"Om, Tante, izinkan aku melamar Violetta untuk jadi istriku," ujar David tiba-tiba, setelah selesai makan malam bersama. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak perhiasan berisi cincin, dari saku celananya.
Kedua bola mata Floretta langsung membulat lebar, ketika mendengar pernyataan tersebut.
"David, kamu lagi ngapain?" ucap Flo dengan suara bergetar. Dia berharap semua ini hanya candaan semata.
"Kamu nggak dengar aku bilang apa barusan? Aku melamar Violetta sebagai calon istriku," sahut David mengulang pernyataannya.
"Y-ya tapi kenapa kamu melamar Kak Vio? Pacar kamu i-itu kan ..." Floretta tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya, melihat tatapan tajam dari Violetta.
"Hah, cewek gila ini rupanya merasa ada hubungan spesial denganku. Aku selama ini baik padamu, karena kau adalah adik dari Olivia. Mana mungkin aku menyukai gadis pelayan yang jelek kayak kamu," kata David sambil tertawa mengejek.
"Uh!" Floretta menggumam kesal. Tak disangka dia dikhianati oleh kekasihnya seperti ini.
"Gimana Om, Tante?" tanya David tidak mempedulikan gadis malang yang hampir menangis itu.
"Kami udah cukup lama mengenalmu, Nak. Sepertinya tidak ada masalah soal itu. Semua jawaban terserah pada Vio saja," ujar Jayden pada David. Dia bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah Floretta, putri bungsunya.
"Ayah, tunggu dulu. Ini pasti ada salah paham," ucap Floretta menghentikan acara lamaran itu.
"Hentikan, Flo! Di mana sopan santunmu? Beraninya kau teriak-teriak di tengah acara lamaran begini!" bentak Olive pada putri bungsunya itu.
"Apa? Bahkan Ibu pun membela mereka?" isak Floretta. Dadanya terasa sesak diperlakukan tidak adil seperti itu.
"Memangnya kenapa kalau aku yang dilamar? Apa gadis yang bekerja sebagai pelayan dan tukang kebun seperti kamu, pantas mendampingi pengusaha muda seperti David?" ujar Violetta angkat bicara.
"Apa ini artinya kamu menerima lamaranku, Vio?" tanya David dengan mata berbinar-binar.
"Tentu saja. Aku nggak akan melewatkan kesempatan emas, yang nggak akan datang dua kali," jawab Violetta dengan tegas.
Floretta menundukkan kepala dengan sedih. Sejak kecil dia memang diperlakukan berbeda dibandingkan kakaknya, karena dianggap tidak cantik. Floretta juga hanya diizinkan mengenyam pendidikan sampai di bangku SMP.
Sejak tamat SMP, gadis berusia sembilan belas tahun itu bekerja di perkebunan kentang dan wortel di saat musim panas. Sementara di saat musim dingin, dia bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan. Di sanalah dia bertemu David, yang kemudian menjadi kekasihnya.
Merasakan ketidakadilan sejak kecil, Flo benar-benar tidak menyangka jika kekasihnya berkhianat, dan memilih Violetta sebagai istrinya.
"Nggak usah menangis. Suaramu mengganggu telingaku," tegur Olive. "Bereskan piring-piring ini, lalu pergilah ke dapur. Sebelum pukul sepuluh malam, semuanya harus sudah bersih," sambung ibunda Floretta tersebut.
“Baiklah, lakukan saja apa yang kalian sukai. Aku juga nggak akan mengemis cinta pada seorang pengkhianat,” ucap Floretta dengan lantang dan tegas. Dia menutupi hancur di hatinya dengan senyuman, agar tidak semakin diremehkan mereka.
Gadis itu lalu beranjak ke dapur, sembari membawa setumpuk piring kotor. Sembari mendengarkan music favoritnya, Floretta pun mencuci piring di sana.
Hurrr … Hurrr … Tiba-tiba seekor burung hantu, datang dan bertengger di jendela dapur.
“Ada apa, Gufo? Hari ini aku nggak punya tangkapan tikus untukmu,” ujar Floretta sambil melirik sekilas.
Gadis mungil itu rupanya sudah biasa dengan kedatangan burung hantu liar di dapurnya. Bahkan dia sudah memiliki panggilan khusus untuk burung hantu itu.
