Seorang gadis berumur 18 tahun adalah Rembulan, gadis periang dan cantik itu sedang duduk merenung seorang diri di kamarnya. Ia memikirkan tentang permintaan sang Ayah yang harus menikah dengan seseorang yang tak ia kenal.
Cek lek...
"Ulan, di panggil sama Papamu," ucap Mamah yang tak tega melepas anak keduanya pada pria yang sudah dari dulu di jodohkan dengan Rembulan.
"Ada apa, Mah?" tanya Rembulan yang seolah tak tahu niat sang Papah akan menjodohkan dengan anak dari teman Papahnya itu.
"Temui saja, ya," pintanya lagi, suaminya itu tak ingin di bantah dengan keinginannya.
Rembulan pun berjalan tanpa bertanya lagi, ia tak akan protes sebelum ia tahu dari mulut Papahnya itu.
Rembulan turun dari lantai satu, ia menghampiri sang Papah yang sedang duduk sambil membaca koran.
"Ada apa, Pah?" tanya Rembulan yang duduk di kursi sebelah dekat sang Papah.
Papah Hermawan meletakkan koran tersebut dan menatap wajah putrinya dengan wajah datarnya tanpa ekspresi ceria.
"Papah akan menikahkan kamu dengan anak teman Papah," sahut Papah Hermawan dengan nada serius.
"Aku gak mau, Pah. Ulan masih muda," tolak Rembulan dengan mentah-mentah, ia yang baru lulus sekolah dan belum melanjutkan kuliahnya harus mendengar kenyataan jika dirinya akan menikah di usia mudanya.
"Kamu tak bisa menolak, Ulan. Papah sudah terikat janji dengan teman Papah jika di usia mu sudah 18 tahun, kamu akan menikah dengan anak teman Papah," balas Papah yang tak mau kalah dengan sang putri kedua yang selalu ceria dengan tingkah membuat siapa saja akan senang di dekatnya.
"Pah, emang kak Maya kenapa? Kak Maya yang seharusnya menikah duluan bukan Ulan." bantah Rembulan, ia hanya anak kedua dari Kakaknya yang bernama Maya tersebut yang bertugas sebagai perawat di rumah sakit dari kota B.
"Kaka mau masih merintis karir, Ulan. Dan teman Papah hanya menginginkan dirimu," ucap Papah Hermawan saat meminta putri keduanya yang akan menjadi istri dari anak temannya itu.
"Papah jahat, apa Papah tak sayang dengan Ulan?" tanya Rembulan dengan derai air matanya yang mulai turun. Ia tak mau menikah di usia mudanya.
"Bukan Papah tak sayang, Ulan. Papah sudah terlanjur janji dan janji itu harus di tepati bukan,"
"Kan ada Kak Maya, Pah." ucap Rembulan yang sedih, ia belum merasakan masa muda dan melanjutkan kuliahnya yang sudah ia impikan.
"Tak ada penolakan apa pun kamu harus mengikuti apa yang Papah ucapkan." ucap Papah Hermawan begitu tegas setelah itu meninggal putrinya dengan sang istri yang terdiam hanya menjadi pendengar yang baik.
"Mah, aku tak mau menikah," rengek Rembulan pada sang Mamah yang tak tega melihat putrinya seperti itu.
"Mamah tak bisa membantumu, sayang. Kamu harus mengikuti apa mau Papah mu iya?" ucap Mamah Tika yang tak bisa membantu apa yang inginkan putrinya itu.
"Suruh Kak Maya pulang saja, Mah. Biar Kak Maya yang menikah dengan anak temannya Papah." ucap Rembulan yang membujuk sang Mamah agar Kakaknya lah yang menjadi mempelai wanitanya.
"Apa kalian tak sayang dengan Ulan, hah. Kalian hanya menjadikan umpan atas perjanjian kalian yang konyol itu." bentak Rembulan yang meluapkan emosinya.
Plak...
Tangan Mamah Tika dengan entengnya menampar putrinya itu, yang tak sadar saat Rembulan meluapkan emosi karena penolakan.
