"LEPASKAN!" Teriak seorang pria marah, suaranya yang berat terdengar menakutkan kala itu.
Pria itu terus mengayunkan kakinya ke depan, melepaskan diri dari wanita yang sejak tadi merangkul kakinya dengan erat.
"Tidak Mas, kamu tidak boleh pergi!" Balas wanita itu terus menguatkan cengkeraman tangannya.
"Aku bilang LEPASKAN!" Pria itu langsung menendang wanita itu dengan keras.
"BUK!"
Wanita itu terpental dan jatuh tersungkur di hadapan pria yang memasang muka bingung antara tega dan tak tega.
"Aku mohon Mas, jangan tinggalkan aku... kasian Senja," lirih wanita paruh baya itu memelas sambil merangkak ke arah pria itu, terus memohon dan tak mau menyerah begitu saja.
Detik berikutnya wanita itu sudah bersimpuh di hadapan suaminya yang terlihat sangat kejam.
Suaminya itu tak menggubris dan malah melangkah pergi, sehingga wanita itu kembali menahan kakinya dan bergelayut.
Tangisnya yang menderu serta suara yang timbul akibat pertengkaran mereka mampu memecah keheningan malam, membangunkan seorang anak perempuan yang kini sudah mengintip di balik pintu, menyaksikan ayah dan ibunya yang bertengkar hebat.
"LEPASKAN!" teriak pria bertubuh tinggi itu sekali lagi, membuat anak perempuan di balik pintu mulai menangis.
"Aku mohon Mas." Ucap wanita itu terus memohon di antara tangisnya, serta perasaannya yang hancur berkeping-keping.
Tak ada angin tak ada hujan, suaminya yang selama ini dikenalnya sangat baik dan romantis tiba-tiba menceraikannya tanpa adanya alasan yang diketahuinya. Ia sangat mencintai suaminya itu, sehingga tak rela jika ditinggalkan begitu saja.
Wanita itu merengek seperti anak kecil yang ditinggalkan ayahnya dalam waktu yang lama.
Pria itu masih saja menutup mulutnya tanpa memberikan sebuah alasan kenapa Ia meninggalkan istrinya itu, sembari mengayunkan kakinya yang tak bisa kemana-mana karena dipegang erat oleh wanitanya.
Melihat Ibunya yang menahan Ayahnya mati-matian, anak perempuan yang tengah menangis itu keluar dari kamarnya dan segera memeluknya erat, lalu menatap tajam ke arah ayahnya yang langsung melengos.
"Senja harus kuat ya." Ucap wanita itu memeluk anaknya.
Tangis wanita paruh baya itu semakin terdengar pilu, perlahan melepaskan cengkraman tangannya ganti memeluk anak semata wayangnya.
Tiba-tiba seorang perempuan cantik masuk tanpa permisi, lalu menghampiri pria yang kini berdiri mematung menatap anaknya yaitu Senja.
"Lama sekali sih," gerutunya kesal menatap Senja dan Ibunya yang juga menatapnya tajam.
Ibu dan seorang anaknya yang bernama Senja semakin erat dalam pelukan, diiringi air mata yang terus mengalir diantara mereka.
Perempuan dengan gaun merah darah itu mendekati ayah Senja, lalu menggandeng tangannya dengan mesra, membuat Senja mendelik.
"Maaf ya, aku harus ambil Ayahmu." Ucap wanita itu berjongkok melirik kearah Senja yang tengah di peluk Ibunya dengan ekspresi ketakutan.
"Siapa kamu?" tanya Ibu Senja penuh emosi.
Perempuan cantik di samping suaminya itu menghela napas panjang, lalu segera menatap Ibu Senja dengan intens.
"Aku adalah istri siri suamimu, dan kami juga punya anak seusia anakmu dan tanpa sepengetahuan kamu kita menikah di bulan yang sama. Mungkin hanya berjarak satu minggu setelahmu, aku juga hamil di bulan yang sama denganmu" Jawab wanita itu santai sembari menengok kearah keluar, nampak anak perempuan yang ketakutan di balik mobil.
"PLAK!!"
Tamparan mendarat sempurna di pipi ayah Senja, tapi pria itu hanya diam tanpa perlawanan.
"Dasar laki-laki bajingan!" Umpat Ibu Senja yang dikenal lembut dan tak pernah berkata kasar sebelumnya.
"Cukup!" Titah perempuan bergaun merah, memberi isyarat agar Ibu Senja tidak menyakiti pria di sampingnya itu.
Ayah Senja hanya diam tatkala tangannya digandeng perempuan itu yang membawanya masuk ke dalam mobil, membuat Senja seketika berteriak.
"AYAH!!"
"Jangan tinggalin Senja Yah!" Pintanya merengek.
Tapi jeritan Senja seperti tak ada gunanya, ayahnya mantap memasuki mobil dan hanya meliriknya sekilas sebelum mobil itu benar-benar pergi.
Saat mobil berjalan, Senja segera lari mengejar, Ia tak rela ayahnya pergi, tapi Ibunya segera mencegah dan menahannya.
Senja memberontak meminta di lepaskan, tapi Ibunya dengan kuat menahannya sampai mobil itu hilang di perempatan jalan. Menyisakan tangis Senja yang mengema, membuat dada wanita itu semakin terasa sakit.
Senja ambruk ketika Ibunya mulai melepaskan tangannya, tubuhnya lemas dan menyisakan isakan tangis yang dalam dan menyakitkan bagi anak seusianya. Tak mudah kehilangan seseorang ayah yang begitu di cintainya.
.
.
.
...6 TAHUN KEMUDIAN...
Mobil BMW keluaran terbaru tampak melenggang di jalanan ibu kota, menarik perhatian beberapa orang yang kebetulan melihatnya.
"Hey lihat, itu mobil keluaran terbaru yang harganya 5 M kan?," Seru seorang pria kepada temannya di sebuah Halte bus.
"Iya benar, aku baru melihat iklannya kemarin" Sahut temannya menatap kagum mobil BMW yang melintas didepannya.
"Aku rasa itu orang yang super kaya deh, baru rilis minggu lalu saja langsung bisa dibeli"
Temannya memulas senyum lalu mengangguk setuju "Aku rasa begitu"
Sedangkan gadis cantik yang berada di kursi kemudi terus uring-uringan sembari menatap jam Rolex ditangannya, menunjukkan pukul 16.00 Wib.
"Macet lagi, macet lagi! sekali aja bebas macet bisa gak sih?." Gerutunya.
Ia berteriak-teriak tidak jelas dalam mobil, berharap macetnya hilang dengan ajaib. Suaranya menggema sampai terdengar keluar mobil, beberapa pengendara melirik kearahnya.
Tiba-tiba notifikkasi panggilan handphonenya berdering, dengan malas Ia menatap kearah layar handphonnya yang menyala.
Tertera sebuah nama yang muncul pada layar handhpone My Love. Saat mengetahui yang menelpon adalah pacarnya, Ia langsung memencet tombol merah.
Rupanya Ia sedang cekcok dengan pacar bulenya, Ia kesal karena pacarnya itu lupa membelikan oleh-oleh untuknya.
Gadis dengan pakaian seksi itu terus saja uring-uringan sepanjang jalan, tanpa menghiraukan beberapa orang menunjuk-nunjuk kearah mobilnya dan Ia sama sekali tak memperdulikan mereka.
Ia sangat marah karena sudah tiga kali terkena macet yang lumayan panjang dan membuang waktunya, apalagi tubuhnya sangat lelah hari ini.
"Nyebelin banget sih," Gerutunya sembari melirik jijik kepada beberapa pengamen yang mulai menghampiri mobilnya.
Pengamen itu perlahan mendekatinya, Ia bergidik ketika melihat pakaian mereka sangat kotor.
Anak remaja yang memimpin langsung mencondongkan kepalanya dekat jendela, menyapa dengan ramah.
"Permisi kakak cantik, bolehkah kami_"
Belum sempat menawarkan, gadis itu langsung memberikan uang seratus ribu, membuat anak belasan tahun itu seketika terdiam dan tidak melanjutkan penawaran.
