak basket yang selalu juara, ingat, dia juga seorang Medali.”

“Diam kamu, Han! Kamu udah ngaku sebagai tersangka utama yang udah sebar data pribadi aku, diam aja kalo udah jadi pelaku! Nanti aku laporin ayah kamu dan kamu bakalan dihukum dengan pasal baru. Mau lagi?”

Pernah terjadi satu hari, Fanya diadukan kepada Bapak Polisi tercinta, ayahnya Hanalya, untuk alasan tindakan non-disiplin, bersikap kejam, dan kebanyakan diam kepada Hanalya yang sudah ngebet berteman dengan Fanya. Sejak pertemuan pertama setelah sekian lama di antara orang tua mereka, yang terjadi ketika pembagian rapor kelas tujuh, yang mana menjadi agenda kenaikan kelas juga kala itu.

Kemudian, para orang tua siswa datang untuk menerima penyerahan rapor siswa dan yang terjadi adalah reuni dadakan antara bapak-bapak dari putri tercinta mereka. Ya, ayah Hanalya dan papa Fanya bertemu setelah sekian lama, kabarnya mereka teman sejawat saat SMA yang berpisah karena perbedaan profesi yang mereka geluti.

Singkat cerita, Hanalya mengadukan perilaku buruk Fanya kepada ayahnya yang notabene seorang petugas Polri, dan memiliki jaringan untuk mengusut kasus kejahatan atau kriminal. Nah, Hanalya mengadukan Fanya terkait tindakan non-disiplin selama di dalam kelas dan melanggar peraturan sekolah juga.

Alhasil, Fanya kena semprot Pakpol dan sempat didakwa mendapatkan pasal-pasal pelanggaran yang biasa dilakukan pelajar. Tentunya masih bisa selamat dari kurungan penjara karena posisinya masih seorang pelajar dan anak yang mendapat perlindungan dari KPAI.

Namun kocaknya, Fanya tidak bereaksi penuh ketakutan atau tersudutkan sedikitpun. Malahan, Fanya tersenyum bahkan sampai terkekeh sambil menyimak dakwaan terhadap dirinya. Kemudian, dia mengatakan pembelaan di depan seorang Brigjen Polisi itu serta di hadapan anaknya yang merupakan teman barunya kala itu.

Ah, awalnya Fanya enggan mengakui jika Hanalya itu teman barunya karena Hanalya-lah yang memaksa Fanya untuk berteman, bahkan sampai memaksa Fanya untuk ikut pulang bersama jemputan dari Brigjen Polisi.

Dengan nada bicara yang cenderung datar dan tidak mengandung emosi serapan seperti kesal atau semacamnya, melainkan biasa saja dia berbicara, sesantai itu. “Om Polisi, kalo aku dapat pasal 4, poin ke-3 dari bab larangan, dan mendapatkan sanksi serta hukuman skorsing selama tiga hari, itu nggak kasih efek apa-apa terhadap aku.

“Malahan aku bakalan senang, maaf saja Om, aku ini udah capek berhadapan sama orang-orang di sekolah, tapi Mama bilang aku nggak boleh sampai homeschool.”

Lalu, Fanya juga mendakwa Hanalya pada akhirnya dengan mengatakan, “Om, ada nggak sih pasal buat orang yang suka memaksakan kehendaknya sendiri terhadap orang lain?”

“Seperti apa itu, Fanya? Coba kasih Om paham,” tanya sang Brigjen Polisi.

“Seperti Hanalya yang memaksa Fanya untuk berteman dengan dia, memaksa Fanya untuk ikut pulang bersama juga, dan ah … dan dengan tindakan kekerasan serta mengancam juga, Om.

“Kalo Fanya nggak ikutin kemauan dia, Fanya diancam pakai data pribadi seperti nomor ponsel dan akun sosial media yang sengaja Fanya privasikan dari semua orang, rencananya Hanalya bakalan sebarkan informasi yang bersifat pribadi itu, Om. Itu masuk ke dalam pasal dari UU ITE, nggak?”

Mampus gue! Ayah bakalan lost respect sama lo, Han! Batin Hanalya berteriak meratapi nasibnya kala itu.

Hasilnya? Hanalya diceramahi ibunya saat di rumah, sementara sang ayah hanya terkekeh sambil menjelaskan mengenai pasal-pasal dan pelanggaran yang dilakukan pelajar, sampai hukuman dan tindakan penyelesaiannya. Sedangkan itu, Fanya dan Hanalya mulai dekat bak kembar sejak insiden pengaduan itu.

Di Tamansari mereka berjalan beriringan sambil sesekali cekikikan menanggapi cerita yang Hanalya ungkap tentang insiden pengaduan dan insiden datangnya nomor asing iseng yang ke-14 kalinya itu. Iya, Fanya terpantau menerima sekitar 14 nomor asing yang iseng kepadanya.

Keberadaan mereka di Tamansari ada maksudnya, mereka bertiga; Fanya, Hanalya, dan Jia hendak bertandang ke rumah Jia yang berada di sekitar Tamansari. Tamansari luas, tetapi tidak seluas itu, dan sialnya rumah Jia berada di ujung yang tidak memiliki akses jalan lain selain jalanan ini. Menyusuri setiap rumah yang berserakan dengan gaya jadul bergaya Belanda.

“Sayang!”

Kompak tiga gadis remaja itu menahan suara mereka dan segera mencari tahu siapa yang memanggil sekencang dan lancang itu. Merusak pendengaran saja tau. Di seberang jalan sana, di depan sebuah rumah yang pagarnya terbuka, terdapat seorang laki-laki dengan seragam SMP melekat di tubuhnya, sayangnya kemeja putihnya itu merusak estetika pelajar SMP, dia menampakkan kaus putih polos dan terdapat kalung menjuntai hingga dadanya. Laki-laki ini menenteng tas gitar sambil tersenyum cerah ke arah—sialnya ke arah mereka bertiga. Sontak membuat Jia dan Hanalya berspekulasi yang tidak-tidak.

Jia masih menyempatkan diri untuk mengingat-ingat laki-laki itu. “Itu pentolan SMP 2, dan dia temen SD-nya Nunu.”

“Dia manggil siapa? Bukan di antara kita, kan?” tanya Hanalya.

“Kayaknya bukan, dia itu dikenal iseng banget. Eh tunggu dulu! Nunu pernah bilang kalo kalian satu sekolah.” Menatap Fanya yang berada di samping Hanalya. “Jangan-jangan ….”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!