"Mamah tampar Ulan? Mamah tak sayang lagi dengan Ulan?" ucap lirih Rembulan sambil meringis karena kesakitan, ia pun bangun dan berlari ke kamarnya.
"Apa yang sudah aku lakukan pada putriku, maafkan Mamah, Ulan." lirih Mamah Tika yang merutuki kebodohannya karena menampar putrinya sendiri.
.
.
.
Di dalam kamar Rembulan menangis sejadi-jadinya, ia tak mengerti jalan pikiran kedua orang tuanya yang tega menikahkan dirinya dengan pria yang tak ia kenal.
Rembulan pun mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang yang entah itu siapa, hatinya begitu dongkol dan ingin meluapkan kekesalannya dengan temannya itu.
"Kita ketemuan ya, aku tunggu di tempat biasa," setelah mengatakan hal itu Rembulan bergegas turun setelah ia mengganti pakaiannya.
Rembulan pergi tanpa pamit pada kedua orang tuanya, ia hanya memberitahukan pada pembantu kalau dirinya akan keluar sebentar.
#Resto
Rembulan mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok teman dekatnya yang selalu ada untuk di saat sedih maupun senang.
"Kenapa sih sedih banget, habis di marahi Papah mu ya yang super galak itu," ucap Sifa yang menebak jika temannya itu habis kena hukuman gara-gara tingkahnya yang membuat kedua orang tuanya geleng-geleng.
"Lebih dari itu, Sif. Nih lihat mamah gue habis nampar gue," adu Rembulan sambil menunjukkan bekas tamparan Mamah yang masih membekas.
"Gila gadis banget nyokap lu ya, Lun. Emang ku buat salah apa sampai nyokap lu marah?" tanya Sifa yang ingin tahu.
"Gue mau di jodohkan, Sif. Sama-- entah lah, gue tak tahu dengan pria yang akan menjadi suami ku itu." jawab Rembulan sambil menyeruput minuman Sifa yang ia pesan.
"Woy, itu punya gue, sana pesan." bentak Sifa, ia hanya bercanda ingin mengembalikan raut wajah ceria temannya itu.
"Ya elah, minta dikit doang," balas Rembulan yang duduk di depan Sifa, ia pun menceritakan apa yang terjadi pada temannya yang selalu ada untuknya.
"Oh, iya, Lun. Tetangga gue juga nikah muda sekarang lagi hamil tuh dan sampai sekarang lakinya gak pulang-pulang," ucap Sifa yang memanasi temannya yang seolah takut untuk menikah muda, Rembulan membayangkannya saja sudah tak sanggup di tambah dengan cerita Sifa yang membuat ia merasakan hal yang sama.
"Kok gue makin takut ya? Gimana kalau cowok itu jelek, item, terus suka main perempuan," ucap Rembulan yang membayangkan semua itu yang ia ucapkan.
"Semoga saja gak, Lun. Kan jodoh tak ada yang tahu,' jawab Sifa yang seolah ia paling benar.
.
.
.
Tak terasa hari mulai gelap, Rembulan pulang di jam yang mulai larut malam, ia pun melihat sekeliling rumahnya saat baru sampai, ia tak ingin ketahuan dan di marahi lagi oleh kedua orang tuanya terutama Papahnya yang super galak itu.
"Selamat, untung pada tidur tuh orang tua yang durjana." gumam Rembulan sambil menenteng sepatunya, ia berjalan dengan pelan sambil melihat-lihat takut ada seseorang.
Baru beberapa langkah ia menginjakkan kakinya di teras depan rumah yang mulai sepi tak ada siapapun, Rembulan pun membuka pintu tersebut dengan pelan agar penghuni rumah tersebut tak curiga dengan tingkah tengilnya itu.
"Aman, pintunya gak di kunci. Emang keberuntungan banget ini," ucap Rembulan dengan pelan sambil cekikikan dengan pelan.
Cek---
Belum di buka pintu itu baru saja menekan kenop pintu itu suara yang tak asing bagi Rembulan mengagetkan dirinya yang lagi was-was.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jam berapa nih baru pulang? Masih ingat pulang juga hah..