Gadis itu segera memasukannya ke kantong bekas permen yang menggantung di ujung gitar milik pengamen itu.
Anak yang bisa dikatakan sudah remaja dibandingkan dengan teman-temannya itu segera menunduk, "Terimakasih" Ucapnya dengan suara lemah.
Yang lain tampak heboh saking senangnya dapat uang 100 ribu, tapi berbeda dengan remaja tanggung yang berada tepat dihadapannya, Ia menatap marah kearahnya. Seperti tak menginginkan uang dengan cara itu, mungkin jika tidak ada anak kecil yang sedari tadi mengekor di belakangnya, Ia yakin remaja itu akan menolaknya mentah-mentah.
Anak itu segera menoleh kearah teman-temannya dibelalang, mengisyaratkan untuk segera pergi.
Anak-anak kecil yang berumur sekitar lima sampai sepuluh tahun yang lebih terkesan sebagai adik-adiknya itu langsung nurut dan pergi.
Dengan angkuh Gadis itu menggerakkan tangannya, menyuruh mereka segera pergi menjauh.
Seperti halnya datang, Pengamen itu pergi diikuti anak-anak kecil dibelakangnya yang bernyanyi ria menuju mobil di belakangnya.
Setelah pengamen itu pergi, Ia mengecek ponselnya kembali. Ada pesan masuk dari pacarnya.
"I' am sorry My Baby Girl, i love you so much" Ditambah emot hati yang bergerak-gerak sendiri.
Pesan singkat dari pacarnya itu membuatnya tersenyum manja, moodnya seketika berubah. Wajahnya tak cemberut lagi, pipinya juga mulai merona.
Lima belas menit berlalu, akhirnya mobilnya bisa berjalan kembali. Ia segera menginjak pedal gas dengan perasaan lega.
Sepuluh menit kemudian, mobilnya mulai memasuki kompleks perumahan elit. Aura mahal dan mewah mampu membuat para Penghuni kompleks berdecak kagum, tak sedikit juga para Ibu-ibu yang mencibir dan mulai berbisik-bisik sambil menatap kearah kemudi.
Mobil dengan harga tidak masuk akal itu menghentikan lajunya, tepat di sebuah rumah yang bernuansa Eropa dengan warna dominan gold yang sangat menawan.
Dilihat dari arsitekturnya yang tidak biasa, bisa ditebak rumah itu memiliki harga puluhan bahkan ratusan miliar.
Laki-laki paruh baya dengan kaos oblongnya, langsung berlarian kearah mobil yang baru saja berhenti sekitar lima menit yang lalu. Pria itu segera membukakan pintu mobil, gadis cantik dengan rambut sebahu keluar dengan menenteng tas hijau tosca ditangannya.
"Lama banget sih pak, aku udah capek nih." Kata gadis itu kesal, membuat bibirnya seketika berubah manyun.
"Maaf neng, Pak udin tadi lagi bersihin kolam renang jadi gak liat ada mobil dateng."
Tanpa menghiraukan alasan Pak Udin, Gadis itu berlalu begitu saja. Sedangkan Pak Udin masih tertunduk di tempatnya.
Saat Pak Udin membuka pintu mobil, gadis itu menghentikan langkahnya segera.
"Jangan lupa masukinnya hati-hati, lecet dikit Pak Udin saya pecat!"
Walau moodnya sedang hancur dan tubuhnya terasa lelah, perasaan bahagia tak bisa Ia sembunyikan dari raut wajahnya yang mulai bersinar kembali setelah mengingat sesuatu yang dilakukannya seharian ini.
Ia baru saja membeli tas yang dipakainya itu dengan susah payah, akhirnya tas itu kini sudah ada ditangannya. Ia berjam-jam menunggu antrian cukup lama hanya untuk sekedar memesannya, yang menurutnya sangat menyebalkan! Kalau saja teman kampusnya Siska tidak memamerkan tas Hermes Limited Edition Ia tak akan mau mengantri selama itu.
Memang terkesan melelahkan, tapi di sisi lain ada kebahagian yang tengah mengalir dalam dirinya. Seperti kebiasaan glamornya, belanja barang branded dapat meningkatkan hormon kebahagiaannya.
Dari binar matanya yang terpancar, serta senyumnya yang mulai mengembang, Gadis itu terlihat sangat puas. Akhirnya Ia tidak kalah saing dengan si Siska yang menjadi saingannya di Kampus.
Gadis berambut pirang itu benar-benar tak sabar untuk menenteng dan menunjukkan tas barunya esok hari, betapa Ia akan dipuji-puji bak Putri Kerajaan di Kampusnya. Tentu itu hal yang sangat menyenangkan baginya, apalagi melihat Siska yang kepanasan sungguh nikmat tiada tara baginya.
Ia tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Siska nanti, saat tahu Ia memiiki tas yang sama dengannya. Tas yang Siska bangga-banggakan, karena dibuat dengan edisi terbatas/Limited Edition. Yang diklaim oleh Siska hanya dia satu-satunya Mahasiswi yang mampu dan sanggup memilikinya, karena tidak sembarang orang di undang oleh brand ternama dunia itu.
Memang tidak bisa Merry bantah, bahwa hanya segelintir orang pilihan dengan undangan khusus yang bisa memiliki tas keluaran terbaru itu.
Beruntung, kemarin undangan sampai di tangannya. karena Ia langganan belanja tas disana, berkesempatan untuk memiliki Tas terbaru yang dibuat dengan edisi terbatas itu. Dengan syarat diambil oleh pemilik undangan secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Kalau saja bisa diwakilkan, Ia tak perlu repot-repot mengantri berjam-jam lamanya, hal yang sangat Ia benci.
Ia tak bisa menutupi rona merah di pipi, saking bahagianya jika membayangkan Siska yang akan kebakaran jenggot esok hari.
Tunggu saja besok!
Tas yang baru saja dibelinya
itu bukanlah tas yang biasa di jual di pasar-pasar dengan harga ratusan ribu, melainkan tas yang harus di pesan kusus dan memiliki harga yang sangat fantastis serta cukup untuk membeli satu unit rumah di kawasan Jakarta.
Jujur saja, Ia banyak menguras isi ATM-nya demi sebuah tas Limited Edition keluaran Hermes itu. Tentu masih hangat-hangatnya di kalangan atas dan menjadi idaman semua konglomerat dan para Sosialita, membelinya tak cukup hanya memiliki uang yang melimpah melainkan sebuah keberuntungan.
Jika bukan karena Siska, Ia tak akan mau membeli tas semahal itu. Bukan karena harganya yang terlalu fantastis, tapi Ia benar-benar tak menyukai modelnya yang cocoknya dipakai para Ibu-ibu sosialita. Jika saja bukan karena gengsi dengan Siska, Ia tak mau membelinya. Apalagi kalau sampai Papinya tahu berapa harga tas itu?, bisa-bisa Ia tak akan dikasih uang jajan selama satu minggu bahkan lebih.
Rencananya, setelah membuat heboh seisi kampus dengan tasnya. Ia akan memberikan kepada Maminya, karena Ia sangat ilfil dengan modelnya yang terlalu rame dan heboh.
Papinya sendiri akan lebih suka jika uangnya habis dibelikan properti seperti rumah atau mobil daripada dibelikan barang branded yang menurutnya tidak menguntungkan, sebenarnya sepenuhnya Ia setuju dengan Papinya, tapi Ia lebih mengutamakan Famousnya di Kampus sebagai anak CEO kaya raya yang sanggup membeli apa saja yang diinginkannya.
Semenjak turun dari mobil, tangannya masih sibuk memainkan ponsel sambil berjalan pelan. Sepertinya Ia sedang chat-an dengan pacarnya, karena sesekali Ia tersenyum melihat layar ponselnya.