Pluk! Burung hantu itu meletakkan setangkai bunga rumput pada Floretta.
“Wah, rupanya kau datang untuk memberi hadiah padaku? Terima kasih. Rasa sedihku jadi sedikit berkurang,” ucap Floretta sembari tersenyum.
...🦇🦇🦇...
Hari pernikahan Violetta Green dan David Gray.
"Hei, cepat rapikan gaunku! Aku harus tampil sangat cantik di pernikahan ini," perintah Violetta.
"B-baik, Kak," ucap Floretta sembari merapikan gaun dan veil yang digunakan oleh Violetta Green, di hari pernikahannya.
"Haaah, apa sebenarnya yang sedang aku lakukan. Pacarku sebentar lagi akan menikahi kakakku. Tetapi aku malah di sini membantunya berdandan? Apa kamu nggak punya harga diri, Floretta Green?" tangis Flo dalam hati.
"Oh iya, Flo. Kau udah membereskan semua barang-barangmu, kan?" ucap Violetta. Salah seorang perias memasang liontin di lehernya yang jenjang.
"Membereskan barang-barangku?" ulang Floretta tak mengerti.
"Ya, semua barangmu. Hari ini aku menikah dengan David Grey. Jadi kau harus keluar dari kamar itu sekarang juga," kata Violetta sambil menatap adiknya dengan sinis.
"T-tunggu! Kamar kita kan berbeda. Tapi kenapa aku harus keluar dari kamarku sendiri? Lagian, bukannya setelah menikah nanti kakak akan pindah ke rumah pria itu?" ucap Flo. Dia tak terima diusir seperti itu.
"Barang-barang lama akan aku ganti, dengan barang-barang baru pemberian suamiku nanti. Karena kita nggak punya gudang, jadi aku mau menggunakan kamarmu yang sempit dan kumuh itu sebagai gudang," jelas Violetta seenaknya.
"Lagian kamu nggak mungkin tidur di sebelah kamar pengantin, kan? Apa kamu mau mengintip malam pertama kami?" tanya Violetta dengan nada menyindir.
"Bu-bukan gitu. Tapi nanti aku harus tidur di mana?" ujar Flo.
"Ya itu sih bukan urusanku. Ayah dan ibu saja tak masalah kok, aku menggunakan kamar itu sebagai gudang? Kau kan bisa cari tempat kos atau rumah sewa sendiri," kata Violetta dengan cuek.
"Di mana aku mencari tempat kos dan rumah sewa, mendekati musim dingin seperti ini? Kalau pun ada, pasti biayanya semakin mahal," kata Floretta lagi.
"Sudah ku bilang, itu bukan urusanku. Kalau nggak mau ribet, ya kau tidur aja di gudang kentang milik majikanmu itu," balas Violetta sembari tertawa.
"Intinya, aku nggak mau tinggal serumah dengan orang, yang mengganggap calon suamiku adalah pacarnya. Mengerti?" imbuh Violetta lagi.
...🦇🦇🦇...
Upacara pernikahan berlangsung dengan sangat lancar dan khidmat. Para tamu pun kini sibuk menikmati beragam makanan yang dihidangkan, sembari menikmati musik yang mengalun indah.
Tiba-tiba semua pasang mata mengalihkan pandangan mereka dari sang pengantin. Seorang pria muda dan tampan, berjalan di tengah-tengah aula dengan gagahnya. Bola matanya yang berwarna kecoklatan, mirik ke kiri dan ke kanan seperti sedang mencari sesuatu.
"Hei, dia Alden Black si pengusaha muda itu, kan?" bisik para gadis.
"Iya, benar. Katanya dia peringkat satu di majalah bisnis. Ternyata dia tampan sekali ya, kalau dilihat dari dekat," bisik gadis lainnya.
"Tapi katanya dia selalu menolak gadis yang menyukainya. Apa dia sebenarnya nggak normal?" celetuk seorang janda.
Pria dengan jas hitam dan kemeja biru di dalamnya itu memperlambat langkahnya, lalu menoleh sejenak ke arah gadis-gadis yang membicarakannya.
"Kyaa! Ganteng banget. Padahal dia nggak senyum, tapi kenapa dia tetap terlihat ganteng, sih?" sorak para gadis itu.