"Jam berapa nih baru pulang? Masih ingat pulang kamu, hah," pekik Papah Hermawan yang menunggu putrinya dari sore hingga tengah malam baru pulang, ia yang baru tahu jika Rembulan keluar dari rumah setelah ia mengatakan hal itu, ia yang sudah kesal ingin segera menghukum putrinya yang selalu membantah.
"Papah," gumam Rembulan yang menatap kearah Papahnya dengan tatapan yang mematikan. Ia yang tak akan lolos dari hukuman yang akan sang Papah berikan.
"Dari mana?" tanya Papah Hermawan dengan suara tingginya, ia tak tahu jika dirinya sudah tak tahan dengan tingkah laku putrinya yang membuat ia geleng-geleng kepala.
"Main, Pah," jawab Rembulan dengan jujur, ia tak tahu jika sang Papah sudah murka dengan kelakuannya.
"Ini jam berapa?" tanya Papah Hermawan, ia ingin memberitahukan jika seorang gadis tak baik keluyuran sampai tengah malam.
"Jam 11:45, Pah. Papah kenapa tanya jam? Mau sholat malam ya," tanya Rembulan yang membuat Papah Hermawan tak kuat lagi dan ia pun menarik tangan putrinya untuk masuk kedalam dan memberi hukuman.
"Masuk," titah Papah Hermawan pada Rembulan yang tak mengerti harus masuk ke dalam kamar mandi.
"Ngapain, Pah. Rembulan gak kebelet pipis, Pah." tolak Rembulan yang seolah mengingat di masa lalunya saat ia masih kecil selalu di temani saat ia kebelet ingin pipis.
"Kamu gak boleh keluar dari sini belum Papah memerintahkan untuk keluar, paham." jelas Papah Hermawan yang memberi hukuman pada Rembulan untuk masuk ke dalam kamar mandi yang ada di belakang tempat para pembantunya itu.
"Takut, Pah. Rembulan juga ngantuk," rengek Rembulan, ia yang takut pada kegelapan di tambah lagi di ruangan yang membuat dirinya semakin takut.
"Ini hukuman mu, Ulan. Agar kamu tak mengulangi perbuatan mu lagi," jelas Papah Hermawan yang meninggal putrinya di dalam kamar mandi setelah ia kunci dari luar. Ini adalah satu-satunya cara agar Rembulan kapok dan tak mengulangi perbuatannya lagi.
"Pah..., bukain, Ulan takut, Pah. Ulan janji tak akan mengulangi itu lagi," ucap Rembulan yang semakin takut di dalam kamar mandi yang tak luas itu.
Berkali-kali Rembulan berteriak meminta ampun dan tak akan mengulangi perbuatannya lagi, ia yang seolah hanya ingin menenangkan hatinya saat tadi pagi sang Papah memintanya untuk menikah dengan seorang pria yang tak pernah ia kenal.
Tangisan Rembulan yang terdengar begitu lirih, ia yang takut dengan kegelapan di tambah dengan ruangan yang tak terlalu luas.
"Pah, iya, Ulan mau nikah dengan pria itu asal keluarkan Ulan dari sini, Pah. Ulan takut, Pah," ucap Rembulan dengan Isak tangisnya, ia yang pasrah dengan apa yang orang tuanya lakukan.
"Yang benar?" tanya Papah Hermawan yang ingin memastikan jika perkataan dari putrinya benar jika dirinya mau menerima perjodohan itu.
Tidak ada jawaban dari pertanyaan Papah Hermawan membuat seorang pria baya tersebut mengetuk pintu agar putrinya menyahut dari dalam.
"Ulan, Ulan, Ulan." panggil Papah Hermawan sampai tiga kali.
Bukan jawaban yang Papah Hermawan dengar tapi tangis Rembulan sangat memilukan, ia seolah sudah tak kuat berada di dalam kamar mandi.
"Jawab dulu apa kamu mau menikah dengan anak teman Papah,?" tanya Papah Hermawan yang ingin memastikan untuk kedua kalinya.
"Iya, Pah. Ulan mau asal buka dulu pintunya," teriak Rembulan yang sudah melemah ia yang takut sendirian di dalam ruangan yang gelap dan sempit tersebut.