Bill perawatan wajahnya minggu lalu dibuang begitu saja, Bik Inem yang sedang membersihkan halaman langsung memungutnya untuk dibuang. Saat melihat angka yang tertera, mbok Inem serasa mau pingsan. Jumlahnya sama saja dengan gajinya satu tahun full tanpa absen, Bik Inem hanya geleng-geleng dan segera memasukkan ke tong sampah didekatnya.
gadis yang bernama lengkap Merry Astasy itu merupakan cewek perfecsionis, selalu terobsesi untuk selalu tampil sempurna dihadapan semua orang, bahkan Ia tak ragu menghabiskan ratusan juta untuk perawatan wajah, rambut, kuku, dan kulitnya. Ia juga rela membatasi porsi makannya demi menjaga tubuhnya tetap ramping dan sexy.
Cincin berlian 30 karat yang langka dan sangat mahal tampak menghiasi jari manisnya, kilauan cahaya yang terpantul dari sinar matahari sore benar-benar membuatnya bak ratu kerajaan Inggris. Cincin yang tersemat di jarinya mengisyaratkan Ia sudah mempunyai ikatan yang serius dengan seseorang.
Langkah kakinya yang jenjang mengayun tergesa-gesa, angin dengan mesra membelai belahan roknya yang memperlihatkan paha mulusnya yang indah, mencumbu rambutnya yang tampak seperti di film-film Bollywood. Menambah berkali-kali lipat kecantikan yang terpancar darinya.
Merry benar-benar lelah setelah beraktivitas seharian penuh, tak sabar untuk membenamkan tubuhnya di kasurnya yang empuk dan hangat.
Ia mempercepat langkahnya dari sebelumnya, saat memasuki area rumah tak ada kejanggalan yang Ia dapat, tapi ketika melewati ruang keluarga Merry tampak terkejut campur keheranan saat mengetahui kedua orang tuanya berada disana.
Setelah saling melirik satu sama lain, akhirnya Merry membuka percakapan.
"Papi sama Mami bukannya ada urusan di luar kota hari ini?" Merry membalik badannya dengan segera. Memperlihatkan kedua orang tuanya yang tengah asyik minum teh berdua sambil nonton televisi.
"Ada urusan penting yang harus kami selesaikan Merry" Jawab Papi menggantung.
Ayahnya seperti sengaja menunggu kedatangannya, apalagi saat keduanya menatap Merry dengan tatapan yang serius, seakan-akan Merry adalah buronan yang baru saja ditemukan.
"Papi sama Mami kenapa sih liatin aku kayak gitu?" Merry terlihat risih ketika menyadari gelagat dan ekspresi aneh dari kedua orang tuanya yang saling melempar pandang kearahnya, "Jangan bilang urusan penting itu menyangkut Merry, kan Merry sudah bilang gak mau terlibat apapun dengan urusan kantor." Sahut Merry yang langsung bergegas.
ketika baru saja menaiki tangga pualam, Pria dengan rambut botak itu segera memanggilnya.
"Merry, dengarkan penjelasan papi dulu. Biar Papi jelasin seserius apa permasalahannya" Ujar Papi dengan ekspresi lebih serius.
Pria paruh baya itu kemudian meletakkan korannya di meja dengan tangan yang sedikit gemetar, hatinya diselimuti ketakutan yang mendalam.
Dengan perasaan yang kesal, Merry kembali menarik kaki kanannya yang sudah terlanjur menaiki undakan tangga.
Perlahan mendekati sang Papi dengan langkah terpaksa, lalu duduk diantara kedua orang tuanya yang tak sehangat biasanya. Ia merasakan aura panas yang merambat ditubuhnya, memprediksi hal buruk yang akan Ia ketahui.
Dengan ekspresi cemberut dengan sedikit memanyunkan bibirnya, matanya melirik Bik Inem yang sedang membersihkan sebuah Gucci mewah di ujung ruangan .
"Bik, tolong bawain tas aku dong ke kamar. Letakkan di barisan Hermes, jangan sampai salah kayak kemarin" Suruhnya.
Bik Inem segera menghampiri Merry yang cemberut, mengambil tas dari tangannya dengan kehati-hatian, kemudian bergegas pergi.
Ketika Bik Inem baru saja melangkah, Merry kembali mengingatkan dengan nada ketusnya.
"Awas, jangan sampai jatuh! harganya mahal bik, aku baru membelinya tadi" Cicit Merry, membuat bik Inem semakin tertekan dan tangannya mulai gemetaran.
"Si..si-ap non," Jawab bik Inem tergagap, yang langsung menenteng tas dengan perasaan takut. Ia hanya berharap tas itu tak merosot jatuh dari tangannya yang sudah tua. Jika sampai jatuh, sudah pasti Ia langsung dipecat di tempat. Lebih parahnya disuruh menggantinya, walau kerja jadi pembantu sudah lima tahun gajinya masih tak cukup untuk mengganti sebuah tas.
Bik Inem mempercepat langkahnya setelah melirik sebentar ekspresi Tuannya yang menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya.
Setelah memastikan bik Inem membawa tasnya dengan benar, Merry kembali menatap wajah teduh Papinya yang tengah meneguk teh dihadapannya.
"Emang Papi mau bicara apa sih, kok perasaan aku jadi gak enak gini, jangan bilang soal waktu itu?" Tanya Merry penuh selidik, seakan mengerti apa yang akan dibicarakan oleh Papinya.
Dengan manja Merry menyandarkan kepalanya ke lengan sang Papi, sembari membuka notifikasi ponselnya yang berdering.
Pria yang mempunyai paras setengah bule itu menarik nafas dalam-dalam, lalu menghempaskannya dengan kasar.
"Jadi gini, Papi dan Mami sudah sepakat untuk menjodohkan kamu sama anak dari om Hendra pemilik perusahaan X Label untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan milik kita, tujuannya supaya bisa selamat dari kebangkrutan. Mengingat perusahaan om Hendra itu cukup besar dan sangat berpengaruh untuk kemajuan perusahaan kita yang terancam lengser."
Merry berjingkat saat mendengar kata bangkrut, Ia langsung menutup ponselnya dengan kasar. Matanya melotot lalu melepas sandarannya. Dahinya kini membentuk kerutan yang dalam.
"Bangkrut?" Merry mengulang perkataan ayahnya.
Ayahnya hanya mengangguk lemas, "Ya, Perusahaan kita terancam bangkrut karena selama ini banyak yang melakukan korupsi. Itu sebabnya Papi dan Mami di Rumah, banyak rentenir yang mencari kalau kami ke Kantor."
Jantung Merry seakan berhenti berdetak mendengar penjelasan Papinya yang cukup membuatnya hancur.
"Selama ini, banyak sekali pembayaran pajak atau tagihan kantor yang tidak dibayarkan. Sehingga menumpuk menjadi hutang, walau pelakunya tertangkap uang itu tak bisa kembali." Imbuh Pak Retno dengan ekspresi penuh penyesalan.
Merry mulai menitikkan air matanya, kesombongan dan keangkuhan berubah menjadi ekspresi penuh iba. Kekayaan yang Ia bangga-banggakan kepada teman-temannya akan musnah begitu saja, sudah pasti Siska akan sangat bahagia kalau dirinya jatuh miskin.
"Ja-jadi, ini alasannya Papi selalu bilang tentang perjodohan itu?." Tanya Merry dengan suara tersendat-sendat dan segera memeluk Ibunya.
"Aku gak mau di jodohin Mi, aku kan sudah tunangan sama Alex." Lirih Merry yang kini sudah menangis sembari memperlihatkan cincin yang melingkar di jemarinya.
Papinya menghela nafas cukup panjang sebelum akhirnya melanjutkan pembicaraan.
"Iya, Papi tau. Papi juga sebenarnya tidak setuju dengan syarat kerja sama itu, tapi itak ada pilihan lain?. Ini adalah jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh, perusahaan kita memiliki banyak hutang dengan jumlah bunga yang tidak sedikit dengan perusahaan om Hendra. Tunanganmu yang katanya kaya itu, gak akan sanggup membayarnya."
Mendengar penjelasan menyakitkan dari Papinya, Merry semakin sesenggukan.
"Aku gak mau nikah sama duda Pi, aku mau nikahnya sama Alex. Aku juga baru semester empat, kalau aku nikah sekarang bagaimana dengan kuliahku nanti?".
Pak Retno berfikir sejenak menghadapi sikap keras kepala anaknya yang sangat manja, sementara sangat Mami hanya geleng-geleng kepala.