"Selamat datang, Tuan Alden. Saya senang sekali Anda menghadiri pernikahan saya." David menyambut tamunya spesialnya dengan wajah sumringah.
"Terima kasih atas sambutannya. Tetapi aku datang ke sini bukan untuk menghadiri pernikahanmu," sahut Alden dengan tegas.
"A-apa? Lalu?" Wajah David merah padam menahan malu.
"Aku ingin menjemput gadis itu," ujar Alden seraya menunjuk ke arah Floretta yang membawa teko berisi jus apel.
"Eh, Floretta?" Kali ini Jayden yang bertanya.
"Ku dengar setelah pernikahan ini dia nggak punya tempat tinggal lagi. Jadi biarkan aku membawanya," kata Alden dengan tatapan datar namun tegas.
"Oh, Anda pasti membutuhkan pelayan baru, ya? Boleh saja. Tetapi bisakah kita membahasnya setelah acara pernikahan?" jawab Olive pula.
"Ibu ..." gumam Flo sedih, seakan dijual oleh ayah dan ibunya sendiri.
"Bukan sebagai pelayan, tetapi sebagai istriku,” balas Alden tanpa senyum sedikit pun di wajahnya.
"Eh, apa???" Tanpa sadar Floretta menjerit di tengah aula pernikahan tersebut.
(Bersambung)
"Bukan sebagai pelayan, tetapi sebagai istriku," balas Alden tanpa senyum sedikit pun di wajahnya.
"Eh, apa???" Tanpa sadar Floretta menjerit di tengah aula pernikahan tersebut.
"A-anda bercanda, kan? Masa pria mapan dan tampan sepertimu mau menikahi gadis biasa seperti dia? " tanya Olive Green tidak percaya.
"Aku mengerti, A-anda pasti ingin menjaga harga diri Floretta di depan umum begini," imbuh wanita empat puluh tahunan itu.
"Tentu saja saya serius, Bu Olive. Aku ingin meminang Floretta Green putri bungsu Anda, sebagai istriku. Dia wanita yang paling tepat untuk mendampingiku," tegas Alden Black.
Semua orang di ruangan itu ternganga, mendengar lamaran dadakan yang dilakukan oleh pengusaha paling sukses di kota itu. Para gadis menatap Floretta dengan iri.
"Uh, ini nggak adil. Kenapa Floretta malah dipinang sama pria tampan dan kaya raya seperti Alden?" Sang Pengantin Wanita yang cantik jelita pun menatap Floretta dengan tajam.
"Padahal aku udah merebut kekasihnya. Seharusnya aku jauh lebih pantas jadi istri pengusaha kaya raya itu, dibandingkan seorang babu seperti Floretta," sambung Violetta dalam hati, dengan rasa iri dan penuh kebencian.
"Pak Jayden, saya mohon izin untuk membawa putri Anda pergi," kata Alden sambil menunduk hormat. "Aku akan menempatkannya di sebuah apartemen tengah kota bersama pelayan khusus wanita, sampai hari pernikahan kita tiba," imbuh pria itu.
"Aku mengizinkanmu, Nak. Nanti barang-barang Flo akan kami kirimkan menyusul," ucap Jayden penuh semangat, disertai anggukan kepala Olive Green. Mereka merasa bangga karena seorang konglomerat melamar putrinya.
"Tu-tunggu dulu, Tuan Alden. Kenapa Anda harus membawa dia? Floretta itu cuma gadis rendahan lulusan SMP. Dia nggak bisa mendampingi pengusaha sukses seperti dirimu," protes Violetta, yang sejak tadi hanya melihat saja.
"Kamu tadi nggak dengar, ya? Sejak awal aku memang ingin menjemput gadis manis, yang kau bilang wanita rendahan ini," jawab Alden dengan tatapan sinis.
"Nona Floretta Green, kamu mau menjadi istriku, kan?" tanya Alden Black pada Floretta dengan suara lembut dan tatapan manis.
"Tentu saja tidak, Tuan." Tak disangka, rupanya Floretta justru menolak lamaran dari pria yang diinginkan seluruh gadis di kota itu.
"Kenapa nggak?" tanya Alden penasaran, tetapi wajahnya tidak menunjukkan raut marah atau pun kecewa.