"Ok, Papah buka ya, tapi kamu harus menepati janji jika kamu sudah menerima perjodohan itu," ucap Papah Hermawan yang senang karena putrinya itu mau menerima perjodohan itu dengan cara seperti ini.
Cek lek.
"Ayo masuk dan ganti pakaian mu," titah Papah Hermawan yang tersenyum sambil memapah putrinya yang lagi ketakutan dengan getaran tubuh merasa takut.
"Masuk lah dan tidurlah," titah Papah Hermawan yang memapah putrinya itu sampai depan kamarnya setelah itu berlalu meninggalkan putrinya yang sudah masuk kedalam kamarnya.
Di dalam kamar Rembulan merebahkan tubuhnya yang masih merasakan getaran rasa takutnya, sang Papah seolah tahu kelemahan putrinya itu.
"Berasa anak tiri gue kalau gini caranya," gurutu Rembulan yang masih lemes. Sang Papah begitu tak main-main dengan hukuman yang satu ini.
Ceklek..
"Ulan minum dulu ya, jangan selalu membantah perkataan Papah mu, Ulan. Ini demi kebaikan mu, tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anak pada pria yang tak baik, Papah sudah berteman dengan pak Haris Bagaskara dan begitu dengan putranya. Jadi jangan pernah kecewakan kami ya, sayang." pinta Mamah Tika, ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali mendoakan dan meyakinkan pada putrinya yang kami ambil saat ini pada Rembulan sudah tepat.
"Kamu akan tahu mengapa Papah selalu kekeh ingin menikahkan kamu dengan putra dari temannya Papah itu," ucap lembut sambil memeluk putrinya untuk ia beri pengertian agar Rembulan bisa menerima semuanya.
"Tapi Ulan masih muda, Mah. Tak tahu dengan pria itu," balas Rembulan yang begitu hangat dalam pelukan wanita yang tak bersayap itu selalu meneduhkan dirinya walaupun ia suka cari gara-gara.
"Sekarang kamu tidur ya, ingat pesan Mamah. Jadilah istri yang baik setelah kamu sudah sah menjadi istrinya dan Mamah pinta jangan pernah mengecewakan kamu ya," pesan Mamah seolah ada sesuatu dari perjodohan ini, Rembulan yang di buat bingung dan ingin tahu alasan yang masuk akal atas perjodohan ini.
Setelah berlalunya sang Mamah, Rembulan pun merebahkan tubuhnya selesai mengganti pakaian dengan baju tidurnya dan mengingat lagi pesan sang Mamah yang begitu mendukung jika dirinya harus menikah dengan pria yang tak tahu muka itu.
"Semoga saja bukan pria tua yang ingin menikah dengan bocah seperti ku, aku takut, takut seperti yang di ceritakan oleh Sifa," gumam Rembulan yang masih terbayang dan mengingatnya saat Sifa menceritakan tentang seorang tetangganya yang kini hamil muda dan suaminya tak pulang. Entah nasib seperti apa yang akan Rembulan dapatkan dari perjodohan ini. Ia bahagia kah, atau sebaiknya. Rembulan pun yang berpikir keras hanya menggelengkan kepalanya dan memukul kepalanya itu.
"Bisa-bisa pecah ini kepala mikir terlalu banyak, mending gue tidur lah," ucapnya lagi yang sudah tenang setelah datangnya sang Mamah. Ingin sekali tidur di temani oleh Mamahnya tapi itu semua tak mungkin di tambah Papahnya begitu galak.
Setelah menemui putrinya dan menenangkan ketakutan pada kegelapan, ia yang telah melahirkan dan membesarkan Rembulan sudah tahu karakter dan kepribadian putrinya itu terutama yang takut pada kegelapan.
Pah apa sebaiknya kita putuskan saja perjodohan ini, Mamah gak tega melihatnya, Pah. Rembulan terlalu muda," ucap Mamah Tika yang membujuk sang suami agar membatalkan perjanjian yang lama dengan temannya itu dalam perjodohan anak-anaknya.