"Tenang saja Mery, anak Mami yang paling cantik dan pintar. Kamu tetap bisa kuliah bersama teman-temanmu seperti biasanya, bahkan kamu bisa beli apapun yang kamu mau. Bukannya kamu suka mengoleksi tas branded?". Sahut sang Mami, yang membuat Merry semakin tersudut. Lalu melempar pandang kearah kedua orang tuanya yang sedang serius.
"Mami sama aja kayak Papi!," pekiknya tak terima.
"Ini tentang kebaikan kita semua Merry!," Pak Retno mulai tersulut emosi, "kalau bukan karena perusahaan papa sedang bermasalah. Papi pun gak akan rela kamu nikah sama duda anak satu, tapi Mami dan Papi gak ada pilihan lain Merry!" Suaranya begitu lantang, membuat Merry sedikit ketakutan dan merangkul ibunya. tangan ibunya juga bergetar menandakan masalah yang dihadapi keluarganya cukup serius.
"Tetap saja aku gak mau!," bantah Merry, "lebih baik gak usah beli tas branded daripada harus nikah sama duda anak satu!". Timpal Merry yang tetap keras kepala.
Baru saja ia mau pamer tentang tas barunya kepada Siska and the geng, sudah ada masalah aja. Bagaimana tanggapan teman-temannya kalau mereka tau ia akan menikah dengan duda?, hancur sudah reputasinya sebagai idola kampus.
"Kalau kamu mau jatuh miskin dan dijauhi teman-temanmu gak masalah," Ujar Pak Retno mulai mengalah, nada bicaranya mulai santai, "pilihan ada ditanganmu sayang?. Kalau Papi sih sudah terbiasa hidup sederhana, tapi kalau kamu bagaimana?". Pak Retno kembali mengambil korannya dan mulai membacanya, seakan tak terjadi apa-apa.
Deg.
Ucapan Papinya benar-benar membuat Merry seketika merasakan sesak menusuk paru-parunya, mulutnya seakan terkunci. Ia benar-benar tak bisa mengelak, membayangkan hidupnya jadi gelandangan dan teman-temannya akan mengejeknya sesuka hati, Siska akan dengan mudah menertawakan nasibnya. Benar-benar membuatnya kesulitan bernafas.
"Papi tega banget sih ngasih pilihan itu, aku gak mau miskin Pi...dan aku gak mau dijodohin. pasti ada jalan lain pi". Cairan bening mulai membasahi pipi Merry, sekarang ia tak bisa mengelak kecuali dikasihani. Suaranya kini meredup disertai tangannya yang menggigil.
"Apa Merry, coba jelaskan dan utarakan jalan keluarnya". Sahut Pak Retno menantang.
Merry telah kehilangan harapan dan terpaksa harus menuruti perjodohan itu, sebelum akhirnya ia ingat saudara tirinya, Ia tak sengaja bertemu dengan Senja di Rumah Sakit kemarin. Binar matanya mulai cerah, seakan ia mendapat harapan baru.
"Gimana kalau Senja saja yang dijodohkan?, dia kan anaknya papi juga. Senja itu juga cantik dan baik, pasti om Hendra menyukai Senja. Bukannya om Hendra pengen nikahin anaknya supaya kembali tersenyum dan ceria seperti dulu kan?."
Mendengar kata Senja, wajah Pak Retno seketika berubah.
"Dimana kamu ketemu senja?," Tanya Pak Retno begitu antusias, disambut ekspresi tak suka dari istrinya.
"Di Rumah Sakit deket kompleks Pi kemarin kebetulan pas anterin temen periksa dan gak sengaja ketemu Senja disana?."
"Bagaimana keadaan Senja?."
"Dia baik-baik saja dan sehat, hanya saja ibunya sedang sakit dan perlu penanganan serius."
Pria yang sedang menunduk ke lantai mengangguk lesu seakan ada kesalahan besar yang pernah ia lakukan, ribuan panah seakan menghujaninya meninggalkan perih yang teramat sangat.
Pak Retno jadi Flashback saat ia sengaja meninggalkan istri sahnya demi selingkuhannya yang sekarang menjadi istrinya itu. Rindu dan perasaan tak tega menyergap ulu hatinya, semenjak perpisahan itu ia tak pernah bertemu dengan Senja atau mantan Istrinya yang ia tinggalkan begitu saja.
Senja adalah anak kandungnya yang sangat baik dan mandiri, Tak seperti Merry yang manja dan suka menghamburkan uang. Lama tak bertemu membuat perasaan rindu itu muncul kembali, ia benar-benar rindu dengan Senja dan mantan Istrinya.
Pak Retno masih terdiam, ia tak tau apa yang akan ia jawab. Mulutnya seakan terkunci.
" Mami setuju pi, sepertinya itu pilihan yang tepat," Imbuh Mami dengan terpaksa agar meyakinkan Suaminya yang ragu.
"Nah pas banget sama Kak Senja yang sabar dan lemah lembut. Aku rasa Kak Senja gak akan keberatan jika disuruh nikah."
Pak Retno berfikir sejenak, Sejujurnya Ia sangat berat memutuskan. Tapi Ia tak mungkin melawan dua orang sekaligus, dengan berat hati Ia setuju. Yang Ia pikirkan saat ini bagaimana cara bisa bertemu Senja dan minta maaf, kesalahannya cukup besar dan tak termaafkan. Jika saja kekayaannya saat ini bukan milik istri dan mertuanya Ia akan dengan senang hati memberikan kepada Senja tanpa syarat, tapi pernikahan itu tak bisa dibatalkan.
"Em..... oke, papa setuju aja asal Papi ketemu Senja dulu, memastikan Ia mau tanpa adanya paksaan dari kamu."
"Aku janji nanti malam aku akan bawa Papi bertemu dengan Senja, tapi aku gak janji kalau Senja mau menemui papi."
.
.
.
Sementara itu,
Di sebuah taman rumah sakit, Seorang gadis tampaknya sedang duduk dengan tatapan kosong. Air matanya mengalir begitu cepat membasahi pipinya.
Di bawah siraman sinar rembulan, gadis dengan rambut panjang terurai menatap penuh cinta pada bintang-bintang. Matanya yang indah terus menatap langit yang berkelip-kelip mesra, tak terasa cairan bening mulai merembes dari kedua sudut matanya yang jernih. Perlahan, air mata mulai membanjiri wajahnya.
Tangannya tampak menggenggam secarik kertas yang entah apa isinya, tapi kertas itulah yang membuatnya menangis saat ini. Ia terus menunduk menatap kertas itu diiringi isakan tangis memilukan, ia bahkan tak memperdulikan beberapa orang yang menatapnya dengan iba.
Senja terus saja menangis, sampai tak sadar kertas yang di genggamnya sudah basah membentuk bercak-bercak bening. Beberapa tinta mulai memudar, menyisakan tulisan yang tidak bisa di baca.
Kertas itu menjadi saksi betapa rapuhnya ia saat ini, seakan-akan tak ada sandaran yang bisa membuatnya tenang malam ini.
Dari kejauhan tampak sepasang mata mengawasinya, sebelum akhirnya hilang ditelan kegelapan.
"Senja, sedang apa kau disini?." Sapa seseorang dari arah belakang dengan nada bicara formal dan terdengar dingin.
Senja buru-buru menghapus sisa air matanya dengan punggung tangannya, lalu menoleh.
terlihat seseorang dengan perawakan tinggi, berwajah tampan dengan balutan jas Almamater kampus mulai berjalan mendekat.
"Eh, oh K-kak Rey," Sahut Senja gagap.
Ia segera menyembunyikan kertas dibelakang punggungnya.
"Nih," Rey mengulurkan selembar tisu dari saku jasnya, karena melihat mata Senja yang masih basah.
Senja segera mengambilnya dengan kikuk dan mengusap pipinya dengan serabutan,
"Ma-makasih Kak Rey"
Rey hanya mengangguk, "Boleh aku duduk disini?," Kata Rey dengan ekspresi datar seperti biasanya, bedanya kini terasa sedikit lebih hangat.