"Aku nggak mengenalmu, Tuan. Bagaimana aku bisa menikah denganmu?" jelas Floretta.
"Hei, kenapa kamu bilang gitu? Kesempatan emas kayak gini nggak akan datang dua kali," omel Olive, sambil mencubit pinggang putri bungsunya itu.
"Hahaha, maaf Tuan Alden. Gadis ini kadang emang minim etika, karena dia nggak sekolah," ujar Jayden sambil melirik tajam pada Floretta.
"Ta-tapi ..."
"Sudahlah, Nak. Kapan lagi kamu mau membalas budi pada orang tua yang sudah membesarkanmu ini," bujuk Olive sambil membelai rambut Floretta yang panjang.
Floretta merasa risih dengan perlakuan itu, karena sejak kecil ibunya tidak pernah memperlakukannya dengan kasih sayang seperti itu.
"Benar yang dikatakan ibumu. Kalau kamu menolaknya di tempat umum seperti ini, hanya akan menjadi aib bagi kedua belah pihak," bisik Jayden pula.
"Ayo kita pergi, Nona cantik. Kita nggak punya urusan apa-apalagi di sini," Alden mengulurkan tangannya untuk mengajak Floretta pergi.
Tak punya pilihan lain, Floretta pun terpaksa pergi bersama pria asing itu. Pesta pun menjadi kacau balau. Para tamu sibuk berbisik dan menatap kepergian Floretta dengan iri.
"Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan dia pergi begitu saja? Aku nggak rela dia mendapat suami yang lebih kaya dari pada aku," protes Violetta.
"Apa maksudmu, Violetta? Belum ada sehari kita menjadi suami istri, tapi kamu udah membandingkan aku dengan pria lain?" marah David.
"Uh, bukan begitu maksudku ..." Violetta merasa serba salah.
"Biarkan saja dia pergi. Pria itu kan kaya raya. Kalau dia menikahi adikmu, pasti akan memberikan hadiah pernikahan yang sangat besar untuk keluarga kita," sahut Olive, disertai anggukan kepala Jayden.
...🦇🦇🦇...
"Namamu Floretta Green, kan?" ucap Alden, sembari memandang Flo dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Benar, Tuan. Itu namaku," jawab Floretta dengan kaku.
"Tadi pria ini bilang sengaja ingin menemuiku, kan? Tapi kenapa dia masih memastikan namaku lagi? Lagipula, untuk apa dia mencariku? Aku ini bukan siapa-siapa dan sama sekali nggak populer di kota ini." Floretta menatap pria tampan di hadapannya dengan curiga.
"Namamu cantik dan unik," kata Alden. Seulas senyum terukir di wajahnya yang tampan.
"E-eh? Terima kasih," jawab Floretta.
Seluruh panca indra gadis itu tidak bisa berhenti waspada. Dia masih menaruh curiga, pada pria yang mengaku ingin menikahinya.
"Mana mungkin seorang pengusaha sukses seperti dia mau repot-repot menjemput seorang upik abu kayak aku? Apa jangan-jangan dia ingin menjadikanku pelayan tanpa bayaran? Atau dia ingin menjual organ tubuhku? Jadi karena itu dia kaya raya?" Pikiran Floretta semakin liar.
"Kamu yakin itu namamu?" tanya Alden sambil menyeringai kecil.
"Hah? Y-ya tentu saja itu namaku, Tuan," kata Flo meyakinkan pria di hadapannya. "Sebenarnya dia mau apa, sih? Menghipnotisku sebelum mengambil ginjalku?" pikir Floretta dengan resah.
"Tapi kayaknya kamu lebih cocok dipanggil 'sayangku', 'ratuku' atau 'bidadariku', deh. Terutama setelah kita menikah nanti," ungkap Alden dengan wajah ekspresi datar, namun terkesan serius.
"Eh, menikah?" Tanpa sadar, Floretta meninggikan suaranya.
"Iya, tentu saja. Kamu kan udah mendengarnya tadi," ujar Alden.
"Tunggu! Jadi Anda benar-benar mau memperistri aku, Tuan?" tanya Floretta masih belum percaya.
"Apa wajahku terlihat sedang bercanda? Duh, aku jadi sedih mendengarnya," kata Alden seraya memasang wajah sedih. Kedua ujung alisnya pun terlihat sedikit menurun.