"Gak bisa kayanya gitu, Mah. Janji harus janji dan kita harus menempati sebuah janji itu," tolak Papah Hermawan yang masih kekeh dengan yang di lakukannya. Ia pun merasa tak tega melihat raut jawab putrinya itu terlihat sedih tapi semua sudah terlanjur dalam perjanjian itu.
Perdebatan antara suami istri tersebut tak memiliki jalan keluar satu-satunya adalah hanya itu tetap dengan perjodohan.
.
.
.
"Ulan, bangun sayang. Ayo siap-siap kita akan pergi menemui calon mertua mu untuk melanjutkan perjodohan ini dan pak Haris Bagaskara ingin melihat mantunya yang cantik ini," titah Mamah Tika sambil menggoda putrinya, sang suami sudah berbicara dan kelanjutannya akan di bahas pagi ini setelah sarapan.
"Ulan masih ngantuk, Mah. Sebentar lagi ya," nego Rembulan pada Mamahnya, ia sedari malam tak bisa tidur di tambah bayangan jika dirinya seperti tetangga yang di ceritakan oleh Sifa.
"Tidak bisa, Ulan. Ayo siap-siap," tolak Mamah Tika yang menarik putrinya agar cepat bangun dan bergegas ke kamar mandi.
"Mah," panggil Rembulan dengan suara serak had bangun tidur. Ia akan menanyakan tentang alasan yang tepat yang kekeh Papahnya ingin menikahkan putrinya.
"Apa?" tanya Mamah Tika yang mengurungkan niatnya untuk keluar.
"Apa alasan kalian kekeh dengan perjodohan ini beri Rembulan keyakinan atas semuanya baru Ulan mau dengan perjodohan ini." desak Rembulan yang ingin tahu alasannya.
Belum sempat Mamah Tika menjelaskan untuk memberitahukan tentang masa lalunya saat ia dan suami terpuruk dalam keadaan ekonomi yang sulit.
"Papah sudah punya janji jika perusahaan Papah berhasil berkembang dari bantuan teman Papah itu, Papah menawarkan satu permintaan padanya untuk Papah kabul kan. Dan teman Papah hanya ingin meminta anaknya menikah dengan salah satu putri Papah." jelas Papah Hermawan yang menjelaskan semua tentang perjodohan yang begitu bodoh saat temannya itu meminta salah satu putri menjadi istri dari putranya. Dan lebih kagetnya jika anak dari Pak itu meminta hanya ingin Rembulan yang jadi istrinya.
Kaget.
Tentu, ia akan menyerahkan putri sulungnya pada putra dari Haris nyatanya di tolak hanya menginginkan putri kedua yang tak lain adalah Rembulan.
"Kenapa gak kak Maya saja, Pah." sahut Rembulan yang ingin tahu kenapa tak kak Maya saja yang menjadi
"Mereka hanya ingin kamu, sayang. Jadi mengerti lah dengan posisi Papah sekarang ya," pinta sang Papah dengan raut sedihnya. Pak Hermawan tak ada raut wajah galak, tegas, dan dingin. Ia memelas pada putrinya agar Rembulan mau menerima semuanya.
"Baik lah, Ulan mau," ucap Rembulan yang sudah mengambil keputusan untuk perjodohan ini, ia tak tega melihat sang Papah yang meminta dengan cara seperti ini.
"Terimakasih, sayang. Papah begitu sayang sama kamu," jawab Papah Hermawan begitu senang dengan keputusan yang putrinya ambil walaupun di hatinya ada rasa sedih luar biasa harus menyerahkan putri kedua yang masih muda harus membina rumah tangga yang belum saatnya.
Semua bersiap-siap untuk pergi menemui calon besannya yang sudah memberitahukan tempat dimana pertemuan antara kedua keluarga ingin membahas kelanjutan tentang perjodohan itu.
.
.
.
Setelah sampai di tempat tujuan, ketiganya di persilahkan masuk oleh pelayan resto tersebut yang sudah di boxing oleh keluarga kaya raya yang tak lain adalah Haris Bagaskara.
"Mari, Tuan, dan nyonya. Tuan Haris sudah menunggunya di dalam, mari saya antar," ucap seorang pelayan yang di tugaskan untuk menyambut kedatangan keluarga yang sudah sedari tadi di tunggu.