Senja hanya mengangguk dan segera menggeser duduknya memberi Rey ruang untuk duduk.
Kak Rey adalah seniornya di kampus, sekaligus mentor beasiswa nya. Terkenal dengan sikap dingin dan cuek, Senja sendiri selalu merasa takut ketika berurusan dengan Kak Rey. Sehingga Ia selalu memilih menunduk dan tak mau membalas tatapannya yang tajam dan terkesan mengintimidasi.
Rey segera duduk dengan sorot matanya yang tajam, membuat Senja semakin terpojok dan ketakutan.
"Kebetulan aku ketemu kamu di sini, karena tak perlu repot-repot mencarrimu kesana kemari dan banyak membuang waktuku yang penting.
Senja masih tetap menunduk, perasaan takutnya semakin menjadi-jadi, membuat tangannya mulai gemetar dan meremas roknya sendiri tanpa sadar.
Karena tak ada sahutan apapun dari Senja, Rey melanjutkan pembicaraan dengan lagak sok pentingnya.
"Sebenarnya aku diutus Pak Rektor untuk menanyakan beberapa hal tentang mu beberapa hari yang lalu, cukup menyebalkan memang mencarimu di kampus tapi tak ketemu," Ada penekanan di setiap pelafalannya, menandakan Ia sangat kesal.
"Pertama, kamu kenapa tak masuk perkuliahan seminggu lamanya"
Rey melirik sebentar ke arah Senja dengan tatapan sangat mengintimidasi, membuat Senja langsung merinding. Sebelum akhirnya melanjutkan pembicaraannya kembali yang sepertinya masih panjang.
"Kedua..... " Lanjutnya, tapi segera menghentikan perkataannya ketika melihat ekspresi Senja yang merenung, sudut matanya mulai berkaca-kaca.
Suasana menjadi hening sesaat, sepertinya Rey juga bimbang ingin melanjutkan atau tidak.
Kini mereka saling terdiam satu sama lain, Rey juga berhenti berbicara atau sedang memilih kata yang tepat agar Senja tak tersinggung, sebelum akhirnya Senja memecah keheningan.
"Ma-maafkan a-ku Kak R-ey" Ucap Senja terbata-bata terus menunduk, kini air matanya benar-benar sudah merembes sempurna.
Rey terdiam mematung, tak tau harus bagaimana. Karena Ia tak pernah dalam posisi seperti ini sebelumnya, Ia sendiri tak ada pengalaman menghadapi seorang wanita yang menangis karena memang Ia tak pernah pacaran.
Tanpa terduga dan tak tau bagaimana caranya, Rey malah melanjutkan ke inti masalah.
"Aku perhatikan, beberapa hari ini kamu gak ngampus, kenapa?," Rey tampak kesal tapi juga kawatir melihat Senja yang kini sudah benar-benar menangis.
Melihat Senja semakin menangis, Rey semakin bingung dan memilih melanjutkan pembicaraannya lagi.
"Aku juga tak sengaja menemukanmu menangis sendirian di taman kemarin, dan terakhir malam ini. Ada apa? cerita sama aku, aku adalah patner beasiswamu. Jangan buat Pak Andi kecewa Senja." Rey meninggikan suaranya, seakan Senja orang paling bersalah di dunia.
Karena terlalu kikuk, Rey malah seakan memarahi Senja. Membuat Senja semakin sesenggukan, karena hatinya yang lembut.
Deg!
Senja merasakan sakit yang luar biasa menjalar begitu cepat di tubuhnya, rasa sakit yang tak berdarah, membuat air matanya kian mengalir begitu derasnya m
Rey yang mentok tak tau berbuat apa malah menatap tajam kearah Senja menunggu jawaban, Ia benar-benar kacau tak bisa mengendalikan dirinya sendiri dan emosinya.
Senja semakin tak kuasa menjawab, malah semakin menangis. Senja dihadapkan dua masalah dalam waktu bersamaan, Ia rasanya tak sanggup untuk menceritakan pada Kek Rey. Terlebih ini adalah masalah pribadinya.
Rey yang sebenarnha tak bisa melihat wanita menangis, tampak mulai menyesali keputusan dan sikap acuh tak acuhnya. Apalagi pertanyaan tidak sesuai kondisi yang baru saja Ia lontarkan.
Tanpa Rey sadari, reflek dirinya malah memeluk Senja. Karena sudah tak tahan melihat Senja menangis dengan begitu hebatnya, Rey punya trauma tersendiri dengan orang yang menangis. Bahkan Ia sangat membenci orang yang cengeng, tapi kali ini entah kenapa Senja membuatnya Iba.
dari kecil Ia paling tidak suka melihat seorang wanita menangis, Ia benci hal itu. Karena mengingatkan Ibunya yang selalu menangis sewaktu Ia kecil karena KDRT yang dilakukan ayahnya sendiri.
Setelah merasakan pelukan yang hangat dari Kakak seniornya yang mempunyai sikap sedingin es, tangis Senja mulai sedikit mereda. Ada perasaan tanang dan hangat mulai menjalar di tubuhnya.
Rey sendiri malah kebingungan dengan dirinya sendiri, kenapa kali ini perasaan benci melihat orang cengeng berubah menjadi rasa kasihan, bagaimana bisa? sehingga Ia lebih memilih diam tanpa suara.
Karena tak ingin membuat Senja semakin larut dalam kesedihan, Rey membiarkannya menangis dalam pelukannya yang hangat. Membiarkan sampai Senja puas mengeluarkan segala keresahan lewat air matanya.
Setelah puas menumpahkan seluruh keluh kesah dalam hatinya, perlahan tangisnya mereda menyisakan suara sesenggukan.
Perlahan Senja melerai pelukan Rey yang membuatnya sedikit lebih baik, Rey tampak iba menatap Senja yang masih terisak.
Senja mulai mengusap pipinya yang basah, lalu melirik kearah Kak Rey dengan tatapan serba salah.
Untuk pertama kalinya, Senja melihat ekspresi hangat dari Ketua BEM yang terkenal dingin berwajah datar.
Tak ingin membuat Senja semakin sedih, Rey memilih untuk membicarakan hal ini lain kali. Ia berencana pamit untuk memberikan Senja waktu untuk berdamai dengan masalah yang sedang dihadapinya, sampai Senja siap untuk bicara dan memberikan alasan yang bisa Ia sampaikan ke Pak Rektor yang telah memberikan Senja beasiswa karena kecerdasan yang dimiliki.
Rey menelan Salivanya setelah ia melihat kecantikan dan keteduhan yang terpancar dari seorang gadis di hadapannya, selama ini Ia tak pernah memperhatikan rupa Senja sedetail ini.
Ia mencoba berusaha memberikan ruang agar Senja tenang kembali, jika sudah memungkinkan Ia akan menanyakan hal yang sama agar cepat mendapatkan solusi. Kalau bisa Ia turut andil menyelesaikan masalah Senja, karena Ia juga ikut bertanggung jawab atas perkuliahan Senja.
Rey mulai beranjak dari tempat duduk, ekspresinya yang datar menatap Senja penuh iba.
"Kalau begitu aku pamit dulu ya, kebetulan aku ada janji sama seseorang di Rumah Sakit ini. Kalau ada masalah yang serius dan tidak bisa kamu hadapi sendiri, cerita aja. Ingat, aku adalah mentor yang bertanggung jawab atas perkuliahanmu" Ucap Rey dengan gayanya yang cool, tatapannya yang dingin serta sikapnya yang cuek.
Senja hanya mengangguk tanpa bersuara.
"Kalau begitu, aku pamit dulu" Ucap Rey yang langsung pergi begitu saja, ini adalah pertama kalinya Ia mengulum senyum pada seorang wanita tanpa sepengetahuan Senja.
Dengan suara sangat lemah, Senja mengucapkan terimakasih karena Kak Rey sudah peduli dengannya tapi Pria dengan tubuh tinggi atletisnya itu sepertinya tak mengindahkan nya.
"Terimakasih kak, telah memberikanku sandaran tadi." Lirih Senja menatap kearah Rey yang sudah memasang ekpresi datarnya segera.