"Ya mana mungkin kita bisa menikah begitu aja. Kita kan ..."
"Baru kenal?" ucap Alden, memotong ucapan Floretta.
"Iya."
"Memangnya kenapa kalau baru kenal? Orang yang sudah bertahun-tahun kamu kenal aja bisa mengkhianatimu. Jadi saling kenal sejak lama, bukan berarti bisa dipercaya," tandas Alden, menyindir Floretta.
"Iya, sih ..."
Meski terdengar mengesalkan, tetapi Floretta tidak bisa memungkiri kalimat itu. Dia dan David sudah saling mengenal selama lima tahun, Dan dua tahun terakhir mereka pun menjalin hubungan spesial.
"Sebentar! Kok Tuan bisa tahu, kalau aku dikhianati orang terdekatku?" tanya Floretta penasaran.
“Hhmm? Anggap saja aku punya banyak mata dan telinga,” jawab Alden sambil tertawa kecil.
"Tapi tetap saja ini kedengaran aneh. Kenapa Tuan Muda kaya raya seperti Anda mau menikahi saya?" selidik Flo.
"Ku dengar kamu udah diperlakukan berbeda oleh keluargamu sejak kecil. Kamu pun banting tulang sebagai pelayan dan pekerja kasar di kebun," ujar Alden seraya mengangkat wajahnya, untuk menatap Floretta lebih seksama.
"Harusnya kamu senang karena dinikahi oleh orang kaya raya seperti aku. Kamu nggak perlu bekerja keras lagi untuk mencari sesuap nasi. Segala kemewahan sebagai perempuan sosialita bisa kamu dapatkan hanya dengan menikah denganku. Kamu pasti nggak mau melewatkan kesempatan berharga ini, kan?" sambung Alden lagi.
"Seperti yang Tuan bilang tadi, orang yang sudah lama dikenal saja belum tentu bisa dipercaya. Apalagi orang yang baru dikenal? Aku nggak mau terjatuh di lubang yang sama dua kali," ucap Floretta dengan nada ketus.
"Saling mengenal itu mudah. Kita bisa melakukannya setelah menikah," kata Alden seraya berusaha menyentuh jemari Floretta.
"Nggak bisa! Aku nggak mau melakukannya!" jerit Floretta, sambil menarik kedua tangannya dengan cepat.
"Lalu izinkan aku pergi dari apartemen ini. Rasanya aneh menerima semua pemberian ini, sementara kita nggak punya hubungan apa-apa," kata Floretta tegas.
"Kenapa lagi, sih? Kau tinggal terima semua yang aku berikan aja kok nggak mau?" ucap Alden setengah membentak.
"Aku ingatkan satu hal padamu, jangan pernah coba-coba meninggalkan tempat ini tanpa izin dariku, atau kau akan mati!" ancam Alden.
(Bersambung)
"Kenapa lagi, sih? Kau tinggal terima semua yang aku berikan aja kok nggak mau? Kamu tahu nggak, berapa banyak wanita yang menginginkan posisimu itu?" ujar Alden. Kedua matanya tampak berkilat-kilat menahan emosi.
"Aku ingatkan satu hal padamu, jangan pernah coba-coba meninggalkan tempat ini tanpa izin dariku, atau kau akan mati," ancam Alden.
Seluruh tubuh Floretta bergetar ketakutan, mendengar ancaman dari Alden barusan. "Gawat! Sepertinya aku baru saja lepas dari kandang buaya, tetapi malah masuk ke kandang harimau," pikir Floretta cemas.
"Nggak ada yang perlu kamu tanyakan lagi, kan? Kalau begitu urusan kita sudah beres. Tinggal mempersiapkan semua kebutuhan pernikahan," kata Alden menyudahi pembicaraan itu secara sepihak.
"Tunggu dulu. Coba katakan, aku istri ke berapa Tuan? Walau pun aku ini miskin dan nggak punya tempat tinggal, tetapi aku bukanlah cewek murahan yang bisa dibeli dengan harta," ucap Floretta tegas.
"Istri? Kamu menuduhku membuat harem di kota ini?" Alden tertawa mendengar tuduhan Floretta barusan. "Kalau aku katakan kamu adalah yang pertama, apa kamu akan percaya?" sambung Alden lagi.