Papah Hermawan beserta istri dan anaknya mengikuti langkah pelayan itu menuju ruang privat yang sudah di sediakan oleh resto tersebut. Rembulan yang malas hanya mengikuti saja. Ia yang tak tahu dengan pria itu dan nama saja ia tak mengetahuinya.
.
.
.
.
.
.
Entah kesalahan apa yang aku lakukan hingga Tuhan dengan cepat memberikan yang ia tak di duga dengan cepatnya. Apa ini yang di namakan JODOH...
Dua kedua yang sedang duduk di meja yang sama, ada kecanggungan di antara mereka terutama Rembulan yang tertunduk karena malu di perhatikan oleh Tuan Haris Bagaskara tersebut.
"Terimakasih sudah datang dan membawa calon mantuku," ucap Tuan Haris Bagaskara yang tersenyum, ia hanya datang seorang diri tak bersama dengan putra semata wayangnya yang selalu sibuk di dunia bisnisnya.
"Nak Raditya tak datang?" tanya Papah Hermawan yang melihat temannya itu hanya seorang diri.
Tuan Haris tersenyum, ia sudah menebaknya jika putranya akan di tanyakan oleh calon mertuanya itu.
"Biasalah dia selalu sibuk saja tak sempat meluangkan waktunya untuk menemui calon istrinya yang cantik ini." puji Tuan Haris pada calon mantunya itu.
Rembulan begitu salah tingkah saat Tuan Haris mengatakan itu, ia pun memalingkan wajahnya agar terhindar saat Tuan Haris memandangnya.
"Gimana kabar mu, Ulan. Om senang sekali kamu datang ke sini, Nak." ucap Tuan Haris Bagaskara yang senang dengan kedatangan putri dari temannya itu, ia yang menagih janji pada temannya itu yang sudah memberikan permintaan apapun termasuk yang ia inginkan. Ia ingin putra semata wayangnya yang sibuk dengan perusahaannya ingin melihat Raditya menikah dengan gadis polos yang akan mengurus putranya dengan baik, ia yang seolah duda beranak satu hanya bisa berharap agar kehidupan putranya lebih baik setelah ia memiliki seorang istri.
"Ayo, makan." titah Tuan Haris yang mempersilahkan calon besan itu untuk makan, ia ingin mengobrol lebih banyak lagi mengenai pernikahan putra dan putri itu. Ingin segera cepat menghalalkan untuk putranya itu.
Setelah selesai makan, Tuan Haris mengobrol ke intinya ia pun meminta Rembulan menjadi istri dari putranya dan menjadi mantunya.
"Tidak usah khawatir, Hermawan. Semua biaya dan kehidupan putrimu akan baik-baik saja, dan kamu hanya perlu mendoakan mereka saja." pinta Tuan Haris pada temannya itu yang akan menyerahkan putri keduanya pada putranya itu.
"Saya percaya padamu, Har. Aku hanya ingin menitipkan putri ku saja, jaga dia baik-baik ya? Jangan pernah sakiti dia, dia begitu berarti bagi kami." balas Papah Hermawan yang percaya dengan temannya itu, ia sudah mengenal lebih lama sampai sekarang.
"Nak Rembulan ingin apa? Apa yang ingin Nak Rembulan katakan?" tanya Tuan Haris yang memandang Rembulan hanya terdiam menjadi pendengar yang baik atas perbincangan tentang perjodohan ini.
Rembulan yang tak tahu dengan sosok bernama Raditya itu, ia hanya fokus pada dirinya tak tahu dengan sosok pengusaha muda yang terkenal itu.
"Tidak, Om. Saya tak ingin sesuatu," sahut Rembulan, ia hanya ingin segera pulang dan merebahkan tubuhnya yang sejak semalam tak tidur karena memikirkan tentang ini.
.
.
.
Selesai memperbincangkan masalah pernikahan, Rembulan yang sudah ada di atas ranjangnya menatap langit-langit kamarnya. Ia tak percaya dengan takdirnya saat ini akan menemukan jodohnya dengan cepat. Baru memejamkan kedua matanya suara ponselnya berbunyi dan Rembulan pun mengalihkan pandangannya pada benda pipih tersebut.