Rey hanya mengangguk ala kadar, lalu pergi. Senja terus menatap punggung tegap itu sampai hilang di kegelapan.
Senja kemudian membuka secarik kertas yang sempat Ia sembunyikan dari Senior kampusnya itu, lalu melipatnya kembali dan memasukkannya ke kantong sakunya dengan cepat.
Saat hendak meninggalkan tempat itu, dari arah belakang samar-samar ia mendengar seseorang memanggilnya. Suara yang terdengar tak asing di telinganya.
"Senja, tunggu!,"
Saat menoleh, Senja langsung terperanjat. Betapa tidak, dalam cahaya remang Ia dapat melihat dengan jelas sosok tinggi tegap dibelakang gadis cantik yang berlari kearahnya. Sosok yang sangat ia kenali, bahkan dalam keadaan gelap sekalipun.
Seketika, tubuh Senja membeku. Udara dingin seakan menusuk menembus tulang. Dadanya tiba-tiba sesak, seakan-akan oksigen yang banyak tak cukup untuk sekedar ia hirup. Senja hampir tak mempercayai indra penglihatannya sendiri kalau itu.
Cairan bening mulai memenuhi kelopak matanya, sedetik kemudian pipinya sudah basah dengan linangan air mata. Entah seberapa banyak air mata yang Ia kuras malam ini.
"Untuk apa kalian kesini?!" Ucap Senja dengan nada marah, tangannya memberi isyarat agar kedua orang dihadapannya tidak mendekat. Ekspresi kebencian dan kemarahan terukir sempurna di wajahnya yang cantik.
Laki-laki paruh baya itu seketika menghentikan langkahnya, ketika sudah beberapa meter mendekat kearah Senja yang kini sudah terisak.
"Maafkan Ayah Senja, karena telah meninggalkan kamu begitu saja bersama Ibumu_
"Stop!" teriak Senja memotong, "Aku benar-benar tak ingin mendengar apapun dari seorang Ayah yang tega meninggalkan anak dan istrinya demi selingkuhannya!".
Senja mengucapkan kalimat itu sangat jelas dan lantang, menarik perhatian beberapa orang yang langsung menoleh kearahnya.
Deg.
Pak Retno seakan tersambar petir, tubuhnya bergetar hebat saat tu juga. Bagaimanapun juga, kesalahan yang di perbuatnya di masa laut tak bisa termaafkan oleh Senja dan Ibunya.
Ia sama sekali tak bisa membantah perkataan Senja, karena kebodohannya rumah tangganya yang tentram menjadi kehancuran. lidahnya sekarang terasa kelu, tak bisa lagi mengucapkan kata sepatah pun.
Rasa penyesalan demi penyesalan seakan memenuhi ulu hatinya, merambat cepat menyempurnakan suasana yang sangat dramatis.
Rasa penyesalan itu meledak begitu saja, menyisakan rasa sakit yang begitu dalam di dadanya.
Sedangkan Merry tampak mematung melihat ketegangan antara Senja dan ayahnya yang sebenarnya Ayah Senja juga di masa lalu. Umur mereka pun tak terpaut jauh, wajah cantik mereka juga ada kemiripan yang diturunkan dari Pak Retno, ayah sekaligus Pria yang sama pada rahim yang berbeda.
Kini Ia sadar yang dilakukan Maminya adalah salah, tapi Ia sendiri tak akan rela jika ayahnya kembali pada Senja dan Ibunya. Ia sangat menyangi ayahnya itu.
Tak ingin membuat suasana semakin tak terkendali, Merry segera menarik mundur Papinya beberapa langkah. lalu meletakkan map di sebuah kursi yang tak jauh dari Senja.
"Aku tahu ibumu harus dioperasi, kalau kau membutuhkan uang, aku punya sebuah penawaran. Aku tahu kau tak mau dikasihani, atau diberi uang cuma-cuma. Maka dari itu, aku menawarkan kerja sama. Jika setuju, langsung hubungi nomer yang tertera di surat perjanjian itu dan segera kau tanda tangani. Aku akan segera membayar biayanya dan Ibumu akan segera dioperasi." Ucap Merry menjelaskan maksud kedatangannya.
Pak Retno hanya terdiam tak berdaya, Ia terjepit dua pilihan yang rumit. Yang pertama Ia tak setuju dengan penawaran yang ditawarkan Merry, Kedua Ia juga tak bisa membantah Istrinya atau memilih perusahaannya bangkrut.
Pak Retno menatap Senja dengan linangan air mata, air mata rindu, sedih dan salah.
Setelah mengatakan itu, Merry menarik tangan Ayahnya yang masih termangu di tempat, seperti ingin lama-lama menatap wajah anaknya. Sedangkan Senja, masih terdiam menatap map kuning yang ada dihadapannya dengan bimbang.
Pak Retno yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu Senja begitu haru, Anaknya sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik mirip ibunya.
Bahkan, saat mobil mulai berjalan Pak Retno masih menatap kearah taman.Tak melepas sedetikpun tatapannya pada Senja, sedangakan Senja masih berdiri disana.
Setelah mobil itu pergi, Senja perlahan melirik kearah map kuning yang tergeletak begitu saja.
Ia berniat meninggalkan map itu, tapi mengingat keadaan Ibunya, Ia terpaksa mempertimbangkan tindakannya itu. Dan dengan berat hati mengambilnya.
.
.
.
Keesokan paginya,
Sinar matahari merayap melewati celah kamar rumah sakit, Senja terbangun di sebuah sofa.
Pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah Ibunya yang terbaring tak berdaya dengan beberapa peralatan medis ditubuhnya. Perlahan Senja mendekat dan menggenggam tangan ibunya dengan erat, "Ibu yang sabar ya, aku pasti segera dapat uang dan Ibu akan segera dioperasi."
Tak terasa air matanya menetes membasahi tangan ibunya, andai dapat ditukar. Ia lebih memilih menggantikan posisi ibunya, daripada harus melihat ibunya terbaring tak berdaya seperti itu.
Jam sudah menunjukkan delapan pagi, Ia ada perkuliahan hari ini jam sepuluh mendatang. Tak mau mengecewakan kak Rey sebagai mentornya, Senja akan berangkat kuliah setelah bebrapa hari absen.
"Bu, aku mau kuliah dulu ya. Doain Senja segera lulus dan dapat pekerjaan yang layak." Senja segera mencium tangan Ibunya, menatap Ibunya yang masih terpejam.
Setelah mencium kening ibunya, senja mulai meninggalkan ruangan tempat ibunya di rawat. Walau berat hati harus meninggalkan Ibunya sendirian, Ia tak punya sanak saudara untuk menemani Ibunya sehingga terpaksa meninggalkan Ibunya sendirian. Di sisi lain Ia harus tetap kuliah, agar IPK nya tetap bagus. Apalagi Rektor sudah menegurnya lewat Kak Rey. Akan sangat bermasalah kalau IPKnya turun, beasiswanya bisa di cabut.
.
.
.
Di rumah,
Senja langsung mandi.
Setelahnya, Ia menyempatkan memasak untuk bekal di kampus nanti, karena di kantin kampus makannya mahal-mahal. Akan sangat hemat jika Ia tidak jajan.
Setelah samua beres, Senja siap berangkat. Saat tiba-tiba notifikasi panggilan berdering. Saat tahu itu dari Rumah Sakit Senja segera mengangkatnya.
"Hallo, apakah benar ini dengan Ibu Senja?." Suara diseberang telepon.
"Iya, dengan saya sendiri."
"Keadaan Ibu Susi semakin memburuk, jika tidak dilakukan tindakan operasi saat ini juga akan beresiko sangat fatal. Apakah Ibu sudah ada dananya?,"
Senja hanya terdiam, Ia tak tahu apa yang harus Ia lakukan. Ia tak mungkin dapat uang dua ratus juta dalam lima menit.
"Hallo, buk. Apakah Ibu mendengar suara saya," Suara perawat yang panik itu terus berusaha terhubung dengan Senja.
Tiba-tiba Ia teringat tawaran Merry, Ia langsung mengambil Map kuning yang kemarin malam Ia letakkan diatas lemari kamarnya.