"Aku tetap nggak percaya. Mana mungkin pria tampan seperti Anda belum punya pasangan," balas Floretta dengan wajah serius.
"Oh, jadi kamu mengakui kalau aku ini tampan?" ujar Alden sambil tertawa kecil.
Deg! Deg! Deg! Jantung Floretta berdebar dengan cepat. Seharusnya dia merasa risih, karena Alden terus menggodanya. Bukannya berdebar-debar seperti ini.
"Uh, pertanyaan menjebak," ujar Flo dalam hati.
Alden masih memandang Floretta dengan senyuman manisnya yang bergitu menggoda. Dia menantikan jawaban dari gadis mungil di hadapannya.
"Rasanya aku berbohong, kalau mengatakan Anda nggak tampan, Tuan. Tapi bukan berarti saya menyukai Anda," kata Flo, setelah mengendalikan perasaannya.
"Ya, tentu aja. Semua wanita pasti mengakui kalau aku ini tampan," kata Alden dengan bangga.
"Astaga, sombongnya ..." batin Flo. Dia mendadak menyesal mengatakan kalau Alden tampan.
"Jadi, harusnya kamu bangga karena aku yang tampan ini memilihmu," kata Alden lagi.
"Jadi Anda pikir, karena aku ini jelek dan miskin, aku nggak punya pilihan untuk menolaknya?" kata Flo dengan ketus.
"Sejak awal aku nggak pernah bilang kalau kamu jelek, tuh,” sahut Alden seraya megangkat cangkir minumannya. Pria itu menjeda kalimatnya sejenak, lalu meneguk isi cangkir tersebut.
“Kamu yakin mau menolakku? Seperti kata ibumu tadi, kesempatan emas gak akan datang dua kali," kata Alden berusaha meyakinkan Floretta.
"Maaf Tuan, jawabanku tetap sama," sahut Flo dengan cepat.
Alden tidak segera merespon kalimat Floretta barusan. Dia justru menawarkan sepiring biskuit dan segelas cokelat hangat yang sejak tadi tidak disentuh oleh Floretta.
"Aku mohon, tinggallah di sini untuk sementara waktu. Sebentar lagi musim dingin akan datang, dan sulit mencari rumah dengan biaya sewa yang murah," pinta Alden.
"Lalu tolong jangan panggil aku 'Tuan'. Kita nggak hidup di abad ke delapan belas yang harus bicara formal setiap saat. Panggil saja aku Alden," imbuhnya pria itu.
Floretta menatap wajah pria itu lekat-lekat. Dia tidak lagi melihat gaya arogan, yang tadi ditunjukkan oleh pria itu. Nada suaranya juga menjadi lebih rendah.
"Kenapa bersikap seperti ini, Tuan? Ah, maksudku Alden. Kita baru bertemu hari ini, tetapi kamu udah banyak membantuku, bahkan hendak menikahiku. Siapa kamu sebenarnya?" ujar Floretta.
"Namaku Alden Black. Aku putra kedua dari pasangan Adellard Black dan Selene Blanche. Aku lulusan University of Heidelberg, dari jurusan teknologi pangan," jelas Alden.
"Wow, ternyata kedua orang tuanya bukan orang sembarangan," batin Flo takjub.
Adellard Black dan Selene Blanche adalah konglomerat nomor satu, menurut versi salah satu majalah bisnis beberapa tahun yang lalu. Mereka juga dikenal sebagai konglomerat yang sangat dermawan, karena sering memberi santunan di beberapa panti asuhan dan panti jompo.
"Lalu soal larangan pergi dari sini tadi, itu bukanlah ancaman. Kamu memang bisa saja mati, jika keluar dari tempat ini seorang diri," jelas Alden lagi.
"Kenapa begitu?" tanya Flo bingung.
"Sejak aku mengumumkan akan menikahimu, maka sejak itu pula kamu jadi incaran semua wanita di kota ini. Kalau mereka sudah nekat, nggak segan-segan pasti akan membunuhmu," ujar Alden.
"Lalu gimana dengan pekerjaanku? Mereka pasti marah, kalau aku pergi begitu saja," kata Flo lagi.