"Kak Maya," gumam Rembulan.
"Halo, kak. Ada apa?" tanya Rembulan secara langsung, ia yang masih kecewa pada keluarga yang telah memilih dirinya sebagai calon istri untuk pria itu.
"Dengar-dengar Kamu mau menikah, Dek?" tanya kak Maya yang tahu dari Papahnya, ia yang tak ingin menikah di saat ia merintis karir di kota lain.
"Udah tahu nanya lagi, kenapa gak Kaka saja sih, kenapa harus aku," ucap Rembulan dengan nada protes, ia yang ingin merasakan indahnya masa di mana ia masih ingin merasakan indahnya sebagai seorang gadis di umurnya yang masih belasan tahun.
"Mungkin itu jodoh kamu, Dek. Terima saja ya, Kaka hanya akan mendoakan yang terbaik untuk mu," ucap Kak Maya yang punya alasan lain dan ia tak ingin sang adik tahu.
"Kalian menyebalkan, apa kalian tak sayang lagi dengan ku hingga mengusir ku dengan cara halus seperti ini." rengek Rembulan seolah ia adalah orang yang teraniaya.
"Bukan gitu, Dek. Tapi Kaka tak bisa menggantikan mu di saat karir Kaka mulai naik. Kamu ngerti ya," pinta Kak Maya setelah itu ia mengakhiri panggilan setelah banyak membicarakan sesuatu terutama rasa rindunya pada adiknya.
Selesai mengobrol lewat panggilan Rembulan merasakan jika Kakak beda dengan yang lain ada suara yang ia dengar begitu sedih.
"Kak Maya kenapa ya? Kok beda banget ya," gumam Rembulan yang berpikir bahwa sang kakak menyembunyikan sesuatu pada dirinya yang entah itu apa.
"Minggu depan status ku beda dong, aku gak bisa bayangkan satu atap dengan pria yang tak ku kenal itu, dan sampai sekarang pun aku tak pernah lihat sosok itu. Bagai pria misterius." ucapnya lagi sambil bergidik ngeri membayangkan itu semua.
Di dalam kamar Papah Hermawan, sang istri membawa secangkir kopi buatannya dan menaruh di atas meja di mana sang suami sedang duduk di sofa kamar.
"Gimana keadaan Maya, Pah. Apa dia baik-baik saja?" tanya seorang ibu pada putri pertamanya yang jauh di sana, ia ingin mendampingi putrinya yang sedang terkena masalah.
"Dia akan baik-baik saja, Mah. Cukup fokus pada Rembulan saja." pinta Papah Hermawan yang sudah mengirimkan seseorang untuk menemani putrinya di sana dalam keadaan membutuhkan seseorang.
"Tapi, Pah. Mamah merasa kasihan dengan kedua putri kita, Pah. Rembulan yang terimbas dari perjodohan yang tak kita rencanakan dan Maya--," belum melanjutkan perkataannya, Mamah Tika di tarik masuk ke dalam dekapannya dan menenangkan sang istri.
"Mamah tenang saja ya, semua akan baik-baik saja terutama Rembulan, dia adalah gadis kecil kita yang ceria dan tangguh." ucap Papah Hermawan yang menenangkan sang istri agar perasaan lebih tenang.
"Tuan Haris sudah menentukan harinya, Mah. Kita tinggal me sana sama-sama ya," ucap Papah Hermawan yang memberitahukan soal rencana hari pernikahan putri kedua dengan cepat sesuai keinginan temannya itu.
"Cepat sekali, Pah. Kita belum memberitahukan keluarga yang lain agar bisa menyaksikan Rembulan menikah." Mamah Tika tak percaya dengan hari yang begitu cepat yang di berikan oleh Tuan Haris.
"Tak usah, Mah. Di adakan hanya privat saja, Mah. Tak boleh banyak yang tahu," tolak Papah Hermawan sesuai keinginan temannya itu.
"Tapi kenapa, Pah?" tanya Mamah Tika yang heran, ia ingin melihat dan menyaksikan putrinya menikah banyak orang yang menyaksikan.