Tanpa pikir panjang, Ia segera menandatangani kontrak itu tanpa membacanya dan langsung menghubungi Merry.
"Hallo Mer, aku sudah menandatangani perjanjian itu," Ucap Senja mantap saat telponnya sudah terhubung dengan Merry.
"Diterima, kamu tenang aja. sekarang pergilah ke Rumah Sakit dan Ibumu akan langsung di operasi" Jawab Merry dengan angkuh, lalu memutus telponnya.
Senja langsung berlari ke jalan raya.
.
.
.
Sesampainya di Rumah Sakit, Senja tampak berlari sekuat yang Ia bisa. Keringat bercucuran membasahi wajahnya yang begitu gelisah. Ia begitu tergesa-gesa sampai tak sadar ada seseorang dihadapannya.Tabrakan pun tak terhindarkan.
Bruk!!
Suara gedebuk terdengar keras, beberapa orang yang kebetulan lewat menoleh.
Senja terhuyung setelah tubuhnya menabrak seseorang pria.
Sedetik kemudian Senja sudah ambruk ke lantai yang kotor, sikunya membentur lantai sampai mengeluarkan darah segar. Bagitu juga pria berkacamata yang ditabraknya, ikut ambruk disebelahnya.
"Awh!" Rintih Senja.
Senja meringis kesakitan sembari memegang lengannya yang terasa sakit, saat Ia mendongak, pria yang ditabraknya tampak kebingungan mencari sesuatu di lantai. Pria dengan tubuh kurus, bermata sipit dan berkulit putih itu terlihat sedang meraba-raba lantai yang kotor. Senja yang sadar ada kacamata di dekatnya langsung mengambilnya.
"Ini, kaca matamu, maaf ya aku tadi gak sengaja" Ucap Senja penuh sesal, tangannya langsung menyodorkan sebuah kacamata tebal kepada pria itu.
Pria itu meraba tangan Senja, kemudian mengambilnya. Senja mengulurkan tangannya membantu Pria asing itu berdiri.
Setelah memakai dan membenarkan posisi kecamatanya, Pria dengan yang lebih mirip orang Korea itu menatap gadis dihadapannya dengan ekspresi takjub.
"Maaf, aku rabun jauh," Ucap pria itu sembari menggosok-gosok kacamatanya dari debu yang menempel.
"Sini aku bantu," Senja menawarkan diri, sebelum Pria itu menjawab Senja sudah meraihnya terlebih dahulu.
Beberapa saat Pria itu terdiam, menatap Senja lebih jelas yang sekarang sedang menggosok kacamatanya.
Senja segera menggosok kaca mata itu dengan bajunya terburu-buru, sepuluh detik kemudian Ia sudah menyelesaikannya.
"Ini kacamatanya sudah bersih" Senja segera menyodorkan kacamata ditangannya, Pria sipit itu segera mengambilnya dengan ragu-ragu.
"Maaf merepotkan" Sahut pria itu dengan suaranya yang lembut.
"Aku yang salah, aku tadi yang menabrakmu. Kata Ibuku kita harus bertanggung jawab kalau kita salah, sebagai pertanggung jawabannya aku membersihkan itu untukmu. Aku tadi sedang berlari dengan tergesa-gesa, tanpa melihat ada orang lain didepan ku sehingga menabrakmu. Sekali lagi maafkan aku" Tutur Senja sembari menunduk, lalu mulai merapikan rambutnya yang berantakan. Sedangkan pria itu dengan fokus mendengarkan penjelasan Senja.
Bukannya menjawab, pria itu hanya termenung menatap Senja.
Senja yang tak punya waktu langsung pamit pergi, meninggalkan pria asing itu.
Saat Ia berdiri, Ia terhuyung hampir jatuh karena masih pusing, untung Pria itu segera menangkap pinggangnya tepat waktu.
"Hati-hati... " Ucap pria itu membantu Senja berdiri.
Senja hanya menangguk malu, pipinya memerah, adegan itu mengingatkannya pada adegan romantis di serial drama Korea.
"Aku buru-buru. Permisi.." Ucap Senja menutupi wajahnya karena malu.
"Oh, eh iya. Sampai jumpa," Jawab pria itu sedikit malu saat sadar Ia habis melamun.
Senja dengan sopan menunduk, lalu pergi meninggalkan pria dihadapannya yang seakan tak rela Senja pergi begitu s
Saat Senja mulai meninggalkan dirinya yang terpaku, Pria itu sekilas melihat siku Senja yang berdarah. Ia ingin mencegah, tapi Senja keburu lari kencang dan menghilang di lorong Rumah Sakit.
"Kenapa aku tidak tanya namanya tadi" Gumam pria itu menyesal, meninju udara dengan lembut. Lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Dari raut wajahnya Ia tampak sangat menyesal tidak menanyakan nama dan nomor telepon gadis baik yang menabraknya.
Pria itu mengulum senyum kearah lorong, lalu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
.
.
.
Senja entah sudah berdiri berapa jam didepan ruang operasi, hatinya begitu gusar, tas yang akan dibawanya ke Kampus pun masih melekat sempurna di bahunya. Hatinya terus memanjatkan do'a agar operasi Ibunya dimudahkan dan dilancarkan.
Hatinya benar-benar tak karuan, pikirannya terbang kemana-mana menunggu Dokter keluar dan memberitahukan kepadanya bahwa operasinya lancar dan Ibunya selamat.
Entah sudah berapa puluh kali Ia mondar-
mandir saking cemasnya menunggu operasi selesai, Ia benar-benar tak sabar mendengar suara dokter yang mengabarkan hal baik kepadanya. Selama ini tak pernah menunggu sesuatu yang membuatnya secemas ini.
Senja mulai kelelahan setelah empat jam mondar mandir didepan ruang operasi, kakinya mulai keram. Ia kemudian duduk di kursi tak jauh dari ruang operasi, memijit kakinya yang terasa keram.
Tubuhnya bersandar di kursi, punggungnya terasa lelah sekali, kantuk pun mulai menyerangnya.
Saat mulai terlelap karena kecapean, sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundaknya. Dengan pandangan kabur, Senja mengucek-ngucek matanya. Mencoba mengenali seseorang yang tengah duduk disampingnya.
Belum sepenuhnya sadar, orang itu sudah memegang tangannya.
"Astaga Senja, tanganmu kenapa ini?" Senja yang masih setengah sadar tak menghiraukannya.
"Aow, perih!" Teriak Senja mengernyit kesakitan.
"Tahan sebentar, lukamu akan sembuh," Ucap seorang pria yang tengah mengobati lengannya yang lecet dengan cairan antiseptik.
"Kak Rey," Lirih Senja keheranan menatap Kak Rey yang tengah membalut lukanya dengan hati-hati.
"Tanganmu kenapa bisa lecet begini sih?," Tanya Rey yang tampak kawatir.
"Aku,.. aku_
Belum selesai menjawab, Rey menyela " Kamu tuh kalau luka segera diobati, jangan dibiarin. Bisa nfeksi nanti,"
Senja yang tak tau harus menjawab apa, lebih memilih diam dan menangguk. Dalam hati Ia bertanya-tanya,
"Ada apa dengan kak Rey, apa dia sakit?. Tumben bener dia ramah, baik dan perhatian"
Setahu Senja, Kak Rey adalah ketua BEM yang galak dan cuek. Banyak yang menyayangkan sikapnya yang ngeselin, padahal mukanya setampan Idol Korea.
"Kak Rey ada urusan apa ke Rumah Sakit!?," Senja menarik kembali tangannya yang sudah diperban.
"Tadi ada anak kampus yang ngabarin kalau Ibu kamu sedang dioperasi, soalnya aku udah nyari kamu kemana-mana tapi gak ketemu. Selain itu juga, sebagai ketua BEM, sudah semestinya saya datang untuk menjenguk,"
"Oh... "
"Gimana operasinya, lancar?,"
"Aku juga gak tahu kak, aku harapannya sih begitu, soalnya operasinya belum selesai. Kakiku sampai pegel banget nunggu disana" Jawab Senja sambil melirik ke ruang operasi yang diikuti oleh gerakan mata Rey.