"Aku sudah mengurusnya. Nanti majikanmu dari kebun kentang dan restoran kecil itu akan mentransfer gajimu, selama sebulan terakhir. Jadi kamu nggak perlu bekerja di sana lagi," jelas Alden lagi.
"Semakin dilihat, pria ini semakin mengerikan. Ternyata dia sudah menyusun rencana dengan sangat baik, sebelum datang menemuiku. Apa tujuan sebenarnya mendekatiku?" ucap Flo dalam hati.
"Apa kita sebelumnya pernah bertemu?" tanya Flo penasaran.
"Iya, kita sering bertemu," jawab Alden sembari melemparkan senyuman manisnya.
...🦇🦇🦇...
"Alden Black terpilih menjadi kapten tim basket, di SMA. Alden Black mendapat beasiswa di universitas ternama. Alden Black menghadiri konferensi ekonomi tingkat Uni Eropa."
"Haaah, apa nggak ada berita lain tentang pria itu? Kenapa semua beritanya bagus-bagus, sih? Apa dia nggak pernah melakukan hal konyol sekali pun?"
Floretta meletakkan HP-nya ke atas kasur. Matanya lelah karena menatap layar HP selama dua jam lebih, hanya untuk mencari informasi lebih tentang Alden Black.
Sampai paket internet yang dimilikinya habis, Floretta hanya menemukan satu informasi penting. Kedua orang tua Alden Black sudah meninggal dalam kecelakaan misterius, sejak dia masih kuliah.
Alden Black pun menjadi pewaris utama perusahaan keluarganya, berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
"Kenapa dia yang menjadi pewaris utama, ya? Padahal katanya dia punya saudara laki-laki? Dan di internet juga nggak ada berita tentang kakaknya sama sekali," pikir Flo bingung.
"Pokoknya aku tidak mau menikah dengan pria asing itu" ucap Floretta pada dirinya sendiri.
"Meskipun dia kaya, belum tentu aku bisa hidup bahagia dengannya. Apalagi dengan caranya yang merendahkan aku tadi."
"Walaupun dia baik dan mengizinkan aku untuk tinggal di sini, aku tetap nggak bisa mempercayainya. Entah kenapa dia seperti menyembunyikan sesuatu. Bisa saja dia memang pelaku perdagangan manusia, yang menggunakan wajah tampannya untuk menarik perhatian orang."
Pikiran Floretta terhadap pria yang melamarnya semakin liar.
“Aku nggak bisa diam di sini saja.”
Floretta tidak menghiraukan peringatan dari Alden, bahwa semua wanita di kota itu sedang mengincarnya. Gadis itu menyambar sebuah mantel berwarna hitam, dan berjalan berjingkat-jingkat menuju keluar kamar.
Dengan sangat hati-hati, Floretta membuka pintu apartemen tersebut, lalu menuruni tangga darurat dengan cepat. Dia sengaja lewat sana, untuk menghindari pertemuan dengan orang lain.
Sayangnya kamar Floretta berada di lantai atas, sehingga butuh waktu lama untuk mencapai lantai bawah.
Tuk! Tuk! Tuk!
Floretta mendadak sembunyi, ketika mendengar suara ketukan sepatu di lantai basement. Beberapa saat kemudian suara langkah kaki itu menghilang. Flo pun menggunakan kesempatan ini untuk segera kabur.
"Hahaha ... Kena kau! Malam ini juga kau pasti bakal mati, Floretta!"
Tanpa sempat mengelak, Flo akhirnya ditangkap oleh beberapa orang perempuan yang tidak dia kenal. Salah satu diantaranya langsung membekap mulut Floretta, dan melucuti mantel yang dikenakan gadis mungil itu.
"Ternyata dugaan kita nggak salah. Alden menyembunyikan gadis itu di apartemen ini. Dan karena kebodohannya sendiri, pekerjaan kita untuk melenyapkannya semakin mudah," kata salah seorang di antara mereka.
"Hei, kalian! Jangan coba-coba mendekati wanitaku!" Alden tiba-tiba muncul dari tengah kegelapan, dan langsung bergerak cepat nenyelamatkan Floretta.
"Hah, aku pasti udah gila. Masa pria itu menggigit leher cewek-cewek itu dan menghisap darah mereka?" pikir Floretta, sebelum akhirnya pingsan.
(Bersambung)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!