"Turuti saja, Mah. Papah tak bisa berbuat apapun kecuali Tuan Haris lah yang mengubah semuanya." ucap lirih seolah pria berstatuskan sebagai kepala rumah tangga yang akan bertanggung jawab atas keluarga itu.
Mamah Tika pun mengangguk dengan pasrah, ia tak bisa berbuat apapun termasuk mencegah semua yang telah terjadi pada kedua putrinya itu. Ingin sekali membelah dirinya dan menjadi sandaran untuk kedua putrinya yang berbeda tempat.
"Pah," ucap Mamah Tika yang takut dengan perasaan ini.
"Ada apa?" tanya Papah Hermawan.
"Apa Rembulan akan baik-baik bersama dengan anak temannya Papah itu?" tanya Mamah Tika yang menghawatirkan anaknya setelah pernikahan itu tiba.
"Percaya saja ya, Mah. Kita doakan saja kedua putri kita," balas Papah yang tak kalah khawatir, ia sebagai seorang ayah dan cinta pertamanya untuk kedua putrinya merasa sedih harus berpisah dengan putri keduanya setelah putri pertamanya di kota lain.
.
.
.
Hari yang selalu di hindari Rembulan pun tiba, ia di bangunkan di pagi buta tersebut untuk pergi ke sebuah gedung yang sudah di dekor secara elegan namun mewah. Hari di mana Rembulan akan menggantikan statusnya sebagai seorang gadis akan menjadi seorang istri.
"Sudah selesai kan?" tanya Mamah Tika memastikan jika keperluan putrinya sudah selesai dan tak ketinggalan lagi.
"Sudah, Mah." jawab Rembulan dengan lirih, siap tak siap ia harus menerima semua dengan keadaan seperti ini. Mungkin ini sudah takdirnya menikah di usia mudanya.
Rembulan menjadi anak yang penurut kali ini dan tidak banyak mengeluh maupun berkomentar. Dia hanya bisa menahan sesak di dadanya seorang diri.
Mamah Tika yang menyadari kegelisahan putrinya juga hanya bisa memberinya semangat moril saja.
Rembulan dan kedua orang tuanya berhenti di sebuah hotel mewah tempat yang mereka beri tahu, takut memang, namun ini adalah bagian masa depan yang harus Rembulan jalani. Saat ia melangkah maju maka tidak tersedia lagi jalan untuknya mundur.
.
.
.
.
Dalam sekejap Rembulan sudah di sulap menjadi pengantin yang cantik, berbalut kebaya putih sederhana namun cantik, Rembulan terlihat begitu mempesona. Bahkan Papah dan Mamahnya menitikkan air matanya terharu melihat putrinya yang begitu cantik, senyum yang di paksakan dan langkah kaki yang berseok, Rembulan sebenarnya begitu enggan untuk duduk di kursi pelaminan itu. Sebuah kursi yang akan mengubah segalanya
Rembulan meremas kebaya nya dengan erat, dia begitu gugup untuk melewati semua ini. Namun sudah tidak ada pilihan kedua untuknya saat ini, mau tidak mau itu yang harus ia jalani.
Tuan Haris beserta Pak penghulu dan kedua saksi sudah datang dan duduk dengan rapi, Rembulan semakin gugup, keringat dingin sudah membasahi keningnya.
Seorang pria berjas putih datang, dengan di iringi kedua asisten pribadinya dan beberapa bodyguard nya dengan langkah tegap berjalan ke meja di mana sudah duduk menunggunya. Namun yang menarik perhatian dari pria yang akan menjadi suaminya itu memakai topeng untuk menutupi wajahnya yang Rembulan tak tahu.
Kedua netra mereka bertemu, bola mata kecoklatan itu benar-benar misterius bagi Rembulan. Orang yang akan menjadi suaminya itu sama sekali tak tersentuh padanya. Hanya duduk dan meminta untuk segera memulai acaranya.
.
.
.
.
.
.
Saya terima nikah dan kawinnya Rembulan binti Hermawan dengan mas kawin kalung berlian dan uang tunai 100 juta rupiah di bayar tunai....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!