Rey hanya menganggukkan kepala dengan gaya masakulinnya, tetap cool dan berwibawa.
"Mau aku pijitin?" Tawar Rey.
"Oh gak usah kak, nanti juga sembuh sendiri capeknya" Sahut Senja langsung menolak.
"Oh, ya sudah" Jawab Rey mulai cuek.
"Bye the way, makasih loh kak sudah mau datang. Soalnya kan Kakak sibuk banget, susah bagi waktunya."
Baru saja Rey membuka mulutnya, Dokter berpakaian serba hijau keluar dari ruangan operasi mengalihkan pandangan mereka.
Senja langsung berlari menghampiri dokter yang baru keluar dari ruangan operasi dengan penuh tanda tanya besar, Rey mengikuti dibelakangnya.
"Bagaimana Dok operasinya?," Tanya Senja buru-buru.
"Alhamdulillah semua berjalan lancar, Mbak tak perlu kawatir. Pasen akan segera sembuh, sekarang Pasien masih dalam keadaan koma. Beberapa jam kedepan akan siuman dengan sendirinya,"
"Terimakasih Do,"
Dokter itu mengangguk, "Kalau begitu saya permisi dulu, masih ada urusan lain."
"Baik Dok, sekali lagi saya ucapan terimakasih."
Dokter itu mengangguk lalu pergi, sedangkan Rey masih terdiam mendengarkan dengan seksama perbincangan Senja dengan Dokter.
Dari pintu ruang operasi yang transparan, Senja dapat melihat ibunya yang terbaring dengan alat dan kabel yang menempel ditubuhnya. Rey dengan tingkah tak terduga dan melawan hukum, ikut mengintip dibelakang Senja yang kini mulai menangis.
Tanpa di duga, Senja membalik badan dan langsung memeluk Rey.
Rey tampak syok, tapi tak bisa berbuat apa-apa ketika pundaknya mulai terasa basah.
Setelah beberapa menit, Senja baru sadar akan aksinya yang terbilang nekat. Untung Kak Rey tidak memarahinya.
"Maaf kak Rey, aku terbawa suasana. Aku terlalu bahagia mendengar kabar baik tentang kondisi Ibu,"
Rey dengan lagak sok penting dan cool hanya mengangguk, padahal hatinya terasa mau meledak saking senangnya.
"Aku mau mengatakan sesuatu yang sifatnya sangat penting dan pribadi sama kamu, apakah kamu berkenan?," Kata Rey kemudian.
Baru saja Senja mau menjawab, Rey sudah menarik tangannya.
"Kita mau kemana?." Tanyanya bingung sembari mengusap sisa air mata di pipi nya.
"Ke tempat yang sepi, sifatnya sangat penting hanya antara aku dan kamu"
Senja terus bertanya-tanya dalam hati, Kira-kira hal apa dan sepenting apa
? yang akan dibicarakan oleh Kak Rey kepadanya.
Rey mulai melepaskan genggamannya ketika mereka sampai di balkon Rumah Sakit yang tak jauh dari ruang operasi. Mungkinkah Kak Rey diutus Rektor untuk menegurnya secara langsung? mungkinkah ada hal lain? Ia sendiri sadar sudah beberapa hari tidak masuk kuliah.
Sebelumnya Kak Rey tak pernah selembut ini, apalagi sampai sengaja datang ke Rumah Sakit untuk sekedar menemuinya. Biasanya Senja yang akan mencari-cari Kak Rey untuk konsultasi tentang beasiswa, bahkan tak jarang Kak Rey menolak bertemu karena jadwalnya padat.
Kak Rey juga hanya menemuinya jika ada sesuatu hal yang mendesak saja, dengan catatan hanya menyangkut beasiswa. Karena Kak Rey memang mentor yang di tunjuk, selain itu tak ada hal lain yang pernah mereka bahas kecuali mengenai beasiswa kampus yang Senja ambil.
mungkinkah beasiswanya akan dicabut?
Pikiran Senja mulai tidak jelas, bayangan buruk terus menghantuinya sepanjang lorong.
Pikirannya mulai terbang kemana-mana, memikirkan apa yang akan disampaikan oleh Kak Rey beberapa menit lagi.
Setelah Kak Rey memilih tempat duduk yang cocok, Ka Rey akhirnya mempersilahkan Senja duduk.
Kak Rey menatap Senja dengan tatapan yang tidak bisa Senja artikan sebagai apa? tapi cukup untuk membuatnya salting.
"Senja, Sebenarnya aku_
Belum sempat Rey melanjutkan, dari arah belakang seorang wanita dengan pakaian serba seksi mendatangi mereka.
Rey dan Senja menoleh secara bersamaan, Senja mengenali orang itu.
Merry dengan langkah setengah berlari, menghampiri mereka berdua. Ekspresi Rey tampak begitu kesal sekali, padahal Ia sudah memilih tempat yang sepi.
"Oh rupanya kamu disini?" Ucap Merry dengan nada bicara dibuat-buat.
Rey menatap geram dan jijik pada Merry.
"Maaf Senja, aku agak telat datangnya. Semoga Ibumu segera siuman, aku sudah membayar semuanya untukmu."
Mendengar kata membayar Rey tampak syok dan melotot, apa maksudnya? Ia tak mengerti.
"Apakah kamu membawa surat kontaknya?."
"Kontrak?" Bisik Rey dalam hati, Ia semakin tak mengerti apa maksudnya.
Senja mengangguk pasrah, pikirannya mulai gelisah. Ia benar-benar belum tau apa yang tertuang dalam surat perjanjian yang sudah ditandatangani olehnya.
Melihat Rey yang tampak syok, Merry memperkenalkan diri dengan angkuh dan sok.
"Oh ya, kenalin namaku Merry. Saudara tiri Senja."
Bukannya menyambut jabatan tangan Merry, Rey tambah melotot, begitu syok mendengar kata saudara tiri.
Melihat reaksi Rey yang hanya terdiam mematung, Merry kembali menarik tangannya kemudian menatap Senja yang mulai mengeluarkan keringat dingin.
"Apakah kamu sudah membacanya?".
Senja menggeleng, lalu mulai membuka map kuning itu dengan perlahan. Tangannya mulai gemeteran.
Perlahan membukanya,
Baru saja membaca perjanjian di angka pertama, tubuhnya seakan mati rasa. Akal sehatnya seakan hilang saat itu juga. Tubuhnya seketika lemas, lalu menggigil hebat. Tulang-tulangnya terasa remuk seperti terlindas truk besar. Cairan bening mulai mengalir dari kedua sudut matanya menetes mengenai lembaran kertas bermaterai, Ia seakan tak percaya dengan apa yang dibacanya barusan.
Rey yang melihat ekspresi Senja langsung merebutnya, membaca dengan teliti. Sama halnya dengan Senja, kekagetan muncul dari wajah Rey. Badan Rey seketika lemas, otot-otot tubuhnya seakan putus meninggalkan rasa sakit luar biasa. Tulisan dengan tinta hitam itu benar-benar menghilangkan semua harapannya, matanya mulai berkaca-kaca.
Setelah puas melihat ekspresi Rey yang menyedihkan, Merry segera merebut paksa dari ditangan Rey yang tampak bergetar.
"Sekarang kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan. Kamu punya waktu seminggu sebelum pernikahan itu dilaksanakan, aku harap semuanya sudah jelas sekarang. Aku benar-benar berterimakasih dengan kamu Senja, berkat pengorbanan kamu aku tidak jadi nikah dengan Duda."
Setelah mengucapkan kata-kata paling menyakitkan bagi Senja dan juga Rey, Merry mulai melangkah meninggalkan mereka berdua yang masih terdiam satu sama lain.
Rey mengepal kedua tangannya yang berotot, kalau mengingat Merry bukan perempuan sudah pasti Ia Menonjoknya dari tadi.
Rey melirik Senja yang sudah menangis tersedu-sedu, perasaannya begitu kecewa. Ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa, kemana saja dia selama ini? sampai Senja harus mengorbankan dirinya demi menyelamatkan nyawa ibunya.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!